Satu jam kemudian, Briony meluncur menuju kantor Savior. Sesekali ia melirik jok sebelah. Setiap mendapati kondisi laptopnya yang memprihatinkan, ia mencengkeram kemudi lebih kencang. Tak ingin menghabiskan lebih banyak air mata, ia pun menelepon sepupunya lewat monitor dasbor yang terhubung dengan ponselnya, "Halo, Emily. Kamu masih di rumah atau sudah di kantor?"
"Aku masih di rumah. Ada apa, Bri?"
"Kau tahu Louis di mana? Aku meneleponnya beberapa kali, tapi tidak diangkat. Sky dan Summer juga begitu. Apa yang sedang mereka sekeluarga lakukan?"
Tawa kecil Emily terdengar renyah. "Kau lupa? Mereka sedang sibuk mengurus anggota keluarga mereka yang baru. Entah kenapa, Storm rewel pagi ini. Summer melarang Louis berangkat kerja. Dia mau ayahnya tetap bersama mereka sampai adik kecilnya tenang. Sepertinya itu akan lama."
Briony menghela napas berat. "Itu artinya aku harus putar arah. Aku tidak mungkin sabar menunggunya di kantor," gumamnya samar.
Emily mendeteksi keresahan Briony. Ia bertanya, "Ada apa, Bri?"
Tatapan Briony mendadak menerawang. Pikirannya buyar. Ia masih tidak percaya dengan apa yang terjadi pada laptopnya. "Aku mau meminta Louis membetulkan Beep Beep," sahutnya, muram.
"Beep Beep kenapa?" tanya Emily.
Tiba-tiba, seorang anak kecil berlari menyeberangi jalan. Briony spontan menginjak rem. Bannya sampai berdecit, tetapi ia tetap terlambat. Begitu mobil berhenti, anak itu sudah tidak terlihat.
"Gawat! Apakah aku melindasnya?" desah Briony dengan mata bulat. Rasa dingin telah menjalar di sekujur tubuhnya. Apalagi, orang-orang mulai menunjuk mobilnya dan berdatangan. Debar jantungnya semakin tidak karuan.
"Halo? Briony? Kau mendengarku? Apa yang terjadi? Apakah kau menabrak orang? Briony?"
Briony mengerjap. Kepanikan Emily berhasil menyadarkannya. Ia pun membuka sabuk pengaman. "Nanti kutelepon lagi. Aku ada urusan genting."
"Urusan apa? Di mana lokasimu sekarang? Biar aku—"
Briony mengakhiri panggilan. Ia cepat-cepat keluar dari mobil. Suara seorang wanita paruh baya kini terdengar jelas.
"Tuan Muda? Astaga! Kenapa Anda jadi begini? Saya mohon, bertahanlah!" ujar wanita itu, histeris.
Dada Briony semakin penuh dengan ketakutan. Ia pergi memeriksa apa yang terjadi di depan mobilnya. Saat ia menemukan seorang bocah laki-laki yang tergeletak di aspal dengan lengan kiri bawah terlepas dari engselnya, ia terkesiap.
"Ya, Tuhan!" desah Briony spontan. Tangannya terangkat menutupi mulutnya.
Semua orang langsung menoleh ke arah Briony, kecuali sang anak. Tatapannya masih menerawang. Mungkin ia belum pulih dari keterkejutannya. Meski demikian, wajahnya tampak meringis.
"Kau!" Wanita histeris tadi menghampiri Briony dengan tampang garang. "Bertanggungjawablah atas kelalaianmu! Kalau saja kau lebih berhati-hati, tuan mudaku tidak mungkin celaka!"
Briony tersentak. Matanya semakin lebar. "Anda menyalahkan saya? Tapi anak itulah yang tiba-tiba berlari ke jalan," timpal Briony, tanpa berpikir panjang.
"Tapi mobilmu-lah yang menyebabkan lengannya patah. Kau harus bertanggung jawab!" desak wanita itu, memaksa.
Beberapa orang di sekitar mereka mengangguk. Salah satunya bahkan berkata, "Nyonya itu benar. Sengaja atau tidak sengaja, mobil Andalah yang telah menabrak. Anda sebaiknya membawa anak malang itu ke rumah sakit, Nona."
Briony meringis. Ia perhatikan kondisi anak yang masih berbaring di aspal. Kesadaran bocah itu sepertinya sudah pulih. Ia mulai menangis.
"Apakah kondisinya memungkinkan? Maksudku, bukankah sebaiknya kita memanggil ambulans?" Briony khawatir kondisi lengan anak itu memburuk jika dipindahkan.
"Kau menolak untuk bertanggung jawab?" Nada bicara sang wanita naik.
"Bukan begitu. Hanya saja ...." Briony bingung harus menjelaskan bagaimana. Di satu sisi, ia memang merasa bersalah.
"Bawa saja anak ini ke rumah sakit, Nona. Kasihan dia kalau dibiarkan di sini lebih lama. Dia sudah sangat kesakitan," ujar seorang wanita muda yang berlutut di dekat si anak.
Selang pertimbangan singkat, Briony akhirnya sepakat. Beberapa orang pun bekerja sama untuk memasukkan sang anak ke mobil. Berkat bantuan mereka, Briony bisa segera membawa bocah malang itu dan nanny-nya ke rumah sakit.
Di sana, sang anak langsung dibawa ke ruang pemeriksaan X-ray. Karena nanny-nya harus mengurus administrasi, Briony terpaksa menemaninya di dalam. Ia merasa canggung karena sama sekali tidak mengenal si bocah. Saat anak laki-laki itu memberontak, Briony hanya bisa menekan pundaknya agar tetap berada di meja. Mulutnya rapat, tak tahu harus mengucapkan apa.
"Maaf, Nyonya. Bisakah Anda menenangkan putra Anda? Kita tidak bisa mengambil foto Rontgen kalau dia terus bergerak-gerak," pinta seorang radiografer yang kesulitan memosisikan pasiennya.
"Baiklah, aku minta maaf karena kurang berhati-hati saat berkendara. Tapi, bukan cuma aku yang mendapat pelajaran hari ini. Kamu juga, kan?" tanya Briony kepada Andrew. Bocah itu enggan mengangguk. "Pelajaran apa? Untuk tidak menyeberangi jalan sendirian? Aku sudah tahu itu dari dulu. Aku tidak akan melakukannya kalau Nyonya Powell mau mendengarkan aku."Briony mendengus geli. Sifat tak mau kalah Andrew yang lucu itu terkesan familiar baginya. "Baiklah, aku paham. Aku akan membeli bola jika waktuku sudah senggang. Tapi berjanjilah untuk tidak menyeberang sembarangan lagi. Mengerti?" Raut Andrew berubah kecut. Meskipun demikian, kepalanya tetap mengangguk. "Baiklah. Aku tidak akan mengulanginya lagi.""Bagus. Sekarang ayo kuantar pulang. Berterimakasihlah kepada dokter dan perawat," Briony menepuk punggung Andrew dua kali. Andrew pun turun dari kursi. Ia mendongak menatap Briony. "Kau tidak perlu mengantarku pulang. Papa pasti sudah menungguku di luar. Aku yakin dia akan mengajakku
Briony menelan ludah. Tubuhnya kini terasa tegang. "L-lalu, siapa nama ayahmu?" tanyanya ragu. Belum sempat Andrew menjawab, radiografer tadi sudah kembali menghampiri mereka. "Selesai. Kita sudah mendapatkan hasil foto lenganmu."Mata Andrew membulat. Ia sudah lupa dengan pertanyaan Briony. "Benarkah? Secepat itu? Mana hasilnya? Aku mau melihat tulangku." "Kamu bisa melihatnya di ruang dokter. Sekarang, biar aku pindahkan kamu ke kursi roda. Tolong jangan banyak bergerak supaya kamu tidak merasa sakit," ujar sang radiografer seraya melaksanakan tugasnya. Sementara itu, Briony masih memikirkan pertanyaannya tadi. Mungkinkah Andrew adalah putra Alex? Namun, dunia tidak selebar daun kelor. Mana mungkin takdirnya sekonyol itu? "Ya, ini pasti hanya kebetulan. Yang bernama Andrew bukan cuma anak Alex. Itu nama yang pasaran," pikirnya, meyakinkan diri sendiri. Namun, saat pintu ruang pemeriksaan dibuka, keyakinannya goyah. Sang nanny memanggil Andrew dengan nama yang familiar. "Tuan Mu
Briony meringis. "Anda salah paham. Dia bukan putra saya."Sang radiografer mengerutkan alis. "Lalu? Anda ini siapa? Kenapa Anda menemaninya di sini?" Briony menggigit bibir. Ia malu mengakui bahwa dirinyalah penyebab lengan sang anak patah."Tidak masalah. Biar saya coba," ujar Briony, mengelak dari pertanyaan. Kemudian, ia mendekatkan wajahnya kepada si bocah. Sambil tersenyum manis, ia berkata, "Anak Manis, jangan takut. Alat ini tidak menggigit. Dia cuma digunakan untuk mengambil foto. Tidak akan terasa sakit."Sayangnya, si bocah tetap meronta-ronta. "Bohong! Kalian pasti mau memotong tanganku. Aku tidak mau kehilangan tanganku. Aku masih mau menggunakannya!" Briony tercengang. Ia tidak menduga kalau bocah itu akan memberinya jawaban di luar nalar. "Memotong tangan?" Briony mengulang asumsi si bocah dengan nada tak percaya. Selang satu kedipan, tawanya pecah. Bukan hanya radiografer, tetapi anak yang semula merengek itu juga bingung dibuatnya. "Kenapa kamu tertawa?" selidik s
Satu jam kemudian, Briony meluncur menuju kantor Savior. Sesekali ia melirik jok sebelah. Setiap mendapati kondisi laptopnya yang memprihatinkan, ia mencengkeram kemudi lebih kencang. Tak ingin menghabiskan lebih banyak air mata, ia pun menelepon sepupunya lewat monitor dasbor yang terhubung dengan ponselnya, "Halo, Emily. Kamu masih di rumah atau sudah di kantor?" "Aku masih di rumah. Ada apa, Bri?""Kau tahu Louis di mana? Aku meneleponnya beberapa kali, tapi tidak diangkat. Sky dan Summer juga begitu. Apa yang sedang mereka sekeluarga lakukan?" Tawa kecil Emily terdengar renyah. "Kau lupa? Mereka sedang sibuk mengurus anggota keluarga mereka yang baru. Entah kenapa, Storm rewel pagi ini. Summer melarang Louis berangkat kerja. Dia mau ayahnya tetap bersama mereka sampai adik kecilnya tenang. Sepertinya itu akan lama." Briony menghela napas berat. "Itu artinya aku harus putar arah. Aku tidak mungkin sabar menunggunya di kantor," gumamnya samar. Emily mendeteksi keresahan Briony.
Briony berdiri tegak. Ia bangga dirinya berhasil keluar dari kungkungan sang mantan. Ia juga puas melihat laki-laki itu kesakitan. "Dengarkan aku baik-baik, Alex. Aku tidak pernah iri kepada istrimu. Aku justru bersyukur dia merebutmu. Aku jadi terbebas dari orang toxic seperti dirimu dan ibumu. Sekarang, aku punya kehidupanku sendiri. Kalau kau baca bukuku, kau seharusnya tahu kalau aku sudah punya kekasih yang jauh lebih baik darimu. Jadi tolong pergi dari rumahku dan jangan pernah ganggu aku lagi!" tegas Briony, lantang. Sambil menahan sakit, Alex mencibir. "Kau pikir aku percaya? Kau sendiri yang bilang kalau cerita itu hanyalah karangan. Pacar impianmu itu fiktif, kan?" Napas Briony tersendat. Kepalan tangannya mengerat. "Tentu saja dia nyata. Tunggu sampai kau bertemu dengannya. Kau pasti akan terpukau. Dia jauh lebih hebat darimu," Briony berusaha terdengar meyakinkan. Sambil tertawa sinis, Alex menegakkan badan. "Kau masih suka membual, rupanya. Mana ada laki-laki hebat ya
"Alexander?" desah Briony saat akal sehatnya kembali berfungsi. Tak ingin terlibat dengan laki-laki itu, ia cepat-cepat merapatkan pintu. Sayangnya, Alexander sudah lebih dulu menahan pintu dengan lengannya. "Alex, mau apa kamu ke sini? Bukankah kamu tidak mau bertemu denganku lagi? Karena itu, cepat pergi! Aku tidak mau berurusan denganmu lagi!" seru Briony sembari mendorong pintu. Akan tetapi, Alexander malah mendesaknya mundur. "Kau bilang tidak mau berurusan denganku lagi?" Pria itu mendengus. Kemudian, dengan satu sentakan, Briony terhuyung-huyung ke belakang. Pintu terbuka lebar dan Alex pun masuk dengan tampang sangar. Suaranya meledak, "Lalu kenapa kau menulis tentang kita?" Briony terperanjat. Mulutnya ternganga lebar. Tak ingin menjelaskan perbuatannya, ia memasang raut tanpa dosa. "Menulis apa? Aku tidak mengerti maksudmu. Aku—"Briony terkesiap. Matanya terpelotot. Tangannya memukul-mukul tangan kekar yang kini mencengkeram lehernya. "Hei .... A-apa yang k-kau lakukan?"