Untuk ke sekian kalinya Davian mendengar Radzian menjodohkan dirinya dengan adiknya, sudah terbiasa dan lelaki dengan berat badan 79 kg itu menganggap hal itu adalah candaan yang tak perlu dia pikirkan sedalam itu.
Kala itu, Davian tidak menjawab, dia berlalu begitu saja, memasuki lorong kamar mandi, ingatan berakhir sampai sana, lelaki tangguh itu sama sekali tidak melihat isi dari kotak tersebut. "Jadi, kotak itu dipersiapkan untukku dan adiknya." Senyum bernuansa pedih itu mendobrak pertahanan diri Davian. Di sana, detik itu juga air mata Davian merunduk dan berakhir menjadi hujan deras yang mampu membasahi pipi. Tangannya gemetaran membuka kotak itu secara perlahan. Sungguh terkejut, Davian sampai membuka mulutnya lebar-lebar, ternganga tak percaya dengan isi dalam kotak tersebut, itu adalah satu set jas tuxedo berbahan wool untuk pernikahan, bahkan ada sebuah kotak perhiasan berwarna merah di atasnya, juga sebuah bukuSerak suara di balik panggilan telepon terdengar napasnya berhembus. "Baik, Pak, segera saya cari tahu tentangnya." Panggilan telepon berakhir begitu saja, Davian hanya memberi perintah lalu mematikan panggilan telepon dengan cepat. Pria itu membalikkan tubuh dan memasati paras cantik Vemilla, dia amati secara mendalam gadis itu. "Ian ...," seru Davian bernapas berat. "Apa yang salah dengan adikmu, dia terlihat manis dan penurut, dia baik dan selalu mengalah, kenapa orangtua kalian begitu membenci gadis ini?" sambungnya mempertanyakan hal yang sama. Meskipun dia telah mendengar banyak alasan dari Radzian mengenai sikap pilih kasih orangtua mereka, jelas Davian ingin mendengar alasan pasti mengapa gadis ini dibedakan. Langkah demi langkah terurai ke depan, mendekati Vemilla yang terlelap dengan luka-luka lebam di wajahnya, kulit selembut itu harus bertarung dengan ganasnya tamparan Sabrina. "Say
Untuk ke sekian kalinya Davian mendengar Radzian menjodohkan dirinya dengan adiknya, sudah terbiasa dan lelaki dengan berat badan 79 kg itu menganggap hal itu adalah candaan yang tak perlu dia pikirkan sedalam itu. Kala itu, Davian tidak menjawab, dia berlalu begitu saja, memasuki lorong kamar mandi, ingatan berakhir sampai sana, lelaki tangguh itu sama sekali tidak melihat isi dari kotak tersebut. "Jadi, kotak itu dipersiapkan untukku dan adiknya." Senyum bernuansa pedih itu mendobrak pertahanan diri Davian. Di sana, detik itu juga air mata Davian merunduk dan berakhir menjadi hujan deras yang mampu membasahi pipi. Tangannya gemetaran membuka kotak itu secara perlahan. Sungguh terkejut, Davian sampai membuka mulutnya lebar-lebar, ternganga tak percaya dengan isi dalam kotak tersebut, itu adalah satu set jas tuxedo berbahan wool untuk pernikahan, bahkan ada sebuah kotak perhiasan berwarna merah di atasnya, juga sebuah buku
Hampir saja Davian melupakan suatu hal, di rumah ini bukan hanya Vemilla, melainkan ada asisten rumah tangga yang dipekerjakan Radzian untuk memenuhi kebutuhan adiknya. Dengan wajah sedikit mengeras, lelaki itu menjawab, "Masuk," katanya. Pintu setengah tertutup itu terbuka lebar, membawa seorang wanita paruh baya—43 tahun, masuk ke kamar bernuansa putih dan merah muda tersebut, wanita berpakaian seadanya itu membawa semangkuk besar air hangat dengan kain putih berbulu halus. "Saya mau mengompres luka Nona," ucapnya menundukkan wajah. Davian menghela napas beberapa saat, seraya menyisir rambut ke belakang, pria ini berlalu keluar dari ruang kamar Vemilla, tanpa meninggalkan pesan apapun. Berjalan menuruni tangga. Di anak tangga yang entah ke berapa, ponsel yang sejak tadi terbenam di saku celana mulai bergetar, menggelitik tubuhnya hingga merasa geli. Davian menghentikan langkah, merogoh ponsel dan mendekatkan ke telinga. "Halo," sapanya singkat, bahkan dia tidak melihat s
Sifat keras kepala yang dimiliki Sabrina tidak pernah bisa diredam, Johan selalu kewalahan menghadapinya, wanita paruh baya itu histeris, menjerit tanpa ampun sambil menjambak rambutnya sendiri juga berputar tanpa arah. "Argh ...! Diam Johan! Kita kehilangan putra kita karena dia! Sejak awal! Anak itu emang pembawa sial!" berang Sabrina gemetaran karena tangisannya berada di fase paling puncak. Johan ikut frustasi, dia pun bersedih pula, kehilangan putranya membuat dirinya kehilangan setengah jiwanya, tetapi dia tak bisa menyalahkan putrinya atas hal yang belum dia ketahui kebenarannya. Dia tertunduk dan menghela napas panjang. "Aku bilang cukup, SABRINA!" Pecah sudah teriakan Johan. Kepedihan mengikis air mata di ujung mata, Johan menatap Sabrina dengan gemetar tatapannya. "Kita kehilangan putra kita, dan kamu mau bunuh putri kita juga! Vemilla putri keluarga Gustavara! Hilangkan ambisi dan dendam kamu! Vemilla gak salah!" Sudah lama Johan ingin mengutarakan pikirannya, sejak la
Serak embusan napas dari balik panggilan telepon mulai terdengar menjawab, "Iya, Pak Johan, apa yang bisa instansi kami bantu?" Johan menuruni tangga kecil depan rumah, mengedar ke tengah pekarangan dengan tangan kiri dia benamkan ke saku. "Cari tahu soal kecelakaan putra keluarga Gustavara, dan di mana keberadaan Vemilla saat kecelakaan itu terjadi," pinta Johan pada seseorang di balik panggilan telepon sana. "Tentu, beri kami waktu tiga hari untuk menyelidiki masalah ini." "Oke, saya tunggu kabar selanjutnya." Benarkah keluarga Gustavara begitu mengintimidasi posisi Vemilla? Baik Johan ataupun Sabrina, mereka memiliki pandangan sebelah mata terhadap putri mereka. Vemilla dilahirkan hanya karena keterlanjuran, selebihnya adalah buah tanggungjawab dan memanfaatkan gadis itu untuk keberlangsungan bisnis mereka. Johan keras. Tapi dia masih memiliki hati nurani, dia terkadang merasa jika sikapnya terhadap Vemilla memanglah salah. "Aku keras, Sabrina jauh lebih keras, layaknya Radzi
Pintu harapan melebar di bola mata Vemilla, demikianpun dengan Davian, butiran air berkaca-kaca di matanya, harapan yang ingin dia dengar dari tim dokter yang menangani sahabat terbaiknya. Kerut wajah mereka mengikis perasaan dokter yang menangani Radzian kian menipis, ragu-ragu dia bersuara. "Kami sudah berusaha dengan keras, tetapi ..., keadaan pasien sudah sangat kritis, kehilangan banyak darah dan waktunya tidak sempat, mohon maaf, pasien mengembuskan napas terakhirnya pada pukul 15.43." Tidak ada senyuman di wajah semua orang, lebih-lebih dari dokter wanita itu, dia merasa gagal menjadi seorang dokter, perasaannya campur aduk, tertunduk hingga air mata memberatkan matanya. Vemilla mematung, berita itu seperti dentum petir yang pecah tepat di telinganya, dia mendorong tubuh lemahnya ke belakang. "K-kak I-Ian ...?! GAK! Gak mungkin, Dokter pasti bohong! Enggak mau! Kak Ian harus hidup!" pekik Vemilla menggelengkan kepala dengan frustasi. Dia mengendur dan terjatuh di kursi tung
Kulit kepala mulai terasa perih dan memanas, seperti halnya air mata yang mendadak meleleh tanpa perintah, pria itu masih meyakinkan dirinya atas keselamatan sang sahabat. Berjalan tertatih-tatih di tengah kekacauan, mengabaikan banyak bangkai mobil dan kendaraan lain yang hancur, Davian mendengar jeritan melengking menyerukan nama Radzian. "KAK IAN, BANGUN ...!" Jeritan itu diringi isak tangis memilukan. Jelas suara serak itu milik Vemilla, suara itu terngiang-ngiang, mendorong Davian untuk berlari secepatnya, melintasi banyak bangkai mobil juga para manusia yang berlalu lalang karena kesibukan masing-masing. Radzian! Di mana? Tangisan adiknya terdengar jelas, tapi kenapa aku gak bisa menemukan mereka. Batin Davian dengan raut mengeras Frustasi lelaki itu berkeliling di tengah jalan, menangis dalam kekhawatiran yang menggerogoti diri, Davian membenamkan jari-jarinya di antara jutaan helai rambutnya. "Sh*t!" decaknya meninju angin, "Radzian ...!" Akhirnya Davian memekik. Menyer
Jari kelingking mengacung itu terlihat biasa saja, tapi hati Vemilla berkata lain, ia seperti desir angin yang mengatakan bahwa akan datang kemalangan yang tak diundang. Vemilla mengangkat jari kelingking, ragu-ragu dia menautkan jarinya dengan milik sang kakak, senyum tipis yang menggetir membingungkan gadis itu sendiri. "Kakak pergi dulu, ya, bye adik Kak Ian yang paling cantik ..., kamu harus bahagia dan selalu tersenyum, ya ..., kakak mencintaimu." Ungkapan pamitan itu membawa semilir angin kegetiran mendatangi Vemilla secara berkesinambungan. Vemilla berjalan mengikuti kakaknya, Radzian naik ke atas motor H*rley-nya, mengenakan helm dan menyalakan mesin, di sana Vemilla seperti patung bernyawa yang merasakan suatu hal. "Kak Ian ..., kenapa Kak Ian gak minta orang untuk utus orang untuk mengurus persoalan ini?" Vemilla berusaha menahan kakaknya. Ditanggapi dengan tawa ringan oleh Radzian. "Ini hadiah untuk orang-orang tercinta, jadi harus kakak yang ambil sendiri, tenang aja
Bibir tipis Radzian menaik, senyuman samar-samar tadi perlahan meningkat. "Itu dia, aku gak percaya ada laki-laki yang bisa melindunginya, aku gak bisa merelakannya bersanding dengan pria lain yang gak aku kenal dengan baik." Nada suara Radzian mendadak merendah. Ia melirih seolah beban berat dipikul melalui embusan suaranya, lembut tatapan pria itu hanya tertuju pada Vemilla yang tertawa dalam permainannya, harapan dan bahagia ada di sana, Radzian dapat merasakannya dengan baik. Davian mulai tertarik dengan arah pembicaraan ini, mengabaikan rasa sakit atas kekecewaan yang sedang dia rasakan. "Jadi ..., mau gimana? Gak mungkin kamu terus-terusan menjaga adikmu, kamu juga punya kehidupan, yang artinya kamu juga harus mulai memikirkan kehidupanmu sendiri," tukas Davian menatap sang sahabat dengan dalam. Ada aroma dingin yang mencengkam, perasaannya tercengkeram rasa takut dan khawatir tak bernyali, Davian bingung dengan aura ini, ada rasa takut kehilangan yang datang saat dia menatap