Kafe Mentari tujuh, pusat kota yang menjadi bintang utama di wilayah tersebut, malam semakin mencekam, hari yang telah dilalui dengan nahas mengirim pria yang disebut sebagai monster cinta datang dengan keadaan mabuk berat.
Wajah lelah mendominasi Giovanni, mata sayup setengah tertidur mengitarinya, lelaki bertubuh gontai itu menyusuri ruangan kafe menuju sebuah meja di sudut ruangan, sekumpulan pria sejenisnya tengah beradu mulut di sana. "Hei, Bro! Gimana? Apa kamu bisa membawa kekasihmu itu ke ho tel?" tanya seorang lelaki di meja itu. Tawa mengerikan keluar dari tiap mulut pria-pria yang ada di sana, tanpa terkecuali Giovanni sendiri demikian, dia cengengesan seolah tahta sang juara berada dalam genggamannya. Lelaki dalam pengaruh alk*hol itu bergerak lemah—menyandarkan punggung di sana. "Cewek lemah sok jual mahal itu berhasil melarikan diri, ta-pi ..., lihat aja besok, aku akan bisa menik—" Lirih suara Giovanni tak enak didengar, ditambah rekan-rekannya amat mendukung sikap k*ji temannya ini, tetapi sebelum ucapan itu berakhir, bogem mentah telah lebih dulu menghantam wajah lelaki itu. Bugh! Tepat sasaran! Tinju mentah Radzian mendarat dengan sempurna di wajah kiri pria itu, tubuh Giovanni yang tengah setengah sadar itu berguling ke dekat temannya. Prang!! Meja berisikan makanan dan minuman berguling bersama mereka, serpihannya berserakan tak menentu, sebagian besar hancur tak bersisa. "Akh," ringis Giovanni, matanya berkaca-kaca. Ke-lima pria lain segera bangkit, kemudian Giovanni ikut berdiri dengan sisa tenaganya, rasa berat menggeluti diri lelaki itu. "Woi! B*ngs*t!" pekik Giovanni tanpa dia ketahui siapakah pria tangguh di depannya. Radzian berwajah seram, hidung mengerut dan tatapan tajam itu datang mendekat, memasang ekspresi paling mengerikan dari sebelumnya, sementara Davian—sahabat karibnya berada di belakang. "B*jing*n!" gertak Radzian tanpa ampun. Usai menyambar kerah baju Giovanni, lelaki bertubuh tinggi itu menyeret paksa pun kasar pria di depannya, tanpa segan dia membawanya keluar kafe. Teman-temannya yang lain nampak kebingungan, mereka bertukar pandang satu sama lain, hingga akhirnya mereka bergerak dari lokasi mereka. Berniat untuk mengejar dan hendak membantu sahabatnya itu, tetapi ..., Davian dengan gagah membentangkan tangan, menghentikan pergerakan para pria tersebut. "Jangan ikut campur, ini urusan mereka," gertak Davian menegaskan posisi mereka. Tertahan beberapa saat, ingin melawan dan mengagungkan ambisi solidaritas yang mereka miliki, akan tetapi saat mereka melihat sosok Davian yang tentu mereka mengenalinya, nyali ke-lima pria itu otomatis menciut. Glekk! Semuanya meneguk saliva sampai sorot mata kabur-kaburan. "Di-a ...?" bisik salah satu dari mereka seraya menyudutkan perhatian pada Davian. "Davian Antareksa Villarius, CEO agensi model internasional—Light and Sun Modelling, punya universitas sendiri dan menanam saham di beberapa perusahaan fashion," jelas salah satu dari rekannya. Wow! Lawan yang tidak sepadan, mereka memilih untuk mundur dan membiarkan sahabatnya bertarung sendiri. Di luar sana, Giovanni menggelinding usai dilempar Radzian. "Oh, sh*t!" cibir Giovanni menggeliat kesakitan di sekitar jalan. Radzian memutar leher dari arah kiri ke kanan, sempat menekuk tangan-tangan sebagai pola persiapan diri. "Di mana Anda menyakiti adik saya, hah!!" jerit Radzian terkurung emosi membara. Pria tangguh itu datang, menendang wajah Giovanni. Bugh! "Argh ...!" Lelaki di bawah berguling, dia meringis kesakitan sampai tulang pipi terasa ngilu dan air mata di pelipisnya menetes. Tidak cukup. Radzian segera menggocoh wajah mantan kekasih adiknya itu dengan pukulan beruntun, napas tersendat, air mata meleleh dan rasa kelu turut menyertai, Giovanni kewalahan. "Argh ...!" Jeritan lain meraung-raung kala Radzian menghantam perut pria tersebut dengan tendangan mautnya. Radzian benar-benar mengukir luka di bagian tubuh Giovanni dimana lelaki itu melukai tubuh kecil nan lembut sang adik, wajah adalah bagian utama, lengan dan kaki serta perut sebagai bonusnya. Giovanni berada di ambang nyawa, dia menutup mata sebelah setelah hantaman keras lelaki itu tak pernah berhenti, dia tengkurep sambil mengatur pola pernapasannya yang sudah tak mampu dia kendalikan. "Jangan sekali lagi menemui adikku—Vemilla Viandra Gustavara, sampai aku melihat batang hidungmu di dekatnya, maka lihat aja apa yang bisa aku lakukan terhadapmu!" Ancam Radzian. Menurut hati, Radzian tentu saja tidak puas, ketika Giovanni terkapar tak berdaya di sana, pria bertubuh tinggi ini masih datang dan melayangkan tinju ke udara. Ia terjatuh melayang menuju Giovanni, tepat pada waktunya Davian datang dan menahan tinju itu tepat saat tinju itu berada di sekitar wajah Giovanni. "Tujuanmu hanya memberinya pelajaran, bukan membunuhnya, kita pergi sekarang," ajak Davian dengan tenang. Radzian telah kehilangan banyak energi, dia tidak berucap atau protes aksinya dihentikan oleh sahabatnya sendiri, yang jelas, dia telah puas meluapkan emosi pada pria tersebut. "Akh," ringis Giovanni bertatapan sayu, dia tersengal-sengal di antara hidup dan mati, "Si*lan! Ru-panya ..., cewek lemah itu punya kak-ak." *** Menjelang pagi, embun yang mengepung pagi tadi perlahan meleleh, mereka berlarian saat cahaya sang baskara berkeliling, menyingkirkan dingin dan kelamnya pagi. Dua lelaki bertubuh kekar nan tinggi itu menggeliat dari bawah meja, di antara sofa-sofa empuk dan tumpukan jaket serta barang-barang ke-duanya. "Hoaamm ...." Radzian menggeliat, memukul bahu, leher, serta menarik tubuhnya untuk terduduk bersila. Sepanjang malam dua pria bersahabat baik itu menghabiskan waktu bersama, minum-minum hingga m*buk berat, berakhir terkapar tak sadarkan diri hingga pagi menjelang. "Dav, Dav, kayaknya hapemu bunyi." Radzian memukul paha Davian yang masih terlelap. Sementara pria berkaos polos putih itu melenggang ke kamar mandi luar apartemen pribadi sahabatnya, di saat itulah pria tampan dengan rahang tegas itu terbangun dari kantuknya. Berusaha membuka bola mata yang masih terasa lengket, terlebih sepertinya pengaruh alk*hol semalam telah membuat energi pria ini hilang sebagiannya. "Apa, sih, pagi-pagi gini," protes Davian seraya menguap. Air mata kecil menetes beberapa bagiannya, ponsel di atas meja dia raih tanpa memerhatikan layar ponsel atau memastikan siapa yang melakukan panggilan telepon tersebut. "Eum ..., halo?" Suara serak napas berhembus terdengar tidak bergairah, tetapi Davian tidak peduli. "Davian Sayang! Kamu ini gimana, sih! Aku udah bilang kamu harus datang jam delapan pagi! Jemput aku di bandara!" rengek seorang wanita di balik panggilan telepon tersebut. Suara mendominasi yang selalu dia rindukan kini tak terdengar menyenangkan hati, ia bagai suara petir yang mengganggu. Davian mengerutkan wajah sampai dia mendelik dan merasa muak dengan suara itu. "Naik taksi aja, aku baru bangun, lagian aku ada urusan sama Ian, kamu urus diri kamu sendiri dulu aja." Tuuut ...! Tanpa basa-basi Davian mematikan panggilan telepon secara sepihak. Lanjut dia melempar ponsel ke atas sofa secara sembarangan. Bukan tanpa sebab Davian Antareksa Villarius bersikap demikian, lelaki tampan berusia 30 tahun itu telah lama menyelidiki kekasihnya yang mengalami banyak perubahan. Kini, Davian berada di fase tak peduli, jika berakhir, maka akhiri lah, tidak perlu ada yang diperdebatkan lagi, perselingkuhan yang dilakukan sang kekasih telah menggerogoti cinta hingga habis tak bersisa dalam hatinya. "Ngapain nyariin kalau dari Singapura aja mereka bersama, dasar wanita j*lang?" cibir Davian diakhir dengan menguap lebar. Next ....Kata-kata terakhir Radzian terus menghantui Davian, dia tak ingin melewatkan satu detik pun tentang adik sahabatnya, ini adalah wasiat yang telah dia setujui. Tanggungjawabnya besar. Davian menghela napas sebelum mendengar jawaban dari asisten rumah tangga yang menemani gadis itu di rumah. "Masih tidur, Tuan, tapi tadi sempet mengigau, manggil nama Tuan Ian sambil nangis, terus lanjut tidur lagi." Sungguh pedih mendengar hal itu, Davian tahu dengan baik jika hubungan Radzian dengan adiknya memang cukup harmonis, mereka menggantungkan diri mereka terhadap satu sama lain. Saling berpegangan dan berpangku tangan, jelas Vemilla mengalami fase sulit yang mungkin membutuhkan waktu lebih lama untuk terbiasa tanpa Radzian di hidupnya. Davian mengiba, hatinya mendesir, perih. "Oke, pantau terus, kalau ada apa-apa, kabari saya, mulai hari ini Vemilla menjadi tanggungjawab saya, jika orangtuanya menyiksanya lagi pun kab
Serak suara di balik panggilan telepon terdengar napasnya berhembus. "Baik, Pak, segera saya cari tahu tentangnya." Panggilan telepon berakhir begitu saja, Davian hanya memberi perintah lalu mematikan panggilan telepon dengan cepat. Pria itu membalikkan tubuh dan memasati paras cantik Vemilla, dia amati secara mendalam gadis itu. "Ian ...," seru Davian bernapas berat. "Apa yang salah dengan adikmu, dia terlihat manis dan penurut, dia baik dan selalu mengalah, kenapa orangtua kalian begitu membenci gadis ini?" sambungnya mempertanyakan hal yang sama. Meskipun dia telah mendengar banyak alasan dari Radzian mengenai sikap pilih kasih orangtua mereka, jelas Davian ingin mendengar alasan pasti mengapa gadis ini dibedakan. Langkah demi langkah terurai ke depan, mendekati Vemilla yang terlelap dengan luka-luka lebam di wajahnya, kulit selembut itu harus bertarung dengan ganasnya tamparan Sabrina. "Say
Untuk ke sekian kalinya Davian mendengar Radzian menjodohkan dirinya dengan adiknya, sudah terbiasa dan lelaki dengan berat badan 79 kg itu menganggap hal itu adalah candaan yang tak perlu dia pikirkan sedalam itu. Kala itu, Davian tidak menjawab, dia berlalu begitu saja, memasuki lorong kamar mandi, ingatan berakhir sampai sana, lelaki tangguh itu sama sekali tidak melihat isi dari kotak tersebut. "Jadi, kotak itu dipersiapkan untukku dan adiknya." Senyum bernuansa pedih itu mendobrak pertahanan diri Davian. Di sana, detik itu juga air mata Davian merunduk dan berakhir menjadi hujan deras yang mampu membasahi pipi. Tangannya gemetaran membuka kotak itu secara perlahan. Sungguh terkejut, Davian sampai membuka mulutnya lebar-lebar, ternganga tak percaya dengan isi dalam kotak tersebut, itu adalah satu set jas tuxedo berbahan wool untuk pernikahan, bahkan ada sebuah kotak perhiasan berwarna merah di atasnya, juga sebuah buku
Hampir saja Davian melupakan suatu hal, di rumah ini bukan hanya Vemilla, melainkan ada asisten rumah tangga yang dipekerjakan Radzian untuk memenuhi kebutuhan adiknya. Dengan wajah sedikit mengeras, lelaki itu menjawab, "Masuk," katanya. Pintu setengah tertutup itu terbuka lebar, membawa seorang wanita paruh baya—43 tahun, masuk ke kamar bernuansa putih dan merah muda tersebut, wanita berpakaian seadanya itu membawa semangkuk besar air hangat dengan kain putih berbulu halus. "Saya mau mengompres luka Nona," ucapnya menundukkan wajah. Davian menghela napas beberapa saat, seraya menyisir rambut ke belakang, pria ini berlalu keluar dari ruang kamar Vemilla, tanpa meninggalkan pesan apapun. Berjalan menuruni tangga. Di anak tangga yang entah ke berapa, ponsel yang sejak tadi terbenam di saku celana mulai bergetar, menggelitik tubuhnya hingga merasa geli. Davian menghentikan langkah, merogoh ponsel dan mendekatkan ke telinga. "Halo," sapanya singkat, bahkan dia tidak melihat s
Sifat keras kepala yang dimiliki Sabrina tidak pernah bisa diredam, Johan selalu kewalahan menghadapinya, wanita paruh baya itu histeris, menjerit tanpa ampun sambil menjambak rambutnya sendiri juga berputar tanpa arah. "Argh ...! Diam Johan! Kita kehilangan putra kita karena dia! Sejak awal! Anak itu emang pembawa sial!" berang Sabrina gemetaran karena tangisannya berada di fase paling puncak. Johan ikut frustasi, dia pun bersedih pula, kehilangan putranya membuat dirinya kehilangan setengah jiwanya, tetapi dia tak bisa menyalahkan putrinya atas hal yang belum dia ketahui kebenarannya. Dia tertunduk dan menghela napas panjang. "Aku bilang cukup, SABRINA!" Pecah sudah teriakan Johan. Kepedihan mengikis air mata di ujung mata, Johan menatap Sabrina dengan gemetar tatapannya. "Kita kehilangan putra kita, dan kamu mau bunuh putri kita juga! Vemilla putri keluarga Gustavara! Hilangkan ambisi dan dendam kamu! Vemilla gak salah!" Sudah lama Johan ingin mengutarakan pikirannya, sejak la
Serak embusan napas dari balik panggilan telepon mulai terdengar menjawab, "Iya, Pak Johan, apa yang bisa instansi kami bantu?" Johan menuruni tangga kecil depan rumah, mengedar ke tengah pekarangan dengan tangan kiri dia benamkan ke saku. "Cari tahu soal kecelakaan putra keluarga Gustavara, dan di mana keberadaan Vemilla saat kecelakaan itu terjadi," pinta Johan pada seseorang di balik panggilan telepon sana. "Tentu, beri kami waktu tiga hari untuk menyelidiki masalah ini." "Oke, saya tunggu kabar selanjutnya." Benarkah keluarga Gustavara begitu mengintimidasi posisi Vemilla? Baik Johan ataupun Sabrina, mereka memiliki pandangan sebelah mata terhadap putri mereka. Vemilla dilahirkan hanya karena keterlanjuran, selebihnya adalah buah tanggungjawab dan memanfaatkan gadis itu untuk keberlangsungan bisnis mereka. Johan keras. Tapi dia masih memiliki hati nurani, dia terkadang merasa jika sikapnya terhadap Vemilla memanglah salah. "Aku keras, Sabrina jauh lebih keras, layaknya Radzi
Pintu harapan melebar di bola mata Vemilla, demikianpun dengan Davian, butiran air berkaca-kaca di matanya, harapan yang ingin dia dengar dari tim dokter yang menangani sahabat terbaiknya. Kerut wajah mereka mengikis perasaan dokter yang menangani Radzian kian menipis, ragu-ragu dia bersuara. "Kami sudah berusaha dengan keras, tetapi ..., keadaan pasien sudah sangat kritis, kehilangan banyak darah dan waktunya tidak sempat, mohon maaf, pasien mengembuskan napas terakhirnya pada pukul 15.43." Tidak ada senyuman di wajah semua orang, lebih-lebih dari dokter wanita itu, dia merasa gagal menjadi seorang dokter, perasaannya campur aduk, tertunduk hingga air mata memberatkan matanya. Vemilla mematung, berita itu seperti dentum petir yang pecah tepat di telinganya, dia mendorong tubuh lemahnya ke belakang. "K-kak I-Ian ...?! GAK! Gak mungkin, Dokter pasti bohong! Enggak mau! Kak Ian harus hidup!" pekik Vemilla menggelengkan kepala dengan frustasi. Dia mengendur dan terjatuh di kursi tung
Kulit kepala mulai terasa perih dan memanas, seperti halnya air mata yang mendadak meleleh tanpa perintah, pria itu masih meyakinkan dirinya atas keselamatan sang sahabat. Berjalan tertatih-tatih di tengah kekacauan, mengabaikan banyak bangkai mobil dan kendaraan lain yang hancur, Davian mendengar jeritan melengking menyerukan nama Radzian. "KAK IAN, BANGUN ...!" Jeritan itu diringi isak tangis memilukan. Jelas suara serak itu milik Vemilla, suara itu terngiang-ngiang, mendorong Davian untuk berlari secepatnya, melintasi banyak bangkai mobil juga para manusia yang berlalu lalang karena kesibukan masing-masing. Radzian! Di mana? Tangisan adiknya terdengar jelas, tapi kenapa aku gak bisa menemukan mereka. Batin Davian dengan raut mengeras Frustasi lelaki itu berkeliling di tengah jalan, menangis dalam kekhawatiran yang menggerogoti diri, Davian membenamkan jari-jarinya di antara jutaan helai rambutnya. "Sh*t!" decaknya meninju angin, "Radzian ...!" Akhirnya Davian memekik. Menyer
Jari kelingking mengacung itu terlihat biasa saja, tapi hati Vemilla berkata lain, ia seperti desir angin yang mengatakan bahwa akan datang kemalangan yang tak diundang. Vemilla mengangkat jari kelingking, ragu-ragu dia menautkan jarinya dengan milik sang kakak, senyum tipis yang menggetir membingungkan gadis itu sendiri. "Kakak pergi dulu, ya, bye adik Kak Ian yang paling cantik ..., kamu harus bahagia dan selalu tersenyum, ya ..., kakak mencintaimu." Ungkapan pamitan itu membawa semilir angin kegetiran mendatangi Vemilla secara berkesinambungan. Vemilla berjalan mengikuti kakaknya, Radzian naik ke atas motor H*rley-nya, mengenakan helm dan menyalakan mesin, di sana Vemilla seperti patung bernyawa yang merasakan suatu hal. "Kak Ian ..., kenapa Kak Ian gak minta orang untuk utus orang untuk mengurus persoalan ini?" Vemilla berusaha menahan kakaknya. Ditanggapi dengan tawa ringan oleh Radzian. "Ini hadiah untuk orang-orang tercinta, jadi harus kakak yang ambil sendiri, tenang aja