Share

4. Aku Pergi

Segala daya aku upayakan agar aku mampu meninggalkan rumah yang sudah aku tinggali selama ini. Kuedarkan kedua mata menatap untuk terakhir kali semua isi rumah yang tentunya pasti akan kurindu. Netraku berhenti pada sebuah foto keluarga di mana masih lengkap ada mama dan papa Jasen. Kini foto itu tinggal kenangan.

"Mengapa wanita kumal itu masih di rumah, Mas?" tanya Rowena yang kudengar merengek manja.

"Tenang saja, Sayang. Mungkin wanita itu masih ingin memuaskan matanya dengan kenangan selama dioa disini, biarkan untuk sebentar dia mengingat kenangan itu. Setelahnya akan Mas hapus semuanya," balas Jasen.

"Benar ya, Mas. Aku ingin hanya ada aku di hari-harimu, bukan wanita kumal itu," kata Rowena sambil menunjuk ke arahku.

Kini kakiku melangkah dengan mantap menuju pintu keluar, masih kudengar isak tangis Yoga. Hanya Amel yang masih tersenyum kala aku melangkah sambil menarik koper. Di pintu keluar sudah ada Bi Minah yabg setia menantiku.

"Mbok, aku titip anak-anak ya. Jaga dan rawat mereka seperti anak Simbok sendiri, jika ada sesuatu segera kabari aku!" pesanku pada Bi Minah.

"Baik, Bu. Hati-hati!" kata Bi Minah lirih.

Kakiku dengan mantap melangkah saat melewati tubuh kekar lelaki yang dulu selalu lembut hatiku masih berdebar, kutatap sekilas raut wajah itu untuk terakhir kali. Bibir ini hanya mampu berucap lirih,

"Aku pergi dengan luka yang telah engkau toreh, jangan lagi menatapku jika suatu saat nanti aku ada di atas. Nikmati waktumu bersama jalang itu, Mas! Sampai jumpa," ucapku lirih penuh penekanan.

Dengan langkah panjang kutinggalkan rumah megah ini, terdengar langkah cepat kaki kecil di belakangku. Lalu suara merdu putri kecilku mulai mengalun.

"Bunda ... Jangan lupa oleh-oleh buat Amel jika pulang nanti!" teriak Amel.

Aku memghentikan langkahku dan berbalik menghadap putrk kecilku, kerentangkan tangan agar gadus kecil itu berlari dan mendekapku. Melihat posisiku, Amel pun segera berlari dalam pelukanku. Yoga yang ada di belakang Amel hanya diam terpaku, berdiri menatap nanar.

Kulambaikan tanganku untuk memanggilnya, Yoga pun akhirnya berjalan mendekat dan ikut masuk dalam pelukanku.

"Ingat ya, Bang, jaga selalu adik jangan tinggalkan dalam keadaan apapun! Bunda pergi pasti kembali pada kalian!" kupeluk dan ciumi seluruh wajah putra putriku.

Setelah puas kakiku melangkah masuk pada sebuah taksi yabg sudah lama menungguku. Sengaja aku naik taksi agar mudah mendapatkan hunian yang layak pakai untuk sementara waktu. Lamat-lamat masih terdengar suara manja jalang itu yang merasa menang telah mengusirku dari rumahku sendiri.

"Jalan, Pak!" ujarku pada sopir taksi.

Taksi pun berjalan sesuai arahanku. Selama perjalanan anganku masih melayang pada kebahagian yang dulu pernah aku reguk bersama Jasen. Saat pertama kali memasuki rumah itu bersama dengan Yoga yang masih dalam kandunganku.

"Inilah hadiah untukmu, Sayang!" kata Jasen saat itu.

"Rumah seindah ini, Mas. Pasti mahal harganya," balasku penuh rasa kagum.

"Ini belum seberapa untuk putra yang ada dalam kandunganmu itu, Sayang. Aku sangat menginginkan seorang putra dan kamu berhasil memberikan padaku. Terima kasih, Sayang!" ucap Jasen sambil mengecup lembut keningku.

Aku pun masuk melihat semua isi rumah yang baru saja dibelikan atas nama anak dalam kandunganku, semua barang berharga dengan merek ternama ada dalam rumah tersebut. Bahkan ada kamar khusus bermain yang dilengkapi semua permainan untul anak lelaki. Mulutku menganga tidak percaya, Jasen sudah menyiapkan segalanya sendiri tanpa sepengetahuanku. Aku sangat terharu, gegas kupeluk tubuh kekar suamiku.

"Terima kasih, Mas. Aku sangat terharu!" ucapku.

"Nikmati kemewahan ini bersama dengan putraku, beri dia nama Yoga Putra Vanderson!" titahnya.

"Baik, Mas." Aku masih menikmati kemewahan ruang tamu yang bernuansa biru langit, warna yang aku suka dengan bintang-bintang terlukis di atapnya.

"Sungguh indah!" kataku.

Jasen merengkuh tubuhku dan membawanya dalam pelukan, lalu mengangkat tubuh ini ala bridal style menuju sebuah kamar yang paling besat di lantai dua. Memasuki kamar, mataku terbius dengan aroma maskulin yang menguar dari tubuh lelakiku.

"Mas!" panggilku lirih.

"Aku inginkan upah dari semua yang aku beri padamu hari ini, Sayang! Layani aku untuk malam ini!" ucap Jasen parau.

"Bu, ini kemana tujuan kita?" tanya sopir taksi yang membuyarkan lamunanku.

"Eh, maaf Pak. Saya ingin di antar ke alamat ini!" kataku setelah tersentak dari lamunan lalu menyodorkan sebuah alamat di daerah Surabaya Selatan.

"Baik, Bu," balas sopir taksi.

Taksi pun kembali meluncur ke alamat yang ada dalam secarik kertas pemberian Annasta. Beberapa menit akhirnya taksi itu sampai pada bangunan berjajar dengan ukuran sederhana.

"Di sinikah, Bu?" tanya sopir taksi.

"Benar, Pak. Terima kasih!" kata Annasta sambil menyodorkan dua lembar uang bergambar mawar.

"Ini kembaliannya, Bu!" balas sopir taksi menyodorkan dua lembar uang berwarna ungu pada Annasta.

"Buat Bapak saja kembaliannya, saya pemisi. Sekali lagi terima kasih!" ucap Annasta.

Setelah semua barang Annasta turun dari bagasi, sopir taksi pun pamit undur diri untuk melanjutkan perjalanan mencari penumpang.

### SA ###

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status