Share

Bab 3—MAS

last update Last Updated: 2025-03-01 17:15:21

Kafe Mentari tujuh, pusat kota yang menjadi bintang utama di wilayah tersebut, malam semakin mencekam, hari yang telah dilalui dengan nahas mengirim pria yang disebut sebagai monster cinta datang dengan keadaan mabuk berat.

Wajah lelah mendominasi Giovanni, mata sayup setengah tertidur mengitarinya, lelaki bertubuh gontai itu menyusuri ruangan kafe menuju sebuah meja di sudut ruangan, sekumpulan pria sejenisnya tengah beradu mulut di sana.

"Hei, Bro! Gimana? Apa kamu bisa membawa kekasihmu itu ke ho tel?" tanya seorang lelaki di meja itu.

Tawa mengerikan keluar dari tiap mulut pria-pria yang ada di sana, tanpa terkecuali Giovanni sendiri demikian, dia cengengesan seolah tahta sang juara berada dalam genggamannya.

Lelaki dalam pengaruh alk*hol itu bergerak lemah—menyandarkan punggung di sana. "Cewek lemah sok jual mahal itu berhasil melarikan diri, ta-pi ..., lihat aja besok, aku akan bisa menik—"

Lirih suara Giovanni tak enak didengar, ditambah rekan-rekannya amat mendukung sikap k*ji temannya ini, tetapi sebelum ucapan itu berakhir, bogem mentah telah lebih dulu menghantam wajah lelaki itu.

Bugh!

Tepat sasaran! Tinju mentah Radzian mendarat dengan sempurna di wajah kiri pria itu, tubuh Giovanni yang tengah setengah sadar itu berguling ke dekat temannya.

Prang!!

Meja berisikan makanan dan minuman berguling bersama mereka, serpihannya berserakan tak menentu, sebagian besar hancur tak bersisa.

"Akh," ringis Giovanni, matanya berkaca-kaca.

Ke-lima pria lain segera bangkit, kemudian Giovanni ikut berdiri dengan sisa tenaganya, rasa berat menggeluti diri lelaki itu. "Woi! B*ngs*t!" pekik Giovanni tanpa dia ketahui siapakah pria tangguh di depannya.

Radzian berwajah seram, hidung mengerut dan tatapan tajam itu datang mendekat, memasang ekspresi paling mengerikan dari sebelumnya, sementara Davian—sahabat karibnya berada di belakang.

"B*jing*n!" gertak Radzian tanpa ampun.

Usai menyambar kerah baju Giovanni, lelaki bertubuh tinggi itu menyeret paksa pun kasar pria di depannya, tanpa segan dia membawanya keluar kafe.

Teman-temannya yang lain nampak kebingungan, mereka bertukar pandang satu sama lain, hingga akhirnya mereka bergerak dari lokasi mereka.

Berniat untuk mengejar dan hendak membantu sahabatnya itu, tetapi ..., Davian dengan gagah membentangkan tangan, menghentikan pergerakan para pria tersebut.

"Jangan ikut campur, ini urusan mereka," gertak Davian menegaskan posisi mereka.

Tertahan beberapa saat, ingin melawan dan mengagungkan ambisi solidaritas yang mereka miliki, akan tetapi saat mereka melihat sosok Davian yang tentu mereka mengenalinya, nyali ke-lima pria itu otomatis menciut.

Glekk!

Semuanya meneguk saliva sampai sorot mata kabur-kaburan. "Di-a ...?" bisik salah satu dari mereka seraya menyudutkan perhatian pada Davian.

"Davian Antareksa Villarius, CEO agensi model internasional—Light and Sun Modelling, punya universitas sendiri dan menanam saham di beberapa perusahaan fashion," jelas salah satu dari rekannya.

Wow! Lawan yang tidak sepadan, mereka memilih untuk mundur dan membiarkan sahabatnya bertarung sendiri. Di luar sana, Giovanni menggelinding usai dilempar Radzian.

"Oh, sh*t!" cibir Giovanni menggeliat kesakitan di sekitar jalan.

Radzian memutar leher dari arah kiri ke kanan, sempat menekuk tangan-tangan sebagai pola persiapan diri. "Di mana Anda menyakiti adik saya, hah!!" jerit Radzian terkurung emosi membara.

Pria tangguh itu datang, menendang wajah Giovanni. Bugh!

"Argh ...!" Lelaki di bawah berguling, dia meringis kesakitan sampai tulang pipi terasa ngilu dan air mata di pelipisnya menetes.

Tidak cukup. Radzian segera menggocoh wajah mantan kekasih adiknya itu dengan pukulan beruntun, napas tersendat, air mata meleleh dan rasa kelu turut menyertai, Giovanni kewalahan.

"Argh ...!" Jeritan lain meraung-raung kala Radzian menghantam perut pria tersebut dengan tendangan mautnya.

Radzian benar-benar mengukir luka di bagian tubuh Giovanni dimana lelaki itu melukai tubuh kecil nan lembut sang adik, wajah adalah bagian utama, lengan dan kaki serta perut sebagai bonusnya.

Giovanni berada di ambang nyawa, dia menutup mata sebelah setelah hantaman keras lelaki itu tak pernah berhenti, dia tengkurep sambil mengatur pola pernapasannya yang sudah tak mampu dia kendalikan.

"Jangan sekali lagi menemui adikku—Vemilla Viandra Gustavara, sampai aku melihat batang hidungmu di dekatnya, maka lihat aja apa yang bisa aku lakukan terhadapmu!" Ancam Radzian.

Menurut hati, Radzian tentu saja tidak puas, ketika Giovanni terkapar tak berdaya di sana, pria bertubuh tinggi ini masih datang dan melayangkan tinju ke udara.

Ia terjatuh melayang menuju Giovanni, tepat pada waktunya Davian datang dan menahan tinju itu tepat saat tinju itu berada di sekitar wajah Giovanni.

"Tujuanmu hanya memberinya pelajaran, bukan membunuhnya, kita pergi sekarang," ajak Davian dengan tenang.

Radzian telah kehilangan banyak energi, dia tidak berucap atau protes aksinya dihentikan oleh sahabatnya sendiri, yang jelas, dia telah puas meluapkan emosi pada pria tersebut.

"Akh," ringis Giovanni bertatapan sayu, dia tersengal-sengal di antara hidup dan mati, "Si*lan! Ru-panya ..., cewek lemah itu punya kak-ak."

***

Menjelang pagi, embun yang mengepung pagi tadi perlahan meleleh, mereka berlarian saat cahaya sang baskara berkeliling, menyingkirkan dingin dan kelamnya pagi.

Dua lelaki bertubuh kekar nan tinggi itu menggeliat dari bawah meja, di antara sofa-sofa empuk dan tumpukan jaket serta barang-barang ke-duanya.

"Hoaamm ...." Radzian menggeliat, memukul bahu, leher, serta menarik tubuhnya untuk terduduk bersila.

Sepanjang malam dua pria bersahabat baik itu menghabiskan waktu bersama, minum-minum hingga m*buk berat, berakhir terkapar tak sadarkan diri hingga pagi menjelang.

"Dav, Dav, kayaknya hapemu bunyi." Radzian memukul paha Davian yang masih terlelap.

Sementara pria berkaos polos putih itu melenggang ke kamar mandi luar apartemen pribadi sahabatnya, di saat itulah pria tampan dengan rahang tegas itu terbangun dari kantuknya.

Berusaha membuka bola mata yang masih terasa lengket, terlebih sepertinya pengaruh alk*hol semalam telah membuat energi pria ini hilang sebagiannya.

"Apa, sih, pagi-pagi gini," protes Davian seraya menguap.

Air mata kecil menetes beberapa bagiannya, ponsel di atas meja dia raih tanpa memerhatikan layar ponsel atau memastikan siapa yang melakukan panggilan telepon tersebut.

"Eum ..., halo?"

Suara serak napas berhembus terdengar tidak bergairah, tetapi Davian tidak peduli. "Davian Sayang! Kamu ini gimana, sih! Aku udah bilang kamu harus datang jam delapan pagi! Jemput aku di bandara!" rengek seorang wanita di balik panggilan telepon tersebut.

Suara mendominasi yang selalu dia rindukan kini tak terdengar menyenangkan hati, ia bagai suara petir yang mengganggu. Davian mengerutkan wajah sampai dia mendelik dan merasa muak dengan suara itu.

"Naik taksi aja, aku baru bangun, lagian aku ada urusan sama Ian, kamu urus diri kamu sendiri dulu aja."

Tuuut ...!

Tanpa basa-basi Davian mematikan panggilan telepon secara sepihak. Lanjut dia melempar ponsel ke atas sofa secara sembarangan.

Bukan tanpa sebab Davian Antareksa Villarius bersikap demikian, lelaki tampan berusia 30 tahun itu telah lama menyelidiki kekasihnya yang mengalami banyak perubahan.

Kini, Davian berada di fase tak peduli, jika berakhir, maka akhiri lah, tidak perlu ada yang diperdebatkan lagi, perselingkuhan yang dilakukan sang kekasih telah menggerogoti cinta hingga habis tak bersisa dalam hatinya.

"Ngapain nyariin kalau dari Singapura aja mereka bersama, dasar wanita j*lang?" cibir Davian diakhir dengan menguap lebar.

Next ....

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menjaga Adik Sahabatku   BAB 177—MAS

    Ini adalah impian besar gadis ballerina itu, dia selalu berharap memiliki tempat tenang yang ditanami berbagai macam bunga yang indah, dan bunga Lilac bukan satu-satunya.Namun ia adalah simbol pertemuan utama antara Davian dan Vemilla, sejak Davian menghadiahkan Vemilla buket bunfa Lilac, gadis itu menjadi penuh semangat, ada energi baru yang selalu menjadi kekuatannya.Dan hari ini, kekuatan itu telah lengkap bersama rumahnya, bukan hanya aroma atau sebuah benda pengikat.Vemilla berangsur menaiki tangga berbunga itu, menuju bangunan dikelilingi kaca, berdinding transparan dan rangka besi hitam, ia adalah rumah kaca yang paling indah di mata gadis ini."Masuk, Sayang, aku mau telepon Petra dulu," ucapnya usai membukakan pintu kaca dengan menekan tombol di depannya.Vemilla mengangguk dan memasuki bangunan itu, sementara Davian melipir ke sudut bangunan, di sana dia menelepon Petra. "Halo, Petra, apa semuanya udah siap?" tanyanya pada se

  • Menjaga Adik Sahabatku   BAB 176—MAS

    Vemilla pun Sabrina terkesiap di atas sofa, bahkan istri dari lelaki itu sampai menaikkan kaki dengan detak jantung berdebar, wajahnya memerah, tersipu. "Kak ...?" panggil kecil gadis itu.Malu-malu dia menundukkan wajah dan senyum yang terbit di wajahnya ikut tersembunyi. Davian beranjak dari ambang pintu. Seraya tersenyum dia berangsur berjalan menghadap Vemilla. "Jadi ..., bagaimana hari ini, Sayang?"Berlutut bak seorang pangeran, pria bertubuh jangkung itu meletakkan buket bunga lilac ke sisi tubuh istrinya, berlanjut dia menggenggam erat tangan Vemilla, dia usap punggung tangan lembut sang istri.Lama-lama, Davian menerjunkan sebuah kecupan manis di punggung tangan istrinya. "Apa sekarang udah lebih baik?" tanyanya sekali lagi.Vemilla hanyut oleh perhatian kecil nan manis dari suaminya, dia memerah, tersipu. "Hm, aku udah lebih baik dari satu bulan lalu," bantah gadis itu.Meski malu, Vemilla mendekat dan memeluk leher su

  • Menjaga Adik Sahabatku   BAB 175—MAS

    Pintu terbuka saat Davian menyelesaikan aktivitasnya tadi, dia segera berangsur turun dari ranjang dan berbalik, memandangi seorang dokter wanita yang bertanggung-jawab dengan kondisi istrinya beberapa bulan terakhir ini.Dokter wanita berjubah putih itu masuk, membawa tablet medis di tangannya."Pagi, Pak Davian," sapanya tenang. "Saya ingin menyampaikan perkembangan kondisi Ibu Vemilla.Davian segera mendekat, suaranya berat. "Bagaimana kondisi istri saya, Dok? Apakah ada perubahan baik?"Dokter menatap Vemilla sejenak, lalu menjelaskan, "Kondisi vitalnya stabil. Fungsi pernapasan sudah baik tanpa bantuan ventilator, dan respon sarafnya mulai menunjukkan perbaikan. Meski masih koma, ini pertanda positif.""Berarti ..., dia bisa sadar?" suara Davian tercekat."Secara medis, kami melihat ada kemungkinan besar Ibu Vemilla segera siuman. Aktivitas otak yang kami rekam melalui EEG meningkat signifikan. Itu artinya kesadarannya perlahan k

  • Menjaga Adik Sahabatku   BAB 174—MAS

    Vemilla dinyatakan koma dengan cedera punggung ringan, gadis kecil itu harus terbaring tak sadarkan diri di ranjang rumah sakit yang dingin, berlayar dalam alam sabar yang bingung.Sepanjang waktu, Davian menjaga dan merawat sang istri dengan telaten, berganti dengan Sabrina dan Johan juga Tyana dan Josef, mereka berbagi tugas untuk menjaga putri kesayangan mereka untuk tetap hidup.Sesekali air mata membanjiri pipi ketika mereka menyeka tubuh Vemilla dengan handuk hangat. "Illa Sayangnya Mama ..., cepat bangun, ya, Sayang, Mama, Papa ..., suami kamu, Mama Tyana, dan Papa Josef juga di sini, Nak," rintih perih Sabrina.Handuk hangat itu bergetar di pipi Vemilla. Tubuh gadis itu hangat, namun napasnya dibantu oleh alat yang terpasang di mulut dan hidungnya."Maafkan Mama, Sayang Mama udah banyak membuat kesalahan, Mama janji akan menebus semuanya," sambung Sabrina dengan tangisan yang lebih getir.Tiga lainnya berdiri dengan tangis dan getar tubuh yang berusaha mereka tahan. Ini adalah

  • Menjaga Adik Sahabatku   BAB 173—MAS

    Rencana yang dipertimbangkan Vemilla akhirnya tertunaikan. Gadis bertubuh kecil itu melayang ke bawah, raganya yang lemah terlempar jauh dari balkon lantai tiga kediamannya.Vemilla berlayar sambil menatap langit hitam bertabur beberapa bintang. "Apakah aku akan bertemu Kak Ian?" Lirih suara itu tenggelam oleh kepulan angin.Dan ....Byuur ...!Tubuh Vemilla membanting ke air kolam dan berakhir perlahan tenggelam seiring tubuh gadia itu memberat. Keseimbangan tubuhnya tidak terkendali, ia melayang setengah sadar ke tepian kolam.Tubuhnya berat. Air itu layaknya sebuah batu, mengalir dan aliran napas terasa berat seolah tercekik. Rasa sakit mulai menjalar dari punggung ke area depan tubuhnya, menyeruak ke dinding hati."K-kak ...."Bugh!Kepala gadis itu membentur tepian kolam. Warna merah bercampur dengan air, membenam di antara kepala dan tubuh gadis itu."G-gak! I-ini bukan bagian dari rencana! Aarght

  • Menjaga Adik Sahabatku   BAB 172—MAS

    Selama bukan kematian, aku akan tetap setia menjadi pendamping Pak Davian. Silakan nikmati akibat dari semua yang telah kamu lakukan, Devianza. Batin Petra berucap sambil berjalan keluar dari ruangan itu.Pintu besi yang dilapisi oleh dinging tertutup, dan sebagian dinding dalam ruangan terbuka, transparan masih terjegal oleh bangunan kaca tebal—di dalam sana bukan hal biasa, Devianza membulat, hebat."Aaarght ...!" Jeritan Devianza meraung-raung.Wanita itu terdiam, getir. Bergetar di sudut ruangan. Tubuhnya kian menggigil tatkala mata kuning menyala dari makhluk berbulu lebat di dalam sana, Devianza menempelkan tubuh ke dinding."Aaarght ..., tolong ...! Petra! Petra! Petra ...."Sayang sekali. Dinding itu telah membunuh semua jeritan dan permintaan tolong dsri Devianza. Bahkan, lelaki itu telah berlalu menjauh, meninggalkan lorong yang menyembunyikan keberadaan ruangan tersebut."Giovanni bed*bah! Dia benar-benar mencari masalah!" geram Petra usai dia memantau cctv tersembunyi yang

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status