Setibanya di apartemen, Zevaran begitu perhatian pada Nahla. Dirinya menyiapkan apa pun yang istrinya inginkan, pria itu benar-benar berubah dalam satu waktu menjadi lebih hangat.Namun, kali ini Nahla tidak ingin terkecoh. Baginya Zevaran bisa saja kembali menjadi manusia bertanduk.Selepas membersihkan badan, Zevaran merebahkan tubuhnya di samping Nahla. Memeluk hangat wanita itu dan ikut terlelap begitu saja.Pagi harinya, Nahla bangun lebih awal. Perlahan tangannya menyingkirkan tangan Zevaran yang memeluknya.Pertama Nahla langsung mandi, setelah itu menyiapkan sarapan pagi. Saat tengah menata makanan di atas meja makan. Zevaran muncul dengan senyum merekah.“Pagi!” sapanya, memeluk Nahla dari belakang.“Tuan, tidak berangkat kerja?” tanya Nahla sedikit gugup.“Aku kerja di rumah, demi bisa menjaga dirimu.”“Tidak di jaga juga, tidak apa-apa. Lagipula ini di dalam ruangan,” sahut Nahla.“Ya, aku tahu ..., tapi saat ini lawanku ayahku sendiri. Dia bisa saja melakukan apa pun agar
Cukup jauh sudah wanita itu melangkah. Entah sudah ke berapa kalinya ia berhenti, mencoba menetralkan rasa sakit di perutnya.“Duh ... Kuat-kuat ya, Nak,” lirih Nahla, mengusap perutnya dengan lembut.Matanya bergerak ke sana kemari, memantau sekitar. Jarak menuju rumah sang ibu masih sangat jauh. Entah pukul berapa sekarang, jalan yang sebelumnya ramai mulai terlihat sepi dan lengang.“Aku istirahat di sini aja dulu deh,” gumam Nahla. Ia duduk di teras sebuah rumah orang. Sesekali ia menoleh ke belakang, khawatir sang pemilik rumah tiba-tiba keluar dan mengusirnya.Lambat laun, kelopak matanya mulai terasa berat. Perasaannya mengambang, terbawa kantuk yang tak tertahankan.“Mbak, Mbak!” suara seorang wanita membangunkannya, mengguncang bahunya pelan.“Maaf, Bu ... saya ketiduran. Tadi cuma numpang duduk,” tukas Nahla panik.“Enggak papa. Kalau mau, tidur di dalam aja,” tawar wanita tua itu dengan ramah.Namun Nahla segera menggeleng.“Saya ingin segera pulang ke rumah orang tua saya
“Zevaran, biarkan Mama di sini saja,” pinta Salma lirih, sorot matanya menyiratkan ketakutan yang tak bisa disembunyikan.Zevaran membungkuk, menyentuh lembut pipi ibunya. Tatapannya penuh kasih, seolah hendak menyampaikan bahwa di sisinya, semua akan baik-baik saja.“Enggak, Ma. Harus ikut aku,” ucapnya tenang, berusaha meredam kegelisahan wanita yang melahirkannya.“Tapi kamu tahu bagaimana ayahmu. Dia bisa melakukan apa saja, Zevaran. Asalkan dia memang ....”“Dan Mama juga harus tahu,” potong Zevaran dengan suara tenang. “Aku akan melakukan apa pun. Asalkan aku menang.”Tanpa ragu, Zevaran melajukan mobilnya meninggalkan mansion. Dari dalam istananya, Tarom menyaksikan mereka pergi. Tatapannya menusuk tajam, penuh amarah. Tangan tuanya mengepal keras.“Ikuti mereka,” titahnya dingin lewat telepon.🍁🍁🍁Setelah perjalanan setengah, akhirnya mereka sampai dengan selamat, tanpa dan hambatan.“Kalian tinggal di sini?” tanya Salma ketika menapakkan kaki di apartemen mewah putranya.“
Hari demi hari, sikap Zevaran semakin tidak bisa dipahami. Kadang dia diam seribu bahasa, kadang kemarahannya meledak hanya karena hal sepele. Nahla seperti berjalan di atas pecahan kaca, setiap langkahnya terasa menyakitkan.Sore itu, Nahla tengah sibuk menyiapkan makan malam. Tiba-tiba Zevaran datang memanggilnya."Tidak usah masak, biar aku saja," tukas Zevaran. mengambil alih peralatan masak tersebut."Aku bisa hati-hati melakukannya," imbuh Nahla, menatap sayu suaminya.Zevaran diam saja, pria itu terlihat begitu ahli dalam memasak. Padahal kesehariannya dia sangat sibuk bekerja.Nahla berdiri di samping suaminya. 'Dia ini gagah dan tampan, tapi sayang sikapnya kadang menakutkan," batin Nahla.“Berhenti menatapku, lebih baik kamu duduk sana.” “Mas, kamu begitu perhatian. Terima kasih,” seru Nahla, mengelus lengan pria itu. Zevaran melirik sesaat. Sambil menjauhkan tangan Nahla.“Aku begini, karena khawatir sama anakku. Bukan sama kamu,” cetusnya.“Mas, kenapa mudah sekali sih be
Selepas makan malam bersama, Zevaran memilih duduk di ruang tengah, menatap layar televisi yang menayangkan pertandingan sepak bola. Namun, perhatiannya tak sepenuhnya pada permainan itu. Sesekali, matanya melirik ke arah istrinya yang tengah sibuk membereskan rumah. Gerak Nahla terlihat rajin, tapi matanya tampak begitu lelah.Namun, Zevaran tidak terlalu peduli. Tiba-tiba, wajah Nahla memucat. Tubuhnya limbung, lalu.“Hoek, hoek!”Nahla berlari ke wastafel, memuntahkan seluruh isi perutnya. Zevaran sontak bangkit, langkahnya sigap menghampiri.“Hoek!”“Kenapa kamu?” tanyanya, nada suara penuh tekanan, pandangannya penuh selidik.Setelah membasuh wajah dan mulutnya, Nahla berbalik dengan tatapan lelah. Mata mereka bertemu dalam kecanggungan.“Enggak tau, tiba-tiba aja pusing. Bawannya mual terus,” ucap Nahla lirih. Sambil mengusap tengkuknya.Zevaran meletakkan punggung tangannya di kening sang istri. Hangatnya normal saja.“Kamu enggak merasa demam?”“Enggak,” sahut Nahla cepat.“
“Sebagai asisten, kamu harus ikut ke mana pun aku pergi. Kamu harus bawa semua barang yang aku perlukan, mempersiapkan semuanya. Jangan sampai terlendor. Paham!” tegasnya, yang padahal dirinya bertujuan agar bisa melindungi Nahla dari gangguan sang ayah, saat ini Zevaran belum tahu sepenuhnya apa tujuan sang ayah terus mengganggu Nahla. Apakah hanya karena memang suka menyakiti Nahla, atau memiliki tujuan lain.“Baik, aku akan kulakukan semuanya,” lirih Nahla. Sambil bangkit dari duduknya, tak lama pintu terbuka seorang wanita datang mengantar berkas. Seketika pandangannya bertumbuk pada Nahla yang berdiri begitu dekat dengan tuannya.“Maaf, Tuan. Saya ingin mengantar laporan pajak mingguan,” tukas wanita itu.Zevaran meraih berkas tersebut, lalu menyerahkan pada Nahla.“Fotocopy dan arsip, pisahkan yang asli dengan copian.”Nahla mengangguk langsung mengerjakan perintah tersebut.“Bagaimana dengan laporan bulan kemarin, tidak ada masuk ke aku?” tanya Zevaran dengan sorot mata datar.