Vannia menatap ikan nemo yang berada di akuarium bulat berukuran kecil. Ikan itu adalah peliharaan Zein yang bahkan selalu berada di ruangan pribadi Zein di kantor perusahaannya.
"Kau menyukai ikan kecil ini, Zein?"
Zein yang sedang sibuk membenahi berkas di hadapannya pun menoleh pada Vannia, lantas tersenyum.
"Dia teman berhargaku selain dirimu," sahutnya lembut.
Vannia menoleh pada Zein. "Benarkah?" Wanita itu pun berjalan mendekati Zein hingga duduk di hadapan pria itu.
"Aku sudah memelihara ikan sedari kecil. Kalau mati, ibuku akan membelikannya lagi untukku," ungkap Zein.
"Ah, ibumu. Aku sudah lama tidak bertemu dengannya. Apakah dia masih mengenaliku?"
"Ayolah. Ibuku bahkan lebih mengenal dirimu. Pertama kali tahu kabar tentang pernikahanmu adalah ibuku. Harapannya ingin mempunyai menantu dirimu lenyap seketika. Ibuku bersedih saat itu." Zein tertawa malu menceritakannya.
Vannia tersenyum tipis. Ia paham akan hal itu. Dulu kedua orang tuanya juga berencana menjodohkan dirinya dengan Zein. Namun, cintanya terlanjur berlabuh pada Renvier lebih dulu.
"Zein, aku rasa aku harus pergi sekarang. Aku ingin berkunjung ke butik ibuku. Terima kasih untuk makan siangnya dan ... perhatianmu. Bye, Zein."
"Bye Vannia. Aku menanti pertemuan kita selanjutnya."
Vannia sempat menghentikan langkahnya begitu mendengar ucapan Zein tersebut. Lalu melanjutkan langkah itu kembali sambil memantapkan diri untuk keluar dari sana.
Saat menuju lobby, seseorang meneriaki nama Vannia cukup nyaring.
"Vannia!"
Vannia menoleh, mendapati sosok sabahatnya semasa kuliah dulu. Namanya Chella Austie. Wanita dengan rambut pirang itu langsung berlari menghampiri Vannia.
"Ya Tuhan, aku menemukanmu di sini!" Chella memeluk Vannia dengan perasaan sangat senang.
"Ini sungguh di luar dugaanku, Chel. Kau juga ada di kota ini sekarang," ucap Vannia tak kalah senang.
"Aku ke sini karena permintaan sahabat masa kecilmu," ucap Chella bersedekap dengan bibir yang mencebik.
"Sahabat masa kecil? Z-Zein?" tebak Vannia tak yakin.
"Ya siapa lagi jikalau bukan pria berbahu lebar itu," sahut Chella yang mengundang tawa Vannia.
"Kau masih sebal padanya? Ayolah kejadiannya sudah sangat lama."
"Tetap saja aku masih mengingat kejadian ketika dia menggagalkan rencana kencanku dengan Gio. Ck, menyebalkan!" keluh Chella. "Oh iya, aku baru tau tadi pagi. Saat aku melihat akun sosial media Anya ... aku—"
Vannia mengembuskan napas, lalu berbalik pergi dengan langkah gontai. Chella langsung mensejajari langkah Vannia.
"Jadi benar Anya merebut suamimu? Gosip itu benar?"
"Gosip?" Vannia merasa heran.
"Kau tak tahu? Aku mendapatkan informasi dari group semasa SMA. Temannya Anya yang bernama Selly mengatakan bahwa Anya menikah dengan suamimu. Seketika member group itu menjadi heboh. Y-ya mereka tak menyangka jikalau kalian yang sangat dekat dan selalu berbagi ketika masa sekolah, sekarang berbagi suami juga," tutur Chella mengakhiri ucapannya dengan cengiran takut.
Vannia mengepalkan tangannya erat-erat. Sudah pasti Anya sengaja melakukan hal ini untuk memperlihatkan bahwa Vannia kalah sekarang.
"Anya sungguh keterlaluan. Tak cukupkah ia hanya mengambil Renvier dariku?"
Chella membulatkan matanya. "Jadi itu benar? Astaga, Vannia—kau sekarang berbagi suami dengan Anya?"
Chella meneguk salivanya susah payah ketika Vannia meliriknya cukup tajam.
"Aku tak sudi berbagi apapun lagi dengannya. Aku memang membiarkan suamiku menikahinya, tetapi bukan untuk membuatnya bahagia. Tapi sebaliknya," cetus Vannia dengan tampang dingin.
Chella mengangguk setuju. "Hubungi aku jika kau butuh anggota lebih untuk menindas orang tak tahu diri seperti dia. Aku akan selalu ada untukmu."
"Kau tak kembali ke Jerman?"
"Aku akan tinggal di sini. Zein memberikanku semua fasilitas hidup yang nyaman di sini agar aku bisa menjadi teman berbagimu. Hei, liriklah Zein sekali saja. Buang saja pria tak berguna seperti Renvier."
"Apa yang kau bicarakan? Zein itu sangat baik padaku karena dia menganggapku tak hanya sebagai sahabat saja, tetapi aku adalah adik baginya. Dulu ketika kami kecil, dia sering sekali memintaku untuk menjadi adiknya," sahut Vannia lalu tersenyum bangga. Sementara Chella merotasikan matanya begitu mendengar ucapan polos Vannia.
"Baiklah, Vannia. Aku rasa sudah saatnya kita berpisah. Aku telah memesan taksi untuk mengantarkanku ke rumah yang disediakan oleh Zein," ucap Chella begitu mereka sudah di luar gedung perusahaan tersebut.
"Kirimi aku alamat rumahmu. Aku akan berkunjung sesekali."
Chella memberikan ponselnya. "Simpan dulu nomor teleponmu. Agar aku bisa menghubungimu nanti."
"Baiklah." Vannia dengan senang hati menyimpan nomor teleponnya di poncel Chella.
"Taksiku sudah datang. Dah, Vannia!" Chella segera pergi setelah mengambil kembali ponselnya.
"Dah, Chella. Sampai jumpa!"
***
Renvier memasuki kamarnya yang sebelumnya ia tempati bersama Vannia. Renvier sengaja pulang lebih cepat agar tak kedapatan Anya memasuki kamar tersebut.
"Mengapa aku begitu marah ketika melihatnya bersama yang lain? Padahal aku meninggalkan dirinya dengan mudah bersama sahabatnya sendiri. Ada apa denganku?"
Renvier duduk termenung di sisi kasur. Renvier kembali teringat ketika Vannia menangis di hadapannya begitu Vannia tahu Renvier akan menikah dengan Anya.
Tiba-tiba Renvier mendengar ada langkah kaki seseorang yang menggunakan selop menuju kamar itu. Buru-buru Renvier masuk ke bawah ranjang untuk bersembunyi.
"Ah, syukurlah masih tak ada orang," ucap Vannia yang masuk dalam kamar dan menutup rapat pintu.
"Vania? Untuk apa dia kembali ke kamar ini?" batin Renvier.
Vannia membuka nakas dengan terburu-buru. Ia mencari sesuatu, tanpa menyadari Renvier mengawasinya dari bawah ranjang.
"Ketemu!"
Vannia meraih boneka marmut sangat kecil berwarna merah muda dari nakas. Renvier terkejut melihatnya.
"Vivi, aku takut sekali kalau kau dibuang oleh Anya. Beruntunglah aku bisa menemukanmu lebih dulu. Meski sekarang aku membenci orang yang memberikanmu padaku, tapi aku tak bisa melupakan kenangan indah ketika kau sampai di tanganku," monolog Vannia sambil memeluk boneka kecil itu.
Vannia tersenyum mengingat kenangan indah dulu, di mana ia dan Renvier merayakan hari ulang tahunnya di belakang rumah.
"Ini hadiah pertama yang diberikan Renvier padaku di hari ulang tahunku. Aku merasa ... aku adalah satu-satunya wanita yang paling berharga di hidupnya." Air mata Vannia meluruh tanpa bisa dicegah. "Sayangnya, hanya pada saat itu saja," lirihnya.
Vannia buru-buru menghapus air matanya. Ia langsung bangkit dari sana menuju lemari. Vannia mengambil beberapa barang lagi sebelum keluar dari kamar itu.
Renvier pun keluar dari kolong ranjang dengan tampang sendu. "Apakah aku sudah sangat keterlaluan pada Vannia? Aku ... aku telah melukai hatinya dengan sangat kejam padahal dia begitu mencintaiku hingga hari ini."
Renvier segera keluar kamar berniat untuk menyusul Vannia. Namun, ia begitu terkejut mendapati ibunya sedang memergoki Vannia di lantai bawah.
"Untuk apa kau menginjakkan kakimu pada rumah ini? Bukankah kau memutuskan untuk pergi? Oh, apa kau belum percaya jikalau suamimu mengkhianatimu?" Marisa bersuara dengan ketus.
Vannia terkekeh remeh. "Ibu, jangan terlalu percaya diri. Dulu anakmu memang berlian di mataku, tetapi sekarang hanya sebongkah batu kerikil. Aku ke sini untuk mengambil barang pribadi yang teramat penting untukku."
"Baguslah kalau kau sadar. Sesegera mungkin aku akan meminta putraku untuk menceraikanmu!"
Vannia mengepalkan kedua tangannya juga Renvier yang terkejut di atas sana. Renvier ingin bersuara, tetapi nyalinya tak kuat melakukan hal itu.
"Silakan. Aku tunggu berkasnya sampai di istanaku," sahut Vannia segera melenggang pergi.
Apakah Vannia sungguh akan bercerai dengan Renvier? Lantas, apakah Renvier sendiri rela melepaskan Vannia yang masih ia cintai?
Anya masuk ke dalam kamar. Tampak Renvier masih tertidur karena pengaruh obat itu. Namun, pria itu beberapa kali melakukan pergerakan. Anya duduk di samping tubuh suaminya seraya mengeluarkan sebuah suntikan dan obat."Sepertinya obatnya akan hilang khasiat. Aku harus menyuntiknya lagi agar dia kembali tidur hingga besok. Pernikahan Vannia dan Zein tetap harus terjadi. Maaf ya, Sayang. Tapi aku harus melakukan ini demi cinta kita tetap terjadi, Renvier."Anya pun menyuntikan obat itu ke lengan Renier. Pria itu mengeryit dalam tidurnya. Anya benar-benar khawatir Renvier akan terbangun oleh rasa sakit itu. Beruntungnya tidak, ia bisa melakukannya dengan baik. Renvier tak terbangun sama sekali."Berhasil. Selamat tidur nyanyak, Sayang," ucap Anya membelai pipi Renvier, sebelum pergi dari kamar tersebut.Di sisi lain, Vannia dengan telaten menyuapi Zein. Pria itu tampak lebih baik dari sebelumnya. Bahkan saat ini Zein sudah dalam keadaan duduk. Tubuhnya tak sekaku dan selemas kemarin. Rau
Zein akhirnya sadar juga. Di ruangan itu hanya ada Vannia yang masih setia menjaganya. Kedua orang tua Zein sudah kembali ke kantor, begitu juga dengan orang tua Vannia. Gavano sudah aman bersama baby sitter di rumah Vannia, jadi Vannia bisa fokus pada Zein hari ini. Melihat Zein membuka matanya, membut Vannia yang sedari tadi menggenggam tangan Zein pun langsung berdiri dengan senyuman senang."Zein, kau sudah sadar? Hei, lihat aku di sini. Kau baik-baik saja, bukan?"Zein perlahan menoleh pada Vannia. Senyuman tipisnya pun terukir. Membuat resah di hati Vannia perlahan menguap ke udara. Ia senang Zein bisa merespons dirinya dengan baik."A-aku ...." Zein terlihat susah menggerakan mulutnya. "Ak-aku tak t-tahu, Vannia. Aku merasa k-kaku dan lemas."Vannia kembali duduk sambil menggenggam tangan Zein dengan raut wajah kembali sendu. "Zein, kau jangan khawatir soal itu. Dokter mengatakan hal demikian. Kau akan lemas saat terbangun nanti. Ternyata benar. Dokter mengatakan cairan obat pe
Renvier membanting penutup wajah kain itu ke lantai ruangan di kantornya. Ternyata pria yang mengawasi Zein dan Vannia itu adalah dirinya. Tentu saja orang yang mencelakai Zein juga dirinya."Sial! Obat itu hanya masuk ke tubuhnya sedikit saja. Ditambah ada seseorang yang membawanya ke rumah sakit. Siapa dia? Bukankah aku telah membayar beberapa pendekor di sana agar tak membantu Zein sama sekali. Mengapa tiba-tiba ada orang yang mmbantu mereka?"Renvier duduk di kursinya dengan raut wajah yang sangat kusut sekali, nyaris frustrasi. Aksi nekatnya benar-benar tak dibayar kontan. Kepuasaannya akan rencana itu tak ada. Walau melihat Zein terkulai lemas, tetapi Renvier tak puas sampai di situ tentang pengaruh obat yang tak sesuai dengan dosisnya."Jika dosis yang aku berikan padanya hanya sedikit, kemungkinan dokter akan menyembuhkannya dengan cepat. Berarti aku harus membuat rencana baru lagi untuk menggagalkan pernikahan itu," gumam Renvier seraya berpikir keras untuk itu."Tapi sebelum
Persiapan pernikahan sudah benar-benar nyaris sempurna. Mereka tak menyewa gedung, sebab gedung pernikahan mereka milik keluarga Vannia. Dua hari sebelum hari pernikahan gedung itu mulai didekorasi. Konsep yang digunakan benar-benar seperti di negeri dongeng. Vannia akan menjadi cinderella dan Zein menjadi pangerannya.Zein membukakan pintu mobil untuk Vannia. Vannia pun keluar dari mobil dengan perlahan. Digendongannya ada Gevan berbalut pakaian yang hangat."Lihatlah matanya. Dia membuka mata menatap langit. Beruntungnya langit tak begitu cerah, jadi bayi kita tak merasa silau," ucap Zein.Vannia tersenyum manis melihat mata putranya yang tampan. Benar kata Zein, mata Gevan sedikit terbuka. "Dia sangat manis, Zein. Ini pertama kalinya dia melihat alam bebas seperti ini. Dia pasti sangat senang.""Tentu. Ayo kita masuk! Katanya dekorasi gedung pernikahan kita hampir selesai. Tapi tetap saja, kita harus memperhatikan keselamatan Gevano.""Iya, Zein. Kita akan menjaga Gevano sama-sama.
Vannia keluar dari ruang ganti dengan mengenakan gaun pengantin berwarna putih yang sangat cantik. Gaun itu sangat menyatu dengan kulitnya yang putih bersedih. Zein yang sedari tadi duduk di sofa dengan setelan jas hitam, takjub melihat begitu cantiknya Vannia. Ia tersenyum lebar sambil menghampiri Vannia yang sedang menatap dirinya di cermin."Bidadari dari mana ini? Seingatku aku membawa calon istriku tadi ke sini, mengapa yang keluar dari bilik itu malah bidadari," goda Zein.Vannia tersenyum malu, ia mencubit perut Zein hingga pria itu memekik. "Apa kau belajar menggombal sekarang, Tuan Zein?""Aduhh Vannia cubitanmu ..." Zein mengelus perutnya yang ngilu, tetapi setelah tersenyum pada wanita di hadapannya. "Tanpa belajar pun aku akan terbiasa menggombalimu, karena kau memang pantas untuk aku gombali. Kau sangat cantik. Benar-benar cantik."Giliran Vannia yang bertindak, ia mengalungkan kedua tangannya pada leher Zein sambil menatap penuh pria itu. "Kau juga sangat tampan, Zein. A
Sudah beberapa hari ini sikap Renvier pada Anya terkesan sangat dingin. Walau Anya sudah berusana untuk melakukan yang terbaik dengan membuatkan susu untuk suaminya."Sayang, ini susu sereal untukmu. Kau menyukainya, bukan?" ucap Anya tersenyum manis.Renvier meneguk air putih setelah menjejal sisa roti ke mulutmnya. Pria itu tampak acuh tak acuh, meraih tisu dan mengelap mulutnya dengan cepat."Aku ada meeting penting pagi ini. Aku snagat terburu-buru. Aku pergi dulu," ucap Renvier beranjak dari duduknya."Renvier, minum susu ini dulu," ucap Anya menyerahkan segelas susu buatannya."Aku sedang tak ingin susu, Anya. Ibu, aku pergi dulu," ucap Renvier seraya melangkah pergi dari sana dengan cepat.Anya mencengkram gelas susu di tangannya. Matanya berkaca-kaca dengan perasaan yang terluka. Marisa yang menyaksikan semua itu merasa iba dengan menantunya."Anya, ada apa dengan kalian? Ibu lihat akhir-akhir ini kalian seperti ada jarak. Beberapa kali juga Ibu mendengar kau dan Renvier berde