“Minum.”
Sebotol air mineral disodorkan ke arahnya. Namun Rona masih terdiam, menatap telapak tangan dan beberapa luka karena kecerobohannya sendiri.
Kalau saja ia bisa menahan diri untuk tidak mengamuk dan menghancurkan barang-barang di unit apartemennya tadi, mungkin ia tidak kesakitan seperti ini.
“Abis diselingkuhi brondong nggak buat lo jadi budek kan, Na?” Yuyun, manager yang kini merangkap sebagai asistennya juga melempar sindiran.
Rona berdecak. Bukan karena pedih di telapak tangannya, melainkan kejengkelan yang belum reda.
“Lo nggak ada wine atau minuman yang lebih enak dari ini?” Ia menatap botol pemberian Yuyun dengan malas.
Daripada air mineral, Rona lebih membutuhkan minuman yang menyegarkan. Setidaknya wine atau vodka lebih berguna melegakan pikirannya yang semrawut ini.
Yuyun menoyor kepalanya pelan. “Udah bagus lo nggak dituntut karena rusak properti orang, masih aja mau buat masalah?”
“Gue?” Rona mendelik tak terima. “Jelas-jelas lo tahu, apartemen itu punya gue, atas nama gue. Hak-hak gue melakukan apa pun, Yun!”
“Iya, tapi Jeff udah transfer biaya untuk unit kalian. Dia bisa aja laporin lo ke polisi, Na.” Yuyun berujar tenang juga serius. “Lo mau diancam lagi sama Jeff atau Wena? Mau dipenjara?”
Tangan Rona mengepal erat. Ia melengos seketika, teringat kelakuannya sebelum tiba di apartemen Yuyun. Tidak hanya merusak barang-barang di apartemen miliknya, ia juga melukai diri sendiri.
Telapak tangan dan beberapa jarinya terluka akibat pecahan kaca. Meski sudah diberi antiseptik dan dijahit, rasanya tidak akan bisa menutupi pedih di hati. Luka akibat pengkhianatan Jeff jauh lebih menyakitkan.
Bukan hanya sakit yang ditorehkan Jeff untuknya, pria muda itu pun tega mengancam menelepon polisi. Sampai akhirnya Yuyun datang membantu dan melerai masalah tersebut.
“Ya silakan, gue juga punya alasan untuk itu. Dia selingkuh di apartemen sampai hamilin cewek lain.” Rona terkekeh miris saat mengungkapkannya. “Hampir seluruh sudut apartemen, bahkan kamar gue dijadikan tempat mereka buat anak.”
Jiwa Rona meradang. Masih ada banyak kata-kata yang terpendam di dada, urung ia tuntaskan semuanya pada Yuyun.
“Kenapa orang yang jelas-jelas berbuat salah, makin nggak tahu diri ya, Yun?”
Sebuah decakan keluar, tapi perlahan diselipi isakan. Mata Rona kembali berair dan akhirnya membasahi seluruh wajah.
“Sakit ... sakit, Yun.” Rona menatap lurus luka di telapak tangannya yang telah dibebat kasa juga plester. “Sakit banget rasanya di sini,” tunjuknya pada dada.
Rona merasakan tubuhnya dipeluk hangat dalam sekejap. Aroma khas milik Yuyun yang dipadukan wewangian bermerk itu terendus. Ia memutuskan menyandarkan kepala di sela tangisnya makin pecah.
Tidak hanya kekasihnya yang direnggut dan berpaling, tapi harga dirinya telah diinjak-injak. Tiga tahun ia meramu cinta, berharap bisa tumbuh subur hingga memanen hasil, tapi yang didapat justru hati yang hancur lebur.
“Lo harus kuat. Memang nggak semua cowok baik, Na, tapi pasti ada satu orang yang baik untuk lo nanti.” Yuyun menggosok punggungnya, menguatkan. “Lo kudu bangkit setelah ini. Gue tahu lo bisa melewati semuanya.”
“Gimana gue harus menjalani hari kalau muka mereka berdua pasti ada di mana-mana sekarang atau besok dan hari-hari berikutnya?” kata Rona serak. “Gue muak, gue benci, Yun. Gue bahkan belum terima maaf dari Jeff sama sekali. Dia nggak ada rasa bersalah apalagi menyesal, Yun. Jeff—”
Dering ponsel Yuyun menghentikan perkataan Rona.
“Sebentar.” Si pemilik ponsel seketika beringsut. “Gue angkat telepon dulu.”
Dapat Rona tangkap lirikan aneh dari Yuyun sebelum wanita itu keluar menuju balkon untuk menerima panggilan. Hampir tidak ada suara yang bisa Rona dengarkan dari dalam, tapi gerak-gerik Yuyun di sana tampak mencurigakan.
“Dari siapa?” tanya Rona cepat begitu Yuyun kembali.
Ada jeda sekitar 15 detik yang dibuat Yuyun sebelum menjawab, “Jeffrian.”
“Ngapain dia telepon? Dia ngomong apa aja?” Rona refleks mendekat, wajahnya tampak antusias. Ia sedikit menaruh harap ada kabar baik datang untuknya. “Apa dia kasih pesan ke gue, kayak permintaan maaf?”
Mulut Rona kontan mengatup saat mendapati Yuyun diam tanpa reaksi. Manajernya itu terpaku melihatnya dengan wajah sulit diartikan. Sepertinya harapan Rona kelewat besar hingga terasa mustahil.
“Yun?”
Yuyun mengambil napas dan melempar tubuh ke sofa. “Jeff bilang, dia udah batalin kontrak brand sekalian endorse-an kalian berdua. Soal pinalti udah dia bayar setengahnya, sisanya—“
“Jadi dia minta gue yang bayar? Ini masuk akal?” sela Rona tak habis pikir. “Lo tahu, dia yang selingkuh. Dia yang buat masalah dan sekarang gue ... gue yang ikut menanggung resikonya?”
Belum selesai ia meluapkan rasa sedihnya melalui tangis, ada batu besar yang mendadak menghantamnya tanpa ampun. Kedua kakinya lemas, tak mampu menumpu beban hingga perlahan ia terduduk di lantai.
Tatapannya berubah kosong. Sulit mencerna kabar buruk itu, walau ia mencoba berusaha lebih keras sekalipun.
“Lo tenang dulu, gue akan urus masalah ini sama pengacara—”
“Ini gila! Gue nggak salah apa-apa, kenapa gue harus tanggungjawab?”
“Rona, gue yang urus semuanya. Lo hanya perlu tenang, oke?”
“Menurut lo segampang itu? Kalau gue tetap diminta bayar, gimana?” kekeh Rona. “Umur gue 30, Yun. Nama gue melejit karena konten pacaran beda usia sama Jeff, terus sekarang kami putus. Jeff selingkuh dan bulan depan dia menikah sama selingkuhannya. Ke depannya mereka pasti bikin konten dan jauh lebih bagus, jadi family goals yang diidam-idamkan banyak orang.”
Ketika Yuyun sudah membuka mulut dan bersiap angkat suara, Rona bangkit seraya mengangkat satu tangan.
“Terus gue?” Ia menunjuk diri sendiri. “Gue jadi perawan yang ditinggal brondong. Apa yang mau dijual? Nggak ada!” teriaknya frustasi. “Karir gue udah hancur, kesempatan buat bertahan di industri ini rasanya udah nggak ada lagi.”
“Rona, tenangin diri lo dulu,” ujar Yuyun. “Masih banyak kesempatan di luar sana, apalagi gue bisa bantu—“
“Nggak!” Rona menggeleng kencang. “Kali ini gue nggak akan tinggal diam. Gue nggak mau bayar pinalti itu!”
Dalam sekali gerak, Rona menyambar kunci mobil dan tas jinjingnya. Ia meninggalkan apartemen Yuyun begitu saja. Tak peduli seberapa banyak manajernya memanggil, ia terus melangkahkan kaki untuk maju.
***
Telunjuk Rona beberapa kali menari di atas tombol angka yang melekat di pintu unit dengan nomor 407. Namun dari sekian banyak kesempatan tidak ada yang berhasil membuat pintu tersebut terbuka.
Sampai kemudian, “Buka! Jeffrian, Buka pintunya!”
Lama, ia berusaha. Pintu itu akhirnya terbuka. Sayangnya bukan sosok yang ia ingin temui. Wena muncul dengan kimono tipis dengan kedua tali yang menjuntai ke lantai.
“Mau apa ke sini? Mau ngamuk lagi?”
“Gue nggak ada urusan sama pelakor,” balas Rona sambil mengintip melalui celah pintu.
“Kak Jeff—“
Segera Rona mendorong pintu sekaligus tubuh Wena yang menghalangi. Ia menggunakan sisa tenaga untuk memasuki tempat tinggal yang dulu terasa hangat tiap kali menetap di sana. Namun sekarang, rasanya seperti berada di kerak neraka.
“Stop, Kak Rona! Kakak mau aku lapor polisi?” ancam Wena tanpa ragu. “Kakak harus ingat apartemen ini bukan lagi punya—“
“Berisik, minggir!”
Dalam sekejap, Rona berhasil menemui pria itu yang asyik berdiri di bawah guyuran air.
“Rona!” Jeff terkesiap dan buru-buru mematikan shower. Ia segera melilit tubuh dengan handuk. “Kamu ngapain masuk ke sini, hah? Keluar!”
Rona menggeleng dengan sorot tegas. “Gue nggak akan keluar sebelum lo bayar penuh pinalti kontrak brand yang lo batalin sepihak itu!” teriaknya. “Atau gue viralin kalian berdua dan buat karir lo hancur!”
“Jadi kamu perempuan yang sengaja mendompleng popularitas anak saya?!”Rona terhenyak ketika seorang wanita paruh baya menyambar ucapannya. Ia menoleh pada sosok yang kelihatan tak senang melihat keberadaannya.“Maksudnya gimana?” balas Rona gelagapan. “Mendompleng popularitas? Lho saya bukan—“ “Tunggu saya di ruangan tadi, Rona. Saya masih belum selesai di sini.” Dov memegang pundak Rona sembari menutupinya dari wanita garang di dalam sana. “Bisa, kan?”Rona mengerjap lambat. Ia masih mencerna situasinya yang kelihatan membingungkan. Di lain sisi ia ingin mengikuti ucapan Dov untuk pergi, tapi mendengar suara wanita di sana, justru membuatnya makin bertanya-tanya.“Tapi itu ... saya bukan perempuan yang dimaksud,” katanya lirih sambil memiringkan kepala, memastikan wanita itu.Sekejap wanita garang itu mendekat dan menunjuk-nunjuk ke arahnya. Beruntung Dov bergerak menahan tubuh wanita itu sebelum menerjang Rona di ambang pintu.“Hei kamu! Dengar baik-baik, ya! Jangan harap Dov perg
“Ini kalian beneran mau tunangan sampai Tante Rani telepon gue terus?” Yuyun mencerocos begitu masuk ke ruangan yang ditempati Rona. “Pak Dov beneran serius kah? Dia mau ketemu orang tua lo, itu tandanya ... dia benar-benar minta restu. Terus—““Stop!” Rona menutup mulut Yuyun menggunakan satu tangannya hingga manajernya itu berhenti berbicara. “Jangan kebanyakan halu, Yun. Dov nggak akan sampai minta restu, lagian dia cuma mau bantuin gue.”Yuyun memberontak dengan menepis tangan Rona dalam sekejap. Rona sedikit limbung dan mengibaskan tangan karena sedikit basah berkat ulah Yuyun.“Cuma. Bantuin.” Yuyun berdecih sambil menekankan ucapannya. “Seorang presdir mana mau sih bantuin artis barunya turun tangan langsung? Kebanyakan mah nyuruh orang, Rona. Please deh, lo jangan sok polos. Pikirin baik-baik.”Rona mengerjap pelan sambil mencerna baik-baik ucapan Yuyun, meski ia jengkel dan berniat mengelak.“Lo nggak lupa kan, kalau kalian pernah ONS di hotel berbintang?” tambah Yuyun yang m
Setelah acara selesai, Rona dan Dov kembali ke ruangan yang telah disediakan. Rona duduk di sofa, lalu melepas heels-nya sambil menghela napas panjang. Rasanya beban di pundak sedikit terangkat, tapi masih ada hal yang mengganjal di benak."Rasanya gue kayak baru akting drama di teater besar,” gumamnya.Dov membuka dua kancing teratas kemejanya sebelum menyusul Rona duduk. "Tapi kamu udah melakukan yang terbaik, kita tinggal tunggu respon publik setelah ini.”Ponsel sudah dalam genggaman Dov. Pria dengan rambut tertata rapi itu menggulir layar begitu membuka salah satu media sosial, mulai memantau reaksi netizen terhadap konferensi presnya.Rona menatapnya lelah. "Ya, mereka mungkin percaya, tapi gimana dengan orang lain?”“Orang lain?” Kening Dov berkerut-kerut bersamaan dengan kepalanya yang menoleh pada Rona. “Siapa yang kamu maksud?”Sebelum Rona menjawab, ponselnya bergetar. Nama “Bunda" muncul di layar. Ia menggigit bibir bawahnya, mulai gelisah. Namun akhirnya tetap ia angkat.
Belum habis rasa malu Rona setelah mengingat segalanya bersama Dov, kini ia harus dibuat jengkel juga oleh pria yang sama. Dov masih tersenyum geli padanya begitu staf datang untuk memberi tahu bahwa acara akan segera dimulai.“Tenangkan diri kamu sebelum orang-orang menganggap pipimu kebanyakan blush on,” bisik Dov.Sontak Rona memegangi kedua pipinya yang makin panas. Lalu sibuk mengipasi wajah agar omongan Dov tidak menjadi kenyataan.Ia buru-buru mengikuti langkah Dov sesuai arahan staf. Langkahnya terhenti bertepatan dengan Dov yang berbalik badan sambil mengulurkan tangan.“Ayolah,” dengkus Dov. “Mana tanganmu itu?”Sekejap Rona sadar bahwa ia harus mengikuti semua perkataan Dov sebelum tampil di kamera media besar yang menunggu. Ia mendekatkan tangan dan merasakan jemarinya digenggam erat.Ia merasakan kulit Dov yang hangat menempel baik di punggung tangannya. Sesekali ia melirik genggaman itu dan memadukan dengan stok ingatan malam panas yang tak terbendung.Dov berdeham singk
Dibalut celana berbahan kain dan kemeja serta outer warna senada, Rona datang ke kantor Step Up setelah selesai didandani MUA. Itupun atas perintah Dov yang menginginkannya tampil sedemikian rupa untuk datang ke konferensi pres. “Lebay nggak sih dandanan gue?” gumam Rona menyinggung tampilannya pada Yuyun sebelum turun dari mobil. “Mana ada, sih? Lagian lo cakep, make up-nya juga flawless. MUA yang datang ke penthouse pagi-pagi buta itu terkenal di kalangan artis besar. Seharusnya lo bangga.”Rona mencebik. “Bangga setelah orang-orang anggap gue simpanan dan selingkuh sama presdir gitu ya?” Bahasan itu masih saja disinggungnya tiap kali Yuyun menyindirnya tanpa beban. Terutama setelah kejadian kemarin ketika Dov mendadak muncul di depannya, itu semua karena ulah Yuyun. Memang siapa lagi?Rona baru keluar dari mobil begitu salah satu staf dari Step Up menjemput di area yang telah diatur. Yuyun mengikuti sambil memerhatikan sekitar, barangkali ada wartawan iseng yang mencuri gambar R
“Taruh aja barang-barang gue di dekat meja, Yun. Lo nggak perlu bongkar koper gue segala.”Seruan itu refleks Rona lontarkan begitu mendengar suara pintu terbuka dan koper yang diseret masuk. Mengingat obrolannya dengan Yuyun soal barang pribadinya dari apartemen lama, ia langsung menganggapnya demikian. “Ini tinggal bilas hair mask, lo bisa istirahat di kamar tanpa nunggu gue,” sahut Rona saat merasa Yuyun masih ada di kamarnya karena pintu belum ditutup. Rona melilit rambutnya menggunakan handuk terlebih dahulu, baru kemudian mengenakan bathrobe untuk menutupi tubuhnya yang basah. Ia berdiri di depan wastafel dengan cermin besar yang memantulkan dirinya.Rona berniat mengeringkan rambut dengan hair dryer, tapi perasaannya tak enak karena menyadari Yuyun belum pergi dari kamar. Ia khawatir jika manajernya itu harus turun tangan membenahi barang-barangnya. Sampai kemudian, ia keluar dari kamar mandi dan menangkap perawakan tinggi besar dengan kemeja putih tengah berdiri di dekat je
Masker sepaket dengan kacamata hitam dan topi yang diterimanya tadi ia perhatikan lamat-lamat. Sebagian masker hitam itu tampak basah akibat keringat berlebihnya selama pemakaian.Rona menghela napas panjang. “Baru kali ini gue lihat orang sebanyak itu berlomba-lomba nyari informasi tentang gue,” ujarnya miris. “Andai aja mereka penasaran sama prestasi gue selama ini, bukan nyari kebenaran atas skandal yang terjadi.”Kepergiannya pun dibantu staf khusus Dov agar tidak berpapasan dengan banyaknya wartawan yang memenuhi lobi hingga pelataran kantor. Sedikit saja staf lengah, semua akan hancur seketika.“Lo nggak perlu takut dan sekalut ini hanya karena skandal yang belum tentu bener.” Satu tangan Yuyun terangkat dan menyentuh pundak Rona, berusaha menenangkan. “Gue percaya sepenuhnya sama lo. Lagian yang nyebarin berita itu si pelakor laknat, dia pasti bakal dapat karma.”Rona menoleh, membalas tatapan prihatin Yuyun yang tercurah pada tiap sorotnya. Lagi, napasnya terembus, menunjukkan
Begitu pintu rapat terbuka, Dov mampu menangkap kegusaran di wajah-wajah para anggota direksi. Lalu helaan napas yang terdengar, tak membuat kepercayaan diri Dov runtuh.Imron mempersilakannya duduk. Dov mengangguk dan menyapa sekenanya pada orang-orang yang lebih tua darinya, lalu sorotnya terhenti pada Ravi yang tampak berbeda dari sekeliling.Pria itu mengulum senyum miring dan mengangguk-anggukkan kepala. Seakan berita yang tersebar di media sekarang bukanlah masalah gawat.“Dovindra Putra Wijaya,” panggil Jake yang memiliki andil besar dalam saham Step Up. Suara dan tatapannya tajam, cukup menggambarkan betapa kecewa pria itu sekarang. “Apa kamu sadar berita viral yang menyeret tentangmu berpengaruh pada saham perusahaan? Apa kata publik sekarang begitu tahu presdir agensi besar ternyata punya hubungan gelap dengan artis baru?”“Artis itu bahkan kurang terkenal,” timpal salah satu peserta rapat. Yang lain pun mengangguk setuju. Lalu ruangan yang semula hening perlahan heboh deng
“Saya pikir Bapak udah hapus rekaman itu setelah diskusi dengan manajer saya?” Kening Rona berkerut-kerut begitu menyaksikan video yang ditunjukan Dov. “Tapi ... ini semua apa? Bapak berbohong?”Video itu jelas menunjukkan dirinya sedang beradu mulut dengan Jeff di depan unit beberapa waktu lalu. Ia mendengar dari Yuyun bahwa semua urusan tentang rekaman dirinya sudah selesai, tapi rupanya belum.“Saya nggak pernah bilang mau hapus rekaman ini karena sewaktu-waktu bukti ini bisa jadi senjata,” ungkap Dov santai di tengah kegeraman Rona. “Saya hanya bilang ke manajer kamu untuk tidak mengangkatnya ke publik. Begitu, ‘kan?”“Ck, ini sama saja penipuan!” tandas Rona seraya menjauh dari Dov dan bersiap menyambar tas. “Saya bukan tipikal orang yang rela menjual privasi saya untuk jadi konsumsi publik, apalagi pertengkaran saya dengan Jeff saat itu, Pak!”Rona melangkah melewati Imron yang berdiri menatapnya bingung, tujuannya hanya satu saat itu. Pergi meninggalkan ruangan daripada mendeng