LOGINCanggung. Rasanya Kanaya susah sekali bernapas saat ini. Tatapan orang tua Adrian seolah ingin melubangi dirinya. Apalagi tatapan dari Presdir LW Group itu seolah melihat Kanaya sebagai musuh yang masuk ke dalam teritorialnya. Januari Prakasa bersikap dingin saat Adrian mengenalkan Kanaya sebagai calon istrinya. Sedangkan Dewi, ibunda Adrian menatapnya dengan tatapan yang dalam meski sama tidak merespon saat Kanaya memperkenalkan dirinya. “Apa pekerjaan orang tuamu?” tanya Januari akhirnya buka suara. Kanaya mendongak, wajahnya terlihat menegang saat ditanya oleh Januar. Dia menelan ludah, lalu menarik napas panjang sebelum menjawab. “Ibu saya tidak bekerja, beliau seorang ibu rumah tangga.” Jawab Kanaya pelan. “Bagaimana dengan ayahmu?”Kanaya terdiam cukup lama, dia tidak ingin membahas soal ayahnya yang sudah pergi entah kemana meninggalkan keluarganya. Dia meremas tangannya yang sudah mulai berkeringat. Sampai akhirnya sebuah tangan muncul dan menggenggam erat tangannya. Ka
Pagi itu Kanaya berdiri di depan rumah kos nya, dengan dress selutut berwarna ivory. Dia sengaja menata rambutnya, menggerai dan menyematkan jepit mutiara di sisi kepalanya. Sesekali dia mengatur napasnya, menggembungkan mulutnya. “Brrr, aaa.. aa… aaa…” Kanaya melakukan senam mulut agar tidak terlalu tegang. Karena pagi ini Adrian mengajaknya bertemu dengan orang tuanya. Pada akhirnya hari itu tiba juga. Kanaya benar-benar gugup sekarang, padahal Adrian belum juga tiba. Kemarin, mereka bertemu dan Adrian mengajak Kanaya untuk berbelanja dan mencuci rambutnya ke salon agar penampilannya lebih baik sekarang. Pria itu juga membelikan Kanaya tas dan heels yang dikenakannya sekarang. Saat wanita itu membayangkan bagaimana nanti saat dia bertemu dengan kedua orang tua Adrian. Sebuah mobil berhenti tepat di depannya, seorang pria turun dari arah lain dan menghampirinya. Pria itu Adrian, dengan kemeja warna navy, dia tak mengenakan dasi, penampilannya lebih santai namun tetap terlihat so
Mereka berempat keluar dari gedung karaoke hampir tengah malam. Kanaya, Lala, Nathan, dan Adrian mengakhiri malam mereka. Saat di luar gedung karaoke, Kanaya masih mengobrol dengan Lala. Nathan dan Adrian mengambil mobil mereka. Tak lama kemudian, kedua pria itu muncul di hadapan Kanaya dan Lala. Nathan langsung menarik tangan Kanaya. “Yuk! Aku antar kamu pulang,” katanya. Tapi, Kanaya mematung. Bukan karena menolak ajakan Nathan, tapi karena sebelah tangannya yang lain sudah ditarik oleh Adrian. Secara bersamaan Nathan dan Adrian sama-sama menarik tangan Kanaya. Membuat wanita itu kebingungan sendiri, begitupun Lala yang menoleh ke arah Nathan dan Adrian dengan tatapan heran. Karena tidak mau menimbulkan kecurigaan Lala. Kanaya menarik kedua lengannya dari Adrian dan Nathan. Kedua pria itu terlihat kecewa dan saling pandang dengan ekspresi tak bisa diartikan. “La, aku pulang bareng kamu aja ya?” ucap Kanaya pada Lala. “Boleh aja sih, tapi kan rumahku di dekat sini aja. Kosan k
Adrian tidak tahu apa yang sedang ia lakukan. Dia melajukan mobilnya mengikuti kemana Kanaya pergi dengan dua temannya. Pria itu seperti sedang mengikuti diam-diam kekasihnya yang sedang selingkuh. Dia memarkirkan mobilnya di tepi jalan, tepat di depan gedung karaoke yang berkelap-kelip lampu sorotnya. Dia menyugar rambutnya kasar sambil mendecakkan lidah. “Tck! Kenapa aku malah mengikutinya sampai kemari?” Adrian mengumpat dirinya sendiri. “Apa aku bilang saja pada Kanaya. Kalau akan menjemputnya pulang, mumpung aku di daerah sini.” Pria itu meraih ponselnya untuk mengirim pesan, namun baru saja membuka aplikasi pesan. Tangannya berhenti. Dia hanya menggenggam erat ponselnya. “Dia kan sudah bilang kalau akan pulang sama Lala. Argh!!” Adrian bingung sekali, dia tak mau hanya menunggu di dalam mobil. Sedangkan, Kanaya ada di dalam sana bersama seorang pria. Setelah berpikir panjang, Adrian memasuki parkiran gedung karaoke. Dia memutuskan untuk pergi ke dalam. “Kalau nanti tak s
“Kanaya!” panggil Lala. Kanaya yang berjalan di koridor kantor menghentikan langkahnya dan berbalik. Tersenyum pada Lala yang berlari kecil ke arahnya. “Karaoke, yuk!” ajak Lal. Jam kerja mereka sudah selesai dan ini waktunya pulang. Kanaya menggaruk tengkuknya, dia seharusnya sudah ada di basement kantor sekarang. Adrian menunggunya. Tapi, kalau Kanaya menolak pasti Lala akan curiga. “Cuma kita berdua aja?” tanya Kanaya. Dia mencoba melempar umpan.Lala mengangguk, meski sedikit heran karena mereka kan memang kalau karaoke selalu pergi berdua saja. Kenapa tiba-tiba Kanaya menanyakan itu? Kanaya mengecap, ekspresi wajahnya tiba-tiba kecewa. “Hmm… gimana ya? Aku bosen kalau cuma berdua aja. Nggak asik aja kalau nggak rame-rame.” Alasan itu terdengar masuk akan di telinga Lala. “Benar juga sih,” katanya setuju. “Iya, kan?” Kanaya menaikkan alisnya, senyum tipis muncul di sudut bibirnya. Dia berkata dalam hati kalau Lala akan membatalkan ajakannya, tapi Kanaya tidak mau terlihat d
Apa yang membuatmu ragu? Pertanyaan itu berputar di benak Kanaya selama di mobil Adrian. Dia juga melirik kaca tengah yang mengarah ke belakang. Kanaya menelan ludah canggung, di belakangnya terlihat makanan berbungkus-bungkus terletak di atas jog penumpang. Mereka meninggalkan kafe karena jam istirahat makan siang sudah hampir berakhir. Adrian tidak masalah jika ke kantor lebih lambat. Tapi, tidak begitu dengan Kanaya yang karyawan biasa. Maka dari itu mau tidak mau Adrian mengantar Kanaya kembali. Karena merasa sayang dengan sisa makanan yang sudah dipesan Adrian. Kanaya meminta para pelayan kafe membungkusnya. Adrian terkesan dengan sikap hemat Kanaya. “Dia terlihat imut saat berusaha menghemat,” batin pria itu saat melihat Kanaya bolak balik membantu pelayan mengemas makanannya. Kembali lagi di mobil Adrian. Hening masih melingkupi Adrian dan Kanaya. Mereka sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. Sampai akhirnya Adrian memecah suasana dengan mengucapkan sesuatu ha







