MasukAndrew menatap sang ayah dengan wajah ragu. "Bukankah Papa harus bekerja?" Alex menggeleng. "Hari ini, Papa akan meluangkan waktu khusus untukmu. Karena itu, biarkan saja laki-laki itu mengurus keponakannya. Lain kali, jangan berharap padanya lagi. Janji palsunya hanya akan membuatmu kecewa." Andrew mengernyitkan dahi. Keresahannya masih bersisa. Kata-kata sang ayah ternyata belum cukup untuk menghiburnya. "Yang namanya janji mana boleh diingkari?" gumamnya, sendu. Brandon pun mengacak rambutnya. "Sebagai permintaan maaf, aku akan mengabulkan satu permintaanmu nanti."Alis Andrew naik sedikit. "Benarkah? Apa pun yang kuminta pasti akan kau kasih?" "Ya, asalkan itu hal yang logis dan sanggup kupenuhi. Dan tidak menyalahi aturan tentunya," angguk Brandon meyakinkan. Andrew pun menghela napas cepat. "Baiklah. Hari ini, biar Papa dan Briony saja yang menemaniku jalan-jalan. Tapi minggu depan, kau harus menepati janjimu. Dan kau harus mengabulkan permintaanku." Brandon tersenyum tipi
Dulu, Alex selalu ingin melakukan hal itu dengan Briony. Namun, Briony selalu menolak dengan alasan bahwa mereka belum menikah. Sekarang, mengapa gadis itu terlihat begitu bebas? Ia tidak memberi Brandon batasan seperti yang dulu pernah ditetapkannya. Apakah ia sudah berubah atau memang itulah sifat aslinya? "Ternyata, dia memang perempuan licik. Sikap polosnya hanya topeng untuk menutupi keburukannya. Aku beruntung bisa terhindar darinya dan memilih Caroline," batin Alex, nyinyir. Sambil memupuk kebencian untuk Briony, ia pergi dari situ. Ia lebih baik melanjutkan pekerjaannya daripada menyaksikan pemandangan yang membuatnya muak.Namun ternyata, keesokan harinya, Alex masih harus mendapati pemandangan serupa di dapur. Briony sedang memasak ditemani oleh Brandon. Pria itu berdiri begitu dekat dengannya. Mereka sesekali berbisik. Entah apa yang mereka bicarakan, tetapi Alex tersinggung melihatnya. "Apakah kalian itu magnet? Tidak bisakah kalian tidak menempel lebih dari satu menit?
"Terima kasih, Brandon. Tapi kurasa, aku baik-baik saja," tolak Briony halus. "Tidak usah malu, Bri. Kita sudah pernah melakukannya, ingat? Saat berkemah di kediaman Harper. Summer dan River meninggalkan kita berdua di dalam tenda. Kamu kelihatannya nyaman sekali tidur dalam pelukanku," kenang Brandon, membuat rasa malu Briony semakin mencuat. "Kita melakukan itu tanpa sadar, Brandon. Kalau sekarang ...." Briony ragu menyelesaikan kalimatnya. "Kamu takut setan muncul memengaruhi pikiran kita?" tebak Brandon seraya meloloskan tawa. "Tenang, Briony. Aku tidak akan macam-macam. Hanya memelukmu saja." Napas Briony tertahan lagi. Otaknya sibuk berpikir. "Ternyata ini yang dimaksud Brandon dengan tidur bersama? Bukan yang macam-macam, hanya tidur sambil berpelukan?" "Kau tahu?" Brandon tiba-tiba memecah keheningan. Briony nyaris terperanjat. "Aku sengaja tidak menutup gorden dengan rapat. Aku yakin Alex akan mengintip lewat sana. Karena itu, ada baiknya jika kita tidur berpelukan. Deng
Semakin lama Briony membayangkan apa yang mungkin terjadi malam ini, semakin kencang getaran dalam dadanya. Pipinya memanas. Sarafnya menegang. "Mungkinkah Brandon mau melakukan itu? Tapi aku bukan perempuan cantik atau seksi. Mana mungkin dia mau melakukan hal itu denganku?" renung Briony seraya melihat pakaiannya sendiri. Setelah yakin bahwa dirinya memang tidak menarik, ia menganggukkan kepala."Ya, aku pasti sudah salah paham. Yang dia maksud tidur bersama itu pasti hanya berbaring di kasur yang sama dan tidur. Tidak ada interaksi. Hanya tidur," Briony berusaha berpikir positif. Namun, selang keheningan sesaat, tubuhnya kembali menegang. Kata-kata Brandon terngiang dalam benaknya. "Bagiku, kamu adalah pacar sungguhanku.""Kita akan tidur bersama, Briony. Aku tidak mau membuatmu tak nyaman.""Kita harus segera meyakinkan Alex kalau kamu adalah milikku."Briony terkesiap. Bulu kuduknya meremang. Ia tanpa sadar menelan ludah. "Apakah Brandon serius mau meniduriku? Itukah yang dia
"Tidak," sangkal Alex dalam hati, saat egonya kembali mencuat. "Keadaan justru bisa lebih buruk kalau dulu aku memilih Briony. Dia hanya jago akting dan bicara. Selain itu, dia tidak punya modal atau keahlian apa-apa. Dia juga pembawa sial dalam hidupku. Buktinya, keluargaku mulai bermasalah sejak dia menulis buku sialan itu."Sambil menatap Briony sinis, Alex mengeluarkan ponselnya. Ia mengirim pesan kepada sekretarisnya. "Apakah sudah ada tanggapan dari pihak Little Sparks? Kapan mereka akan men-take down buku itu?" Sekretarisnya membalas, "Mereka belum bisa memberi tanggapan, Tuan. Mereka perlu mendiskusikan hal tersebut dengan CEO mereka yang kebetulan sedang mengambil cuti panjang.""CEO macam apa yang mengabaikan urusan kantor begitu lama?" gerutu Alex, sebal. Sambil mendumel dalam hati, ia mulai memikirkan cara. "Haruskah aku menghapus buku itu dari ponsel Briony? Atau aku perlu menunggu sampai dia login di laptop barunya? Tapi hal itu tetap membutuhkan acc dari platform, kan?
Kemarahan Alex semakin membara. Ia menarik sang istri agar mendekat ke matanya. "Jangan menguji kesabaranku. Tinggalkan anak itu dan cepat temui Andrew." "Kaulah yang jangan menguji kesabaranku. Sekali lagi kau memaksaku, aku akan berteriak. Kalau kau peduli kepada Andrew, kau tidak akan mencobanya," Caroline mengancam balik. Alex memicingkan mata lagi. "Apa maksudmu?" "Bisa kau bayangkan bagaimana perasaan Andrew jika dia melihat ibunya lebih memilih anak lain?" Napas Alex tersekat. Dadanya sesak oleh kegilaan sang istri. "Kau ....""Lepaskan aku atau aku berteriak sekarang? Biar Andrew melihatku menggandeng tangan anak lain," tantang Caroline seraya meninggikan sebelah alis. Alex tertegun dalam kekalutan. Ia tidak rela melepas sang istri. Namun, ia lebih tidak rela lagi jika Andrew tersakiti. "Tiga .... Dua ...," Caroline menghitung mundur. Dengan mata merah yang terlapisi air mata, Alex akhirnya melepas Caroline. Wanita itu tersenyum sinis. "Keputusan bijak, Alex. Mulai sek







