"Kamu tidur di atas.”
Nahla menatap Zevaran dengan mata membesar, memastikan bahwa ia tidak salah dengar. Suaminya itu hanya melirik sekilas sebelum beranjak keluar dari kamar. Meninggalkan Nahla. Sesaat, Nahla terdiam. Matanya mengarah ke ranjang yang tampak lebih nyaman dibanding lantai dingin tempatnya berbaring tadi. Perlahan, ia naik ke atas ranjang. Begitu tubuhnya menyentuh kasur yang empuk, ia merasakan kehangatan menjalar di seluruh tubuhnya. Untuk pertama kalinya setelah pernikahan ini, ia merasa sedikit dihargai. ‘Dia tidak seburuk yang aku kira.’ Nahla menatap pintu yang tadi dilewati Zevaran. Hatinya bertanya-tanya, apa yang sebenarnya ada dalam pikiran pria itu? 🍁🍁🍁 ‘Kau gila, Zevaran. Kenapa tadi kau menyuruhnya tidur di ranjang?’ Ia mengepalkan tangan, kesal pada dirinya sendiri. Seharusnya, ia tidak menunjukkan kebaikan sekecil apa pun pada Nahla. Seharusnya, ia tetap bersikap dingin seperti sebelumnya. Tapi entah kenapa, melihat wanita itu menggigil di lantai membuat merasa iba. Zevaran mengembuskan napas kasar. Ia sudah bersumpah untuk tidak membiarkan dirinya terikat dengan Nahla. Wanita itu hanya ada dalam hidupnya karena keadaan, bukan karena keinginannya. Jika ia membiarkan Nahla masuk ke dalam hatinya, itu hanya akan menghancurkannya. . 🍁🍁🍁 Pagi harinya, Nahla hanya diam memperhatikan pergerakan suaminya yang bersiap-siap untuk berangkat kerja. Lagipula ia juga tidak memiliki tugas untuk mengurus semua keperluan suaminya, Zevaran melarangnya untuk melakukan hal tersebut. Setelah suaminya keluar, barulah Nahla berani bergerak. Ia merapikan tempat tidur mereka, membuka jendela, lalu mandi. Wajahnya terlalu pucat untuk hari yang cerah. Di bawah semburan air shower, Nahla mencoba untuk menyerap takdir hidupnya. Tubuhnya terguncang meluapkan tangisnya. Hanya itu yang mampu ia lakukan menangis dan pasrah dalam penderitaan. Baru saja selesai mandi, pintu kamar diketuk mengejutkan wanita cantik berambut panjang tersebut. “Mamah!” seru Nahla lembut, melihat mertuanya datang membawa sarapan pagi serta susu. “Baru selesai mandi, ya?” tanya Salma, menerobos masuk. “Iya, Ma.” “Kamu, pakai baju kemarin lagi! Apa tidak gerah?” beo Salma meneliti penampilan menantunya. “Nahla, lupa bawa baju. Mah, tapi nanti Nahla mungkin akan pulang. Untuk ambil pakaian,” sahutnya. “Tidak boleh! Kamu tidak di beri keluar dari sini seorang diri, apa lagi kembali ke rumahmu.” Nahla tercengang mendengar penuturan mertuanya, ternyata peraturan itu bukan hanya Zevaran yang membuat. Rupanya satu keluarga mereka sepakat dengan aturan tersebut. “T-tapi-.” Baru saja hendak membantah, Salma langsung memotongnya. “Mama akan membawamu belanja, ayo kita ke mal!” serunya menarik Nahla keluar dari dalam kamar. “Tapi Nahla enggak punya uang, Ma,” kata Nahla terus terang. “Iya, mama tahu! Kamu ke sini dalam keadaan miskin, tidak bawa uang. Sebagai mertua yang baik, mama ingin membawa kamu belanja.” “Makasih, Ma,” jawab Nahla. Meski terdengar sakit, ia harus tahu diri dan berterima kasih atas kebaikan mertuanya. Nahla pun langsung sarapan dan mengganti pakaian yang diberikan oleh Salma. Untung saja pakaian yang diberikan adalah rok sepanjang mata kaki, dipadu dengan blazer panjang. Setibanya di mal, Salma membelikan Nahla banyak sekali pakaian, sandal, dan tas bermerek, hingga Nahla kewalahan membawa semua barang belanjaan tersebut. "Kita makan siang dulu, ya!" ajak Salma, menarik Nahla masuk ke dalam restoran mahal. Meski baru semalam resmi menjadi menantunya, Salma terlihat begitu asyik mengambil peran sebagai mertua. Namun, terkadang lisannya terasa begitu tajam ketika membicarakan orang tua Nahla. "Kamu pasti belum pernah masuk ke sini, kan?" tanya Salma sambil menyambut buku menu dari pelayan restoran. "Iya, Ma. Belum pernah," jawab Nahla canggung. "Iyalah, kalian mau kaya saja gagal. Lagipula, ayah kamu itu tidak punya pendidikan. Kok bisa-bisanya mau buka usaha tambang?" cetusnya. Nahla hanya mengukir senyum samar menahan perih di hatinya. "Sekarang giliran kamu yang pesan," lanjut Salma sambil menyerahkan buku menu kepada Nahla. Wanita itu terpaku melihat menu yang seluruhnya berbahasa Inggris. "Yang ini aja, Mbak," ujar Nahla, menunjuk nasi goreng spesial di menu. Salma tidak ingin ambil pusing. Mungkin begitulah selera orang susah, pikirnya. 🍁🍁🍁 Setelah puas berbelanja, Salma dan Nahla kembali pulang. Tiba di rumah tepat pukul lima sore. Nahla seketika menunduk takut saat bertemu Tua Tarom, ayah mertuanya, berdiri di ruang tamu dengan tatapan tajam. "Dari mana saja kalian?" suara Tarom terdengar serak dan berat, membuat suasana terasa lebih mencekam. Salma tersentak kaget. "Ayah sudah pulang? Kapan?" tanyanya canggung. Ia mengira suaminya akan pulang besok lusa. "Siang tadi! Bagus sekali kalian berdua malah keluyuran saat suami kalian tidak di rumah!" omel Tarom, matanya menyipit penuh kecurigaan. Tatapan pria itu beralih pada Nahla. "Dan kamu, Nahla! Harusnya bersyukur tidak aku jual! Aku malah menikahkan kamu dengan putraku, jadi jangan merasa seperti nyonya di rumah kami! Kamu harus membantu para pelayan untuk bersih-bersih dan memasak di sini!" ucap Tarom tajam, menusuk hati Nahla. Apalagi yang bisa ia lakukan? Hidupnya memang sudah seperti ini, diciptakan hanya seolah-olah hanya untuk di caci maki. "Nahla, kamu kembali ke kamarmu dulu, Sayang?" ujar Salma, berusaha melindunginya. Namun, Tarom tidak terima sambil berucap, "Kamu jangan terlalu baik ke dia! Dia itu miskin! Nanti malah lupa diri.” Ucapan ayah mertuanya terdengar jelas di telinga Nahla. Wanita itu menunduk dalam, menarik napas getir menahan sesak. Tanpa banyak bicara ia berjalan menuju kamar. Di dalam kamar, Nahla meletakkan semua belanjaannya di dekat jendela. Ia bingung harus menaruh pakaiannya di mana. Bahkan ia tidak berani membuka lemari suaminya. Akhirnya, ia melangkah keluar menuju balkon. Matanya menatap kosong ke taman mansion yang luas. Rindu mulai menggerogoti hatinya. "Ibu, kenapa hidupku sesakit ini, aku mau pulang, Bu!" lirihnya, air mata wanita itu jatuh tanpa bisa ia tahan. Kedua tangannya menutupi wajah, tubuhnya bergetar menahan isakan. Seketika suara berat yang mengintimidasi terdengar dari belakangnya. "Sedang apa kau?" Nahla tersentak. Ia buru-buru mengusap air matanya dan berbalik. Zevaran berdiri di ambang pintu balkon, menatapnya dingin. "M-maaf, Tuan. Saya hanya …, rindu ibu saya," suaranya tersendat karena tangis. Zevaran mendekat, ekspresinya semakin kelam. "Sampai kamu menangis darah pun, aku tidak akan mengizinkanmu bertemu mereka." Nahla menatap pria itu penuh harap. "Saya mohon, Tuan. Setidaknya biarkan saya melihat ibu dari kejauhan." "Kamu mulai membantahku!" suara Zevaran meninggi, membuat Nahla terlonjak. “Ka.u sudah membuat hidupku, kacau dan terjebak dalam situasi ini. Jadi, kau dalam kuasaku.” "Tuan pikir saya menginginkan ini? Saya juga terjebak!" imbuh Nahla bersuara pelan sedikit merasa takut, membuat Zevaran terbakar emosi. Bersambung.Sesampainya di rumah, ia tak lagi sanggup menahan beban di dadanya, air mata jatuh mewakili isi hati, segalanya tentang Zevaran kini terasa seperti sandiwara yang kejam, kecupan pura-pura, janji manis yang tiada arti, dan terakhir, seorang wanita yang ia hamili tanpa takut.“Nahla, sudahlah ... berhenti tangisi pria itu,” ucap Sinta, merasa kasihan pada putrinya.Suara ibunya lembut nan hangat, bagaikan selimut tipis yang ditarik di malam begitu dingin menusuk. Namun, tetap tak mampu meredam kekecewaan di dada putrinya.“Nahla, kecewa, Bu ..., Aku pikir Zevaran ke mana? Tidak pernah muncul saat aku di rumah sakit, ternyata dia meninggalkan aku begitu saja demi wanita yang amat ia cintai,” lirih Nahla, tersedu-sedu.Sinta merangkul putrinya seperti hendak menjahit kembali hati yang terobek.“Nak, pria memang seperti itu. Meski sudah beristri ..., jauh di dalam hati mereka masih mencintai wanita yang sama. Karena cinta dan sayang mereka telah habis dengan orang yang pertama.”Kata-kat
Merasa diperhatikan oleh Nahla, Alex menatap balik wanita itu. Sorot matanya yang sedikit menyipit, justru semakin menambah aura ketampanannya.“Silakan dimakan,” ucap Alex, membuyarkan lamunan wanita di depannya.“Terima kasih,” sahut Nahla singkat, lalu mulai menyantap makanan di hadapannya dengan lahap.Dari sudut lorong ruangan, Alex memberi perintah pada salah satu anak buahnya untuk memotret mereka yang tengah makan malam. Tak lama, foto itu pun dikirimkan langsung ke ponsel Zevaran.Usai makan malam, Nahla menghampiri Alex yang sedang bersantai di ruang tengah.“Tuan, maaf saya mengganggu waktu santai Anda,” ucap Nahla dengan nada gugup.“Tidak masalah. Duduklah,” ujar Alex sambil menepuk sofa di sampingnya.Namun, Nahla memilih duduk di sofa lain yang berhadapan dengannya. Dengan usaha keras.ia menyampaikan maksud kedatangannya.“Saya tidak ingin menjadi beban. Jika Tuan memiliki lowongan pekerjaan
“Bang, stop dulu ... Ibu kecapean,” pinta Nahla sambil memapah ibunya yang mulai lemas.“Kita enggak bisa berhenti di sini. Gimana kalau anak buah Tarom nangkap kita? Mereka pasti langsung bunuh kita!” sahut Dawin, mengusap rambutnya dengan frustrasi.“Tapi kasihan Ibu ... Aku juga udah enggak kuat lagi lari. Perut aku masih sakit,” lirih Nahla sambil meremas perutnya. Wajahnya mulai pucat menahan nyeri.“Yaudah, kita nimbrung di sana,” ujar Dawin akhirnya, menunjuk ke arah sebuah tempat yang tampak agak sedikit ramai.Ketiganya duduk di antara keramaian masyarakat yang berlalu-lalang. Lelah akibat berlari di bawah terik matahari membuat tenggorokan mereka terasa kering seperti terbakar. Setiap kali melihat orang yang tengah meminum sesuatu, mereka hanya bisa menatap dengan napas tersengal-sengal.“Ada uang enggak?” tanya Nahla pelan.“Enggak ada, lah!” sahut Dawin dengan nada sewot.Nahla menghela napas lelah. Wajah ketiganya tampak cemberut di tengah hiruk-pikuk kota.“Kalian tingg
“Bagaimana kamu bisa ada di sini?” tanya Zevaran, menatap bingung Jenny yang berada dalam dekapannya.“Ceritanya panjang, aku akan jelaskan nanti ... Tolong, bawa aku pergi dari sini. Aku takut dengan pria itu,” bisik Jenny dengan tubuh terguncang ketakutan.Tanpa banyak tanya, Zevaran segera membawanya pergi menuju sebuah hotel di kota tersebut.Setibanya di sana, Jenny terus memeluk Zevaran. Ia bahkan enggan berpisah sebentar dari pria itu.“Kamu aman di sini, Jenny. Anak buahku berjaga di sekitar hotel, jadi kamu tidak perlu seperti ini terus,” ucap Zevaran, mencoba menenangkan sambil perlahan melepaskan pelukan Jenny. Wanita itu pun perlahan mundur, meski masih terlihat takut.Zevaran menarik napas panjang. Perasaannya campur aduk, antara masa lalu yang kembali dan masa depan yang tengah ia perjuangkan.“Sekarang, ceritakan padaku. Apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Zevaran sembari duduk di sisi Jenny.Jenny mulai bercerita. Katanya, saat pulang dari belanja, ia menemukan seoran
“Kalian tinggal di sini,” tukas Zulaika, sambil membuka pintu apartemen.Tiga pasang mata di belakangnya langsung menyapu seisi ruangan yang tampak asing dan sunyi itu.Dawin melangkah maju. “Kamu siapa? Dan apa tujuanmu membawa kami ke sini?” tanyanya curiga.Zulaika menepis genggaman Dawin, lalu mendorong pria itu menjauh.“Tidak ada perintahku menjawab pertanyaanmu,” sahut wanita itu dingin. “Masuk!” titahnya.“Enggak mau!” tolak Nahla tegas.“Bagus. Kalau kalian tidak nurut, aku tinggal lapor ke bosku. Siap-siap saja nyawa kalian melayang,” ancam Zulaika dengan nada tajam, membuat Santi gemetar ketakutan.“Ayo, kita turuti saja mereka,” bisik Santi sembari menerobos masuk. Ketakutan semakin mencekam, seolah mereka tengah melangkah ke dalam lubang buaya.Zulaika tersenyum sinis sebelum menutup dan mengunci pintu dari luar.“B*jingan! Kita dianggap seperti manusia tak berguna!” dengus Dawin, mengepalkan tangannya penuh amarah. “Awas saja kamu, Pak! Akan kucari dan kau akan membayar
“Nahla, yang sabar ya?” tukas Salma, menggenggam lengan sang menantu. Wanita itu masih menangis sesenggukan.“Mana Zevaran, Ma!” tanya Nahla dengan suara sumbang. Matanya menelisik, mencari sang suami.Salma menggeleng lesu. Tangan halusnya mengusap rambut Nahla.“Tenangkan dirimu, ya. Zevaran sedang keluar sebentar.”Nahla hanya mengangguk. Hatinya begitu hancur kehilangan sosok yang amat ia nantikan dalam hidupnya. Bayang-bayang kebersamaan dengan sang anak pun runtuh dalam satu waktu.“Kenapa hidup Nahla sesial ini, Ma?” racau Nahla. “Menjadi wanita tawanan, dinikahi secara paksa, disiksa, kehilangan anak. Dan banyak lagi! Apa Tuhan tidak menyayangiku?” rutuknya dalam tangis yang menggema.“Enggak, Nahla ... Ini semua kesalahan orang tuamu. Jangan pernah merendahkan dirimu sendiri,” nasihat Salma sambil memeluk sang menantu. Keduanya menangis, mengisi udara dalam ruangan itu.Setiap waktunya, Nahla menunggu kedatangan Zevaran. Berharap pria itu memeluknya dengan hangat.“Ma, Zevara