Share

5. Hunian Baru

Di sinilah aku sekarang, sebuah hunian baru yang sangat jauh dari kata mewah. Sebuah bangunan yang disebut kontrakan rumah minimalis dengan ukuran 5x6 membuat dadaku sedikit sesak. Namun aku harus bersyukur masih bisa mendapatkan flat ini, semua informasi aku dapatkan dari Irene--teman kerjaku dulu.

"Bagaimana Annasta, sudah sampaikah kamu pada flat itu?" tanya Irene dalam panggilan telepon.

"Sudah, Irene. Ini aku sedang berbenah, kapan kamu akan berkunjung ke tempatku?" tanyaku.

"Sepulang kerja sore ini, Say. Kamu mau dibawakan apa?" tanya Irene dari seberang.

"Bagaimana jika bakso Pak Yudi? Sekali jalan 'kan?" pintaku.

"Siap, Ndan, laksanakan! Sudah dulu ya, Annasta. Nanti aku kabari jika sudah berangkat ketempatmu!" ujar Irene.

Sambungan terputus secara sepihak dari Irene, Annasta hanya mampu tersenyum masam menanggapi sikap sahabatnya itu yang belum berubah. Datang tanpa diundang pulang pun seperti menghilang tanpa jejak. Isshh jaelangkung donk.

Baru beberapa menit Annasta duduk menikmati udara sore melalui jendela, tiba-tiba terdengar ketukan pintu. Gegas wanita itu melangkah menuju pintu, lalu membukanya.

"Hai, gadis berasa janda. Ups! Terbalik ya, Sayang." Terdengar tawa dari Irene sesaat setelah mengejek Annasta.

"Biarin, wlee. Daripada kamu, belum nikah sudah janda duluan. Merana!" ungkap Annasta.

"Lllaaahh, tidak jauh beda donk. Samaan nasib kita mah!" ucap Irene.

Lalu Irene memasuki flat Annasta tanpa permisi, gadis itu langsung menghempaskan bobot tubuhnya pada sofa single yang masih terbungkus plastik. Sepertinya sofa itu baru saja sampai.

"Heem! Nyaman berasa di rumah sendiri jika seperti ini!" Irene menatap seluruh desain interior flat yang baru saja aku atur ulang

"Apakah ini desain kamu sendiri, Ann?" lanjut Irene yang kagum.

"Hanya menambah ornamen sedikit kerena cat tembok sudah bagus dan masih baru," balasku singkat.

"Sepertinya kamu cocok jika kerja di tempatku, Ann. Di sana sedang ada lowongan kerja untuk desain ruang. Bagaimana, mau?" tanya sahabatku itu.

"Boleh, kapan aku bisa kirim CV dan ke mana?" tanyaku penuj samangat.

"Sini, kasih ke aku saja agar besok bisa langsung interview!" ucap Irene sambil menadahkan tapak tangannya.

Aku berdiri mengambil CV yang sudah kubuat siang tadi, lalu kuberikan pada Irene. Irene tampak tersenyum menerima CV tersebut dan langsung membukanya.

"Gila, nilai sebagus ini kamu anggurin. Rugi, Annas, rugi besar!" kata Irene.

"Aku harus bagaimana lagi, Irene. Suami saat itu tidak dukung jadi aku harus ikuti kata suami. Kan istri sholehah!" balasku.

"Cie yang sholehah, karena sholehahnya sampai dibuang. Kasian!" ejek Irene.

"Udah, makan bakso dulu. Pening ikuti kamu ngobrol." Aku pun meninggalkan Irene yang sedang tertawa lirih untuk mengambilkan dua mangkuk bakal tempat bakso.

Setelah mendapatkan dua mangkok, segera kubawa ke depan di mana Irene duduk. Kuletakan dua mangkuk tersebut, lalu dengam telaten Irene membuka dua bungkus bakso. Akhirnya setelah sekian tahun aku bisa merasakan bakso Yudi.

"Pelan kalau makan bakso mercon itu, Annas! Apa kamu tidak pernah makan bakso?" tanya Irene.

Aku hanya mengulas senyum tipis yang ditanggapi dengan mata melotot dari Irene. Sepertinya gadis itu tahu jika aku hampir tidak pernah makan Bakso. Sungguh ironi nasihku.

"Separah itukah, Ann. Sampai tahunan kamu tidak makan bakso?" tanya Irene.

"Sejak kelahiran Amel, aku dilarang oleh Mas Jasen untuk keluar dari rumah. Bahkan sekedar mengantar Yoga sekolah pun tidak boleh," jelasku dengan masih melahap bakso yang super pedas itu.

"Kebangetan itu laki, seenak udel main larang istri nah dia bebas celup sana celup sini. Iihh! Apaan?!" decih Irene.

"Sudahlah lupakan saja, yang penting sekarang dia sudah mengeluarkan talak tiga untukku. Tinggal aku bebenah diri untuk masa depan anak-anak," balasku menyemangati diri sendiri.

"Ya, benar. Aku selalu mendukungmu, Annasta," balas Irene.

"Sudah selesai makannya, sekarang mari kita ngobrol lagi. Tetapi sebentar dulu, ya, aku bawa mangkuk kotor ini ke belakang," pamitku, lalu mangkuk bekas makan bakso segera aku bawa ke tempat cucian piring.

Setelah selesai kucuci dan letakkan mangkuk pada tempatnya, aku pun kembali pada Irene yang terlihat meneliti semua lembar CV milikku.

"Bagaimana, Irene, adakah kesempatan bagiku untuk kerja pada perusahaan tempatmu bekerja?" tanyaku saat kulihat dahi Irene mengernyit.

"Mangapa harus engkau tulis status barumu, Ann? Alangkah baiknya jika kosongi saja kolom status itu, Ann!" kata Irene datar.

"Tidak apa, Irene. Agar kerjaanku membawa berkah dan dapat ridho," balasku asal.

"Serah kamu, ini hanya sekedar saran. O ya yang kosong saat ini ganya devisi desain ruang saja, nanti kamu akan kerja secara tim. Apakah kamu sanggup, Ann?" tegas Irene.

Aku menimbang kembali mengenai info lowongan yang ada di tempat Irene, sedikit ragu dengan pola kerja tim. Selama ini aku belum pernah masuk dunia kerja secara tim, dulu saat masih pacaran dengan Mas Jasen aku selalu kerja sendiri tanpa tim. Sekarang lowongan ini harus kerja tim.

"Bismillah, akan aku coba kerjaan ini, Irene. Jujur aku sangat membutuhkan," balasku mantap.

"Baiklah, jika kamu sudah mantap, ini CV aku bawa. Besok aku kasih kabar lagi bagaimana keputusan si ayang beib!" kata Irene sambil mengulas senyum.

"Kok ayang beib?" tanyaku.

Namun, pertanyaanku hanya ditanggapi dengan tawa berderai tanpa kejelasan yang pasti. Hingga akhirnya Irene pamit pulang karena hari sudah malam.

"Aku pulang dulu, Ann. Jaga dirimu baik-baik!" pamit Irene.

"Heemm, hati-hati bawa mobil, ini sudah malam!" ucapku sarat akan pesan.

Irene melangkah ke luar ruangan menuju halaman flat tempat aku tinggal. Di halaman terparkir sebuah mobil keluaran terbaru berjenis sedan, mobil yang jarang berkeliaran di jalan Kota Surabaya. Sedan merah metalic mulai berjalan, Irene melambaikan tangannya sebagai tanda perpisahan.

### SA ###

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status