Segala daya aku upayakan agar aku mampu meninggalkan rumah yang sudah aku tinggali selama ini. Kuedarkan kedua mata menatap untuk terakhir kali semua isi rumah yang tentunya pasti akan kurindu. Netraku berhenti pada sebuah foto keluarga di mana masih lengkap ada mama dan papa Jasen. Kini foto itu tinggal kenangan. "Mengapa wanita kumal itu masih di rumah, Mas?" tanya Rowena yang kudengar merengek manja. "Tenang saja, Sayang. Mungkin wanita itu masih ingin memuaskan matanya dengan kenangan selama dioa disini, biarkan untuk sebentar dia mengingat kenangan itu. Setelahnya akan Mas hapus semuanya," balas Jasen. "Benar ya, Mas. Aku ingin hanya ada aku di hari-harimu, bukan wanita kumal itu," kata Rowena sambil menunjuk ke arahku. Kini kakiku melangkah dengan mantap menuju pintu keluar, masih kudengar isak tangis Yoga. Hanya Amel yang masih tersenyum kala aku melangkah sambil menarik koper. Di pintu keluar sudah ada Bi Minah yabg setia menantiku."Mbok, aku titip anak-anak ya. Jaga dan
Di sinilah aku sekarang, sebuah hunian baru yang sangat jauh dari kata mewah. Sebuah bangunan yang disebut kontrakan rumah minimalis dengan ukuran 5x6 membuat dadaku sedikit sesak. Namun aku harus bersyukur masih bisa mendapatkan flat ini, semua informasi aku dapatkan dari Irene--teman kerjaku dulu. "Bagaimana Annasta, sudah sampaikah kamu pada flat itu?" tanya Irene dalam panggilan telepon."Sudah, Irene. Ini aku sedang berbenah, kapan kamu akan berkunjung ke tempatku?" tanyaku. "Sepulang kerja sore ini, Say. Kamu mau dibawakan apa?" tanya Irene dari seberang. "Bagaimana jika bakso Pak Yudi? Sekali jalan 'kan?" pintaku. "Siap, Ndan, laksanakan! Sudah dulu ya, Annasta. Nanti aku kabari jika sudah berangkat ketempatmu!" ujar Irene. Sambungan terputus secara sepihak dari Irene, Annasta hanya mampu tersenyum masam menanggapi sikap sahabatnya itu yang belum berubah. Datang tanpa diundang pulang pun seperti menghilang tanpa jejak. Isshh jaelangkung donk. Baru beberapa menit Annasta d
Setelah aku menunggu selama dua hari dari hasil interview, akhirnya muncul notif di emailku yang isinya bahwa aku diterima kerja. Rasa syukur aku panjatkan atas ridho-Nya hingga aku cepat mendapatkan sebuah pekerjaan yang sesuai minat dan bakat. "Terima kasih, Ya Robb," ucapku kala membaca email masuk dari PT. Somplak tbk. Aku sangat bahagia, akhirnya bisa menabung untung memulai hidup baru bersama kedua anakku kelak. 'Tunggu bunda, Sayang. Suatu saat nanti kita pasti akan berkumpul,' batinku berbicara sambil tangan ini memegang foto kedua bocah kecil itu. Sebuah foto yang sempat aku ambil dari album tanpa sepengetahuan Mas Jasen. Hanya foto itu harta yang paling berharga bagiku saat ini. Karena foto itulah semangatku masih berkobar mempertahankan rasa ini. "Aku harus mempersiapkan diri untuk memulai eaok hari," lirihku sambil membuka almari baju. Kulihat tumpukan baku usang yang sudah tidak layak pakai, hatiku merasa tercubit pedih. Selama ini aku tidak memperhatikan penampilan
Tampak Jasen berjalan tegap melewatiku tanpa menyapa, sedangkan Rowena semakin mengeratkan pegangan tanganya pada lengan mantan suamiku. Sungguh pemandangan yang menyakitkan. Aku tidak peduli lagi, segera aku melangkah mengejar Irene yang sudah masuk ke salah satu toko pakaian kerja. "Huft, akhirnya aku bisa menyusulmu, Irene!" kataku saat sudah ada di dekat Irene. "Memangnya kamu dari tadi kemana lho, Annasta?" tanya Irene dengan nada kesal."Heheh, maaf tadi aku melihat si Jasen dengan perempuan rubah itu. Jadi sedikit termangu hingga tertinggal olehmu," balasku "Dasar, sudah lupakan si kodok dan rubah itu. Lihat masa depan saja, Annasta!" kata Irene yang mulai jengah dengan sikapku yang terkadang masih tidak rela. "Sulit, masih terasa sakit." Aku mulai merasa sesak dan ingin menangis."Maafkan aku, Ann. Bukan maksudku marah padamu, aku hanya ingin kamu lupa saja!" pinta Irene. "Iya aku tahu, beri aku waktu. Nanti pasti bisa melupakan jika sudah sibuk dengan pekerjaan, bersabar
Gadis kecilku masih terlihat bimbang, netranya menatap lembut pada sang pria kecil. Lalu terlihat anggukan kepala dari si abang, baru gadis kecil itu melangkah mendekat kepadaku. Tangan mungilnya meraih jemariku lalu dibawa dalam pelukannya. Bayang embun sudah mulai menggenang diujung mata bulat si gadis kecil.Aku berjongkok mensejajarkan dengan tubuh gadis itu, begitu sejajar tangan mungilnya meraih leherku dan mendekap erat seakan tidak ingin terlepas. Terdengar lirih isak tangisnya di telinga kananku tempat sandaran kepalanya.Aku mencoba bertahan untuk tidak menangis, tetapi apa daya hati seakan teritis sembilu. Ku usap lembut pungung kecil itu, terlihat si abang mengusap lelehan air mata yang mengalir di sudut matanya. Aku sangat terharu."Bunda, sampai kapan harus seperti ini? Amel sudah tidak tahan," lirih gadis kecilku."Maafkan bunda, Sayang! Tunggu dua atau tiga tahun lagi, bunda sedang mengupayakan untuk kehidupan kalian. Tunggu dan sabar jalani semua dengan iklas!" ucapku
"Apakah kalian tidak ingin berkata jujur pada bunda, Sayang?" tanyaku."Maafkan Yoga. Janji adalah hutang, pantang bagi Yoga untuk ingkar!" ucap Yoga dengan tegas."Baiklah, sekarang habiskan makan kalian segera agar tidak ada yang terluka. Biar nanti kami antar kalian pulang!" kata Irene."Kami bisa pulang sendiri Bunda dan Bibi. Bukankah Yoga sudah berucap?" tegas lelaki kecil itu.Aku dan Irene hanya mengangguk, lalu mereka berdua pamit dengan mencium punggung tanganku. Kuselipkan ponsel jadul miliku pada saku Amel dan juga selembar uang kertas berwarna merah, tidak lupa aku bisikan sesutu di telinga kecilnya."Simpan ini baik-baik, Sayang. Jika suatu saat Adik perlu, gunakan dengan bijak!" bisikku lirih di telinganya.Amel hanya mengangguk perlahan lalu bibir mungilnya tersenyum menatap kami berdua. Aku meraih tubuh kecil itu dan kubawa dalam dekapan, "Jangan lupakan bunda, Sayang!""Amel akan selalu ingat peristiwa ini. Janji Bunda akan selalu Amel ingat dan tunggu," kata Amel."
Pagi yang cerah membuat hariku semakin berwarna, kupersiapkan semua agar dapat segera berangkaat kerja tidak terlambat. aku pun mulai bersiap untuk mandi, kesegaran air pagi hari membuatku semakin bersemangat dalam memulai hari.Kulangkahkan kaki ini menuju halte bis yang menuju kantor tempat aku memulai karierku dalam bidang desain yang sudah lama aku tinggalkan sejak menikah dengan Mas Jasen tujuh tahun yang lalu.Sekarang aku harus bisa mandiri tanpa sosok suami yang akan selalu ada dalam seetiap aktifitasku, meskipun dulu Mas Jasen selalu melupakan aku sejak kelahiran Amel. Entah ap sebabnya hingga perubahan sikap suamiku begitu drastis tanpa ada tanda-tanda yang pasti. Bus way dengn jurusan kantorku telah tiba, aku pun naik dan langsung mengedarkan pandanganku untuk mencari tempat yang kosong. Akhirnya aku menemukan tempat yang kosong tersebut tepat di samping seorang pemuda yang masih kuliah jika dilihat dari gestur wajahnya."Turun mana, Mbak?" tanya pemuda itu."Aku turun di
"Selamat datang Ibu Annasta kami berharap Ibu bisa membimbing kami dengan pengalaman Anda yang terbilang sangat fantastis. Semua sekarang kita satu tim dalam desain," kata salah satu anggota y ang ada di dalam."Tolong segera perkenalkan nama kalian masing-masing!" kata wanita yang sedikit terlihat menor cara merias diri."Saya Gendis, tim desain interior 1. salam kenal, Ibu Ann!" sapa Gendis."Tunggu apa maksud kamu dan kalian semua memperkenalkan diri dengan cara seperti ini pada saya, bukankah posisi kita sama. Sebagain karyawan desain?" tanyaku pada mereka yang terlihat melongo."Apa tadi diruang HRd Ibu Irene tidak menjelaskan pada Ibu mengenai posisi Ibu di sini?" tanya Gendis.Aku hamya menggelengkan kepala karena sejujurnya aku pun tidak mengerti masalah jabatan yang aku terima saat kerja di sini." Jika kalian tidak keberatan tolong jelaskan masalah tugas saya di sini sebagai apa bagi kalian semua," kataku dengan tegas dan datar.Semua mata saling tatap satu sama lain, mereka