Share

Bab 03 Ketakutan Semakin Nyata

Suara keributan dari luar mengusik kenyamanan ibunda Arisa yang baru saja hendak beristirahat. Sebelumnya, setelah dibuat cemas oleh Bahtiar yang mempertanyakan putrinya, Linda kembali bisa bernapas lega. Sebab tak lama sesudah itu Yanu mengabari kalau Arisa berada di kediamannya.

 

Langkah Linda terhenti kala mendapati sang putri bersandar pada daun pintu yang tertutup rapat. Sedangkan bunyi gedoran terdengar gaduh disertai teriakan Bahtiar yang memanggil-manggil nama Arisa.

 

“Ada apa, Nak?” tanya Linda, menjatuhkan lutut di hadapan Arisa yang semula tampak tertunduk.

 

Wajah sendu itu mendongak menatap sang bunda. Genangan di pelupuk mata, pertanda bahwa ada hal yang telah membuat sang belahan jiwa terluka.

 

“Mama.” Seucap itu Arisa mampu bersuara.

 

Batinnya perih teriris mendapati sang kekasih membawa serta penyebab prahara. Sungguh Arisa enggan sekali menyaksikan kehadiran mereka bersama dengan kedua bola mata. Andai Bahtiar tahu, bahwa menghadirkan Melia tak ubahnya menggerus kalbu yang bentuknya sudah tak lagi utuh.

 

Dihadiahi pelukan erat, Arisa pun tergugu di antara ceruk leher sang ibu. Rasa sakit dan kecewa yang ia simpan sekian lama, tak kuasa lagi untuk dipendam dalam dada. Kini, dalam dekap penuh kasih Linda, Arisa pun meluapkan segala sesak yang menghimpit jiwa.

 

*****

 

Sementara itu, Bahtiar belum juga jera meminta Arisa agar mau mendengar penjelasan darinya. Berkali-kali ia berteriak dan memohon, yang dipanggil masih tak tergerak hati. 

 

Jengah dengan situasi tersebut, Yanu mencoba menghampiri Bahtiar. Kegilaan lelaki itu harus segera dihentikan. Jika tidak, maka bisa dipastikan tak lama lagi warga akan seketika berkerumun mencari tahu apa yang sedang terjadi.

 

“Bahtiar, sebaiknya sekarang kau pulang. Jangan sampai teriakanmu mengundang perhatian banyak orang.” Yanu menepuk bahu, calon suami arisa itu agar lekas menoleh.

 

“Diam kau! Aku tidak ada urusan denganmu.” Telunjuk Bahtiar mengacung di depan muka Yanu.

 

“Aku tidak tahu kalian ada masalah apa. Tapi, kurasa ini bukan waktu yang tepat untuk bicara. Setidaknya, beri Arisa ruang untuk menenangkan pikiran terlebih dahulu.” Putra dari kakak perempuan ayah Arisa itu pun masih bisa berucap tenang, meski Bahtiar tak memperlakukan dirinya dengan sopan.

 

Dengan sikap yang ditunjukkan Yanu, emosi Bahtiar seolah kian bergejolak. Selain persoalan yang belum menemukan jalan keluar, mengingat bagaimana Arisa memeluk lelaki itu beberapa saat lalu, sungguh sukses membuat Bahtiar terbakar rasa cemburu.

 

Walaupun dia jelas mengetahui kalau Arisa dan pria di hadapannya itu berstatus sebagai sepupu, tapi dalam pandangan seorang laki-laki, Bahtiar justru melihat hal tak biasa di antara mereka.

 

“Tiga tahun aku menjaganya. Membatasi diri untuk tidak menyentuhnya. Tapi, hari ini mataku dengan jelas melihat kalian berpelukan. BERANI-BERANINYA KAU MENYENTUH CALON ISTRIKU!” Suara Bahtiar menggelegar melontarkan kalimat makian.

 

Namun, alih-alih membuat Yanu tunduk, lelaki itu justru semakin bernyali untuk menajamkan pandangan.

 

“Kau mungkin pandai menjaga tubuhnya. Tapi, kau lupa menjaga hatinya.” Yanu menekankan satu jari di dada Bahtiar. Sebelum kemudian berbalik meninggalkan pria itu dengan sedikit dorongan hingga pundaknya tergerak ke belakang.

 

Sepeda motor seharga sepuluh unit mobil milik Bahtiar itu pun melesat pergi dari halaman rumah Arisa. Menyisakan sepasang insan yang hanya bisa merenungi kesalahan.

 

Kata-kata Yanu yang tidak begitu panjang, nyatanya berhasil menghempaskan Bahtiar dari kukuhnya dinding pembenaran diri. Meskipun pikiran enggan mengakui, tapi batin menyetujui. 

 

*****

 

Dua hari terlewati tanpa saling bertukar kabar seperti dulu lagi. Bahtiar pun dihantui rasa takut akan datangnya ragam tanya dari kedua orang tua. Pasalnya, sejak kegiatan fitting baju pengantin, Bahtiar sama sekali tak mengatakan apapun pada mereka.

 

Entah jawaban apa yang akan ia berikan, jika kekhawatirannya benar-benar terwujud. Tak terbayang bagaimana wajah murka mereka, ketika mengetahui bahwa hari itu yang terjadi hanyalah sebuah tragedi.

 

Tak masalah semakin berlarut, Bahtiar memutuskan untuk kembali mendatangi Arisa di kediamannya. Dua hari dirasa cukup untuk gadis itu menyendiri. Sekarang sudah saatnya untuk saling bicara dan mencari solusi.

 

“Tiar, Tante juga bingung harus bicara apa. Tapi, kau tahu sendiri bagaimana Arisa. Tidak mudah membujuknya.” Linda hanya bisa mengajak Bahtiar bicara di teras rumah, karena Arisa bersikeras belum ingin berjumpa dengan lelaki yang usianya dua tahun lebih tua darinya tersebut.

 

“Tapi, Tante … Arisa gak bilang mau batalin pernikahan kan?” 

 

Melihat kekhawatiran di mata Bahtiar, Linda pun sedikit terenyuh. Yang dilakukan calon menantunya itu memang tak bisa dibenarkan. Tetapi, menikahi Arisa adalah permohonan Bahtiar sejak lama.

 

Linda pun tak mengerti atas dasar apa Bahtiar tiba-tiba berdekatan dengan Melia. Tidakkah mimpi indah itu sudah berada di depan mata?

 

“Tiar, Tante gak bisa banyak bicara sama kamu. Sekarang sebaiknya kamu pulang saja dulu. Nanti Tante kabari kalau arisa sudah mau bertemu.” Begitu terburu-burunya Linda ingin mengakhiri pembicaraan.

 

Ketakutan itu terasa semakin nyata. Dengan segala penuturan Linda yang terkesan penuh rahasia, angan Bahtiar kian mengerdil untuk mempersunting Arisa.

 

*****

 

Tatapan Arisa yang datar nyatanya cukup mampu membuat jantung Melia berdebar-debar. Dia yang mengawali permintaan untuk berjumpa, kini justru ciut ketika Arisa sudah hadir di depan mata.

 

“Ayo, bicara,” kata Arisa, tenang namun terkesan menantang.

 

“Ris, aku ….” Rangkaian kata yang terancang sedemikian rupa, menguap sudah terhisap oleh rasa gugup yang serta merta melanda.

 

Dengan santai tanpa beban, Arisa menyesap Cold Brew Coffee miliknya. Sesekali melirik Melia yang selalu menyembunyikan tangan di bawah meja. Ia baru tahu, kalau mantan rekan seprofesinya itu memiliki kebiasaan seperti itu. Apakah ini merupakan hobi baru? Rasanya Arisa ingin sekali tertawa melihat sikap Melia.

 

“Ayolah, Mel, aku masih banyak urusan lain. Kau jangan membuang waktuku seperti ini.” Berlagak sebagai orang sibuk, Arisa menatap jam yang melingkari pergelangan tangan.

 

Jika bukan karena Bahtiar yang setiap saat meneror hidupnya, Melia pun enggan bertemu dengan Arisa. 

 

“Ris, aku sama Bahtiar tuh gak ada apa-apa. Kami cuma temen biasa. Masih sama kayak dulu, kok. Gak ada yang berubah. Kamu cuma salah paham aja.” Tampak pipi Melia menggembung, menghembuskan udara keluar. Sepertinya dia merasa lega, karena akhirnya bisa bicara juga.

 

Arisa terkekeh melihat ekspresi yang ditampilkan Melia. Sedikit pun tak tampak rasa bersalah tersirat dari sorot matanya. Dia seperti tak sadar bahwa saat ini sedang menciptakan sebuah kehancuran.

 

“Mel, Mel … kalau kamu ngomongnya sama anak SD, ya pasti langsung percaya. Kalau memang gak ada apa-apa, lalu buat apa Bahtiar pake acara bohong segala?” Gadis itu menyangga dagu, seraya menatap Melia lebih lekat dari semula.

Yang ditatap pun kian tergagap. Dulu mereka berteman cukup akrab. Tapi, sekarang keduanya seperti musuh yang sewaktu-waktu bisa saling menyergap. 

 

“Kamu lihat ini.” Arisa menghadapkan layar ponsel ke depan mata Melia.

 

Tidak hanya satu atau dua orang yang berhasil mengabadikan momen kebersamaan mereka yang dianggap tidak biasa. Sekali waktu ada pula yang menautkan akun Arisa dengan sengaja. 

 

“Kau pikir orang-orang di kantor itu semuanya baik? Mereka teman yang solid?” Arisa bertanya, ketika Melia menutup mulut tak percaya. “Mereka itu sama sepertimu. Cuma baik di muka, di punggung mereka pun menikung.”

 

Kalimat itu pun langsung menampar Melia secara tak kasat mata. Nyatanya memang sudah sejak lama ia ingin merampas Bahtiar dari genggaman cinta Arisa.

*****

 

Bersambung

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status