Serak embusan napas dari balik panggilan telepon mulai terdengar menjawab, "Iya, Pak Johan, apa yang bisa instansi kami bantu?" Johan menuruni tangga kecil depan rumah, mengedar ke tengah pekarangan dengan tangan kiri dia benamkan ke saku. "Cari tahu soal kecelakaan putra keluarga Gustavara, dan di mana keberadaan Vemilla saat kecelakaan itu terjadi," pinta Johan pada seseorang di balik panggilan telepon sana. "Tentu, beri kami waktu tiga hari untuk menyelidiki masalah ini." "Oke, saya tunggu kabar selanjutnya." Benarkah keluarga Gustavara begitu mengintimidasi posisi Vemilla? Baik Johan ataupun Sabrina, mereka memiliki pandangan sebelah mata terhadap putri mereka. Vemilla dilahirkan hanya karena keterlanjuran, selebihnya adalah buah tanggungjawab dan memanfaatkan gadis itu untuk keberlangsungan bisnis mereka. Johan keras. Tapi dia masih memiliki hati nurani, dia terkadang merasa jika sikapnya terhadap Vemilla memanglah salah. "Aku keras, Sabrina jauh lebih keras, layaknya Radzi
Pintu harapan melebar di bola mata Vemilla, demikianpun dengan Davian, butiran air berkaca-kaca di matanya, harapan yang ingin dia dengar dari tim dokter yang menangani sahabat terbaiknya. Kerut wajah mereka mengikis perasaan dokter yang menangani Radzian kian menipis, ragu-ragu dia bersuara. "Kami sudah berusaha dengan keras, tetapi ..., keadaan pasien sudah sangat kritis, kehilangan banyak darah dan waktunya tidak sempat, mohon maaf, pasien mengembuskan napas terakhirnya pada pukul 15.43." Tidak ada senyuman di wajah semua orang, lebih-lebih dari dokter wanita itu, dia merasa gagal menjadi seorang dokter, perasaannya campur aduk, tertunduk hingga air mata memberatkan matanya. Vemilla mematung, berita itu seperti dentum petir yang pecah tepat di telinganya, dia mendorong tubuh lemahnya ke belakang. "K-kak I-Ian ...?! GAK! Gak mungkin, Dokter pasti bohong! Enggak mau! Kak Ian harus hidup!" pekik Vemilla menggelengkan kepala dengan frustasi. Dia mengendur dan terjatuh di kursi tung
Kulit kepala mulai terasa perih dan memanas, seperti halnya air mata yang mendadak meleleh tanpa perintah, pria itu masih meyakinkan dirinya atas keselamatan sang sahabat. Berjalan tertatih-tatih di tengah kekacauan, mengabaikan banyak bangkai mobil dan kendaraan lain yang hancur, Davian mendengar jeritan melengking menyerukan nama Radzian. "KAK IAN, BANGUN ...!" Jeritan itu diringi isak tangis memilukan. Jelas suara serak itu milik Vemilla, suara itu terngiang-ngiang, mendorong Davian untuk berlari secepatnya, melintasi banyak bangkai mobil juga para manusia yang berlalu lalang karena kesibukan masing-masing. Radzian! Di mana? Tangisan adiknya terdengar jelas, tapi kenapa aku gak bisa menemukan mereka. Batin Davian dengan raut mengeras Frustasi lelaki itu berkeliling di tengah jalan, menangis dalam kekhawatiran yang menggerogoti diri, Davian membenamkan jari-jarinya di antara jutaan helai rambutnya. "Sh*t!" decaknya meninju angin, "Radzian ...!" Akhirnya Davian memekik. Menyer
Jari kelingking mengacung itu terlihat biasa saja, tapi hati Vemilla berkata lain, ia seperti desir angin yang mengatakan bahwa akan datang kemalangan yang tak diundang. Vemilla mengangkat jari kelingking, ragu-ragu dia menautkan jarinya dengan milik sang kakak, senyum tipis yang menggetir membingungkan gadis itu sendiri. "Kakak pergi dulu, ya, bye adik Kak Ian yang paling cantik ..., kamu harus bahagia dan selalu tersenyum, ya ..., kakak mencintaimu." Ungkapan pamitan itu membawa semilir angin kegetiran mendatangi Vemilla secara berkesinambungan. Vemilla berjalan mengikuti kakaknya, Radzian naik ke atas motor H*rley-nya, mengenakan helm dan menyalakan mesin, di sana Vemilla seperti patung bernyawa yang merasakan suatu hal. "Kak Ian ..., kenapa Kak Ian gak minta orang untuk utus orang untuk mengurus persoalan ini?" Vemilla berusaha menahan kakaknya. Ditanggapi dengan tawa ringan oleh Radzian. "Ini hadiah untuk orang-orang tercinta, jadi harus kakak yang ambil sendiri, tenang aja
Bibir tipis Radzian menaik, senyuman samar-samar tadi perlahan meningkat. "Itu dia, aku gak percaya ada laki-laki yang bisa melindunginya, aku gak bisa merelakannya bersanding dengan pria lain yang gak aku kenal dengan baik." Nada suara Radzian mendadak merendah. Ia melirih seolah beban berat dipikul melalui embusan suaranya, lembut tatapan pria itu hanya tertuju pada Vemilla yang tertawa dalam permainannya, harapan dan bahagia ada di sana, Radzian dapat merasakannya dengan baik. Davian mulai tertarik dengan arah pembicaraan ini, mengabaikan rasa sakit atas kekecewaan yang sedang dia rasakan. "Jadi ..., mau gimana? Gak mungkin kamu terus-terusan menjaga adikmu, kamu juga punya kehidupan, yang artinya kamu juga harus mulai memikirkan kehidupanmu sendiri," tukas Davian menatap sang sahabat dengan dalam. Ada aroma dingin yang mencengkam, perasaannya tercengkeram rasa takut dan khawatir tak bernyali, Davian bingung dengan aura ini, ada rasa takut kehilangan yang datang saat dia menatap
Bugh! Bugh! Bugh! Pukulan beruntun berdatangan menghantam dinding, Davian berseteru dengan perasaannya sendiri, setara dengan berisiknya rasa kecewa yang sedang dirasakan lelaki ini. Bendungan embun menggenangi bola matanya, melekat luka-luka memerah dan lebam di punggung tangan Davian. "Arght ...!" Semuanya dia tumpahkan di sana. Radzian bersandar pada dinding lain, menonton sahabatnya melampiaskan amarah dengan memukul dinding kosong. Tidak menghentikan pula tidak menggurui. "Dinding diem aja kena pukul, ck, ck, ck," decak Radzian menyeret ujung bibir ke sisi mereka. Davian terdiam, luka merah di punggung tangan mulai terasa berdenyut-denyut, wajahnya mengeras dengan aliran napas berseteru satu sama lain dengan detak jantung. "Boleh nangis, gak, sih?" celetuk Davian tertawa di ujung ucapannya, "Laki-laki juga kecewa dengan air matanya bisa 'kan?" Ah sungguh. Menyesakkan. Muak rasanya Davian merasakan perasaan mengecewakan ini, menangis? Tertahan, dipendam? Hati itu seperti
Teriakan Davian meninggi, dan Radzian datang di waktu yang tepat, dia berjalan terbata-bata dari pintu masuk ruangan Ice Rink, pria berjaket kulit hitam itu mengamati situasi yang tengah terjadi. Berjalan sambil mengernyitkan ujung bibir, pula menggaruk belakang telinga. "Ada perang kayaknya," gumamnya berjalan tanpa beban. Saat melihat Devianza yang mematung, ketakutan pun, pria ini sama sekali tidak terkecoh, tujuannya hanya satu—yakni sang adik, nampak jelas jika Vemilla terkejut akan situasi ini. Nyaris menyalahkan dirinya, dia menganggap pertengkeran hebat Davian dengan Devianza karena ulahnya. "Kak Ian ..., gimana ini, mereka berantem, aku harus gimana? Mereka berantem karena aku, Kak—" rengek Vemilla berwajah sendu. Sigap Radzian menggelengkan. "Bukan, mereka udah bermasalah sejak awal," bantahnya menenangkan sang adik. "Seperti yang Kakak bilang tadi di telepon, kalau Davian udah tahu pacarnya selingkuh, udah berlangsung enam bulan, dan selama itu pula Davian mengetahuiny
"Diam!" bentak Davian menyeret tubuh Devianza menjauh dari jangkaun pandangan terhadap Vemilla di sana. "Dia wanita yang sangat baik, bahkan terlalu baik." Aku membenci wanita baik seperti Vemilla. Dia terlalu lemah dan mudah memaafkan, kalau aku bisa, akan aku didik dia menjadi wanita penuh keberanian. Batin Davian mendadak mengoceh sendiri. Davian mendekat, membuat Devianza menggetir, menyeret langkah ke belakang dengan tegang dan tubuh seolah dikunci dengan sengaja oleh sesuatu. "Kamu marah, kamu kesel, kamu jengkel dan memarahi sembarangan wanita tanpa bertanya hubungannya denganku apa?" gertak Davian mengeratkan gigi pun sorot mata mengunci tatapan Devianza. Glekk! Jelas sekali, Devianza ketakutan, wajahnya merengut pun bibir bergetar. "Sa-sayang ..., kenapa kamu jadi marah sama aku, harusnya aku yang marah karena kamu jalan sama wanita la—" Sebelum Devianza menyelesaikan ucapannya, Davian telah lebih dulu memotong ucapan sang kekasih. "Stop! Saya benci dan muak melih
Beberapa detik lalu, ponsel genggam baru saja dibenamkan ke dalam saku celana, tegang dan geram hatinya masih terasa mencengkeram—panggilan seorang wanita menghentikan ketegangan hatinya. Davian si pria berlengan kekar nan proporsional berbalik, menyipitkan mata tanpa memikirkan hal lain. "Ada masalah apa? Adik saya menolak arena itu?" Sontak dia menduganya dengan demikian. Wajah merengut karyawan wanita itu menarik langkah Davian semakin mendekat, pergerakan kian melesat dan panik dalam diri pria itu mendadak menggunung. "Ada apa? Cepet ngomong, ada masalah apa?" tuntut Davian menatap karyawan wanita itu penuh ambisi. Sang karyawan wanita menghela napas, panjang beberapa saat. "Pacar Tuan Davian tadi maksa masuk ke Ice Rink, sepertinya lagi marah-marah, apa ad—" Sebelum habis wanita di depannya menjelaskan beberapa situasi tadi, Davian membulat, bibir bergetar akan rasa takut hal buruk terjadi pada adik sahabatnya. Jelas, penuturan wanita tadi menerangkan jika kekasihnya sudah