Tiap tetes air mata yang berjatuhan dari kelopak mata sang adik adalah bagaimana tetes luka yang meninju hati Radzian, lelaki itu berkaca-kaca sambil menyeret bahu adiknya untuk masuk dalam dekapannya.
Radzian mencelus, ia mencelat jauh pada rasa sakit yang sulit dibicarakan, yang jelas pria ini terluka, rasa sakitnya sudah seperti pedang Katana yang merobek dinding di wilayah perang. "Jangan nangis, sekarang kamu istirahat dan obati luka kamu, untuk besok, istirahat aja dulu, jangan latihan ballet dulu," bujuk Radzian mengelus pangkal kepala adiknya. Dalam diam dan tenangnya suara Radzian, pria ini tengah membangun kubangan dendam yang ingin sekali segera dia muntahkan, dia menggetir dengan tatapan mendesir. Vemilla segera bangkit dan menggelengkan kepalanya, lemah. "Gak bisa, kak!" tolak Vemilla bernada lirih. Warna ketakutan semakin nyata di matanya. "Mama bisa marah kalau aku gak latihan ballet, sebentar lagi 'kan kompetisi internasional," sambung Vemilla. Rasa sakit yang terukir di tubuhnya tidaklah seberapa, Sabrina—ibu kandung yang melahirkannya itu tidaklah berbuat kasar semacam kekerasan fisik, hanya saja perkataannya yang memimpin dan mendikte membuat Vemilla tak mampu berkutik. Tatapannya merendah. Ia luruh bagai awan tipis mengirim rinai-nya yang hangat nan lembut. "Tadi ..., mama tahu kalau aku bolos latihan malam gara-gara Gi—" Degh! Spontan, Vemilla segera menghentikan ucapannya, dia katupkan bibir dan menekannya sampai napas tersendat-sendat. Terbata-bata dia mengintip ekspresi wajah sang kakak. Radzian mendelik, malas, sambil berkacak pinggang dia membuang wajah sampai akhirnya dia kembalikan ke posisi semula. "Kakak udah tahu apa yang terjadi," jawab Radzian dengan tegas. "Lagipula, hanya orang b*doh yang gak menyadari kalau kamu habis mengalami hal buruk," katanya mengerutkan dahu Telunjuk tangan kanan mengarah ke wajah Vemilla. "Lihatlah, luka di wajahmu, terlihat mengerikan," tandasnya. Seperi biasa, gadis ini hanya terdiam tanpa sepatah katapun keluar dari mulutnya, perasaannya terlalu lemah, bicara sama saja membuang air mata yang telah terbendung di hatinya. Radzian membalik bahu adiknya, mendorong gadis itu masuk kembali ke kamarnya, lanjut dia mendudukkan tubuh lemah Vemilla di atas pesisir ranjang. "Besok, ikut sama kakak, biar mama gak curiga, tapi bukan untuk latihan ballet, kita pergi ke tempat lain," tawar Radzian sambil dia berjalan ke meja rias. Dari dalam laci, pria bertubuh kekar itu mengambil kotak putih P3K. Vemilla yang sedang gundah tidak lagi merasakan perasaannya berkecamuk pada kepedihan dan perasaan tak menyenangkan lainnya. "Ke mana, kak?" Antusias gadis itu bertanya pada kakak kandungnya. Radzian berlutut di hadapan Vemilla, dia mengeluarkan obat krim pereda nyeri dari dalam kotak putih, lantas lelaki itu menunduk di hadapan lutut adiknya, di sana dia mengoles krim pereda nyeri itu di atas luka yang ada di lutut adiknya. "Apa yang membuatmu senang?" Pertanyaan dijawab pertanyaan lagu oleh Radzian. Dunia ini kejam, Vemilla dilahirkan di keluarga kaya, tetapi tidak memberinya ketenangan atau kebahagiaan, dia selalu dituntut untuk ini dan itu demi memenuhi ekspektasi orangtuanya. Vemilla adalah wajah yang dipaksa tanpa cacat, biar luka terpatri di permukaan tubuhnya, gadis ini selalu dituntut untuk sehat, saat jiwanya terluka pun dia selalu dipaksa untuk tersenyum. Salah satu alasan dia tetap bertahan di keluarga yang mendiskriminasi kehadirannya karena Vemilla seorang wanita adalah kakaknya, gadis itu tersenyum sambil memandangi ketampanan kakaknya. "Kakak dan ice skating." Dua hal yang tak pernah berubah sejak awal. Dunia Vemilla yang kelam dan suram hanya ada dua kebahagiaan yang tak tersiar, kehadiran sang kakak selalu menjadi penyembuh paling ampuh dan ice skating adalah kebahagiaan yang harus dia sembunyikan. Radzian tersenyum tipis. Merasa tersanjung dengan adiknya, bukti lelaki ini sangat mencintai adik kandungnya. "Kakak dan ice skating akan menemanimu," tandas Radzian. Masa pengobatan berakhir, Radzian meletakkan kotak P3K kembali ke laci sebelumnya. Sang adik tengah tersenyum, matanya berbinar, tetapi rasa kasihan dan iba yang malah membangun diri dengan megah. Bagaimana bisa senyuman seindah dan semanis itu dikerubungi luka yang berkesinambungan, bukan hanya sikap pilih kasih ke-dua orangtuanya, hingga hari ini masih berlangsung, Vemilla juga harus menghadapi mantan kekasih dengan tempramental buruk. Adikku yang cantik dan manis, wajahnya terlalu cantik untuk dilukai, tubuhnya terlalu lemah jika harus menghadapi masalah gila ini. Batin Radzian mengiba. Perasaannya menggetir, tidak mampu membayangkan apa yang sudah terjadi pada adiknya, senyuman lembut itu harus dikekang jeritan rasa takut. Giovanni sang mantan kekasih dari adiknya telah mengundang amarah Radzian, bagaimana tidak? Vemilla si cantik nan lembut itu harus terus-terusan mendapatkan penghakiman dan kekerasan tak berdasar darinya dengan dalih tidak terima diputuskan. "Kalian udah putus satu tahun lalu, terus kenapa dia selalu datang lagi dan lagi, gilanya, dia datang saat kakak gak ada di dekatmu, dik," tanya Radzian. Kini tatapan itu tampak serius dan mendalam, Radzian bersandar pada meja rias di kamar adiknya, seraya menyilangkan tangan di depan dada, lelaki itu menyudutkan pandangan pada Vemilla. Tak pernah ada rahasia di antara hubungan kakak-beradik kandung ini, Vemilla selalu menjadi gadis kecil yang manis dan penurut. "Dia gak mau diputuskan, Kak, jadi dia selalu datang dan memintaku kembali padanya," jawab Vemilla, jujur. Awalnya Vemilla terlihat tenang. Namun, beberapa saat kemudian, ketakutan dalam dirinya menggejolak, kemudian tatapannya menjadi lirih dan keruh. "Aku gak mau kembali, Kak, dia kasar, egois dan angkuh, yang paling penting, aku gak pernah bisa mencintainya." Inilah alasan utamanya, Giovanni enggan melepaskan Vemilla karena lelaki itu merasa terhina jika wanita keinginannya tidak pernah mencintainya sepanjang hubungan mereka. Hubungan itu terjalin hanya karena Vemilla merasa kasihan harus menolak Giovanni, dari rasa kasihan itu membawa Vemilla pada hubungan toxic, Radzian mengetahui segalanya, dia sama sekali tidak terkejut akan hal itu. "Lain kali, kalau emang gak suka jangan dipaksakan," tukas Radzian berusaha tenang di hadapan adiknya, "Istirahat sana, tidur, kakak mau ketemu Davian dulu," pamitnya. Tubuh tinggi Radzian melenggang keluar dari kamar pribadi sang adik, Vemilla sendiri sudah kelelahan, dia tidak ada energi untuk mengingat kejadian buruk yang terjadi tadi. Mudah sekali wanita itu untuk terlelap dan bergabung dengan alam bawah sadarnya, usai bicara dan bertukar pikiran dengan kakaknya, perasaan gadis ini selalu jauh lebih baik. Berbeda dengan Radzian, pria itu masih terkurung amarah dan gejolak balas dendam yang tak berkesudahan. Lelaki itu berlari menuruni tangga hingga dia tiba di lantai satu rumah tersebut. Drrtt .... Tanpa aba-aba Radzian segera melakukan panggilan telepon dengan sahabat karibnya. "Halo, Dav, sibuk gak?" Suara embusan napas berat dari balik panggilan telepon itu menjawab pertanyaan Radzian lebih dulu. "Eum, aman, ada apaan?" "Aku minta tolong lacak keberadaan si Giovanni sekarang ada di mana?" Menggebu-gebu Radzian keluar dari rumah pribadi sang adik. Pasalnya, mereka memang hidup terpisah, orangtuanya selalu ada di Bali dimana mereka dilahirkan dengan perbedaan umur cukup jauh, yakni 10 tahun perbedaannya. Vemilla hidup seorang diri di rumah itu, Radzian melompat ke atas motor gede miliknya yang sejak tadi terparkir di pekarangan luas rumah tersebut. "Kenapa lagi sama mantan adikmu itu?" "Si baj*ngan itu harus dih*jar, bisa-bisanya dia melukai adikku sampai wajah dan tangannya memar-memar," jawabnya penuh antusias. Next ....Melodi penyambutan bergema, alunannya mendayu dengan merdu dan lembut, setiap petikan musik menjadi irama yang mengiringi langkah Davian—turun dari atas secara bertahap.Bersamaan dengan tirai merah di atas panggung terbuka, ia melebar dan menarik seorang gadis cantik tertutup topeng putih, persis topeng ballerina yang Davian temui di Singapura.Debar dalam dada lelaki bertubuh tegap itu membuncah, dia membulat dan terdiam, kaku, di tangga tengah antara dua area deretan kursi penonton. "Mus-tahil," bisik Davian.Tatapannya berdebar. Menggelengkan kepala, mencoba mencerna hal-hal yang terjadi begitu mendadak di depan matanya, perlahan dua alis lelaki itu mengerucut, menciut hingga terasa mengecil."Ba-bagaimana bisa?" katanya bernapas berat sambil tersengal-sengal.Bukan frustasi. Davian membenamkan jari-jemarinya ke pangkal kepala karena dia sungguh tak dapat memercayai hal ini, Ballerina cantik yang dia perhatian di Singapura, ternyata istrinya sendiri."What?" seru pelan Davian, "Re
Vemilla memang tidak begitu mengetahui tentang masa lalu sang mama, dia hanya mendengar dan menyimpukannya tanpa kejelasan visualisasi atau bukti nyata tentang hal-hal yang dikatakan Sabrina padanya.Gadis berpakaian ballerina berwarna putih dengan perpaduan warna merah muda itu mulai beranjak dari posisinya. "Ini ..., tentang keluarga Mama?" tanya Vemilla melanjutkan kepenasarannya yang telah lebih dulu terlontar."Iya, keluarga Mama kamu lagi pembagian warisan, dan orangtuanya memberikan tantangan," jawab Johan dari sana."Tantangan semacam apa, Pah?" Kerut di dahi menandakan jika gadis ini benar-benar penasaran."Siapapun anaknya yang bisa membangun bisnis di tanah itu, maka dia yang berhak mendapatkan warisan atas tanah tersebut," terang Johan tidak ada yang dia tutupi dari gadis kecilnya.Degh!Tantangan mengerikan. Ini seperti perebutan tanah kekuasaan yang sering dilakukan oleh penguasa kerajaan di tanah-tanah sengketa, da
Tyana menyadari jika suaminya tengah gelisah, mencari sesuatu yang tidak diketahui apa itu, netra wanita itu mendikte apa yang dilakukan oleh Josef.Josef menoleh ke kiri dan Tyana bergerak ke arah berlawanan, dia mencari seseorang yang seharusnya ada. "Mereka gak mungkin gak datang, 'kan, Mah?" kata Josef."Siapa?" Tyana balik bertanya."Johan dan Sabrina."Entahlah. Di mana pasangan yang mengaku sebagai orangtua kandung Vemilla ini, keberadaannya seolah tertelan bumi oasca putri mereka dinikahi oleh Davian.Seakan-akan mereka melepaskan kehidupan Vemilla sepenuhnya pada Davian, mereka kembali ke Bali dan tidak pernah diketahui, apakah mereka pernah kembali atau tidak.Di balik tirai panggung besar itu, para ballerina dengan orang-orang kepercayaan mereka terduduk di kursi tunggu yang tersedia, Vemilla dan Ghania duduk di salah satu kursi itu."Apakah mereka akan datang kali ini?" tanya Ghania bernada iba, juga menyayangkan jika sikap Johan dan Sabrina masih sama seperti dahulu.Yang
Lima tahun?Waktu yang panjang dan cukup memiliki toleransi yang kuat untuk memberikan ballerina cantik itu untuk berkarir dan mengembangkan karirnya. Hanya saja mereka nampak masih ragu bahwa lelaki ini bisa tahan selama itu.Mereka tidak tahu, jika pernikahan ini atas dasar keterpaksaan takdir yang mengharuskan mereka untuk tinggal di atap yang sama tanpa menimbulkan kecurigaan dan kegaduhan sosial."Baik, Pak Davian, kami akan tetap suportif dan tidak akan ingkar dari tugas, apalagi menyetujui permainan gelap dari lawan yang ...," urai salah satu juri yang ada di depan Davian.Netranya terang-terangan mengerling ke Mahesa yang terdiam, kikuk, duduk di kursi, meremas angin dan menggeram dalam bisu. Dia marah juga kesal, tetapi di depan Davian nyalinya seakan musnah.Davian menyadari pertukaran ekspresi mata yang diberikan juri di depan, secara spontan lelaki itu menjeling ke samping. "Dia ..., Mahesa, pimpinan perusahaan fashion yang berkembang di Singapura, ayah kandung Devianza M
Buah pikiran dan tanggapan Theliza tidaklah salah, dalam pandangan umum, perhatian dan sikap yang diberikan Tuan misterius ini sangatlah wajar apabila dianggap suatu ketertarikan akan sebuah perasaan.Ghania pun sempat berpikir ke arah ini. "Bisa jadi emang lelaki yang mencintainya secara sembunyi-sembunyi, tapi ...," balas Ghania sedikit meragukan pandangan ini."Pria ini gak pernah datang lagi setelah kompetisi dunia di Singapura itu, dia seperti tertelan bumi, apa dia tinggal di luar negeri, ya?" tambahnya menerawang beberapa kemungkinan yang tidak dapat dipastikan."Bisa jadi. Kita lihat hari ini, apa dia hadir atau tidak, karena kompetisi ini termasuk tingkat internasional, hanya saja diadakannya dalam negeri kita.""Eum," gumam Ghania menganggukkan kepala.Jika benar, kalau pria itu adalah lelaki yang mencintai Illa, sepertinya dia harus patah, karena Illa sudah menikah, meskipun pernikahan ini terbilang tidak murni.Tapi s
"Hah?!" Vemilla berseru, bingung.Mengapa suaminya berkata demikian. Bahkan sepanjang jalan, pria bertubuh tegap itu tampak serius dan tajam, bukan hanya kerlingan mata, dari segala sudut wajahnya Davian, ketara penuh amarah.Ghania di sini telah memahami ekspresi itu, gadis itu berdeham untuk menimpali ucapan Davian, "Pak Petra baru aja pergi ke—"Sebelum ucapan itu tuntas, Petra telah lebih dulu bergabung dengan mereka, datang dari sudut kiri—pintu keluar gerbang gedung kompetisi.Sembari terengah-engah dia membawa sebuket bunga Lilac dengan hiasan bunga Gypsophila berwarna putih, ada tambahan bugna daisi yang cantik."Ini, sorry tadi bungamu jadi hilang," katanya menyerahkan buket cantik itu pada Ghania.Si gadis model cantik itu terlonjak, dia tak menyangka jika Petra yang merupakan orang nomor dua di perusahaan Light and Sun Modelling memiliki perangai sesungkan ini.Ragu-ragu Ghania mengambil alih dan menyulam senyum, manis, di bibirnya. "Makasih, Pak. Tapi, sebenarnya gak masal