"Apa maksudmu!" Renvier langsung mencengkram kerah kemeja Zein dan sedikit mendorongnya, menciptakan pekikan dari Vannia.
"Renvier, hentikan!"
Renvier tak peduli dengan teriakan Vannia. Matanya berapi-api menatap Zein yang justru berekspresi kelewat santai sekali. "Kau bilang apa tadi? Selingkuhan pertama istriku? Berani kau mengatakan hal itu di depan suaminya sendiri?!" hardik Renvier.
Zein tetap tenang dan tak menjauhkan tangan Renvier yang mencengkram kemejanya. "Mengapa kau begitu marah? Kau bahkan tak hanya menyelingkuhi Vannia, tapi kau menikahi sahabatnya. Apakah tak ada kesadaran dari dirimu sendiri betapa kejamnya itu?"
Renvier merasa tertampar dengan kata-kata itu. Cengkramannya tak sekuat awalnya. Maka dengan mudah Zein menjauhkan dirinya dari Renvier.
"Vannia, jika kau sudah selesai bicara dengan pria ini, apa kau bersedia makan siang bersamak?" tanya Zein berbicara dengan nada lembut.
Vannia melirik ke arah Renvier yang juga menatapnya. Senyuman miring Vannia terukir, lalu kembali menoleh pada Zein dengan senyum manisnya.
"Tentu saja. Ayo makan siang bersama! Ini akan menjadi moment makan siang pertama kita setelah lama tak bertemu," sahut Vannia senang.
"Manis sekali. Baiklah, aku akan menunggumu di lobby nanti. Sampai jumpa, Vannia," kata Zein melambaikan tangannya sambil berjalan mundur.
Vannia melambaikan tangannya senang. "Sampai jumpa, Zein!"
Renvier berbalik badan, lalu berpegangan dengan pembatas. "Kau ingin balas dendam denganku, Vannia?" tanyanya tanpa menoleh pada Vannia yang berdiri di belakangnya.
Vannia berjalan menuju pembatas juga, lalu berdiri di sana dengan jarak sekitar satu meter.
"Aku tak melakukannya. Tanpa merencanakan pembalasan dendam pun kalian berdua akan merasa jikalau aku sedang balas dendam," jawab Vannia. Ia lalu menoleh pada Renveir yang menoleh juga padanya. "Ingat satu hal ini, Renvier. Pernikahanmu dengan Anya adalah gerbang terbesarku untuk bebas dalam kekangan cintamu. Oleh sebab itu, kau tak usah heran dengan apa yang terjadi padaku. Seperti kau yang menikah lagi seakan-akan kau pria bujangan, aku juga akan berteman dengan siapa saja seakan aku masih sendiri."
Renvier malah tertawa singkat mendengarnya. "Seorang Vannia ingin membuka hati untuk orang lain? Ayolah, aku tahu hatimu seakan tak mempunyai rongga untuk bernapas karena penuh akan rasa cintamu padaku. Kau tak akan bisa melakukannya, Vannia. Kau terlalu mencintaiku."
"Benarkah? Itu yang kau pikir tentang diriku?" Vannia bersedekap sambil berjalan santai menuju Renvier. "Kalau begitu, mari menganggap tak saling memiliki. Lihat seberapa jauh aku pergi darimu dan seberapa jauh kau akan memelihara sifat munafikmu. Kau mungkin hanya beranggapan aku yang terlalu cinta, padahal kau juga sama cintanya," cetusnya.
Renvier mengerang kesal begitu Vannia telah berlalu pergi di hadapannya. Renvier menatap geram Vannia yang menuruni tangga dengan anggun.
"Bagaimana bisa aku kalah dengan Vannia. Tidak. Aku tidak akan kalah dengan Vannia. Dialah yang paling mencintaiku," monolog Renvier.
Siang sekitar pukul dua belas, Zein dan Vannia melakukan lunch di sebuah restoran mewah yang terletak di pusat kota.
"Kau memesan udang?"
"Ya tentu tidak, Vannia. Ini untukmu. Aku bisa mati jika memakan makhluk laut ini," gurau Zein.
Vannia tertawa. "Kau bisa saja. Jangan sampai kau lengah mengambil udang ini, okay? Aku tak sanggup melihatmu seperti kejadian lima belas tahun yang lalu."
"Ah, kau benar. Waktu itu, kita main di belakang rumahmu. Kau menjadi koki dan aku menjadi pelanggan. Kau menyediakan udang yang berbalut tepung. Aku sampai tak mengenalinya dan langsung memakannya," kata Zein antusias.
"Dan setelah itu kau langsung bereaksi seperti orang yang hampir mati. Aku benar-benar mengira bahwa aku akan membuatmu tiada hari itu," sambung Vannia.
Mereka tertawa bersama di sela obrolan itu, hingga tak menyadari kedatangan Renvier dan Anya di sekitar mereka. Tak terduga, Anya menarik lengan Renvier untuk menempati meja di samping Vannia dan Zein.
"Sayang, kau ingin makan apa?" tanya Anya sengaja menyaringkan suaranya untuk mengambil atensi Vannia.
Betul saja, Vannia langsung menoleh. Raut wajahnya yang tadi ceria, mendadak menjadi sendu. Hal tersebut tak luput dari penglihatan Zein.
"Apapun yang istriku ingin makan, maka aku akan memakannya," sahut Renvier tersenyum manis pada Anya.
Anya membelai wajah Renvier dengan penuh sayang. "Aku tau kau akan mengatakan hal itu."
"Pesanlah," sahut Renvier tanpa melunturkan senyumannya.
Anya pun memesan apa yang ia mau. Pada saat itu, Renvier menyempatkan dirinya melirik ke meja samping. Ia tersenyum miring melihat Vannia yang menoleh pada mereka.
"Woah. Vannia, kau mendengarnya?" Tiba-tiba Zein mengatakan hal itu dengan ekspresi dibuat terkejut.
"Apa?" Vannia tentu saja ikut panik.
"Aku mendengar suara udang yang meronta meminta segera dimakan oleh wanita cantik di hadapanya," sahut Zein seraya membentuk senyuman lebar.
Vannia terkikik mendengar lelucon itu. "Kau ini ada-ada saja. Baiklah. Aku akan memakanmu, Udang yang lezat," ucapnya menusuk udang itu dengan garpu.
"Kau mengotori pipimu," kata Zein. Tangannya terulur mengelus pipi lembut Vannia. Vannia tersenyum merasakan sentuhan lembut itu.
Renvier sudah kepalang cemburu. Ia mengeraskan rahangnya sambil menggenggam kepalan tangannya sendiri. Anya yang menyadari perilaku Renvier, langsung mengambil tindakan.
"Sayang, aku telah memikirkan ini semalaman. Aku ingin segera memiliki anak darimu. Bukankah ibu pasti akan semakin menyayangiku? Secara ... kau tak mendapatkan keturunan di pernikahanmu yang pertama satu tahun yang lalu," ucap Anya dengan manjanya.
Jelas itu sindiran untuknya, Vannia sangat menyadari hal itu. Namun, wanita itu mencoba untuk tetap tegar dan tak goyah.
"Tentu kita akan mendapatkanya segera, Anya. Kau itu wanita yang subur," ucap Renvier.
"Mendapatkan keturunan dari orang yang aku cintai adalah impianku selama ini. Aku tak sabar ingin memamerkan bayiku pada sahabatku. Dia orang pertama yang sangat antusias melihat keturunanku," kata Anya sambil melirik Vannia.
Tatapan Anya dan Vannia saling bertubrukan. Vannia menatap Anya tajam dengan matanya yang berkaca-kaca, sedangkan Anya tersenyum penuh kemenangan.
"Bagaimana, Vannia? Apakah ucapanku tepat sasaran? Kau pernah berkata ingin melihat bayiku. Dan ternyata, aku akan mendapatkan keturunanku dari suamimu. Ini sangat membanggakan," batin Anya.
Zein tiba-tiba mengangkat gelas Vannia, lalu mengarahkan sedotan pada bibir wanita itu. "Minumlah," pintanya.
Vannia yang bingung pun menuruti apa yang Zein katakan.
"Aku akan membawamu jauh-jauh dari luka sekecil apapun itu. So, will you follow me, Princess?"
Vannia tersipu dibuatnya. "Baiklah. I wanna following you, gentleman."
Renvier melongo melihat Vannia pergi bersama Zein dari restoran itu. Padahal niatnya ingin menguji ketahanan Vannia dengan bermesraan bersama Anya.
Kurang ajar pria itu. Dia semakin gencar mendekati Vannia. Tak menutup kemungkinan dia bisa mengambil hati Vannia yang polos. Aku tak akan membiarkan hal itu terjadi. Bagaimanapun aku masih suami Vannia yang berhak atas Vannia!
Anya berdecak melihat Renvier yang masih memandangi Vannia yang sudah berada di luar restoran bersama Zein. Melihat kepalan tangan Renvier, sudah pasti suaminya itu cemburu dengan kedekatan Vannia dengan Zein.
Aku tak akan membiarkan Renvier cemburu. Aku harus membuat Renvier membenci Vannia. Harus.
Anya masuk ke dalam kamar. Tampak Renvier masih tertidur karena pengaruh obat itu. Namun, pria itu beberapa kali melakukan pergerakan. Anya duduk di samping tubuh suaminya seraya mengeluarkan sebuah suntikan dan obat."Sepertinya obatnya akan hilang khasiat. Aku harus menyuntiknya lagi agar dia kembali tidur hingga besok. Pernikahan Vannia dan Zein tetap harus terjadi. Maaf ya, Sayang. Tapi aku harus melakukan ini demi cinta kita tetap terjadi, Renvier."Anya pun menyuntikan obat itu ke lengan Renier. Pria itu mengeryit dalam tidurnya. Anya benar-benar khawatir Renvier akan terbangun oleh rasa sakit itu. Beruntungnya tidak, ia bisa melakukannya dengan baik. Renvier tak terbangun sama sekali."Berhasil. Selamat tidur nyanyak, Sayang," ucap Anya membelai pipi Renvier, sebelum pergi dari kamar tersebut.Di sisi lain, Vannia dengan telaten menyuapi Zein. Pria itu tampak lebih baik dari sebelumnya. Bahkan saat ini Zein sudah dalam keadaan duduk. Tubuhnya tak sekaku dan selemas kemarin. Rau
Zein akhirnya sadar juga. Di ruangan itu hanya ada Vannia yang masih setia menjaganya. Kedua orang tua Zein sudah kembali ke kantor, begitu juga dengan orang tua Vannia. Gavano sudah aman bersama baby sitter di rumah Vannia, jadi Vannia bisa fokus pada Zein hari ini. Melihat Zein membuka matanya, membut Vannia yang sedari tadi menggenggam tangan Zein pun langsung berdiri dengan senyuman senang."Zein, kau sudah sadar? Hei, lihat aku di sini. Kau baik-baik saja, bukan?"Zein perlahan menoleh pada Vannia. Senyuman tipisnya pun terukir. Membuat resah di hati Vannia perlahan menguap ke udara. Ia senang Zein bisa merespons dirinya dengan baik."A-aku ...." Zein terlihat susah menggerakan mulutnya. "Ak-aku tak t-tahu, Vannia. Aku merasa k-kaku dan lemas."Vannia kembali duduk sambil menggenggam tangan Zein dengan raut wajah kembali sendu. "Zein, kau jangan khawatir soal itu. Dokter mengatakan hal demikian. Kau akan lemas saat terbangun nanti. Ternyata benar. Dokter mengatakan cairan obat pe
Renvier membanting penutup wajah kain itu ke lantai ruangan di kantornya. Ternyata pria yang mengawasi Zein dan Vannia itu adalah dirinya. Tentu saja orang yang mencelakai Zein juga dirinya."Sial! Obat itu hanya masuk ke tubuhnya sedikit saja. Ditambah ada seseorang yang membawanya ke rumah sakit. Siapa dia? Bukankah aku telah membayar beberapa pendekor di sana agar tak membantu Zein sama sekali. Mengapa tiba-tiba ada orang yang mmbantu mereka?"Renvier duduk di kursinya dengan raut wajah yang sangat kusut sekali, nyaris frustrasi. Aksi nekatnya benar-benar tak dibayar kontan. Kepuasaannya akan rencana itu tak ada. Walau melihat Zein terkulai lemas, tetapi Renvier tak puas sampai di situ tentang pengaruh obat yang tak sesuai dengan dosisnya."Jika dosis yang aku berikan padanya hanya sedikit, kemungkinan dokter akan menyembuhkannya dengan cepat. Berarti aku harus membuat rencana baru lagi untuk menggagalkan pernikahan itu," gumam Renvier seraya berpikir keras untuk itu."Tapi sebelum
Persiapan pernikahan sudah benar-benar nyaris sempurna. Mereka tak menyewa gedung, sebab gedung pernikahan mereka milik keluarga Vannia. Dua hari sebelum hari pernikahan gedung itu mulai didekorasi. Konsep yang digunakan benar-benar seperti di negeri dongeng. Vannia akan menjadi cinderella dan Zein menjadi pangerannya.Zein membukakan pintu mobil untuk Vannia. Vannia pun keluar dari mobil dengan perlahan. Digendongannya ada Gevan berbalut pakaian yang hangat."Lihatlah matanya. Dia membuka mata menatap langit. Beruntungnya langit tak begitu cerah, jadi bayi kita tak merasa silau," ucap Zein.Vannia tersenyum manis melihat mata putranya yang tampan. Benar kata Zein, mata Gevan sedikit terbuka. "Dia sangat manis, Zein. Ini pertama kalinya dia melihat alam bebas seperti ini. Dia pasti sangat senang.""Tentu. Ayo kita masuk! Katanya dekorasi gedung pernikahan kita hampir selesai. Tapi tetap saja, kita harus memperhatikan keselamatan Gevano.""Iya, Zein. Kita akan menjaga Gevano sama-sama.
Vannia keluar dari ruang ganti dengan mengenakan gaun pengantin berwarna putih yang sangat cantik. Gaun itu sangat menyatu dengan kulitnya yang putih bersedih. Zein yang sedari tadi duduk di sofa dengan setelan jas hitam, takjub melihat begitu cantiknya Vannia. Ia tersenyum lebar sambil menghampiri Vannia yang sedang menatap dirinya di cermin."Bidadari dari mana ini? Seingatku aku membawa calon istriku tadi ke sini, mengapa yang keluar dari bilik itu malah bidadari," goda Zein.Vannia tersenyum malu, ia mencubit perut Zein hingga pria itu memekik. "Apa kau belajar menggombal sekarang, Tuan Zein?""Aduhh Vannia cubitanmu ..." Zein mengelus perutnya yang ngilu, tetapi setelah tersenyum pada wanita di hadapannya. "Tanpa belajar pun aku akan terbiasa menggombalimu, karena kau memang pantas untuk aku gombali. Kau sangat cantik. Benar-benar cantik."Giliran Vannia yang bertindak, ia mengalungkan kedua tangannya pada leher Zein sambil menatap penuh pria itu. "Kau juga sangat tampan, Zein. A
Sudah beberapa hari ini sikap Renvier pada Anya terkesan sangat dingin. Walau Anya sudah berusana untuk melakukan yang terbaik dengan membuatkan susu untuk suaminya."Sayang, ini susu sereal untukmu. Kau menyukainya, bukan?" ucap Anya tersenyum manis.Renvier meneguk air putih setelah menjejal sisa roti ke mulutmnya. Pria itu tampak acuh tak acuh, meraih tisu dan mengelap mulutnya dengan cepat."Aku ada meeting penting pagi ini. Aku snagat terburu-buru. Aku pergi dulu," ucap Renvier beranjak dari duduknya."Renvier, minum susu ini dulu," ucap Anya menyerahkan segelas susu buatannya."Aku sedang tak ingin susu, Anya. Ibu, aku pergi dulu," ucap Renvier seraya melangkah pergi dari sana dengan cepat.Anya mencengkram gelas susu di tangannya. Matanya berkaca-kaca dengan perasaan yang terluka. Marisa yang menyaksikan semua itu merasa iba dengan menantunya."Anya, ada apa dengan kalian? Ibu lihat akhir-akhir ini kalian seperti ada jarak. Beberapa kali juga Ibu mendengar kau dan Renvier berde