Share

Bab 02 Pergi Menenangkan Diri

Kegagapan Bahtiar kian menguatkan keyakinan Arisa bahwa apa yang ia sangkakan memang benar adanya. Muak melihat reaksi yang ditunjukkan kekasihnya tersebut, Arisa pun memilih berlalu meninggalkan Bahtiar yang masih setia dalam keterpakuan.

Ia tak peduli apapun tanggapan lelaki itu atas sikapnya. Yang Arisa pikir, ia hanya ingin pergi saat itu juga. Pergi dari hadapan pria yang ia kira tak pernah sungguh-sungguh mempersembahkan cinta padanya.

Detik waktu menyadarkan Bahtiar kalau saat ini Arisa telah enyah dari hadapan. Secuil pun ia tak pernah sangka kalau Arisa akan melayangkan pertanyaan yang menyatakan bahwa wanita itu mengetahui sesuatu yang belakangan ia sembunyikan.

Buru-buru Bahtiar mengemudikan kendaraan miliknya, bermaksud mengejar Arisa yang pergi tak tahu arah tujuan.

Sepanjang perputaran roda, berulang kali Bahtiar memukul kemudi. Merasa frustasi sebab jejak Arisa yang tak kunjung ia temui. Satu harapan terakhir Bahtiar, yakni menghubungi Linda.

"Hallo, Tiar," sambut suara di seberang sana.

"Hallo, Tan ... Tan, Risa udah sampe rumah belum?" Pertanyaan Bahtiar tak segera mendapat jawaban.

Butuh beberapa detik bagi Linda untuk menyahuti pertanyaan calon menantunya.

"Ada apa, Tiar? Bukannya hari ini kalian fitting baju pengantin? Kenapa kamu malah nanyain Risa?" Wanita setengah baya itu justru berbalik mencecar Bahtiar.

Saat itu juga Bahtiar pun tahu kalau Arisa tidak pulang ke rumah. Batin Bahtiar kian dirundung rasa bersalah. Bagaimana kalau Arisa sampai tidak kembali? Bagaimana ia akan menghadapi Linda dan juga kedua orang tuanya nanti?

"Em ... Tante, nanti kita bicara lagi. Sekarang saya mau temui Risa dulu." Bahtiar pun dengan tidak sopan memutuskan panggilan. Ia tak siap memberi jawaban atas pertanyaan lain yang mungkin akan lebih banyak lagi terlontar dari bibir Linda.

Berulang panggilan pun ia coba hubungkan pada Arisa. Deretan pesan berisi tanya tentang keberadaannya seperti tak terbatas untuk terus menerus Bahtiar kirimkan.

*****

"Minum dulu." Sebuah tangan mengulurkan satu kaleng minuman bersoda yang baru saja dibuka.

"Makasih," cicit Arisa, nyaris tak terdengar.

"So ... masalah apa yang membawamu kemari?" 

Arisa mendelik sebal mendengar pertanyaan lelaki di sebelahnya. Sejak kecil Yanu tak pernah absen untuk mengejek Arisa, ketika mereka berjumpa.

Kalau bukan karena rumah Yanu yang memiliki taman belakang yang luas, Arisa pun enggan datang ke tempat itu. Sesungguhnya ia masih belum mau bercerita tentang permasalahan yang saat ini tengah melanda.

"Seenggaknya, biarin aku tenang dulu, Kak." Arisa meletakkan kaleng soda tadi di sisi sebelah kiri, usai membasahi kerongkongannya yang mengering.

"Oke. Tapi, apa kau sudah mengabari ibumu kalau kau ada di sini?"

Gelengan kepala Arisa membuat helaan napas Yanu segera terlepas. Gadis itu selalu saja mampu membuat banyak orang merasa cemas. Akhirnya, Yanu berinisiatif mengirim pesan pada Linda. Mengabarkan bahwa Arisa sedang bersama dirinya.

"Kalau begitu, aku tinggal ke dalam dulu. Kalau ada apa-apa, cari aku di kamar. Masih ingatkan letak kamarku?"

Kembali Yanu membuang udara dengan sedikit terpaksa. Entah sebesar apa masalah yang sedang dihadapi sepupunya tersebut, hingga akhirnya bersikap lain dari biasanya.

*****

Di tempat lain, Bahtiar tak bisa duduk dengan tenang. Pesan dan panggilan darinya tak kunjung mendapat tanggapan Arisa. Hal tersebut membuat Bahtiar tak punya nyali untuk kembali pulang.

"Kamu gak bisa apa duduk tenang?" keluh Melia, geram dengan sikap Bahtiar yang tak kunjung menoleh padanya.

"Arisa pergi pas jalan sama aku. Kamu pikir gimana caranya aku bisa tenang? Aku harus jawab apa kalau Tante Linda tanya? Bukan cuma Tante Linda, Mama sama Papaku juga pasti nyalahin aku." Setengah membentak, Bahtiar membungkam mulut Melia yang jika dibiarkan akan terus mengoceh, memrotes segala sikap dan perilaku Bahtiar.

"Iya, aku tahu itu. Tapi, kamu perlu tenang supaya bisa berpikir jernih. Kamu bisa ingat-ingat kemana saja Arisa sering pergi. Tempat mana saja yang sering dia datangi."

Alih-alih mampu membuat Bahtiar tenang, lelaki itu justru berbalik melayangkan tatapan tajam.

"Kuperhatikan, kau tenang sekali. Apa jangan-jangan kau yang sudah mengatakan sesuatu pada Arisa?" Bahtiar menatap Melia penuh rasa curiga.

"Mengatakan apa? Kamu jangan ngaco. Aku sama Arisa bahkan udah lama gak ada komunikasi. Jangan bicara sembarangan," sergah Melia, membalas dengan marah.

Bahtiar tak lantas percaya begitu saja. Perempuan seperti Melia, tentu bisa berbuat apa saja untuk mencapai semua kemauan.

"Selama ini kami baik-baik saja. Tapi, hari ini tiba-tiba dia marah dan pergi meninggalkanku. Ingat, Mel! Kalau sampai terjadi sesuatu dengan pernikahanku, kau orang pertama yang akan kucari."

Melia menutup mulut usai mendengar kalimat ancaman dari Bahtiar. Sulit dipercaya kalau lelaki yang belakangan teramat sangat baik padanya itu, bisa berubah dalam waktu sekejap.

*****

Terik matahari perlahan tenggelam dan menghadirkan nuansa redup, kemudian gelap pun datang menyambut.

Sudah seharian Arisa menghabiskan waktu menyendiri di area taman belakang kediaman keluarga Yanu Arta Wisesa.

Namun, hingga berkali-kali sepupunya itu menghampiri, Arisa masih enggan buka suara. Lelaki berusia 29 tahun tersebut tak mampu berbuat banyak. Ia hanya bisa berusaha mengerti keadaan Arisa yang mungkin masih berat hati untuk berbagi.

"Kita makan dulu, yuk? Setelah ini aku antar kamu pulang." Yanu berdiri di belakang Arisa. Menanti jawaban apa yang hendak dikata.

Tetapi, tampaknya kali ini Arisa memilih mengikuti perkataan Yanu. Ia berjalan lebih dulu menuju ruang makan. Bahkan sebelum Yanu datang menyusul, gadis itu sudah mengambil centong nasi dan bersiap mengisi piring kosongnya.

"Lapar?" ledek Yanu, seraya menarik satu kursi dan duduk berhadapan dengan Arisa.

Arisa mengedikkan bahu. "Patah hati pun menguras energi," celetuknya, membuat Yanu harus bersusah payah menahan tawa.

Akhirnya ia mengerti persoalan apa yang sedang Arisa hadapi. Meski tak dijelaskan secara gamblang, tetapi bisa dipastikan patah hati yang ia sebut tadi tentu berkaitan dengan calon suami yang selama ini selalu ia banggakan.

Bukan Yanu tidak prihatin, kalau pun seandainya yang ia duga itu benar. Akan tetapi, sebagai sesama laki-laki tentu ia bisa menilai sosok Bahtiar sebagai pria macam apa.

Apalagi saat awal perkenalan mereka sekitar setahun ke belakang, tampak jelas tatapan tak suka tersirat dari sorot pandang Bahtiar terhadap Yanu. Padahal dia jelas tahu bagaimana hubungan Yanu dan Arisa. Kalau bukan karena ketakutan akan sesuatu hal, seharusnya Bahtiar tidak perlu menunjukkan sikap yang demikian.

Usai bersantap malam, Yanu memenuhi janjinya untuk mengantar Arisa pulang. Dalam perjalanan ia sesekali mencoba menanyakan persoalan apa yang sebenarnya sedang terjadi. Akan tetapi, Arisa bersikukuh untuk tidak mau bicara dulu.

Hingga dua roda besar itu berbelok menuju halaman rumah Arisa, gadis itu nyatanya tak kunjung melepaskan pelukan dari perut atletis Yanu yang terbentuk melalui berbagai macam latihan fisik.

Sampai ketika sebuah suara berhasil menyadarkan Arisa dari lelap yang semula menguasai.

"Oh, jadi ini alasan kamu gak angkat telepon aku, gak balas pesan-pesan dariku? Dari awal aku sudah menduga, di antara kalian pasti memang ada apa-apa."

Tak habis pikir batin Arisa. Bisa-bisanya Bahtiar mengoceh omong kosong semacam itu. Dia yang diam-diam menjalin hubungan dengan wanita lain, kini berbalik melempar tuduhan terhadap Arisa.

Hampir saja mulut Arisa menyemburkan makian terhadap Bahtiar. Tetapi, begitu maniknya menangkap sosok tak asing berdiri di belakang pria itu, Arisa urung berucap sepatah kata pun. Ia memilih turun dari motor besar Yanu, kemudian bergegas memasuki rumah dan kembali menutup pintu.

*****

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status