Home / Romansa / Menjelang Pernikahan / Bab 02 Pergi Menenangkan Diri

Share

Bab 02 Pergi Menenangkan Diri

last update Last Updated: 2023-08-01 05:31:02

Kegagapan Bahtiar kian menguatkan keyakinan Arisa bahwa apa yang ia sangkakan memang benar adanya. Muak melihat reaksi yang ditunjukkan kekasihnya tersebut, Arisa pun memilih berlalu meninggalkan Bahtiar yang masih setia dalam keterpakuan.

Ia tak peduli apapun tanggapan lelaki itu atas sikapnya. Yang Arisa pikir, ia hanya ingin pergi saat itu juga. Pergi dari hadapan pria yang ia kira tak pernah sungguh-sungguh mempersembahkan cinta padanya.

Detik waktu menyadarkan Bahtiar kalau saat ini Arisa telah enyah dari hadapan. Secuil pun ia tak pernah sangka kalau Arisa akan melayangkan pertanyaan yang menyatakan bahwa wanita itu mengetahui sesuatu yang belakangan ia sembunyikan.

Buru-buru Bahtiar mengemudikan kendaraan miliknya, bermaksud mengejar Arisa yang pergi tak tahu arah tujuan.

Sepanjang perputaran roda, berulang kali Bahtiar memukul kemudi. Merasa frustasi sebab jejak Arisa yang tak kunjung ia temui. Satu harapan terakhir Bahtiar, yakni menghubungi Linda.

"Hallo, Tiar," sambut suara di seberang sana.

"Hallo, Tan ... Tan, Risa udah sampe rumah belum?" Pertanyaan Bahtiar tak segera mendapat jawaban.

Butuh beberapa detik bagi Linda untuk menyahuti pertanyaan calon menantunya.

"Ada apa, Tiar? Bukannya hari ini kalian fitting baju pengantin? Kenapa kamu malah nanyain Risa?" Wanita setengah baya itu justru berbalik mencecar Bahtiar.

Saat itu juga Bahtiar pun tahu kalau Arisa tidak pulang ke rumah. Batin Bahtiar kian dirundung rasa bersalah. Bagaimana kalau Arisa sampai tidak kembali? Bagaimana ia akan menghadapi Linda dan juga kedua orang tuanya nanti?

"Em ... Tante, nanti kita bicara lagi. Sekarang saya mau temui Risa dulu." Bahtiar pun dengan tidak sopan memutuskan panggilan. Ia tak siap memberi jawaban atas pertanyaan lain yang mungkin akan lebih banyak lagi terlontar dari bibir Linda.

Berulang panggilan pun ia coba hubungkan pada Arisa. Deretan pesan berisi tanya tentang keberadaannya seperti tak terbatas untuk terus menerus Bahtiar kirimkan.

*****

"Minum dulu." Sebuah tangan mengulurkan satu kaleng minuman bersoda yang baru saja dibuka.

"Makasih," cicit Arisa, nyaris tak terdengar.

"So ... masalah apa yang membawamu kemari?" 

Arisa mendelik sebal mendengar pertanyaan lelaki di sebelahnya. Sejak kecil Yanu tak pernah absen untuk mengejek Arisa, ketika mereka berjumpa.

Kalau bukan karena rumah Yanu yang memiliki taman belakang yang luas, Arisa pun enggan datang ke tempat itu. Sesungguhnya ia masih belum mau bercerita tentang permasalahan yang saat ini tengah melanda.

"Seenggaknya, biarin aku tenang dulu, Kak." Arisa meletakkan kaleng soda tadi di sisi sebelah kiri, usai membasahi kerongkongannya yang mengering.

"Oke. Tapi, apa kau sudah mengabari ibumu kalau kau ada di sini?"

Gelengan kepala Arisa membuat helaan napas Yanu segera terlepas. Gadis itu selalu saja mampu membuat banyak orang merasa cemas. Akhirnya, Yanu berinisiatif mengirim pesan pada Linda. Mengabarkan bahwa Arisa sedang bersama dirinya.

"Kalau begitu, aku tinggal ke dalam dulu. Kalau ada apa-apa, cari aku di kamar. Masih ingatkan letak kamarku?"

Kembali Yanu membuang udara dengan sedikit terpaksa. Entah sebesar apa masalah yang sedang dihadapi sepupunya tersebut, hingga akhirnya bersikap lain dari biasanya.

*****

Di tempat lain, Bahtiar tak bisa duduk dengan tenang. Pesan dan panggilan darinya tak kunjung mendapat tanggapan Arisa. Hal tersebut membuat Bahtiar tak punya nyali untuk kembali pulang.

"Kamu gak bisa apa duduk tenang?" keluh Melia, geram dengan sikap Bahtiar yang tak kunjung menoleh padanya.

"Arisa pergi pas jalan sama aku. Kamu pikir gimana caranya aku bisa tenang? Aku harus jawab apa kalau Tante Linda tanya? Bukan cuma Tante Linda, Mama sama Papaku juga pasti nyalahin aku." Setengah membentak, Bahtiar membungkam mulut Melia yang jika dibiarkan akan terus mengoceh, memrotes segala sikap dan perilaku Bahtiar.

"Iya, aku tahu itu. Tapi, kamu perlu tenang supaya bisa berpikir jernih. Kamu bisa ingat-ingat kemana saja Arisa sering pergi. Tempat mana saja yang sering dia datangi."

Alih-alih mampu membuat Bahtiar tenang, lelaki itu justru berbalik melayangkan tatapan tajam.

"Kuperhatikan, kau tenang sekali. Apa jangan-jangan kau yang sudah mengatakan sesuatu pada Arisa?" Bahtiar menatap Melia penuh rasa curiga.

"Mengatakan apa? Kamu jangan ngaco. Aku sama Arisa bahkan udah lama gak ada komunikasi. Jangan bicara sembarangan," sergah Melia, membalas dengan marah.

Bahtiar tak lantas percaya begitu saja. Perempuan seperti Melia, tentu bisa berbuat apa saja untuk mencapai semua kemauan.

"Selama ini kami baik-baik saja. Tapi, hari ini tiba-tiba dia marah dan pergi meninggalkanku. Ingat, Mel! Kalau sampai terjadi sesuatu dengan pernikahanku, kau orang pertama yang akan kucari."

Melia menutup mulut usai mendengar kalimat ancaman dari Bahtiar. Sulit dipercaya kalau lelaki yang belakangan teramat sangat baik padanya itu, bisa berubah dalam waktu sekejap.

*****

Terik matahari perlahan tenggelam dan menghadirkan nuansa redup, kemudian gelap pun datang menyambut.

Sudah seharian Arisa menghabiskan waktu menyendiri di area taman belakang kediaman keluarga Yanu Arta Wisesa.

Namun, hingga berkali-kali sepupunya itu menghampiri, Arisa masih enggan buka suara. Lelaki berusia 29 tahun tersebut tak mampu berbuat banyak. Ia hanya bisa berusaha mengerti keadaan Arisa yang mungkin masih berat hati untuk berbagi.

"Kita makan dulu, yuk? Setelah ini aku antar kamu pulang." Yanu berdiri di belakang Arisa. Menanti jawaban apa yang hendak dikata.

Tetapi, tampaknya kali ini Arisa memilih mengikuti perkataan Yanu. Ia berjalan lebih dulu menuju ruang makan. Bahkan sebelum Yanu datang menyusul, gadis itu sudah mengambil centong nasi dan bersiap mengisi piring kosongnya.

"Lapar?" ledek Yanu, seraya menarik satu kursi dan duduk berhadapan dengan Arisa.

Arisa mengedikkan bahu. "Patah hati pun menguras energi," celetuknya, membuat Yanu harus bersusah payah menahan tawa.

Akhirnya ia mengerti persoalan apa yang sedang Arisa hadapi. Meski tak dijelaskan secara gamblang, tetapi bisa dipastikan patah hati yang ia sebut tadi tentu berkaitan dengan calon suami yang selama ini selalu ia banggakan.

Bukan Yanu tidak prihatin, kalau pun seandainya yang ia duga itu benar. Akan tetapi, sebagai sesama laki-laki tentu ia bisa menilai sosok Bahtiar sebagai pria macam apa.

Apalagi saat awal perkenalan mereka sekitar setahun ke belakang, tampak jelas tatapan tak suka tersirat dari sorot pandang Bahtiar terhadap Yanu. Padahal dia jelas tahu bagaimana hubungan Yanu dan Arisa. Kalau bukan karena ketakutan akan sesuatu hal, seharusnya Bahtiar tidak perlu menunjukkan sikap yang demikian.

Usai bersantap malam, Yanu memenuhi janjinya untuk mengantar Arisa pulang. Dalam perjalanan ia sesekali mencoba menanyakan persoalan apa yang sebenarnya sedang terjadi. Akan tetapi, Arisa bersikukuh untuk tidak mau bicara dulu.

Hingga dua roda besar itu berbelok menuju halaman rumah Arisa, gadis itu nyatanya tak kunjung melepaskan pelukan dari perut atletis Yanu yang terbentuk melalui berbagai macam latihan fisik.

Sampai ketika sebuah suara berhasil menyadarkan Arisa dari lelap yang semula menguasai.

"Oh, jadi ini alasan kamu gak angkat telepon aku, gak balas pesan-pesan dariku? Dari awal aku sudah menduga, di antara kalian pasti memang ada apa-apa."

Tak habis pikir batin Arisa. Bisa-bisanya Bahtiar mengoceh omong kosong semacam itu. Dia yang diam-diam menjalin hubungan dengan wanita lain, kini berbalik melempar tuduhan terhadap Arisa.

Hampir saja mulut Arisa menyemburkan makian terhadap Bahtiar. Tetapi, begitu maniknya menangkap sosok tak asing berdiri di belakang pria itu, Arisa urung berucap sepatah kata pun. Ia memilih turun dari motor besar Yanu, kemudian bergegas memasuki rumah dan kembali menutup pintu.

*****

Bersambung

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menjelang Pernikahan   Bab 54 Tamat

    Beberapa detik Bahtiar termangu mendengar pertanyaan Isti. Bukan sedang mencari jawaban yang tepat, melainkan memahami makna yang tersirat. Bahtiar menyadari kekhawatiran yang melanda di benak calon istrinya.“Tentu saja aku gak tega. Aku bahkan gak sampai hati memikirkan kalau Yanu sampai meninggal.”Isti merasa tertohok dengan jawaban yang Bahtiar berikan. Sungguh ia seperti telah menjadi manusia yang sangat jahat. Bagaimana bisa ia memikirkan sesuatu yang semengerikan itu.“Ma—maaf, Mas. Aku bukan bermaksud begitu.” Wanita itu langsung tergagap.Namun, Bahtiar yang memahami perasaan Isti tak lantas marah ataupun memaki. Ia justru segera merentangkan lengan dan meraih pundak Isti. Ditariknya tubuh itu agar merapat dan kepalanya mendarat.“Aku tahu. Aku percaya calon istriku tak mungkin sejahat itu. Aku juga tahu kau hanya sedang takut. Kau takut kehilanganku.”Perkataan Bahtiar memang terkesan sangat percaya diri. Tetapi, Isti

  • Menjelang Pernikahan   Bab 53 Apa Mas Tega?

    Semua masih baik-baik saja. Hingga urusan belanja selesai pun Bahtiar masih tertawa-tawa bercanda dengan Aziz. Bahkan saat keluar dari gedung pusat perbelanjaan, Bahtiar dan Isti menggandeng masing-masing tangan anak lelaki tersebut, kiri dan kanan. Mereka berjalan beriringan layaknya keluarga kecil yang bahagia. Sungguh Bahtiar pun telah lama mengharapkan momen semacam itu. Kehadiran Isti dan putranya seolah menjadi jawaban Tuhan atas segala doa-doa dan ketabahannya selama ini.“Nanti di mobil jangan loncat-loncat, ya?” Isti harus selalu mengingatkan putranya tentang aturan tersebut. Sebab Aziz memang seaktif itu bila sedang merasa senang.“Iya, Bu,” jawab Aziz, patuh.“Sayang, jangan terlalu keras. Pelan-pelan saja kalau ngasih nasehat,” tegur Bahtiar, kurang setuju bila nada bicara Isti membuat Aziz takut.Seorang anak memang harus selalu diajarkan mana yang benar dan mana salah. Mana yang baik dan mana yang buruk. Akan tetapi, cara p

  • Menjelang Pernikahan   Bab 52 Kecelakaan

    Sudah beberapa hari Arisa uring-uringan tidak jelas. Entah ada apa dengan wanita itu, yang pasti sejak pulang usai meninjau rumah baru, sikapnya sangat aneh. Meski begitu, Yanu tetap berusaha bersabar. Ia anggap sikap istrinya terpengaruh oleh hormon kehamilan. Yanu pernah mendengar bahwa trimester pertama itu adalah masa-masa paling rentan. Mau benar atau salah, akan lebih baik kalau suami mengalah.“Motor terus yang dielus-elus.” Kalimat bernada sindiran tersebut membuat Yanu mengalihkan perhatian.Sejak pagi Arisa terus menolak keberadaan Yanu di dekatnya. Untuk mengisi waktu luang di akhir pekan, Yanu pun memilih mencuci motor kesayangan. Semua itu ia lakukan untuk mengalihkan pikiran atas sikap Arisa yang belakangan sulit ia pahami.“Mau ngelus istri ditolak terus,” balas Yanu, kembali mengelap motor yang dulu kerap membonceng Arisa saat jalan-jalan.Merasa diabaikan, Arisa pun menghampiri sang suami. Ia lantas menarik lengan Yanu l

  • Menjelang Pernikahan   Bab 51 Bertemu Lagi

    Kehadiran Aziz di kediaman Bahtiar nyatanya telah memberi warna tersendiri pada kehidupan pria tersebut. Hari-hari yang sebelumnya hampa tak berarti, kini mulai terisi. Masa cuti yang ia kira akan membosankan rupanya berubah jadi menyenangkan.Perbedaan itu tak hanya dirasakan Bahtiar, tetapi bagi ibunya juga. Wanita tua itu seperti menemukan kembali nyawa sang putra. Setiap hari wajah Bahtiar ceria, apalagi ketika ia bermain bola bersama anak asisten rumah tangganya.Sampai tiba waktunya ia harus kembali bekerja. Bahtiar tampak sangat keberatan meninggalkan bocah lelaki tersebut untuk waktu yang lama. Bahkan setiap pulang, orang yang pertama ia tanyakan adalah Aziz. Bahtiar seperti telah jatuh hati sangat dalam pada anak itu.Hari berganti pekan, pekan berubah bulan, Bahtiar dan putra semata wayang Isti semakin tak terpisahkan. Kebersamaan mereka yang begitu lekat bahkan melebihi seorang ayah dan putra kandung. Apalagi ketika Isti turut membaur dan bergur

  • Menjelang Pernikahan   Bab 50 Mulai Suka

    Bahtiar menepikan mobil di dekat pintu masuk gang menuju rumah Isti. Sesuai dengan yang ia katakan sebelumnya, Bahtiar sungguh mengantar Isti pulang. Walau sempat menolak, Bahtiar tetap memaksa.“Makasih, Mas,” gumam Isti, sebelum menarik kenop pintu.“Sebentar.” Bahtiar segera mencegah pergerakan wanita itu. Ia mencondongkan badan ke belakang. Meraih sebuah kantong plastik berlogo sebuah minimarket yang memiliki seribu cabang di seluruh Nusantara. “Ini buat Aziz.”Ragu-ragu Isti menerima. Dalam perjalanan Bahtiar memang sempat berhenti dan mampir ke minimarket. Isti pikir pria itu hendak belanja kebutuhan pribadinya. Terlebih ia juga tak meminta Isti untuk ikut turun dan malah menyuruh menunggu di dalam mobil. Tak disangka ternyata belanjaan itu ia berikan untuk anak lelakinya.“Cuma snack. Aziz pasti suka.” Menangkap keraguan di mata Isti, Bahtiar pun segera memberitahukan apa isi kantong tersebut.“Makasih, Mas. Lain kali gak usah repo

  • Menjelang Pernikahan   Bab 49 Melihat Sisi Yang Lain

    “Aduh, Mas Tiar ngapain sih di sini?” Isti buru-buru bangun dan mengusap lengan yang terasa sakit.Mulutnya menggerutu menyalahkan Bahtiar yang tidur di karpet. Seolah bukan dirinya yang salah.“Kok jadi saya, sih? Mbak Isti tuh yang ngapain? Kalau saya jelas-jelas lagi tidur.” Tak jauh beda dengan Isti, Bahtiar juga harus meredam rasa sakit yang menghantam tulang iga. Untung saja tubuh Isti tergolong mungil. Kalau tidak, mungkin tulang-tulang itu bisa remuk seketika.“Ya, kalau tidur tuh di kamar, Mas. Ini bukan tempat tidur. Kalau udah kayak gini, kan saya yang sakit.”“Eh, Mbak Isti kira saya gak sakit? Badan Mbak Isti tuh nimpa badan saya. Kalau tulang iga saya patah bagaimana? Mbak Isti mau tanggung jawab?”“Lho, kok? Kenapa saya harus tanggung jawab? Salah Mas Tiar yang tidur di sini. Saya setiap pagi juga masuk ke sini buat bersih-bersih.”“Ya, kalau mau bersih-bersih, ya bersih-bersih aja. Gak usah pakai jatuh n

  • Menjelang Pernikahan   Bab 48 Yang Baik Bukan Berarti Yang Terbaik

    Waktu bergulir sangat cepat. Nyatanya mengurus kebebasan Bahtiar tak cukup sebentar. Mulai dari berembuk dengan tim kuasa hukum, hingga proses pencabutan laporan di kantor pihak berwajib, semua berlangsung cukup pelik.Namun, setelah semua selesai Arisa merasa sangat lega. Ia berharap setelah ini dirinya bisa menjalani kehidupan dengan tenang dan damai. Dengan jaminan Bahtiar tak akan lagi mengusik, setidaknya itu cukup untuk membuat suaminya tenang. Tak lagi dihantui rasa khawatir dan takut kalau suatu saat lelaki itu berusaha membawanya kabur.Sebelum pulang, ibunya Bahtiar datang menghampiri. Wanita tua itu berulang kali menggaungkan kata terima kasih. Selain rasa sayangnya terhadap Arisa yang teramat sangat besar, ia juga mengapresiasi segala kebaikan wanita muda tersebut. Terlepas dari surat perjanjian yang harus disepakati putranya, ibu Bahtiar sungguh merasa berhutang banyak pada Arisa. Dengan segala kesalahan yang dibuat sang anak, Arisa mau membe

  • Menjelang Pernikahan   Bab 47 Bebas Bersyarat

    “Saya mohon, Bu Linda. Beritahu saya, dimana Arisa dan suaminya sekarang?” Serba salah sekali Linda saat itu.Di satu sisi ia tak ingin mengganggu bulan madu anak dan menantunya. Baru saja menikah mereka sudah dihantam permasalahan yang cukup serius. Bahkan mungkin hingga saat ini Arisa belum mengetahui apa yang sudah dilakukan Yanu terhadap Bahtiar usai kejadian malam itu.Di sisi yang lain, ada seorang ibu yang mengiba mengharap pengampunan bagi sang putra. Persoalannya tak sesederhana itu, sehingga membuat Linda semakin tak tega,Belum lama ia ditinggal pergi suaminya. anak sulungnya pun harus mengalami depresi pasca dijatuhi talak. Kini ia terpaksa harus dirawat di rumah sakit jiwa, karena keluarga sangat kewalahan menghadapinya. Sementara anak yang satu lagi, berada di luar kota mengikuti suaminya.Kini, satu-satunya anak yang paling dekat, yang paling diharapkan bisa menemani di sisa usia, harus ditahan pihak berwajib atas laporan yang Yanu

  • Menjelang Pernikahan   Bab 46 Dalam Kamar Hotel

    Bias cahaya matahari merangsek masuk melalui celah jendela. Udara hangat pun perlahan masuk melewati tirai transparan yang melambai tertiup angin. Sebuah pertanda bahwa pintu di depan sana telah terbuka.Dalam keremangan pandangan yang belum terbuka sempurna, sayup-sayup Arisa mendengar suara tak asing sedang berbicara panjang lebar di luar sana.Entah berapa lama Arisa tak sadarkan pasca perbuatan Bahtiar yang menyesakkan pernapasannya. Yang pasti sebelum ini ia sempat terbangun dan mengetahui dirinya dikerumuni banyak orang. Tak ketinggalan pula sebuah alat bantu pernapasan melekat menutupi hidung serta mulutnya.Namun, kala itu semua orang segera melarangnya untuk bangkit. Bahkan sekadar bicara pun tak boleh. Mau tak mau Arisa tetap berbaring dan memejamkan mata. Hingga saat ini dirinya kembali terbangun, Arisa tak mengetahui sudah berapa lama ia tertidur.“Hai, sudah bangun?” Tirai tersingkap dan memunculkan sosok pria yang kini ia sebut suami

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status