Bagaimana rasanya hidup tanpa dihantui bayang-bayang harapan orangtua? Bagaimana rasanya dicintai dengan tulus tanpa menuntut untuk memenuhi ekspektasi ini dan itu? Menyenangkan bukan?
Ah tidak! Bagi Vemila Viandra Gustavara kehidupan seperti itu hanyalah impian di dunia fantasi, samar-samar tampak nyata tetapi sulit untuk diwujudkan. Atau mungkin masanya akan habis untuk memenuhi ekspektasi orangtuanya sampai nyawanya habis. Malam itu di tengah badai, badannya basah kuyup, terguyur hujan sepanjang jalan tanpa ada tempat berteduh pun tidak ada seorang pun yang menolongnya—Vemilla pulang dengan tubuh menggigil. "Kak Ian ...," panggilnya lembut. Sisa air hujan menetes dari tubuhnya, wajahnya pucat dan luka lebam mengukir eksistensi di lengan kanan, kiri serta ujung-ujung bibirnya. "Kak Ian ..., udah pulang belum?" panggilnya sekali lagi. Radzian Putra Gustavara—kakak kandung yang selalu ada dalam keadaan dan kondisi apapun bagi wanita cantik berambut long wavy nan kuyup malam ini, tak terdengar apapun kecuali derap langkah sebuah heels. Degh!! Debar dalam dada membuncah, tubuh menggigil itu mendadak, kaku, perasaan takut menggeluti dirinya. Napas terengah-engah dan Vemilla terdiam di tengah ruangan. Arah pandangan menjulang ke lantai atas, dia menyaksikan seorang wanita paruh baya berpakaian modis tengah turun dari sana, ekspresi wajahnya tegang penuh amarah. Hal pertama yang terbersit di benaknya, adalah ... “Kesalahan apa lagi yang telah kuperbuat.” "Dari mana aja kamu, Illa?" tanya wanita bergaun ketat berwarna merah mencolok. Vemilla segera menegakkan posisi berdirinya, dengan wajah tertunduk, menyembunyikan luka yang baru saja dia dapatkan di wajahnya. "Ma-af ..., Ma, a-aku habis latihan dari studio ballet," jawab Vemilla, bibirnya bergetar. Tepuk tangan menggema dari wanita itu, bahkan seringai kecil di wajahnya ikut terdengar oleh telinga Vemilla, tetapi suara itu sangat mengerikan, tepuk tangan dari ibu kandungnya adalah perjalanan amarah sang mama menuju puncak. Derap langkah terdengar mendekat, dua kaki terbalut heels hitam itu kini berada tepat di hadapan Vemilla. "Sejak kapan kamu berbohong sama Mama, Illa?" cecarnya mengintimidasi. Kebohongan yang dilakukan Vemilla tidak lebih sebagai upaya untuk membawa dirinya pergi dari tekanan selama beberapa saat. Vemilla tidak mampu melawan sang mama, dia memilih berlutut dan menundukkan wajah nyaris bersujud di kaki wanita itu. "Maaf, Ma ..., Illa cuman ketemu seseorang sebentar aja, dia terus mengusik teman-teman ballet Illa di studio, kalau Illa gak turuti, dia bisa—" rengek Vemilla dengan suara terendah. Pilu dan pedih dia rasakan tanpa jeda, tetapi sang mama tak peduli, dia menjeda ucapan Vemilla tanpa bertanya apa yang terjadi. "Ketemu sama mantan pacar kamu yang cuman direktur Bank swasta itu 'kan?" potongnya demikian. Degh! Seakan gumpalan angin berbondong-bondong untuk meninju jantungnya, sesak tak lagi mencekik, ia seperti menyeretnya dengan tali tambang, lalu melemparnya tanpa belas kasihan. Vemilla sesenggukan, meremas lutut yang terbalut celana jeans, jari-jemarinya yang kemerahan itu mengeras, perasaannya sungguh menggeram. "Eum," gumam serak Vemilla. "Kamu gak perlu mengurus hal gak penting, tugas kamu sebagai anak, harus menjadi wajah yang baik untuk keluarga ini, kakak kamu sedang berjuang untuk memimpin perusahaan, dan kamu hidup dengan baik sebagai ballerina, jangan macam-macam." Hanya itu? Tentu! Sejak kapan Sabrina memedulikan anak perempuannya, dalam pemikirannya yang kuno, anak perempuan hanya digunakan sebagai wajah, wujud baik dalam sebuah keluarga, dianggap tidak berguna karena tidak mendatangkan pundi-pundi materi. Vemilla bangkit dengan layuh, lirih suara hati terdengar memilukan, gadis itu berjalan gontai dengan tubuh kuyup, tiba di kamar, tubuhnya ambruk, sesenggukan di antara ribuan air dari shower di kamar mandinya. "Bahkan ..., mama gak nanya kenapa aku pulang dalam keadaan kuyup, dan kenapa tubuhku terluka?" rengek Vemilla bernada sendu. Hatinya mencelus, bagai terbang dan terhempas jauh ke dasar laut, kehidupan ini seperti bayangan di antara serpihan kaca dan runcingnya malapetaka, Vemilla tersedu-sedu di bawah air shower. Air dingin yang mengalir di tubuhnya menyapu kotoran yang menempel di sana, tetapi tidak mampu meredam luka memar yang terjadi di wajah dan beberapa bagian tubuhnya. "Illa ...! Illa ...! Vemilla Viandra Gustavara!" Panggilan berulang menggema, mengelilingi seisi ruangan di rumah besar berlantai tiga itu. Sesosok pria tampan berpenampilan badboy dengan jaket kulit berwarna hitam serta jeans dengan warna senada itu berlarian dari luar memasuki rumah. Suara angin menggema mengisi tiap ruang di telinganya, wajahnya panik seraya meletakkan helm hitam di atas meja di ruang tengah, tidak hanya panik, butiran amarah pun turut mengukir di sana. "Vemilla!" panggilnya mengetuk pintu. Tokk! Tokk! Tokk! Suara pintu diketuk kencang—menyaring, suaranya seperti genderang yang ditabuh secara berulang, pria itu mondar-mandir di depan pintu kamar adik kandungnya. Radzian sang putra sulung keluarga Gustavara itu terengah-engah menantikan pintu kamar adiknya terbuka, dia tak ingin menerobos secara sembarangan. Usia Vemilla sudah menginjak usia gadis, akan tidak baik jika dia menerobos begitu saja. Sejenak, Radzian menyibuk ke ponsel. Deretan pesan masuk dari seorang teman Vemilla dari studio ballet yang sama telah mengabarkan berita mengerikan yang memicu amarahnya. 0812—XXX-XXXX Maaf, Kak Ian, saya temannya Vemilla dari studio ballet, Giovanni tadi datang ke studio ballet dan membuat kerusuhan, jadi Vemilla terpaksa ikut sama mantan pacarnya itu. Lalu, saya mengikuti mereka, dan Vemilla dianiaya oleh Giovanni, saya berusaha menghentikannya, lalu malah saya yang diserang, saat itu Vemilla melarikan diri. Saya pun demikian, tapi saya gak bisa bersama Vemilla, ponselnya gak bisa dihubungi, apa dia sudah pulang, Kak? Sial! Baj*ngan! Kata pertama yang berkumandang jauh dalam batinnya. Radzian menggeram, ia menggenggam angin sampai pembuluh tangan terlihat kaku dan tajam. "Giovanni harus dihabisi! Sembarangan melukai adik kesayanganku!" Geram Radzian hingga rahangnya mengeras. Cklek! Vemilla keluar dari kamarnya, telah mengganti pakaian dengan piyama putih, matanya merah akibat aksi tangisannya, dengan wajah tertunduk gadis itu mengukir senyum semampunya. Lantas dia mendongak memamerkan senyuman yang baru saja dia ukir. "Kak Ian, udah pulang?" Lirih suara itu merobek hati Radzian. Matanya membulat, hebat, pedih dan menyakitkan sekali wajah cantik gadis kecil yang amat dia sayangi kini terdapat luka, lebam itu masih membiru dan Radzian berkaca-kaca. Langkah gontai diulurkan, Radzian berjalan mendekati sang adik, parau mulai mengerubungi suaranya. "Il-la ...? Apa yang terjadi? Katakan!" Suara rendah itu mendadak meninggi. Ujung bibir Vemilla yang lebam, menjadi pemicu amarah Radzian pecah, lelaki tangguh bertubuh tinggi itu meremas bahu sang adik dan Vemilla pun menangis. "Kak Ian ..., Illa capek! Illa ..., gak kuat! Illa harus gimana, kak ...!" Gadis itu merengek di hadapan kakak tercinta. Next ....Vemilla terdiam, menahan tangisan itu jauh dalam dada, dia terisak-isak menunggu Davian melanjutkan ocehannya, jelas di mata pria itu, jika dia masih belum selesai. "I-an ...," katanya dengan suara bergetar, "Sahabat terbaikku dari masa SMA, kita bersahabat kurang lebih tiga belas tahun, dan kami gak pernah putus hubungan." Davian melempar pandangan, deru pedih dalam hatinya bersenandung, pria itu menghela napas untuk mendorong rintik air agar tidak terjatuh di hadapan gadis itu. "Selama itu pula aku selalu bergantung padanya, aku punya orangtua, aku punya pasangan, tapi hidupku sangat sepi, dan Ian adalah salah satu warna yang aku syukuri." Wajah tampan pria itu masih terhenti di samping kiri. Udara dihirup secara sengaja, dan butiran pedih masih tertahan di tenggorokan, lanjut lelaki itu menyeka air mata yang terjatuh di ujung mata dengan punggung tangannya. "Ini di luar kendali kita, kita hanya manusia, skenario kehidupan kita ada
Papa, 00.12 Davian, kamu di mana? Mama sama papa ada di depan apartemen kamu? Belum pulang? Kamu gak kangen sama orangtua kamu? Jangan kerja mulu, Sayang, cepet pulang, ya, Mama sama papa nunggu kamu di lobi apartemen. Getar ponsel jelas didengar Davian, ponsel itu tidak kehabisan daya atau dalam mode silent, hanya saja pria ini yang sedang melamun. Memerhatikan jalan, dari pohon-pohon, langit hitam dengan satu bintang dari dalam taksi yang sedang berjalan, napas pun dihembuskan kasar nan berat. Sopir taksi memerhatikan dari kaca yang ada di atasnya, melihat bagaimana kusut dan rapuhnya pria itu, bersandar dengan tatapan kosong tak bergairah. "Maaf, Tuan, ponsel Anda sepertinya ada yang menelepon," tegur sopir taksi. Barulah Davian mengedipkan mata, satu tetes air mata mengalir, dia mengekanya dengan cepat seraya menghirup udara yang berkeliaran di sekitarnya. Papa? Batinnya berseru tanpa sadar jika pesa
Kata-kata terakhir Radzian terus menghantui Davian, dia tak ingin melewatkan satu detik pun tentang adik sahabatnya, ini adalah wasiat yang telah dia setujui. Tanggungjawabnya besar. Davian menghela napas sebelum mendengar jawaban dari asisten rumah tangga yang menemani gadis itu di rumah. "Masih tidur, Tuan, tapi tadi sempet mengigau, manggil nama Tuan Ian sambil nangis, terus lanjut tidur lagi." Sungguh pedih mendengar hal itu, Davian tahu dengan baik jika hubungan Radzian dengan adiknya memang cukup harmonis, mereka menggantungkan diri mereka terhadap satu sama lain. Saling berpegangan dan berpangku tangan, jelas Vemilla mengalami fase sulit yang mungkin membutuhkan waktu lebih lama untuk terbiasa tanpa Radzian di hidupnya. Davian mengiba, hatinya mendesir, perih. "Oke, pantau terus, kalau ada apa-apa, kabari saya, mulai hari ini Vemilla menjadi tanggungjawab saya, jika orangtuanya menyiksanya lagi pun kab
Serak suara di balik panggilan telepon terdengar napasnya berhembus. "Baik, Pak, segera saya cari tahu tentangnya." Panggilan telepon berakhir begitu saja, Davian hanya memberi perintah lalu mematikan panggilan telepon dengan cepat. Pria itu membalikkan tubuh dan memasati paras cantik Vemilla, dia amati secara mendalam gadis itu. "Ian ...," seru Davian bernapas berat. "Apa yang salah dengan adikmu, dia terlihat manis dan penurut, dia baik dan selalu mengalah, kenapa orangtua kalian begitu membenci gadis ini?" sambungnya mempertanyakan hal yang sama. Meskipun dia telah mendengar banyak alasan dari Radzian mengenai sikap pilih kasih orangtua mereka, jelas Davian ingin mendengar alasan pasti mengapa gadis ini dibedakan. Langkah demi langkah terurai ke depan, mendekati Vemilla yang terlelap dengan luka-luka lebam di wajahnya, kulit selembut itu harus bertarung dengan ganasnya tamparan Sabrina. "Say
Untuk ke sekian kalinya Davian mendengar Radzian menjodohkan dirinya dengan adiknya, sudah terbiasa dan lelaki dengan berat badan 79 kg itu menganggap hal itu adalah candaan yang tak perlu dia pikirkan sedalam itu. Kala itu, Davian tidak menjawab, dia berlalu begitu saja, memasuki lorong kamar mandi, ingatan berakhir sampai sana, lelaki tangguh itu sama sekali tidak melihat isi dari kotak tersebut. "Jadi, kotak itu dipersiapkan untukku dan adiknya." Senyum bernuansa pedih itu mendobrak pertahanan diri Davian. Di sana, detik itu juga air mata Davian merunduk dan berakhir menjadi hujan deras yang mampu membasahi pipi. Tangannya gemetaran membuka kotak itu secara perlahan. Sungguh terkejut, Davian sampai membuka mulutnya lebar-lebar, ternganga tak percaya dengan isi dalam kotak tersebut, itu adalah satu set jas tuxedo berbahan wool untuk pernikahan, bahkan ada sebuah kotak perhiasan berwarna merah di atasnya, juga sebuah buku
Hampir saja Davian melupakan suatu hal, di rumah ini bukan hanya Vemilla, melainkan ada asisten rumah tangga yang dipekerjakan Radzian untuk memenuhi kebutuhan adiknya. Dengan wajah sedikit mengeras, lelaki itu menjawab, "Masuk," katanya. Pintu setengah tertutup itu terbuka lebar, membawa seorang wanita paruh baya—43 tahun, masuk ke kamar bernuansa putih dan merah muda tersebut, wanita berpakaian seadanya itu membawa semangkuk besar air hangat dengan kain putih berbulu halus. "Saya mau mengompres luka Nona," ucapnya menundukkan wajah. Davian menghela napas beberapa saat, seraya menyisir rambut ke belakang, pria ini berlalu keluar dari ruang kamar Vemilla, tanpa meninggalkan pesan apapun. Berjalan menuruni tangga. Di anak tangga yang entah ke berapa, ponsel yang sejak tadi terbenam di saku celana mulai bergetar, menggelitik tubuhnya hingga merasa geli. Davian menghentikan langkah, merogoh ponsel dan mendekatkan ke telinga. "Halo," sapanya singkat, bahkan dia tidak melihat s
Sifat keras kepala yang dimiliki Sabrina tidak pernah bisa diredam, Johan selalu kewalahan menghadapinya, wanita paruh baya itu histeris, menjerit tanpa ampun sambil menjambak rambutnya sendiri juga berputar tanpa arah. "Argh ...! Diam Johan! Kita kehilangan putra kita karena dia! Sejak awal! Anak itu emang pembawa sial!" berang Sabrina gemetaran karena tangisannya berada di fase paling puncak. Johan ikut frustasi, dia pun bersedih pula, kehilangan putranya membuat dirinya kehilangan setengah jiwanya, tetapi dia tak bisa menyalahkan putrinya atas hal yang belum dia ketahui kebenarannya. Dia tertunduk dan menghela napas panjang. "Aku bilang cukup, SABRINA!" Pecah sudah teriakan Johan. Kepedihan mengikis air mata di ujung mata, Johan menatap Sabrina dengan gemetar tatapannya. "Kita kehilangan putra kita, dan kamu mau bunuh putri kita juga! Vemilla putri keluarga Gustavara! Hilangkan ambisi dan dendam kamu! Vemilla gak salah!" Sudah lama Johan ingin mengutarakan pikirannya, sejak la
Serak embusan napas dari balik panggilan telepon mulai terdengar menjawab, "Iya, Pak Johan, apa yang bisa instansi kami bantu?" Johan menuruni tangga kecil depan rumah, mengedar ke tengah pekarangan dengan tangan kiri dia benamkan ke saku. "Cari tahu soal kecelakaan putra keluarga Gustavara, dan di mana keberadaan Vemilla saat kecelakaan itu terjadi," pinta Johan pada seseorang di balik panggilan telepon sana. "Tentu, beri kami waktu tiga hari untuk menyelidiki masalah ini." "Oke, saya tunggu kabar selanjutnya." Benarkah keluarga Gustavara begitu mengintimidasi posisi Vemilla? Baik Johan ataupun Sabrina, mereka memiliki pandangan sebelah mata terhadap putri mereka. Vemilla dilahirkan hanya karena keterlanjuran, selebihnya adalah buah tanggungjawab dan memanfaatkan gadis itu untuk keberlangsungan bisnis mereka. Johan keras. Tapi dia masih memiliki hati nurani, dia terkadang merasa jika sikapnya terhadap Vemilla memanglah salah. "Aku keras, Sabrina jauh lebih keras, layaknya Radzi
Pintu harapan melebar di bola mata Vemilla, demikianpun dengan Davian, butiran air berkaca-kaca di matanya, harapan yang ingin dia dengar dari tim dokter yang menangani sahabat terbaiknya. Kerut wajah mereka mengikis perasaan dokter yang menangani Radzian kian menipis, ragu-ragu dia bersuara. "Kami sudah berusaha dengan keras, tetapi ..., keadaan pasien sudah sangat kritis, kehilangan banyak darah dan waktunya tidak sempat, mohon maaf, pasien mengembuskan napas terakhirnya pada pukul 15.43." Tidak ada senyuman di wajah semua orang, lebih-lebih dari dokter wanita itu, dia merasa gagal menjadi seorang dokter, perasaannya campur aduk, tertunduk hingga air mata memberatkan matanya. Vemilla mematung, berita itu seperti dentum petir yang pecah tepat di telinganya, dia mendorong tubuh lemahnya ke belakang. "K-kak I-Ian ...?! GAK! Gak mungkin, Dokter pasti bohong! Enggak mau! Kak Ian harus hidup!" pekik Vemilla menggelengkan kepala dengan frustasi. Dia mengendur dan terjatuh di kursi tung