Vemilla dinyatakan koma dengan cedera punggung ringan, gadis kecil itu harus terbaring tak sadarkan diri di ranjang rumah sakit yang dingin, berlayar dalam alam sabar yang bingung.Sepanjang waktu, Davian menjaga dan merawat sang istri dengan telaten, berganti dengan Sabrina dan Johan juga Tyana dan Josef, mereka berbagi tugas untuk menjaga putri kesayangan mereka untuk tetap hidup.Sesekali air mata membanjiri pipi ketika mereka menyeka tubuh Vemilla dengan handuk hangat. "Illa Sayangnya Mama ..., cepat bangun, ya, Sayang, Mama, Papa ..., suami kamu, Mama Tyana, dan Papa Josef juga di sini, Nak," rintih perih Sabrina.Handuk hangat itu bergetar di pipi Vemilla. Tubuh gadis itu hangat, namun napasnya dibantu oleh alat yang terpasang di mulut dan hidungnya."Maafkan Mama, Sayang Mama udah banyak membuat kesalahan, Mama janji akan menebus semuanya," sambung Sabrina dengan tangisan yang lebih getir.Tiga lainnya berdiri dengan tangis dan getar tubuh yang berusaha mereka tahan. Ini adalah
Rencana yang dipertimbangkan Vemilla akhirnya tertunaikan. Gadis bertubuh kecil itu melayang ke bawah, raganya yang lemah terlempar jauh dari balkon lantai tiga kediamannya.Vemilla berlayar sambil menatap langit hitam bertabur beberapa bintang. "Apakah aku akan bertemu Kak Ian?" Lirih suara itu tenggelam oleh kepulan angin.Dan ....Byuur ...!Tubuh Vemilla membanting ke air kolam dan berakhir perlahan tenggelam seiring tubuh gadia itu memberat. Keseimbangan tubuhnya tidak terkendali, ia melayang setengah sadar ke tepian kolam.Tubuhnya berat. Air itu layaknya sebuah batu, mengalir dan aliran napas terasa berat seolah tercekik. Rasa sakit mulai menjalar dari punggung ke area depan tubuhnya, menyeruak ke dinding hati."K-kak ...."Bugh!Kepala gadis itu membentur tepian kolam. Warna merah bercampur dengan air, membenam di antara kepala dan tubuh gadis itu."G-gak! I-ini bukan bagian dari rencana! Aarght
Selama bukan kematian, aku akan tetap setia menjadi pendamping Pak Davian. Silakan nikmati akibat dari semua yang telah kamu lakukan, Devianza. Batin Petra berucap sambil berjalan keluar dari ruangan itu.Pintu besi yang dilapisi oleh dinging tertutup, dan sebagian dinding dalam ruangan terbuka, transparan masih terjegal oleh bangunan kaca tebal—di dalam sana bukan hal biasa, Devianza membulat, hebat."Aaarght ...!" Jeritan Devianza meraung-raung.Wanita itu terdiam, getir. Bergetar di sudut ruangan. Tubuhnya kian menggigil tatkala mata kuning menyala dari makhluk berbulu lebat di dalam sana, Devianza menempelkan tubuh ke dinding."Aaarght ..., tolong ...! Petra! Petra! Petra ...."Sayang sekali. Dinding itu telah membunuh semua jeritan dan permintaan tolong dsri Devianza. Bahkan, lelaki itu telah berlalu menjauh, meninggalkan lorong yang menyembunyikan keberadaan ruangan tersebut."Giovanni bed*bah! Dia benar-benar mencari masalah!" geram Petra usai dia memantau cctv tersembunyi yang
Betapa gilanya Devianza. Wanita itu dengan rendahnya menyerahkan dirinya di hadapan pria, memaksa mantan kekasih yang telah beristri untuk berc*nta dengannya di parkiran apotek.Devianza dengan gusar berusaha melepaskan pakaian Davian, namun? Davian adalah laki-laki yang tidak akan tergoda dengan wanita yang dengan sukarela menyerahkan harga dirinya pada seorang pria.Sebelum Devianza berhasil melucutinya, lelaki ini telah memenjara dua pergelangan tangan Devianza lebih awal. "Aaarght ...! Davian ..., lepaskan aku!" jerit Devianza, memberontak meminta untuk melepaskannya.Davian tidak menggubris. Untuk meliriknya saja tak sudi. Rahang dengan setiap partikel di wajahnya adalah ukiran amarah yang telah memerah dan menegang.Lelaki itu tidak bicara saat dia sibuk mencari sesuatu di balik dashboard dengan satu tangan, tangan lain bertahan untuk menyandera Devianza.Devianza telah turun dari pangkuannya, dia mengernyit sambil meringis menahan
Mengelabui Davian adalah sebuah ide konyol yang hanya akan menjerumuskannya ke dalam lubang nestapa, tak ada jalan keluar, selain tertunduk dan menerima konsekuensi.Dua insan terdiam, kaku di tepian laut, memandangi ombak yang bersibak dari ujung sana ke dataran pasir, mereka berkabut oleh amarah dan kekesalan mereka.Rencana itu telah hancur."Arght ..., si a lan!" berang seorang lelaki tak lagi berpakaian rapi.Jas yang terpasang di tubuh itu melempai tak berdaya, layaknya angin malam ini—ia hidup, namun lemah. Melirih seolah digiring luka yang tiada hentinya.Di sisinya wanita cantik tak kalah geramnya. "Bertahun-tahun kita merencanakan ini, mencoba keluar dari penjara Singapura, tertahan di sana, sampai akhirnya bisa kembali ke sini, dan ..."Dengan alis berkibar, keras, wanita itu tersengal saking marahnya. Tangan mengepal penuh, hingga urat tangannya menegang.Giovanni menggeram, deru napasnya terdengar seperti gumpalan api yang berkobar membakar udara. "Dan ternyata kita telat
"Tinggalkan tempat ini, dan jangan pernah kembali ke sini, karena bisnis ini saya yang pegang kendali," tandas Davian sebagai peringatan terakhir.Tiga lelaki saudara Sabrina bergegas berlarian meninggalkan tempat itu usai dia menyeret saudaranya yang telah tersungkur tak berdaya.Mungkin perutnya terasa ngilu, ditambah tangannya melempai—dijamin patah, mungkin. Lelaki itu hanya meringis kesakitan sepanjang tubuhnya diseret secara perlahan meninggalkan hotel tersebut.Terdengar bisikan salah satu dari mereka. "Masa kita mengalah gitu aja?""Dari dulu kita selalu diutamakan, loh, masa sekarang Sabrina yang menang?""Ssstt ...," desis pria di sampingnya kanan lelaki yang tertatih-tatih di tengah mereka, "Dulu lawan kita hanya Sabrina dan orangtua kita lebih membela kita, sedangkan sekarang, Sabrina punya suami yang pasang badan, ditambah menantunya dari keluarga Villarius.""Bukan hanya Villarius, dia pimpinan perusahaan agensi mod