24. Pelukan Kafka
***
Tepat keesokan hari setelah kejadian itu dialaminya, Rasya tiba-tiba saja datang dan mengatakan kalau suaminya itu menyanggupi apa yang sempat Ava utarakan.
Beberapa hari berlalu. Pasangan suami istri ini kembali lagi pada rumah sakit yang sama. Seperti halnya Ava, Rasya pun juga ditangani oleh Dokter Najwa. Selain memang dokter kepercayaannya, ia berpikir agar mudah berkonsultasi dengan apa yang selama ini telah dialami.
Duduk berdampingan pada kursi pasien tentu saja membuat denyut jantung Ava berdetak tidak semestinya. Selain karena menunggu hasil dari pemeriksaan, ia masih memikirkan akan sika
25. Pertengkaran *** PLAKK Satu tamparan mendarat sempurna pada pipi Tasya, membuat wajahnya terlempar ke arah samping. Kulit putih itu berubah warna, merah merona bukan karena tersipu, melainkan karena tamparan yang membentuk lima jari. Sosok lemah yang ia punya hanya bisa menangisi apa yang baru saja diterima. Tidak mampu melawan akan sosok kekar dihadapannya yang tengah memandang dirinya penuh amarah. "Apa yang kamu lakukan?" teriak pria dengan kaus hitam bertuliskan Fali itu dengan kemarahan. Dada bidang naik turun menandakan napas yang memburu. "Mau jadi apa kamu?" Tangan terangkat, menunjuk Tasya yang berada di hadapannya. Tasya kembali menatap pria yang berstatus tunangannya, memandang dengan kekecewaan dan mata memerah. Tangan kiri senantiasa memegang pipi yang baru saja mendapatkan ci
26. Nostalgia *** Kafka melirik Ava yang duduk tanpa suara di sampingnya. Bola mata tajam itu sesekali mengalihkan pada jalanan untuk tetap menjaga keselamatan mereka. Jalanan yang lenggang tidak harus membuat pengendara berbuat seenaknya bukan? Lampu berwarna merah terlihat menyala di depan sana, mobil yang dikendarai Kafka berhenti bersama pengendara lainnya. Mengurangi gigi, pria beralis tebal itu mengubah posisi duduk sedikit menghadap pada keberadaan Ava. "Mau diam sampai kapan?" tanya Kafka. Ia sedikit memiringkan kepala agar bisa mengintip wajah Ava. Perempuan yang wajahnya masih sembab itu melirik pria di sampingnya sekilas, tanpa ingin menjawab pertanyaan yang baru saja terlontar untuknya, ia kembali mengfokuskan pandangan ke luar jendela. Kafka menghela napas dalam. K
27. Curhat *** Rasya tidak memedulikan teriakan Ava yang memanggil dirinya. Meski beberapa orang menatap dirinya dengan tatapan tidak suka, ia tetap melanjutkan langkah keluar dari rumah sakit. Berjalan cepat ke arah mobil dan memasukinya lalu menjalankannya. Bersatu dengan banyaknya ribuan pengendara yang merayapi jalanan Surabaya. "Kenapa sih, Ava membahas hal seperti ini? Biasanya juga dia oke oke saja. Kenapa sekarang dia menjadi seperti ini?" gerutunya di dalam mobil. Rasya tetap menjalankan kuda besinya tanpa menghiraukan Ava akan pulang dengan siapa nanti. Baginya saat ini kekesalan pada sang istri membuat dirinya tidak ingin berdekatan terlebih dahulu. Suara deringan ponsel membuat ia melirik ponselnya di atas dasboard. Sebuah nama yang tertera nama sang mama membuat ia
28. Flashback Rasya *** Rasya mengerjapkan mata untuk mempertajam pandangan. Menyesuaikan akan apa yang diihat. Kepalanya terasa sedikit pusing dan berat, membuat ia harus menggeleng beberapa kali untuk Menyandarkan diri. Bangkit perlahan, ia menyandar pada kepala ranjang, menunduk dengan tangan memijit pangkal hidung. Ingatan dirinya yang menenggak minuman berkelebat. Pasti ini diakibatkan semua itu. Rasa nyeri sedikit mereda, ia mendongak dan menelisik ruangan yang bukan miliknya di rumah. Menyibakkan selimut yang menutupi tubuhnya, Rasya bangkit dan memasuki kamar mandi. Sedikit membasuh mukanya, meraih handuk dan membersihkannya. Tidak lama, pria dengan keadaan pakaian yang sedikit kacau itu keluar dari kamar mandi, mengedarkan pandangan untuk menelisik isi kamar yang saat ini ditempati. Bibirnya menyunggingkan senyuman. "Ini kamar club, atau kamar hotel? Lengkap
29. Bimbang *** Tasya mendengar suara pintu di belakangnya menutup. Pasti ini ulah dari kekasihnya. Menarik napas dalam, ia siap menerima segala kemarahan dan tuduhan dari Sean. Setelah itu, ia bear-benar akan mengakhiri ini. Namun, tidak ia duga. Bukan sebuah kemarahan atau bentakan yang didapat, melainkan sebuah pelukan hangat yang melingkupi dirinya. Tasya sempat mematung, terkejut akan perbuatan Sean. Menoleh ke arah kiri dimana dagu sang tunangan bertumpu, ia bertanya dalam hati, "Ada apa Sean seperti ini?" Percayalah. Hal itu bukannya membuat Tasya lega, tetapi malah dirundung kegelisahan. Ia takut ada rencana lain di belakang sikap Sean
30. Permintaan Desi *** Zizi dan Desi sama-sama menoleh. Menatap seorang pemuda memakai kaus berwarna hitam dengan lambang bintang di bagian dada. Pelayan kafe ini. Pemuda dengan kulit putih itu meletakkan kue pesanan mereka. "Lalu, apa hubungannya dengan Tasya, Tan? tanya Zizi setelah pelayan kafe berlalu dari sana. Desi tersenyum, gerakannya memotong kue berhenti. Zizi dapat melihat pancaran kebahagiaan di wajah perempuan paruh baya itu. "Seperti yang dulu pernah Tante katakan. Kalau Tante ingin menjodohkan Zizi dengan Rasya," jelasnya dengan senyuman. Zizi mengerti sekarang. "Itu kenapa Tante minta kamu menghubungi sahabat kamu itu untuk datang ke sini." "Oke-oke. Zizi mengerti maksud Tante." Gerakan tangan Desi yang mengangkat cangkir dan diarahkan padanya cukup mampu Zizi pahami tampan kata, ia pun turut meraih cangkir minuman
31. Penyiksaan *** Suara ketukan pintu terdengar. Fokus Ava yang sebelumnya pada laptop di hadapannya teralihkan. "Masuk!" Teriaknya pada seseorang di luar pintu. Tanpa menunggu mengetahui siapa yang mengetuk pintu, Ava kembali mengalihkan pandangan pada layar persegi di hadapannya. Jari lentik bergerak lincah di atas keyboard. Merasa seseorang berdiri di depan mejanya, Ava mendongak. Ia melempar senyum tipis pada perempuan berambut cokelat yang merupakan salah satu pegawai barunya. "Ada apa?" tanyanya kemudian. "Ada seorang wanita yang ingin bertemu dengan Mbak Ava," jelasnya pada Ava.
32. Maaf *** Setelah beberapa saat menangis dalam pelukannya, suara isakkan tidak lagi terdengar dari Clara. Sepertinya perempuan itu sudah merasa baikan. "Sudah tenang?" tanya Ava yang dijawab sebuah anggukan. Pelukan mereka terlepas. Ava memandang wajah sahabatnya yang tampak kacau Ajibata tangis. Tangannya terulur untuk menggenggam tangan sang sahabat. "Jadi, Andi sudah pindah ke Jepang sejak sebulan lalu?" Ava membuka percakapan. Clara mengangguk. Tangan kanannya terangkat untuk membersihkan jejak air mata di pipi. "Kurang lebih segitu." "Sejak saat itu apa kalian tidak pernah lagi berkomunikasi?" Clara menggeleng. Ava hanya bisa menghela napas dalam. "Lalu bagaimana bisa kamu secepat itu menemukan pengganti Andi?" "Waktu itu aku sedang sendirian di cafe. Tiba-tiba seorang pria lewat dan tidak sengaja menumpahkan minumannya pad