Briony meringis. "Anda salah paham. Dia bukan putra saya."
Sang radiografer mengerutkan alis. "Lalu? Anda ini siapa? Kenapa Anda menemaninya di sini?"
Briony menggigit bibir. Ia malu mengakui bahwa dirinyalah penyebab lengan sang anak patah.
"Tidak masalah. Biar saya coba," ujar Briony, mengelak dari pertanyaan. Kemudian, ia mendekatkan wajahnya kepada si bocah. Sambil tersenyum manis, ia berkata, "Anak Manis, jangan takut. Alat ini tidak menggigit. Dia cuma digunakan untuk mengambil foto. Tidak akan terasa sakit."
Sayangnya, si bocah tetap meronta-ronta. "Bohong! Kalian pasti mau memotong tanganku. Aku tidak mau kehilangan tanganku. Aku masih mau menggunakannya!"
Briony tercengang. Ia tidak menduga kalau bocah itu akan memberinya jawaban di luar nalar.
"Memotong tangan?" Briony mengulang asumsi si bocah dengan nada tak percaya. Selang satu kedipan, tawanya pecah. Bukan hanya radiografer, tetapi anak yang semula merengek itu juga bingung dibuatnya.
"Kenapa kamu tertawa?" selidik si bocah, masih dengan wajah kusutnya.
Merasa gemas, Briony mencubit pipinya. "Itu karena kamu sangat lucu. Kenapa kamu berpikir kalau dokter akan memotong tanganmu?
"Karena tanganku sudah rusak? Kudengar, dokter biasanya membuang bagian tubuh pasien yang rusak saat operasi. Bukankah ini meja operasi?" jawabnya, takut-takut. Matanya sesekali melirik ke arah radiografer.
Briony tertawa lagi. "Kau pasti salah mengira. Petugas medis ini bukan dokter, melainkan seorang radiografer. Dan ini bukan meja operasi, melainkan meja rontgen. Apakah kau tahu apa itu radiografer dan rontgen?"
Sang anak berkedip-kedip bingung. Briony pun kembali bertanya, "Sekarang coba jawab pertanyaanku. Apakah kita bisa melihat tulang?"
Bocah laki-laki itu menggeleng. "Tidak."
"Benar. Tulang kita tertutupi kulit, jadi kita tidak bisa melihatnya secara langsung. Padahal, dokter perlu mengetahui kondisi tulangmu agar bisa memberikan penanganan yang tepat. Untungnya, rumah sakit ini menyediakan mesin rontgen. Dengan alat ini, kita bisa mendapatkan hasil foto tulangmu. Radiografer inilah yang akan mengoperasikan alatnya," terang Briony, sabar.
Anak laki-laki itu berpikir sejenak. "Jadi ini bukan operasi?"
"Bukan. Ini hanyalah pemeriksaan rontgen. Kamu tidak akan merasakan apa-apa," angguk Briony, meyakinkan.
"Ya, ini hanya pengambilan gambar. Rasanya seperti di foto," tambah sang radiografer.
Mata si bocah memicing. Ia seperti sedang mengamati kebohongan pada wajah-wajah di hadapannya.
"Jadi bagaimana? Kamu tidak akan melawan lagi, kan?" tanya Briony dengan nada membujuk. "Semakin cepat kamu setuju, semakin cepat dokter bisa mengobati tanganmu. Kamu mau tanganmu sembuh, kan?"
Anak laki-laki itu menghela napas pasrah. "Baiklah, aku tidak akan melawan lagi. Cepat obati tanganku."
Briony bertepuk tangan lega. "Bagus! Kalau begitu, aku akan menunggumu di luar."
"Kenapa menunggu di luar?" Bocah itu merengut. "Ingat kata Nyonya Powell. Kau yang sudah menabrakku. Kau juga yang harus mengurusku."
Briony kembali tercengang. Ia tidak menyangka bahwa anak itu begitu pandai bicara. "Baiklah. Aku akan menemanimu di sini."
Sang radiografer pun mulai memosisikan lengan yang patah. Anak laki-laki itu meringis karena nyerinya. Untungnya, ia tidak menangis lagi.
"Kamu ini jagoan, rupanya. Sekarang bertahanlah sebentar. Kamu boleh tutup mata kalau takut," celetuk Briony, mencoba untuk meringankan suasana.
Bocah itu melirik Briony dengan tatapan tajam. "Tidak. Aku tidak akan menutup mata. Kalau mesin itu mengeluarkan pedang atau pisau, aku akan menarik tanganku dengan sangat cepat."
Sang radiografer terkekeh. "Tidak akan ada senjata semacam itu keluar dari alat ini. Sekarang tunggu sebentar. Nyonya, tolong pastikan lengannya tidak bergerak."
"Aku tetap akan menarik tanganku kalau ada pisau yang muncul," tegas bocah laki-laki itu.
Briony tertawa lagi. Hatinya tergelitik melihat betapa serius anak itu memperhatikan mesin. Sambil menahan bahu si bocah agar tidak berpindah, ia berbisik, "Omong-omong, kita belum berkenalan. Siapa namamu? Aku Briony."
"Briony? Nama yang aneh. Kenapa orang tuamu memberimu nama itu?" Sang anak mendongak untuk menatap Briony yang berdiri di ujung kepalanya.
Bibir Briony mengerucut. "Hei, namaku tidak aneh. Itu justru sangat cantik. Orang tuaku sengaja memilih inisal B supaya sama dengan nama ibuku. Kamu mengerti artinya inisial, kan?"
"Kalau begitu kita sama. Inisialku sama dengan inisial ayahku. Aku memang belum bisa membaca, tapi aku tahu kalau nama kami berdua diawali dengan huruf a."
Brioni menaikkan alis. "Memangnya siapa namamu?"
"Andrew."
Jantung Briony seketika jatuh ke perut. Dari sekian banyak nama di muka bumi, mengapa nama bocah itu yang sama dengan pilihannya dulu? Nama yang Alex pakai untuk anaknya dan Caroline? Mungkinkah ....
"Baiklah, aku minta maaf karena kurang berhati-hati saat berkendara. Tapi, bukan cuma aku yang mendapat pelajaran hari ini. Kamu juga, kan?" tanya Briony kepada Andrew. Bocah itu enggan mengangguk. "Pelajaran apa? Untuk tidak menyeberangi jalan sendirian? Aku sudah tahu itu dari dulu. Aku tidak akan melakukannya kalau Nyonya Powell mau mendengarkan aku."Briony mendengus geli. Sifat tak mau kalah Andrew yang lucu itu terkesan familiar baginya. "Baiklah, aku paham. Aku akan membeli bola jika waktuku sudah senggang. Tapi berjanjilah untuk tidak menyeberang sembarangan lagi. Mengerti?" Raut Andrew berubah kecut. Meskipun demikian, kepalanya tetap mengangguk. "Baiklah. Aku tidak akan mengulanginya lagi.""Bagus. Sekarang ayo kuantar pulang. Berterimakasihlah kepada dokter dan perawat," Briony menepuk punggung Andrew dua kali. Andrew pun turun dari kursi. Ia mendongak menatap Briony. "Kau tidak perlu mengantarku pulang. Papa pasti sudah menungguku di luar. Aku yakin dia akan mengajakku
Briony menelan ludah. Tubuhnya kini terasa tegang. "L-lalu, siapa nama ayahmu?" tanyanya ragu. Belum sempat Andrew menjawab, radiografer tadi sudah kembali menghampiri mereka. "Selesai. Kita sudah mendapatkan hasil foto lenganmu."Mata Andrew membulat. Ia sudah lupa dengan pertanyaan Briony. "Benarkah? Secepat itu? Mana hasilnya? Aku mau melihat tulangku." "Kamu bisa melihatnya di ruang dokter. Sekarang, biar aku pindahkan kamu ke kursi roda. Tolong jangan banyak bergerak supaya kamu tidak merasa sakit," ujar sang radiografer seraya melaksanakan tugasnya. Sementara itu, Briony masih memikirkan pertanyaannya tadi. Mungkinkah Andrew adalah putra Alex? Namun, dunia tidak selebar daun kelor. Mana mungkin takdirnya sekonyol itu? "Ya, ini pasti hanya kebetulan. Yang bernama Andrew bukan cuma anak Alex. Itu nama yang pasaran," pikirnya, meyakinkan diri sendiri. Namun, saat pintu ruang pemeriksaan dibuka, keyakinannya goyah. Sang nanny memanggil Andrew dengan nama yang familiar. "Tuan Mu
Briony meringis. "Anda salah paham. Dia bukan putra saya."Sang radiografer mengerutkan alis. "Lalu? Anda ini siapa? Kenapa Anda menemaninya di sini?" Briony menggigit bibir. Ia malu mengakui bahwa dirinyalah penyebab lengan sang anak patah."Tidak masalah. Biar saya coba," ujar Briony, mengelak dari pertanyaan. Kemudian, ia mendekatkan wajahnya kepada si bocah. Sambil tersenyum manis, ia berkata, "Anak Manis, jangan takut. Alat ini tidak menggigit. Dia cuma digunakan untuk mengambil foto. Tidak akan terasa sakit."Sayangnya, si bocah tetap meronta-ronta. "Bohong! Kalian pasti mau memotong tanganku. Aku tidak mau kehilangan tanganku. Aku masih mau menggunakannya!" Briony tercengang. Ia tidak menduga kalau bocah itu akan memberinya jawaban di luar nalar. "Memotong tangan?" Briony mengulang asumsi si bocah dengan nada tak percaya. Selang satu kedipan, tawanya pecah. Bukan hanya radiografer, tetapi anak yang semula merengek itu juga bingung dibuatnya. "Kenapa kamu tertawa?" selidik s
Satu jam kemudian, Briony meluncur menuju kantor Savior. Sesekali ia melirik jok sebelah. Setiap mendapati kondisi laptopnya yang memprihatinkan, ia mencengkeram kemudi lebih kencang. Tak ingin menghabiskan lebih banyak air mata, ia pun menelepon sepupunya lewat monitor dasbor yang terhubung dengan ponselnya, "Halo, Emily. Kamu masih di rumah atau sudah di kantor?" "Aku masih di rumah. Ada apa, Bri?""Kau tahu Louis di mana? Aku meneleponnya beberapa kali, tapi tidak diangkat. Sky dan Summer juga begitu. Apa yang sedang mereka sekeluarga lakukan?" Tawa kecil Emily terdengar renyah. "Kau lupa? Mereka sedang sibuk mengurus anggota keluarga mereka yang baru. Entah kenapa, Storm rewel pagi ini. Summer melarang Louis berangkat kerja. Dia mau ayahnya tetap bersama mereka sampai adik kecilnya tenang. Sepertinya itu akan lama." Briony menghela napas berat. "Itu artinya aku harus putar arah. Aku tidak mungkin sabar menunggunya di kantor," gumamnya samar. Emily mendeteksi keresahan Briony.
Briony berdiri tegak. Ia bangga dirinya berhasil keluar dari kungkungan sang mantan. Ia juga puas melihat laki-laki itu kesakitan. "Dengarkan aku baik-baik, Alex. Aku tidak pernah iri kepada istrimu. Aku justru bersyukur dia merebutmu. Aku jadi terbebas dari orang toxic seperti dirimu dan ibumu. Sekarang, aku punya kehidupanku sendiri. Kalau kau baca bukuku, kau seharusnya tahu kalau aku sudah punya kekasih yang jauh lebih baik darimu. Jadi tolong pergi dari rumahku dan jangan pernah ganggu aku lagi!" tegas Briony, lantang. Sambil menahan sakit, Alex mencibir. "Kau pikir aku percaya? Kau sendiri yang bilang kalau cerita itu hanyalah karangan. Pacar impianmu itu fiktif, kan?" Napas Briony tersendat. Kepalan tangannya mengerat. "Tentu saja dia nyata. Tunggu sampai kau bertemu dengannya. Kau pasti akan terpukau. Dia jauh lebih hebat darimu," Briony berusaha terdengar meyakinkan. Sambil tertawa sinis, Alex menegakkan badan. "Kau masih suka membual, rupanya. Mana ada laki-laki hebat ya
"Alexander?" desah Briony saat akal sehatnya kembali berfungsi. Tak ingin terlibat dengan laki-laki itu, ia cepat-cepat merapatkan pintu. Sayangnya, Alexander sudah lebih dulu menahan pintu dengan lengannya. "Alex, mau apa kamu ke sini? Bukankah kamu tidak mau bertemu denganku lagi? Karena itu, cepat pergi! Aku tidak mau berurusan denganmu lagi!" seru Briony sembari mendorong pintu. Akan tetapi, Alexander malah mendesaknya mundur. "Kau bilang tidak mau berurusan denganku lagi?" Pria itu mendengus. Kemudian, dengan satu sentakan, Briony terhuyung-huyung ke belakang. Pintu terbuka lebar dan Alex pun masuk dengan tampang sangar. Suaranya meledak, "Lalu kenapa kau menulis tentang kita?" Briony terperanjat. Mulutnya ternganga lebar. Tak ingin menjelaskan perbuatannya, ia memasang raut tanpa dosa. "Menulis apa? Aku tidak mengerti maksudmu. Aku—"Briony terkesiap. Matanya terpelotot. Tangannya memukul-mukul tangan kekar yang kini mencengkeram lehernya. "Hei .... A-apa yang k-kau lakukan?"