Vannia berangkat ke sebuah gedung yang akan dijadikan sebuah tempat resort yang multifungsi sebagai tempat pameran juga. Bisnis inilah yang menjadikan perusahaan yang ia kelola saat ini bekerja sama dengan perusahaan Renvier.
Sesampai di gedung besar itu, Vannia melangkahkan kaki jenjangnya masuk ke dalamnya. Ia langsung diberi hormat oleh beberapa pekerja yang berpapasan dengannya.
"Vannia," panggil seseorang dari arah belakang.
Vannia pun langsung menoleh, mendapati sosok Renvier berdiri di belakangnya. Vannia mencoba bersikap biasa-biasa saja, kendati jantungnya berdetak dengan cepat lantaran harus kembali berdekatan dengan Renvier.
"O-oh, Renvier. Kau sudah datang rupanya."
Renvier mengangguk sambil tersenyum tipis. "Mari," ajaknya mempersilakan. Mereka pun berjalan berdampingan untuk melihat-lihat isi gedung tersebut.
Suasana canggung itu sangat kentara terasa. Sesekali Vannia melirik ke arah Renvier yang juga melirik ke arahnya. Aduh, mengapa mereka seperti orang yang sedang PDKT? Vannia berdecak dalam hati. Rencananya ingin bersikap dingin pada Renvier dan tentunya lebih terlihat kuat di hadapan pria itu.
"Bagaimana konsep yang telah mulai ditata menurutmu? Apakah sesuai dengan yang kau harapkan?" tanya Vannia memulai obrolan.
"A-ah iya. Jika aku lihat dari awal penataan ruangan, ini ... sepertinya sangat cocok dengan konsep yang telah kita sepakati, Vannia. Aku suka dengan konsep ini. Apalagi model gedung ini sangat bagus, hingga penataan ruangan menjadi tambah aesthethic,'' sahut Renvier.
"Kurasa juga begitu."
Mereka Berdiri di depan pembatas lantai atas sambil melihat ke arah bawah. Renvier menoleh pada Vannia yang tampak menatap lurus ke arah depan dengan ekspresi yang menenangkan. Vannia terlihat begitu cantik, anggun, dan berwibawa.
"Vannia," panggil Renvier lembut.
"Ada apa, Pak Renvier?" tanya Vannia seraya menoleh pada Renvier.
"A-aku ... eumm ... ini mungkin di luar dari pembahasan kerja sama kita. Tapi ... aku rasa aku harus membahas ini segera. Ini tentang hubungan kita," kata Renvier mulai menatap istrinya serius.
Vannia menghadapkan tubuhnya ke arah Renvier sambil bersedekap dengan angkuh. "Apa yang kau ingin bicarakan tentang hubungan tak berarti itu?"
"Vannia, kau sungguh Vannia yang aku kenal? Kau begitu mencintaiku, aku tahu itu. Tapi mengapa hanya karena pernikahanku dengan Anya, kau bertindak sejauh ini? Kau menganggapku seperti orang lain. Vannia, aku masih suamimu. Kau harus ingat itu," ucap Renvier penuh penekanan.
Vannia tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. Ia tak habis pikir kalau suaminya yang ia kenal cerdas, ternyata memiliki sisi bodoh yang nyaris membuatnya muak. Vannia tak tahu mengapa Renvier memiliki pemikiran yang sedangkal itu.
"Hanya karena pernikahanmu dengan Anya? Hello? Tolong buka matamu, dan berkaca di cermin," sahut Vannia mencoba bersabar. "Suatu penghianatan tidak bisa kau sebut dengan kata 'hanya' hanya apa, Renvier? Pernikahanmu dengan Anya adalah luka terbesar yang kau berikan pada hidupku. Seandainya lukaku memiliki wujud, kau akan menangis melihatnya, Renvier!"
Vannia mulai berkaca-kaca. Nyatanya sekuat apapun dia, dia tetaplah seorang wanita yang begitu mencintai suaminya. Namun malangnya, suaminya malah mengkhianati cintanya.
Renvier kesulitan untuk menjawab. Namun, pria itu masih memiliki pembelaan yang akhirnya keluar dari mulutnya. "Aku tak sepenuhnya mengkhianatimu, bukan? Aku tetap menganggapmu istriku. Kau istri pertamaku, Vannia. Aku sama sekali tak menceraikanmu atau meninggalkanmu. Kau malah meninggalkanku!"
"Apa...?" Vannia tidak percaya dengan kata-kata kurang ajar itu.
"Kau tak lagi ada di rumah kita, Vannia! Bahkan apa yang kau lakukan selama ini? Kau membohongiku soal identitasmu. Kau mengaku sebagai wanita sebatang kara yang tak memiliki apa-apa. Tapi ternyata kau bahkan lebih kaya raya dibanding diriku. Bukankah kau sama saja mencoba meremehkanku?"
PLAK!
Reinver begitu terkejut ketika mendapatkan tamparan keras dari Vannia. Renvier menatap tak terima Vannia yang juga menatapnya dengan tatapan yang teramat kecewa. Wanita itu tampak sangat kesal.
"Apa yang kau lakukan, Vannia?''
"Menampar pria yang tak tahu diri," sahut Vannia cepat. "Kau perlu ditampar agar segera sadar dari kebodohanmu akan kata-katamu tadi. Kau bilang tak mengkhianatiku sepenuhnya? Ingat ini, Reinver. Kau berkhianat dengan membagi cintamu pada Anya. Kau menikah tanpa meminta izin kepadaku yang masih menjadi istrimu. Menikah lagi adalah sebuah pengkhianatan besar, Renvier!"
Reinver hampir kembali meninggikan suaranya untuk membela diri, tetapi Vannia sudah memotong.
"Lalu soal identitasku ... apa masalahnya soal itu? Aku meninggalkan jati diriku sebagai anak konglomerat kau pikir karena apa? Itu agar aku bisa menikah denganmu!"
Wanita itu menangis tersedu-sedu di hadapannya sambil menunjuk wajahnya. Reinver terdiam dan terkejut bukan main mendengar kebenaran itu.
"Orang tuamu adalah rival orang tuaku, Reinver. Mereka tak akan merestui kita. Oleh sebab itu aku meninggalkan keluargaku sendiri. Itu semua aku lakukan agar aku bisa bahagi bersamamu. Tapi apa? Ibumu, saudaramu, dan keluargamu yang lain tak ada yang menyukaiku! Awalnya aku berpikir tak masalah dibenci, asalkan aku bisa selalu merasakan cintamu. Tapi sekarang cintaku berkhianat. Lantas, apa lagi yang tersisa untukku?''
Reinver jatuh berlutut di hadapan Vannia dengan tatapan sedikit menerawang. Tak lama ia mendongkok menatap Vannia dengan tatapan yang penuh rasa penyesalahan.
"Maafkan aku, Vannia. A-aku tak tahu kau mengorbankan banyak hal untuk bisa menikah denganku. Aku minta maaf soal itu. Tapi, Vannia ...." Renvier kembali berdiri, lalu meraih kedua tangan Vannia dengan tatapan penuh pada wanita itu. "Aku tetap akan membiarkan Anya ada di sisiku sebab aku sudah terlanjur jatuh cinta padanya. Kau mau bukan menerima sahabatmu sendiri menjadi bagian dari keluarga kita?"
"Hanya pria bodoh yang mengatakan hal itu pada wanita yang ia cintai."
Bukan Vannia yang bersuara demikian. Melainkan seseorang yang baru saja datang menghampiri mereka. Baik Vannia maupun Reinver menoleh ke arah sumber suara. Tampak seorang pria gagah dengan balutan jas hitam berjalan ke arah mereka dengan senyuman yang begitu tampan. Dialah Zhein Bilian.
"Siapa kau?" tanya Reinver dengan tampang tak suka.
Zhein berdiri di samping Vannia, lalu merangkul wanita itu. Zhein sengaja memperlihatkan kedekatannya dengan Vannia. Lalu mengulurkan tangannya ke arah Renvier untuk berjabatangan. "Perkenalkan. Aku Zhein, selingkuhan istrimu yang pertama."
"S-selingkuhan Vannia? M-maksudmu apa?!" Renvier menatap tak terima sosok Zhein yang malah mengelus rambut Vannia.
Vannia justru tersenyum dengan bangga.
"Ya, aku selingkuh dengannya, Renvier. Kenapa? Apakah aku melakukan sebuah kesalahan? Aku juga berselingkuh dengan sahabatku sendiri. Jadi tidak masalah bukan kalau aku dekat dengannya?"
"Apa maksudmu!" Renvier langsung mencengkram kerah kemeja Zein dan sedikit mendorongnya, menciptakan pekikan dari Vannia."Renvier, hentikan!"Renvier tak peduli dengan teriakan Vannia. Matanya berapi-api menatap Zein yang justru berekspresi kelewat santai sekali. "Kau bilang apa tadi? Selingkuhan pertama istriku? Berani kau mengatakan hal itu di depan suaminya sendiri?!" hardik Renvier.Zein tetap tenang dan tak menjauhkan tangan Renvier yang mencengkram kemejanya. "Mengapa kau begitu marah? Kau bahkan tak hanya menyelingkuhi Vannia, tapi kau menikahi sahabatnya. Apakah tak ada kesadaran dari dirimu sendiri betapa kejamnya itu?"Renvier merasa tertampar dengan kata-kata itu. Cengkramannya tak sekuat awalnya. Maka dengan mudah Zein menjauhkan dirinya dari Renvier."Vannia, jika kau sudah selesai bicara dengan pria ini, apa kau bersedia makan siang bersamak?" tanya Zein berbicara dengan nada lembut.Vannia melirik ke arah Renvier yang juga menatapnya. Senyuman miring Vannia terukir, la
Vannia berangkat ke sebuah gedung yang akan dijadikan sebuah tempat resort yang multifungsi sebagai tempat pameran juga. Bisnis inilah yang menjadikan perusahaan yang ia kelola saat ini bekerja sama dengan perusahaan Renvier.Sesampai di gedung besar itu, Vannia melangkahkan kaki jenjangnya masuk ke dalamnya. Ia langsung diberi hormat oleh beberapa pekerja yang berpapasan dengannya."Vannia," panggil seseorang dari arah belakang.Vannia pun langsung menoleh, mendapati sosok Renvier berdiri di belakangnya. Vannia mencoba bersikap biasa-biasa saja, kendati jantungnya berdetak dengan cepat lantaran harus kembali berdekatan dengan Renvier."O-oh, Renvier. Kau sudah datang rupanya."Renvier mengangguk sambil tersenyum tipis. "Mari," ajaknya mempersilakan. Mereka pun berjalan berdampingan untuk melihat-lihat isi gedung tersebut.Suasana canggung itu sangat kentara terasa. Sesekali Vannia melirik ke arah Renvier yang juga melirik ke arahnya. Aduh, mengapa mereka seperti orang yang sedang PDK
Deretan mobil yang tertata di dalam garasi panjang dipandangi oleh Vannia satu per satu. Ia langkahkan kakinya yang dibalut highhell hitam menuju ke sebuah mobil Lamborghini berwarna merah, lalu telunjuknya terangkat ke arah mobil tersebut."Aku ingin mobil yang ini," pintanya pada seorang sopir yang sedari tadi menemaninya memilih mobil."Baik, Nona," sahut sopir tersebut langsung bergegas untuk mengeluarkan mobil tersebut.Di sisi lain, keluarga Renvier sedang melakukan makan siang bersama di rumah. Hari pertama menjadi bagian dari keluarga Renvier, Anya berusaha sebaik mungkin. Ia menyajikan makanan yang telah ia pesan sebelumnya. Marisa sebagai mertua sangat senang sekali melihat bagaimana menantu barunya sedang berusaha melayani mereka."Kau memang menantu yang terbaik, Anya. Sudah lama aku menginginkan menantu sepertimu. Malangnya, Renvier malah memilih wanita seperti Vannia. Kau dan Vannia sangat berbeda. Vannia benar-benar tak bisa menjaga penampilan ketika di rumah. Dia hanya
Tempat tidur yang awalnya diisi oleh suaminya, sekarang tak ada siapa-siapa di sana. Suaminya sekarang berada di kamar sebelah untuk memadu malam pertama dengan istri barunya, Anya. Ia tak pernah berpikir jikalau sahabatnya sendiri akan merebut suaminya seperti ini. Padahal Anya adalah sahabat terbaiknya."Tidak-tidak. Aku tak boleh lemah. Ya, aku tak boleh lemah. Aku harus kuat agar mereka terutama Anya tak memandangku rendah. Sudah cukup aku mengalah dan merendah selama ini menjadi istri dari Renvier. Mulai besok, aku adalah diriku yang baru," monolog Vannia menyakinkan dirinya.Malam yang gelisah itu berhasil dilalui oleh Vannia dengan baik.Pukul tujuh pagi Vannia sudah rapi dengan tampilannya. Tepat saat ia keluar kamar, suaminya keluar dari kamar pengantin. Tanda-tanda merah di tubuh Renvier yang tak mengenakan atasan langsung membuat Vannia memalingkan wajahnya."Vannia," panggil Renvier ketika Vannia hendak beranjak pergi begitu saja.Vannia menghentikan langkahnya tepat di sa
Vannia mengenakan gaun biru muda yang mewah dan elegan, memakai anting indah, highhell yang memukau, dan rambut tertata rapi dengan sempurna. Inilah diri Vannia yang akan hadir di pernikahan suaminya dengan sahabatnya. Hari ini ia akan menjadi wanita tersakiti sekaligus menjadi dirinya yang berbeda yang jauh lebih terhormat dari sebelumnya."Sesuai sumpahku, aku akan menjadi duri di perjalanan pertama kalian menempuh kehidupan setelah mengkhianatiku."Vannia keluar dari kamarnya. Ia menuruti tangga dengan sangat anggun. Di bawah sana, Marisa dan Berlina yang hendak segera berangkat, terpukau melihat bagaimana cantik dan anggunnya penampilan Vannia. Tak seperti yang mereka pikirkan."Mau berangkat bersama dengan mobilku, Ibu, Berlina?" tawarnya dengan ramah.Berlina langsung berdecih. "Kau menawari kami berangkat bersama dengan mobilmu? Kau pasti sudah sakit jiwa karena suamimu menikah dengan sahabatmu sendiri hari ini. Bukankah begitu?""Itu benar. Sadarlah, Vannia. Kau tak memiliki m
"Kau memang sahabat baikku, Vannia. Tapi jika soal cinta, aku tak bisa mundur begitu saja. Lagipula, suamimu lebih memilihku, bukan?"Wanita gila! Itu umpatan yang hati Vannia keluarkan ketika mulutnya tak bisa berkata-kata karena rasa sakit yang menghujam hatinya. Bibirnya bergetar menahan tangis dan amarah. Sudah kepergok chatingan mesra dengan suaminya, Anya—sabahat terbaiknya—sama sekali tak menunjukkan raut merasa bersalah.PRANG!Anya sangat terkejut ketika Vannia mengempaskan ponsel miliknya ke lantai kafe dengan keras, membuat ponsel mahal itu terpental dan retak. Buru-buru Anya memungut ponsel itu dengan tampang kesalnya pada Vannia."Vannia!""Apa?!" tantang Vannia berani. Ia menunjuk wajah Anya dengan perasaan penuh rasa kecewa. "Jadi selama ini kau bermain di belakangku bersama suamiku? Kau bukan sahabatku, Anya. Kau iblis!""Ya. Aku memang iblis yang suamimu cintai. Haruskah aku berbangga diri menjadi seorang iblis sekarang?" Anya tertawa tanpa rasa bersalah."Sudah berap