Roy melangkah maju, membukakan pintu mobil untuk Aura. Wajahnya tampak sedikit menyesal. "Maaf, karena aku, kamu sampai kena sindir begitu."Aura masuk ke mobil, lalu memasang sabuk pengamannya sendiri. "Nggak apa-apa."Roy menghela napas lega, lalu menoleh padanya. "Kamu belum makan, 'kan? Mau pergi makan?"Kebetulan Aura memang lapar, jadi dia tidak menolak. Dia membiarkan Roy berkemudi hingga mereka berhenti di depan sebuah restoran masakan rumahan.Meskipun baru mengenal Roy belum lama, Aura merasa pria ini cukup bisa diandalkan. Setidaknya lebih bisa dipercaya dibandingkan Renald.Roy menyadari tatapan Aura, lalu mengangkat kepala dan menatap balik. "Kenapa kamu menatapku begitu?"Aura menggigit bibirnya, menunduk, dan tertawa kecil. "Nggak apa-apa, aku hanya heran. Dengan sifatmu seperti ini, kok bisa berteman sama Renald?""Renald?" Roy tersenyum kecil mendengar itu. "Kami teman sekelas.""Jujur saja, dia sebenarnya orang yang baik." Roy membela temannya.Aura memutar bola mata
"Kalau kamu bersedia, gimana kalau tinggal saja di rumah sakit ini? Di sini tenaga medisnya lebih profesional dan kebetulan juga bisa menemani Kakek."Ekspresi Aura sedikit menegang. Tinggal di rumah sakit? Bukankah itu akan meninggalkan jejak?Seakan-akan bisa membaca pikirannya, Roy mengangkat alis pada Aura, mengisyaratkan agar dia tenang.Aura langsung paham. Benar juga, melihat betapa kuatnya Keluarga Kusuma di Kota Morimas, menghapus jejak seseorang bagi Roy bukanlah hal sulit.Dia pun mengangguk setelah terdiam sesaat. "Baiklah kalau begitu. Maaf kalau merepotkan Pak Roy."Mereka kembali menemani Parviz berbincang sebentar. Namun, karena usia Parviz sudah lanjut dan tubuhnya lemah, hanya berbicara sebentar saja Parviz sudah tampak kelelahan. Meskipun begitu, pandangannya tidak rela beralih dari wajah Aura.Aura tersenyum lembut menenangkannya. "Kakek, istirahatlah dulu. Kalau nanti Kakek bangun dan memanggilku, aku pasti ada di sini."Baru setelah itu, Parviz perlahan menutup ma
Gerakan tangan Aura terhenti. Tanpa sadar, dia melirik ke arah Roy.Roy juga mengerutkan kening, sementara Aura hanya bisa menekan bibirnya dan menoleh ke Parviz dengan senyuman tipis. "Aku ini Aurel, Ayah."Mendengar itu, Parviz tersenyum pahit. "Dasar kamu ini. Nak, kamu kira aku sudah pikun ya? Di ujung mata Aurelia, nggak ada tahi lalat."Aura tertegun sejenak, lalu mengangkat tangan menyentuh ujung matanya. Dia tersenyum kecil. "Benar juga, matamu memang tajam sekali. Tapi kalau ingin tahu siapa aku, kamu harus habiskan bubur ini dulu."Aura melirik isi mangkuk. Ini adalah bubur kesehatan yang seharusnya bermanfaat untuk tubuh. Apalagi, kondisi Parviz sendiri terlihat sangat lemah.Roy mengernyit. Kakeknya selalu keras soal aturan dan paling tidak suka kalau ada anak muda yang bicara seenaknya. Jika keturunannya yang berbicara seperti ini, biasanya langsung dihukum berat.Roy hendak membuka mulut untuk membela Aura, tetapi Parviz malah tertawa terbahak-bahak. "Baiklah, aku makan."
Begitu panggilan "Ayah" keluar, wajah orang-orang di dalam ruangan langsung berubah. Mereka berpandangan, hendak membuka mulut untuk membentak Aura.Namun, Roy sudah lebih dulu menoleh. Tatapannya menyapu ke arah mereka. "Paman, kalian mau bilang apa?"Begitu ditatap Roy, wajah kedua pamannya itu malah semakin kesal. Mereka hendak menegur anak muda yang dianggap tidak tahu sopan santun itu, tetapi suara Parviz perlahan terdengar."Aurel, kamu Aurel." Suara Parviz serak dan lemah, terdengar tua. Ketika dia perlahan mengulurkan tangannya ke arah Aura, mata tua yang tadinya kosong tiba-tiba memancarkan cahaya. Hanya memandang saja, matanya sudah basah.Hati Aura ikut menegang. Meskipun selama ini dia selalu menganggap dirinya orang yang dingin tanpa banyak perasaan, saat ini dia tetap merasa sesak.Dia pun mendekat, lalu berkata dengan pelan di hadapan Parviz, "Ayah, aku pulang."Mata Parviz langsung dipenuhi air mata. Selain Roy, semua orang lain di ruangan itu saling memandang, tatapan
"Aku sebenarnya ingin kamu menemui kakekku kali ini. Dia sedang sakit dan sudah dirawat di rumah sakit. Kondisinya makin lemah dan sering linglung. Dalam hidup ini, yang paling dikhawatirkan kakekku hanyalah bibi kecilku."Aura menatapnya dengan bingung. "Pak Roy, apa hubungannya denganku?"Roy yang sedang menyetir menoleh sekilas padanya. "Karena kamu sangat mirip dengan bibi kecilku. Sejak pertama kali melihatmu, aku merasa wajahmu hampir sama dengannya.""Kalau begitu, bibi kecilmu itu ...." Aura berhenti sejenak, hatinya tiba-tiba muncul firasat buruk.Roy mendesah pelan. "Ceritanya panjang. Waktu aku 5 tahun, bibi kecilku pergi dari rumah karena suatu masalah, lalu memutus semua hubungan dengan keluarga.""Selama ini keluargaku juga bukannya nggak mencarinya, tapi nggak pernah berhasil. Saat aku ke Jakoro dan melihatmu, aku benar-benar terkejut. Kalau usiamu nggak semuda ini, mungkin saat itu aku langsung memanggilmu 'Bibi'."Aura teringat saat pertama kali dia bertemu Roy, sikapn
Aura berkata dengan pelan, "Terima kasih."Setelah tinggal beberapa hari di vila itu, Aura merasa bosan. Sambil memulihkan diri, dia mulai mencari-cari informasi tentang Kota Morimas di internet. Dia memang tidak begitu mengenal kota itu, tetapi keuntungannya adalah kota ini cukup jauh dari Jakoro.Selain itu, sepertinya Alatas Heir tidak memiliki bisnis ataupun aset di Kota Morimas. Jika begitu, Aura merasa menetap di sini sepertinya merupakan ide yang bagus. Oleh karena itu, saat membaca budaya dan kehidupan di kota ini, dia juga mulai berpikir apa yang bisa dilakukannya selanjutnya untuk menafkahi kehidupannya di sini.Saat itu, tiba-tiba muncul sebuah notifikasi berita di bagian teratas ponsel Aura.[ Grup Tanjung bangkrut. Direktur Anrez dalam kondisi kritis, pewaris Keluarga Tanjung menghilang saat kecelakaan mobil. ]Aura tertegun sejenak, lalu secara refleks mengetuk layar dan membuka halaman berita itu. Di berita itu terpampang foto Anrez.Sejak mendengar kabar Anrez sakit par