Share

Bab 04 Sakit

“Mau bikin kopi?”

 

Bahtiar menoleh dan mendapati Melia sudah berdiri di sebelahnya yang hendak menyeduh kopi di dalam pantry. “Iya, nih, agak ngantuk. Semalam video call- an sama Risa sampe larut.”

 

“Oh ….” Melia mengangguk-angguk paham. “Ya udah, sini aku buatin.” Ia lantas merebut kopi kemasan dari tangan Bahtiar.

 

“Serius?” tanya Bahtiar, sedikit tak enak hati.

 

“Serius lah. Kopi doang, kecil ini sih. Lagian aku kasihan sama kamu. Sejak Risa resign, kamu jadi apa-apa sendiri.”

 

“Yah … gak apa-apa lah. Lagian abis ini dia bakal layanin aku sepenuhnya kalau lagi di rumah.” 

 

Melia melirik, melihat ekspresi Bahtiar yang tampak bahagia. “Loh, emang Risa gak nyari kerja lagi?”

 

“Ya, enggak lah. Buat apa? Kan nanti ada aku yang nafkahin dia. Dia cukup di rumah, ngurus aku sama anak-anak kami nanti.” Setiap kata yang keluar dari mulut Bahtiar terdengar sangat menyenangkan. Bahkan ia juga tampak seperti sedang membayangkan kebahagiaan sempurna itu bersama Arisa.

 

“Beruntung sekali ya, Arisa. Punya calon suami kayak kamu.”

 

“Iya, dong.” Bahtiar segera menyahut dengan bangga.

 

Sembari melanjutkan niatnya menyeduhkan kopi untuk Bahtiar, hati Melia mulai diliputi rasa iri. Hidup temannya yang satu itu begitu sempurna. Meski terlahir sebagai anak yatim, nyatanya kasih sayang yang ia dapat jauh lebih melimpah dari yang Melia miliki.

 

Pernah beberapa kali dipertemukan dengan saudara Arisa, Melia bisa melihat bagaimana mereka memperlakukan Arisa. Kini, setelah mendapatkan banyak cinta dari keluarga, tak lama lagi Arisa juga akan memiliki suami yang juga akan menghujaninya dengan kasih sayang tak terbatas.

 

*****

 

Malam kian larut, namun netra itu tak jua merasakan kantuk. Berulang kali Bahtiar berusaha terpejam, tetapi bayangan Arisa yang semakin menghilang tak ubahnya teror yang amat mencekam.

 

Terlena dibuai perhatian yang diberikan Melia, membuat Bahtiar lupa dengan mimpi indah bersama Arisa. Padahal, kalaupun harus dibandingkan, tentu Arisa lah jauh lebih banyak mencurahkan segalanya. Andaikan tak terbentur suatu peraturan, sudah pasti Arisa akan terus berada di sisinya sampai kapanpun.

“Ris, kamu mau gak jadi pacar saya?”

 

“Dih, apaan sih, Pak? Bercanda aja, deh.”

 

“Masa bercanda? Saya serius, Ris. Kamu itu lucu dan manis.”

 

“Emang saya gulali?”

 

“Ya, mirip-mirip lah. Dan saya juga suka makan gulali.”

 

“Berarti, Bapak juga mau makan saya, dong?”

 

“Kalau kamu ijinin, sih.”

 

Masih teringat jelas ekspresi Arisa yang kala itu baru beberapa hari bekerja sebagai bawahannya. Dia yang belum lama lulus kuliah, tampak selalu ceria dan bersemangat. Dalam waktu singkat, mudah sekali bagi Arisa untuk dekat dan membaur dengan rekan kerja termasuk para senior.

 

Hingga pada suatu hari, Bahtiar pun berhasil merebut hati Arisa. Diawali dari candaan yang kerap terlontar setiap hari, kemudian meningkat pada banyak perhatian yang ia berikan. Bahtiar sering kali mengantar Arisa pulang, dengan alasan perjalanan mereka yang searah. Saat-saat itu lah Bahtiar terus menunjukkan keseriusan niat untuk menjalin hubungan yang lebih dari sekadar rekan kerja.

 

Namun, usaha yang tak sebentar itu malah terancam kandas hanya karena jarak yang membentang dalam beberapa bulan ke belakang.

 

*****

 

Arisa memandangi deretan panggilan tak terjawab dari sang kekasih. Sudah ratusan kali pria itu mencoba menghubungi, namun Arisa sengaja tak mau peduli. Dalam diamnya, Arisa merutuki diri yang terlalu naif selama ini.

 

Sejak awal mengetahui kebohongan demi kebohongan yang Bahtiar lakukan, ia masih berusaha berpikir positif. Seperti yang Melia bilang, bahwa semua hanya salah paham. Seperti itulah Arisa sempat mengafirmasi diri. Lagi pula, bukankah dirinya lah yang nyatanya dipilih sebagai istri?

 

Namun, semakin mendekati hari pernikahan, Arisa melihat Bahtiar semakin acuh tak acuh. Jangankan untuk bertemu seintens dulu, komunikasi lewat udara pun sudah jarang terjadi. Setiap Arisa bertanya, jawabannya selalu sama, sibuk.

 

Tapi, lihat sekarang. Ketika pada akhirnya Arisa berada pada puncak kesabaran, Bahtiar justru kian gencar berusaha untuk kembali bisa berkomunikasi.

 

“Apa gak sebaiknya kalian bicara dulu?” Sang Mama yang baru selesai memasak datang menghampiri. Ia tahu putrinya tengah melamun, memikirkan sang calon suami.

“Bicara apa, Ma?” cicit Arisa, masih setia menunduk menatapi layar ponsel yang menyala.

 

“Ya, semuanya. Bahtiar juga berhak diberi kesempatan bicara. Biarkan dia menjelaskan semuanya.”

 

Kening Arisa sedikit terlipat. Dia tak paham maksud dari usulan yang mamanya berikan.

 

“Memangnya, Mama pikir dia mau jelasin apa? Mau jelasin kalau Risa cuma salah paham? Mau bilang kalau mereka cuma temenan? Ma … please, Risa bukan anak kecil lagi.”

 

Sang ibu pun menghela napas panjang. Arisa memang bukan tipe perempuan yang meledak-ledak. Tetapi, bila sudah marah apalagi ia berada di posisi yang benar, tentu tak mudah untuk bisa membujuknya lagi.

 

“Ya … apapun nanti yang Bahtiar katakan, kamu sendiri yang bisa menilai. Yang pasti, biar bagaimanapun, kalian tetap harus bicara. Kalian juga perlu memutuskan langkah kalian ke depannya akan seperti apa. Kau tidak lupa kan kalau undangan kalian sedang dalam proses cetak?”

 

Kini, gantian arisa yang menghela napas. Ia melupakan satu hal penting lagi. Undangan pernikahan mereka tak lama lagi pasti selesai dibuat. Hanya tersisa waktu kurang dari satu bulan, kertas berdesain indah itu harus segera disebar.

 

“Apapun keputusan kamu nanti, Mama akan tetap mendukung. Hanya saja, kalau seandainya keputusan itu jadi yang terburuk, setidaknya kau harus bisa memberitahu rang tua Bahtiar dengan cara yang tepat. Jujur Mama khawatir permasalahan kalian ini berdampak buruk pada kesehatan ayahnya.”

 

Gadis beralis tebal itu memijat pelipis yang berdenyut nyeri. Bahtiar yang lakukan kesalahan, tapi Arisa lah yang justru harus berpikir keras dalam mengambil keputusan.

 

*****

 

Bolak-balik Arisa memikirkan saran sang Mama. Sebetulnya ia malas bertatap muka dengan Bahtiar. Tetapi, dia juga sadar kalau masalah tidak akan pernah selesai jika terus dibiarkan begitu saja.

 

Meskipun berat hati, Arisa akhirnya terpaksa menghubungi Bahtiar. Ia akan mengajak lelaki itu bertemu dan bicara di luar. 

 

“Hallo, Risa.” 

 

Sedikit terkejut saat mendengar yang menyahut rupanya bukan Bahtiar.

 

“Loh kok, Mama?” balas Arisa, spontan.

 

“Iya, sayang. Bahtiarnya lagi tidur. Barusan minum obat.”

 

“Minum obat? Emang Mas Tiar sakit?”

 

“Iya, tadi pagi dia demam. Sekarang baru pulang dari dokter. Emang Tiar gak bilang?”

 

Arisa menggeleng seolah Mama Bahtiar bisa melihat dirinya. “Em … enggak, Ma. Ya udah, Risa ke sana sekarang.”

 

Gegas Risa pun bersiap menjenguk Bahtiar. Begitu mendengar lelaki itu tengah terbaring sakit, Arisa pun mengesampingkan dulu persoalan yang ada. Setidaknya ia perlu memastikan dulu kondisi calon suami yang terancam batal tersebut.

 

*****

 

Begitu sampai di rumah Bahtiar, Arisa langsung disambut hangat oleh kedua orang tua lelaki itu. Ayah Bahtiar yang sudah berumur memang cenderung lemah secara fisik. Namun demikian, beliau selalu antusias apabila Arisa datang.

 

“Papa sehat?” sapa Arisa, menyalami pria baya tersebut.

 

“Ya, beginilah. Namanya juga sudah tua,” kekeh Papa Bahtiar, menyahuti sapaan calon menantu kesayangan.

 

“Ayo, masuk,” ajak Mama Bahtiar, menyela interaksi suaminya dengan Arisa.

 

Wanita yang terlihat jauh lebih bugar dari suaminya tersebut, kemudian menuntun Arisa masuk bersama. Tak mau berlama-lama, Arisa pun memilih langsung ke kamar Bahtiar. 

 

“Risa,” gumam Bahtiar, begitu sosok yang dirindukan muncul di hadapan.

 

Pria itu berusaha bangkit dari berbaring. Matanya tampak berbinar senang dengan kehadiran Arisa.

 

“Gak usah bangun, Mas. Tidur aja, gak apa-apa,” cegah Arisa, agak mempercepat langkah.

 

“Enggak. Aku takut kamu pergi lagi.”

 

Mengingat kedua orang tua Bahtiar yang mengikuti dari belakang, Arisa pun mulai merasa khawatir. 

 

“Kamu gak akan pergi lagi kan? Kita gak batal nikah kan?” Bahtiar terus mengoceh seperti orang mabuk.

 

“Batal nikah? Maksudnya apa?” Pertanyaan dari ayah Bahtiar seketika menyentak perasaan Arisa. 

 

Gadis itu segera menoleh dan mendapati lelaki tua itu tengah memegangi dada.

 

*****

Bersambung

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status