Share

3. Harus Rela

Sudut mataku menangkap ada bayangan yang berdiri di balik pintu kamar. Sepertinya sosok jagoanku berdiri di sana menyaksikan semua perbuatan sang ayah. Terlihat beberapa kali tangan kecilnya mengusap kedua mata indah nan jernih. Hatiku kembali bagai tersayat. Kini Jasen keluar bersama Rowena yang terlihat bahagia diatas lukaku.

Aku sudah tidak memedulikan kehadiran wanita itu lagi, kini tanganku kembali melanjutkan aktivitas berbenah barang bawaanku. Namun seketika gerakanku berhenti kala mendengar sebuah sapaan lembut dari bidadari kecilku.

"Bunda... Bunda hendak kemana, kok ada koper besar? Tunggu Amel berbenah ya Bund, jika Bunda ke rumah kakek Amel ikut!" pinta gadis kecil itu.

Belum sempat bibirku berucap, Amel berlari menjauh keluar dari kamar pribadiku. Aku masih meneruskan berbenah yang kurang sedikit. Setetlah semua selesai kini aku harus membersihkan tubuh dari keringat yang sedari tadi mengalir deras.

Sepuluh menit sudah cukup bagiku untuk membersihkan tubuhku, lalu kebuang gamis yang aku pakai semalam. Perlahan langkah kaki kecil mendekat pada keranjang pakaian kotor yang terletak di pojok kamar. Yoga meraih gamis kotor tersebut didekap dan diciumnya aroma tubuhku yang tersisa.

"Sayang, itu gamis bunda kotor lho. Letakkan pada tempatnya lagi, biar nanti dicuci sama Bi Minah!" ucapku.

"Biarkan gamis ini untuk Yoga, Bunda. Jangan lama bila tinggalkan kami, Yoga pasti akan merindui Bunda!" kata Yoga lalu segera berlalu dengan langkah cepat tanpa menoleh ke belakang lagi.

Air mataku kembali mengalir menghadapi kenyataan luka yang harus diderita jagaonku. "Engkau sungguh tega, Mas. Lihatlah luka kedua anakmu!" gumamku.

"Bunda... Bunda, Amel sudah siap. Tara

...." Gadis kecilku sudah datang dengan menarik koper pink kecil miliknya.

"Hallo, Sayang. Kamu mau kemana, cantik sekali," ucapku sambil berjalan mendekati Amel yang sudah siap.

Gadis kecil itu sudah terbiasa mandiri diusia lima tahun, dengan pakaian gamis berwarna pink muda makai hijab yang senada membuat kulit putihnya berkilau, cantik.

"Bukankah Bunda akan pergi ke rumah kakek di Madiun? Amel ikut, sekolah Amel juga lagi libur dua minggu karena ada acara ujian untuk kelas yang lebih tinggi. Boleh ya, Bund?" papar gadis kecilku.

"Bunda tidak pergi ke rumah kakek di Madiun, Sayang. Bunda hanya ada perjalanan bisnis di luar kota. Mungkin hanya beberapa minggu, Amel dengan Ayah ya, Sayang!" Aku mencoba merayu putri kecilku agar tidak merengek ingin ikut bersamaku.

Langkah kaki mulai mendekat, langkah yang panjang khas kaki Jasen. Tatapan matanya nyalang dan tajam pada kami berdua, seketika tangan mungil Amel mendekap kakiku. Tubuh Amel bergetar melihat aura marah yang terpancar di wajah ayahnya.

"Sini Sayang, Amel sama ayah," ucap Jasen lembut sambil melambaikan tangannya pada Amel.

Amel yang masih bergetar menengadahkan kepala menatap padaku seakan bertanya boleh. Aku pun mengangguk tanda setuju. Perlahan kaki kecil itu mendekat pada Jasen, begitu sampai tubuh Amel di raih dan dibawa dalam gendongan hangat sang ayah. Amel tersenyum sambil mengusap lembut pipi Jasen.

"Ayah, bolehkah Amel ikut Bunda ke Madiun?" tanya Amel sedikit ragu.

"Bukankah tadi Bunda kamu sudah bilang akan pergi kemana, Sayang! jadi Amel di rumah saja bersama ayah dan abang kamu, paham!" ucap Jasen sedikit ada penekanan.

Amel yang mengerti pun akhirnya meminta turun dari gendongan Jasen. Lalu melangkah kembali padaku, kedua tangannya direntangkan guna meminta sebuah pelukan dariku. Aku pun menyambut tubuh gadis kecil itu dan kupeluk erat. Tanpa terasa air mata keluar dan mengalir perlahan, Amel yang menyadari isakanku segerai mengurai pelukannya.

"Bunda, kok nangis." Tangan kecil itu mengusap pipiku untuk menghapus jejak air maya.

"Jangan nangis, nanti cantiknya Bunda akan luntur. Terus jika luntur ayah pastk berpaling pada wanita lain seperti ayah Abdi teman Amel. Bunda harus tetap cantik ya! Amel tidak mau ibu tiri seperti Abdi," papar Amel.

"Sudah bereskan segera keperluanmu, Rowena ingin rebahan. Badannya terasa remuk akibat gempuranku barusan!" ujar Jasen.

Deg! Gempuran!

Satu kata yang langsung menghujam relung hati membuat tanganku bergetar hebat. Air ata sudah tidak ingin keluar hanya kaki ini ingin segera melangkah pergi.

"Baiklah, saya tunggu surat cerai datimu, Mas!" kataku disaat melewati tubuhnya.

Kini kakiku mulai melangkah menuruni tangga menuju lantai dasar. Iya rumahku berlantai tiga, sedangkan semua kamar ada di lantai dua. Lantai tiga hanya terdapat kolam renang dan beberapa alat gym suamiku. Sepeninggalku terlihat sosok Rowena berjalan memasuki kamar pribadiku dengan gaun tipis tanpa dalaman menampilkan sesuatu yang tidak seharusnya.

Kakiku terus berjalan menuruni tangga, sudut mataku melihat Yoga dan Amel duduk di meja makan menungguku. Senyum Amel mengembang kala aku duduk di sampingnya. Tangan kecil itu menyodorkan sekotak bekal miliknya.

"Ini buat Bunda selama perjalanan ya! Ini hasil buatan Amel lho, tapi dibantu sama Abang," jelasnya sambil memandang abangnya.

Yoga mengangguk membenarkan apa yang dikatakan oleh Amel. Yoga menatap Annasta tanpa berkedip, bibirnya terkatup rapat tanpa senyum.

"Abang, bunda titip adiknya. Jaga dan dampingi selalu apa yang diinginkan. Jangan banyak membantah dengan perintah ayah serta wanita rubah itu. Bunda pergi untuk kembali, ingat itu!" kataku.

Yoga hanya menatap nanar, jiwanya kini terlihat rapuh. Perlahan Yoga berdiri dan melangkah mendekat pada Annasta sang bunda. Direngkuhnya tubuh Annasta lalu diciuminya kedua pipi sang bunda sambil membisikkan kata, "Yoga akan selalu ada buat Bunda suatu saat nanti, Yoga akan turuti semua pesan itu."

### SA ###

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Muh Al baim
... bagus komingnya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status