"Hasil pemeriksaan? Bukannya sudah dilihat?"Perawat itu tersenyum. "Sebaiknya Ibu ke sana saja. Dokter bilang ini cukup penting."Fendro langsung terlihat agak cemas. "Jangan-jangan dia sakit?"Perawat menggeleng. "Entahlah."Aura hanya menggumam pelan, lalu bangkit dan mengikuti perawat menuju ruang dokter. Saat mereka sampai, sang dokter sedang memegang selembar hasil pemeriksaan.Begitu melihat Aura masuk, dokter menunjuk kursi di hadapannya. Ekspresinya serius. "Bu Aura, silakan duduk."Aura mengangguk dan duduk. Melihat ekspresi serius dokter, entah kenapa Aura merasa sedikit panik. Meskipun begitu, wajahnya tetap terlihat tenang.Dengan suara lembut, dia bertanya, "Dokter, apa aku kena penyakit mematikan? Katakan saja, aku bisa menerimanya."Mendengar itu, dokter tak kuasa menahan tawa. Tawanya membuat Aura bingung. Setelah puas tertawa, dokter menyerahkan hasil pemeriksaan itu kepada Aura. "Tenang, ini bukan penyakit mematikan. Justru kabar baik.""Kabar baik?" Aura tertegun. D
Aura sebenarnya tidak ingin merepotkan Jose. Di rumah sakit ada perawat dan dia sendiri juga masih bisa berjalan. Namun, Tiano bilang itu adalah perintah dari Jose. Jadi, Aura tak punya alasan untuk menolak.Aura juga tidak pernah bertanya kepada Tiano soal apa pun tentang Jose. Sebagai seekor "burung kenari emas" yang baik, dia tahu mana yang boleh ditanyakan dan mana yang sebaiknya tidak.Saat keluar dari rumah sakit, Aura tetap mampir ke kamar sebelah untuk melihat Fendro. Fendro sedang berbaring di tempat tidur dengan ekspresi bosan, tak bisa bergerak. Begitu melihat Aura, matanya langsung berbinar."Aku kira kamu marah dan nggak bakal datang jenguk aku lagi." Dia sedikit memiringkan kepala, berkata kepada Aura, "Violet itu orangnya aneh, selalu nempel sama aku. Jangan salah paham. Kami nggak ada hubungan apa-apa."Aura tersenyum tipis. "Hal seperti itu nggak perlu kamu jelasin ke aku."Dia paham maksud Fendro, tetapi untuk urusan berpacaran dengan pria yang lebih muda, dia benar-b
Aura merasa nada bicaranya agak aneh. Tanpa sadar, dia meringkuk sedikit. "Aku ... ceritanya panjang.""Oh?" Jose menyipitkan matanya sedikit.Violet yang tadinya bersiap untuk pergi, merasa percakapan keduanya agak janggal. Jadi, dia menghentikan langkah kakinya, secara refleks menoleh menatap Jose dan Aura. "Kalian ...."Jose meliriknya tajam. "Belum pergi juga?"Violet langsung menciut. "Pergi, pergi, aku pergi sekarang."Dia segera menggenggam tangan Aura sambil tersenyum manis. "Kak, maaf ya, tadi aku nggak seharusnya bersikap begitu. Nanti aku traktir kamu kopi buat minta maaf. Aku duluan ya."Selesai berbicara, tanpa menunggu Jose mendesak lagi, Violet langsung kabur.Kamar rawat itu tidak besar. Kehadiran begitu banyak orang membuat tempat ini menjadi terasa sesak.Ferdy menoleh pada Aura. "Kami sudah tahu soal kejadian hari ini. Fendro yang salah. Kamu nggak apa-apa, 'kan?"Sikap Ferdy cukup baik. Setidaknya tidak semenakutkan Jose.Aura mengangguk. "Aku nggak apa-apa.""Bagus
Saat melihat wajah Aura, gadis itu tertegun sejenak. Dengan ekspresi sedih, dia menggigit bibir bawahnya dan memandang ke arah Fendro. "Fendro, kamu rela mempertaruhkan nyawamu demi kakak ini?"Jarang-jarang dia dipanggil "Kakak" oleh orang asing. Melihat gadis itu masih muda, Aura malas mempermasalahkannya. Dia hanya berkata kepada Fendro, "Temanmu sudah datang. Kalau begitu, aku pergi dulu."Fendro tidak menjawab, hanya menatap gadis di pintu dengan wajah penuh ketidaksabaran."Itu bukan urusanmu." Fendro memutar bola mata. "Bukankah sudah kubilang jangan datang mencariku lagi?"Tsk, sepertinya ini memang cinta bertepuk sebelah tangan. Aura memang tidak terlalu suka melihat drama semacam ini, apalagi jika tokoh utamanya terlihat agak kesal padanya. Dia hanya ingin cepat-cepat pergi.Namun, ketika baru sampai di pintu, pergelangan tangannya tiba-tiba ditarik oleh gadis itu. "Kamu nggak boleh pergi. Aku kasih tahu ya, Fendro itu milikku, kamu nggak boleh merebutnya dariku. Lagi pula, um
"Uhuk, uhuk ...." Suara batuk pelan itu menarik perhatian dokter yang berada di dekatnya.Mendengarnya, dokter itu segera mendekat dan bertanya, "Bu Aura, bagaimana keadaanmu?"Aura merasa kepalanya sedikit berat dan nyeri. Dia pelan-pelan menggeleng. "Aku ... aku rasa masih lumayan.""Aku nggak kenapa-napa, 'kan?" Aura refleks ingin bangkit untuk memastikan tubuhnya masih utuh.Melihat dia bisa berbicara lancar, dokter itu menghela napas lega. "Untung kamu nggak mengalami luka serius. Hanya ada sedikit retak tulang di pergelangan tangan, sudah kami tangani. Kalau masih merasa ada bagian tubuh yang nggak nyaman, tolong segera beri tahu ya."Aura ikut menghela napas lega, lalu mengangguk. Setelah memeriksa tubuhnya sekali lagi dan memastikan memang tidak ada masalah lain, dia akhirnya merasa tenang sepenuhnya.Aura sangat menghargai nyawanya. Bagaimanapun, Anrez belum menanggung konsekuensi atas perbuatannya. Dia jelas tidak rela mati sekarang.Mendadak teringat sesuatu, Aura menatap do
Aura belum sempat menolak dan sudah ditarik oleh Fendro menuju sebuah mobil balap merah. Fendro mendorongnya ke dalam mobil, lalu dengan teliti mengencangkan sabuk pengamannya. Baru setelah itu, dia berjalan ke kursi pengemudi."Fendro, ini terlalu bahaya." Aura tiba-tiba merasa agak takut.Namun, belum sempat dia melanjutkan, sekelompok anak muda yang berdiri tidak jauh dari sana melambaikan tangan ke arah Fendro sambil berseru, "Kak Fendro, semangat!"Fendro selesai menyiapkan semua pengaman untuk dirinya, lalu menoleh dan tersenyum pada Aura. "Kamu tahu nggak? Saat adrenalin melonjak, orang cenderung lupa sama hal-hal yang bikin nggak senang. Jadi, aku cuma mau bikin kamu senang."Aura sungguh kehabisan kata-kata. Nyawa dan kebahagiaan itu jelas tak sebanding."Aku nggak mau ...." Aura mengangkat tangan untuk membuka pintu mobil, tetapi kembali ditarik oleh Fendro.Pemuda itu tersenyum sambil menenangkan, "Tenang saja, teknikku sangat bagus."Begitu ucapannya selesai, Fendro sudah m