5 tahun kemudian.
Ava melangkah dengan senyum menghiasi bibir, mendorong pintu hingga menimbulkan denting lonceng pada bagian atas. Sebuah bangunan beraroma kue menyambut kala ia memasukinya lebih dalam.Ini adalah toko kue miliknya. Toko yang sudah dua tahun ini dikelola, hasil dari merayu sang suami tercinta. Semua pegawai tampak mengangguk sopan ketika melihat perempuan berbaju biru itu datang.Selain toko kue, Ava juga menjalankan toko bunga di mana tempatnya terletak tepat di samping bangunan ini. Sengaja dibangun bersebelahan untuk memudahkan dirinya dalam mengelola. Semua itu ide dari sang suami yang tidak ingin dirinya merasa kelelahan.Perempuan dengan mata hazle itu berhenti di depan salah satu pegawainya. “Rina. Saya ada janji temu dengan kedua teman saya seperti biasa. Saya ada di ruangan jika nanti mereka datang," ucap Ava.Perempuan dengan apron di hadapannya mengangguk dan menjawab, "Baik, Mbak." Langkah kaki membawa Ava pada ruangan pribadi di sebelah kiri kasir.Menyibukkan diri dengan laptop di hadapannya, memakai kacamata baca Ava mulai merangkum pendapatan dan pengeluaran kedua toko. Tidak membutuhkan waktu lama, cukup satu jam setengah saja selesai.Setelahnya, ia akan beralih pada aplikasi membaca yang sekarang sedang ramai diminati. Membunuh waktu dengan membaca cerita karya penulis Indonesia yang kadang kala membuat dirinya sedih, marah, kesal dan jengkel dengan alur ceritanya.Suara ketukan pintu membuat Ava mengalihkan pandangan dari laptop. Salah satu pegawainya yang bernama Rina sudah berdiri di ambang pintu. "Ada apa, Rin?" tanyanya."Dua teman Mbak Ava sudah datang. Mereka menunggu di meja biasa,” lapornya pada Ava. Kepala sedikit menunduk memberi rasa hormat."Baiklah. Buatkan mereka minuman dan berikan beberapa kue."Perempuan dengan kacamata yang tampak manis dengan lesung pipinya itu mengangguk mendengar perintah Ava. "Baik, Mbak."Melepaskan kacamata, Ava membereskan laptop dan segera beranjak untuk menemui kedua perempuan yang sudah ia rindukan.Keluar dari ruangan, pandangan Ava langsung tertuju pada meja di mana kedua temannya sudah duduk. Seorang perempuan dengan perut buncit akibat kehamilan dan seorang perempuan lagi yang masih belum mempunyai ikatan pernikahan.Ava berjalan cepat mendekati meja yang diduduki teman-temannya. "Hai,” sapanya heboh.Dua perempuan yang sebelumnya duduk tenang menikmati kudapan itu menoleh, wajah semeringah terbit saat melihat keberadaan dirinya. Berjalan semakin mendekat lalu merangkul keduanya.“Kangen,” ucapnya. Melepaskan pelukan tatapan Ava tertuju pada wanita yang berperut buncit, mengulurkan tangan untuk dapat menyentuhnya. "Sudah berapa bulan, Res?" Iris hazle itu kini tertuju pada si pemilik daksa yang bernama Resti."Sudah tujuh bulan,” jawabnya. Ava menatap Resti lalu beralih pada perut yang membuncit sembari tersenyum. Pasti perasaannya bahagia sekali."Wah, sebentar lagi dong." Resti mengangguk antusias."Dan kamu, bagaimana? Sudah isi?" Ava mengalihkan pandangan, menatap Clara yang baru saja bertanya akan dirinya.Senyum manis Ava kini berubah menjadi getir. Pandangannya menerawang dengan kata seandainya.Sebuah usapan pada kedua pundak membuat ia menatap Clara dan Resti secara bergantian. Kedua temannya ini pasti turut merasakan kegelisahan dalam dirinya."Kamu yang sabar, ya. Doa dan usahanya digiatin lagi," ucap Resti menenangkan. Ia hanya bisa mengaminkan dalam hati sebanyak-banyaknya agar Tuhan segera menitipkan momongan terhadap dirinya.Ya. Ava memang belum mempunyai anak meskipun usia pernikahannya sudah menginjak angka lima. Ini merupakan salah satu alasan dirinya menjalankan usah toko kue dan bunga secara bersamaan.Membawa Ava dalam kesibukan dan menghilangkan rasa sepi saat ia berada di rumah sendirian. Selain itu, ia juga menghindari ibu mertuanya. Tidak jarang Desi—ibu mertua Ava datang mengunjunginya. Bukan karena merindukan menantu, tetapi selalu melontarkan kata-kata pedas untuk Ava.Ava yang tidak becus jadi istri, atau Ava yang mandul. Wanita mana yang tidak akan merasa sakit jika mendapatkan kata-kata seperti itu? Untunglah ia masih menyadari siapa Desi."Kalau kamu, Cla? Kapan menyusul kita?" Sudah ia duga, temannya yang satu ini pasti akan menggeleng. "Kenapa sih Cla? Nunggu apa lagi coba?""Aku belum siap," ucap Clara."Pacar kamu itu serius sama kamu. Dia itu sudah kaya, tampan, perhatian. Kurang apa lagi coba? Diambil orang baru tahu rasa kamu." Resti mencoba menakut-nakuti Clara, perempuan itu memberikan kerlingan nakal pada Ava."Ish. Doa kamu, Res." Ava dan Resti tertawa, lalu mengalihkan pembicaraan.Tidak ingin lebih dalam membahas Clara yang belum juga mau menikah di usianya yang saat ini bisa di bilang sudah matang. Mereka tahu, alasan di balik semua itu ialah, Clara yang belum juga berhasil sepenuhnya untuk melupakan cinta pertamanya, yang Ava dan Resti tidak tahu siapa sebenarnya orang itu sehingga Clara tidak bisa melupakannya.***Suara tumpukan map yang batu saja dibanting di atas meja menggema di ruangan persegi itu. Pelaku yang tidak lain adalah Rasya menatap bawahannya dengan kemarahan. "Apa yang sebenarnya kamu kerjakan dari tadi!!" bentak Rasya."Mengerjakan laporan begini saja kamu tidak becus!!" Rasya menunjuk karyawannya, nada suara menandakan kalau ia sedang emosi."Kerjakan lagi!!" usir Rasya. Karyawan itu pun segera berlalu dari ruangan bosnya yang sudah terlihat marah besar.Rasya menghempaskan tubuhnya pada sandaran kursi. Memijit kening akibat kepala yang terasa berdenyut. Laki-laki berpakaian jas rapi itu menghela napas dalam saat melihat tumpukan berkas-berkas ada meja di depannya.Hari ini begitu banyak masalah yang harus ia kendalikan. Belum lagi salah satu karyawannya yang telah mengerjakan laporan dengan salah. Menambah rasa pusing pada kepala Rasya.Suara deringan ponsel membuat ia mengalihkan pandangannya. Meraih benda pipih di atas meja itu dan menatap layar yang menampilkan nama sang mama. Segera ia angkat agar bunda ratunya tidak naik darah."Ya, Ma." Rasya mendengarkan dengan baik apa yang mamanya ucapkan di seberang sana."Iya. Rasya dan Ava besok pasti datang." Rasya mengakhiri panggilan setelah pembicaraan dengan sang mama telah selesai. Kembali berkutat dengan pekerjaan agar ia dapat dengan segera menyelesaikannya.***Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Hanya menggunakan lingerine tipis Ava memutuskan menunggu kedatangan sang suami di ruang keluarga. Sebuah majalah menjadi bacaan untuk membunuh waktu.Ava tidak perlu merasa khawatir akan penampilannya saat ini. Karena tidak ada orang lain di rumah ini selain dirinya dan juga satpam yang menjaga di depan rumah. Asisten rumah tangga Ava hanya akan datang saat subuh tiba, dan akan pulang saat menjelang magrib.Suara mobil yang memasuki pekarangan rumah mengambi alih atensinya. Segeralah Ava bangkit karena ia mengenali suara kuda besi itu adalah milik suaminya.Saat membuka pintu utama, Ava melihat Rasya yang sudah berjalan ke arahnya. Tentu saja dengan wajah lelah. Baju yang dikenakan tidak serapi saat berangkat. Lengan yang digulung hingga siku. Baju yang keluar dari celana dan dua kancing teratas yang tidak lagi disematkan."Capek?" tanya Ava saat sang suami sudah berada di depannya. Tangannya terulur mengambil alih tas kerja dari tangan Rasya.Rasya mengangguk dan segera meraih pinggang Ava. Mendaratkan satu kecupan sayang di keningnya. "Kamu lapar?" tanya perempuan bermata hazle itu kemudian."Ya.""Baiklah. Mandilah dulu. Akan aku siapkan makan malam untuk kamu." Saat Ava ingin melepaskan diri dari pelukan sang suami, Rasya malah mengeratkan rangkulan pada pinggangnya."Kenapa?" tanya Ava dengan kening yang terlipat."Laparku bukan kenyang dengan makan malam, Sayang." Ava menaikkan kedua alisnya. Senyumnya merekah kala sang suami mengikis jarak di antara wajah mereka.Sebuah kecupan singkat pada bibirnya dan napas hangat juga tatapan sayu itu mampu membuat dirinya meremang. Cukup menjelaskan suatu hal. Oke. Ava mengerti arah pembicaraan ini."Mandilah dulu. Aku siapkan susu hangat untukmu,” ucapnya dengan senyum menggoda."Tidak," cegah Rasya. "Kopi, sayang. Buatkan aku kopi." Rasya menyela.Kening Ava terlipat. "Kopi? Tumben sekali?""Ya. Karena aku ingin begadang malam ini." Ava tersenyum dengan menggigit bibir bawahnya. Ia tahu gerakan yang dilakukan adalah sensual. Lihat laki-laki di hadapannya ini yang kini mendesis seolah menahan sesuatu.Embusan napas berat itu begitu terasa. "Lagian, aku sudah mempunyai dua stok di sini." Rasya berucap dengan suara berat, tidak lupa tangan yang mencolek dada sintal milik Ava.Segeralah Ava mendorong Rasya agar ia terbebas dari rayuan suaminya. Ia meninggalkan pria yang masih mengenakan setelan jas kantor itu dengan senyuman menggoda.***Ava memasuki kamar bertepatan dengan Rasya yang keluar dari kamar mandi. Tubuh suaminya yang hanya dibalut handuk sebatas pinggang menampakkan dada bidang yang menggoda. Belum lagi adanya tetesan air dari rambut pada tubuh menambah kesan sexy bagi dirinya.Menggunakan tatapan yang intens, Ava menghampiri Rasya dengan segelas kopi di tangan. Senyum menggoda yang terpatri di wajah pria itu semakin membuat dirinya tertantang."Kopiku?" tanya Rasya. Ava mengangguk. Ia memberikan cangkir berisi cairan hitam pekat itu dan menatap sang suami yang meneguk minuman itu dengan tatapan yang tidak lepas dari dirinya.Setelahnya, minuman itu berakhir pada nakas yang ada di samping mereka. Pria di hadapannya ini meletakkan dengan gerakan yang sangat elegan.Seperti tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan, Rasya meraih pinggangnya cepat. Membuat tangan Ava mendarat pada bahu sang suami. "Kopinya manis." Tersenyum, ia menikmati pergerakan jari Rasya pada wajahnya dengan menutup mata dan bibir sedikit terbuka.Tangan Rasya sampai pada bibir. "Tapi aku yakin. Bibir ini jauh lebih manis. Dan bibir ini, adalah milikku.” Suara itu syarat akan sebuah dominan.“Katakan, Sayang. Katakan. Katakan bahwa bibir ini hanya milikku," ucap Rasya menuntut."Yah. Semuanya, milikmu." Rasya menjatuhkan bibirnya pada bibir Ava. Menyatukan dalam tarian indah silat lidah. Memperdalam hingga mereka terbuai.Handuk dan lingerine telah tercecer di lantai. Meninggalkan dua tubuh hangat di atas pendaratan awan. Memadu inti yang menyatu. Menulis syair lagu nan merdu. Menari dalam tarian indah. Pergerakan dalam ritme yang seirama. Suara-suara lantunan pencapaian kemenangan tercipta. Menghiasi pekatnya malam dalam hawa yang telah berubah menjadi panas.***96. Ending ***Empat tahun kemudian. "Darren. Om datang!" teriak Rasya ketika memasuki rumah besar Tuan Yarendra. "Lihat nih Om bawa apa?" teriaknya lagi dengan mengangkat tangan kanan di mana sebuah paperbag terlihat di sana. Sedang tangan kirinya senantiasa merangkul pinggang Clara di mana keduanya saling melempar senyum. Pasangan pengantin baru ini berjalan memasuki rumah lebih dalam. "Om, Rasya." Seorang bocah dengan kaus berwarna merah bergambar super hero yang katanya selalu diidolakan. Langkah kaki mungilnya mendekati Rasya. Sontak saja Rasya melepaskan rangkulannya pada Clara, berjongkok dan menyambut kedatangan keponakan tercintanya. "Apa kabar jagoan?" "Baik, Om," jawabnya polos dengan senyuman yang menampilkan deretan gigi mungilnya. Pandangan iris hitam legam itu mengarah
95. Menjadi Orang Tua***Suara tangis mungil memecah keheningan malam di mana semilir angin syahdu di luar ruangan memeluk semesta. Cahaya temaram lampu tidur itu tak mampu lagi menenangkan si pemilik daksa kala suara yang menjadi kebanggaan mereka akhir-akhir ini menyapa indra pendengaran.Iris mata hitam legam juga bola mata hazzle itu mengerjap beberapa kali, berusaha menyadarkan diri akan sebuah alarm merdu dari pangeran kecil yang berada pada box kayu yang terletak tidak jauh dari ranjang keduanya.Kafka bangkit lebih dulu, dengan tangan kanan ia mengucek mata. Tangis semakin keras terdengar, bertepatan dengan Ava yang juga mendudukkan diri ia bangkit dari ranjang, menyalakan lampu lalu mendekati box bayi dan melihat putranya menangis."Oh, Sayang. Anak Papa kenapa menangis?" Ia mengulurkan tangan, memegang dagu little
94. Kembali utuh***Suasana aqiqahan putra pertama Kafka diadakan di rumah keluarga besar Yarendra. Ini semua dikarenakan Desi tidak memperbolehkan Kafka dan Ava pulang ke rumah mereka lebih dulu.Selain Desi yang ingin tinggal bersama cucu pertamanya, ia juga ingin membantu merawat anak Ava. Desi tidak ingin menantunya itu merasa kerepotan karena merawat anak mereka seorang diri. Jika Kafka mengatakan dia ingin menyewa seorang pengasuh bayi, Desi selalu mengatakan, “Dirawat keluarga sendiri lebih baik daripada orang lain.” Apa yang diucapkan Desi dibenarkan oleh Kafka dan Ava.Alhasil, Ava dan Kafka pun menuruti keinginan Desi untuk tinggal. Bagaimanapun, mereka juga tahu bagaimana Desi begitu menginginkan hadirnya seorang cucu sejak dulu."Darren sedang apa, Sayang?" tanya Kafka yang baru saja
93. Welcome Darendra***“Sayang, hati-hati!" teriak Kafka saat melihat Ava langsung membuka pintu mobil dan turun begitu saja. Baru saja mobilnya berhenti di depan rumah orang tua Kafka. Namun Ava sudah membuat ia jantungan dengan tingkahnya yang tidak bisa diam. Kehamilan Ava sudah memasuki usia sembilan bulan. Perkiraan Dokter Ava akan melahirkan sekitar seminggu lagi. Bukannya membatasi ruang geraknya, Ava malah semakin menjadi.Jika Kafka melarangnya, Ava akan selalu menjawab, “Sayang, kata orang dulu, saat kehamilan kita menginjak usia tua, atau mendekati hari kelahiran, kita harus banyak gerak. Biar nanti proses kelahirannya lancar dan mudah. Kalau perlu nih, ya, aku harus mengepel rumah sambil jongkok.” Jangan tanyakan wajah Kafka saat Ava mengatakan Ava harus mengepel lantai dengan berjongkok. Kafka segera tu
92. Kedatangan Ava.***Suara pintu diketuk membuat ia membenahi jasnya. "Masuk," ucapnya tegas.Betapa terkejutnya Kafka ketika melihat wanita tadi yang memasuki ruangannya. Oh tidak. Ia lupa tidak memberi pesan pada Rai mengenai wanita ini yang tidak diinginkan kedatangannya."Selamat siang, Pak Kafka," sapanya dengan senyum yang dibuat manis. Percayalah. Bagi Kafka tetap manis senyum Ava.Wanita itu berjalan ke arah meja Kafka dengan berlenggak-lenggok menampilkan bokong sintalnya. Bukannya tergiur, Kafka malah merasa muak."Selamat siang, Ibu Rachel."Wanita bernama Rachel itu bukannya duduk di kursi yang tersedia, melainkan duduk di meja Kafka tepat di samping pria itu. Telunjuknya bergerak pelan di atas meja. "Bagaimana kalau panggil Rachel saja?"Kafka menarik tangannya dari atas meja k
91. Terima kasih, Sayang. ***Kafka memandang horor ibu-ibu berdaster di depan mobilnya. Ia menatap Rani yang menampakkan raut wajah tidak enak hati padanya. Wanita itu mendekati ibunya."Bu. Bukan. Ini atasannya Rani di kantor," ucapnya pelan namun masih bisa didengarkan Kafka.Bola mata ibu Rani semakin terkejut. "Kamu pacaran sama bos kamu?""Wah. Rani dapat pacar bos besar," ucap ibu-ibu yang lain.Rani menepuk keningnya. Sedangkan Kafka melipat tangan di depan dada merasa tidak perlu meladeni mereka. "Bukan ibu-ibu!" teriak Rani.Ia menunjuk keberadaan Kafka. "Dia bos Rani. Sudah punya istri. Dia datang mau beli rujaknya Mbak Wati. Soalnya istrinya lagi ngidam.""Oalah." Terlihat jelas raut kekecewaan di wajah ibu-ibu itu."Mari, Pak saya antar ke warung Mbak Wati." Kafka mengangguk. Ia b