Share

Bab 2. Papa Sakit

Hari ini ulang tahun pernikahan mama dan papa. Sassy tak mungkin mengelak untuk datang. Seperti biasa, hal yang sama kembali diulang. Kali ini bahkan di depan seluruh keluarga besar Ariobimo. Mereka bahkan menuduh Sassy mandul dan Nouval terus menutupinya.

Nouval merasa telinganya lama-lama panas. Emosinya memuncak saat istrinya disudutkan. Pria itu tak bisa lagi menahan diri. “Bukan Sassy yang salah. Aku yang tak ingin punya anak! Lalu kalian mau apa?” tantang Nouval kehilangan kesabaran. Keluarga besarnya sangat terkejut.

“Ap-apa mak-sud-muh!”

Papa terkejut mendengar kata-kata yang diucapkan putranya. Dia benar-benar tak menyangka jika ternyata putranya yang tak ingin memiliki anak keturunan. Nouval terdiam dengan wajah beku. Dia tahu, kata-kata pembelaannya telah menyakiti kedua orang tua itu. Dia diam membeku di tempatnya, tak mampu mengatakan apapun lagi.

“Ha--bis su--dah!” Pria tua itu ambruk di lantai sambil memegang dada. Wajahnya yang kesakitan membuat mama menghambur dan memeluknya.

“Panggilkan ambulans, cepat!” teriak mama dalam kepanikannya.

“Pa, mama di sini, sabar … tarik napas pelan-pelan, bisa tidak?”

Perlahan wajah Pak Ariobimo memucat. Nouval tertegun di tempatnya. Tangannya dicengkeram Sassy erat. Istrinya itu ketakutan melihat apa yang terjadi. Getaran tubuh Sassy menyadarkan Nouval dari keterkejutannya. Dia segera menghambur mencoba memeluk tubuh papanya.

“Papa, maafkan Nouval. Noval tidak bermaksud seperti itu. Papa ….”

Mama menyingkirkan tangan Nouval dari menyentuh papanya sendiri. Pria muda itu terhenyak melihat api kemarahan dalam mata mama yang biasanya selalu teduh.

“Mama, Nouval hanya---”                                             

“Beri papamu ruang, jangan dikerubuti. Panggilkan ambulans dan jadilah anak berguna, sekali saja!” kata mamanya pedas. Nouval terdiam mendengar kata-kata pedas mama. Sebagai anak satu-satunya, tak sekalipun kedua orang tuanya melontarkan ucapan kasar yang bisa menyakiti hatinya, kecuali hari ini.

“Aku sudah menelepon ambulans. Kita tunggu saja,” kata salah satu kerabat dengan ekspresi sangat khawatir.

“Terlalu lama. Sebaiknya kita antarkan saja ke UGD terdekat!” saran keluarga lain.

“Biar saya keluarkan mobil!”

Nouval bergerak cepat. Mama mengangguk setuju. Dengan berlari, pria muda itu mengeluarkan mobil dari garasi dan siap menunggu di depan rumah. Mama masuk dan duduk di jok belakang. Beberapa orang menggotong Pak Ariobimo ke halaman dan membaringkannya di jok belakang sambil dipeluk oleh istrinya. Pria itu sudah kehilangan kesadaran sama sekali.

Nouval langsung menyalakan mobil dan keluar. Dia bahkan lupa jika Sassy istrinya tidak ikut di mobil. Yang ada di pikirannya hanya membawa papa secepatnya ke UGD agar nyawanya selamat.

Di rumah besar, Sassy mendapatkan tatapan tajam menusuk dari seluruh anggota keluarga besar Ariobimo. Meskipun tak ada yang mengucapkan kata-kata tuduhan. Namun, Sassy yakin pandangan tajam itu seperti melontarkan kalimat. “Kamulah penyebab semua ini!”

Dia ingin pulang, akan tetapi segera ingat bahwa sebelumnya dirinya dan Nouval datang dengan satu mobi yang dibawa Nouval untuk mengantar papa mertuanya. Tak ada yang peduli saat wanita itu pergi diam-diam. Mereka hanya melihat tanpa menegur sama sekali. Bahkan saat Sassy menunggu taksi di depan rumah terlalu lama, tak ada juga yang peduli. Semua sibuk membenahi pesta yang gagal. Merapikan rumah dan menyimpan makanan yang tersisa. Kemudian pergi beramai-ramai menuju rumah sakit, untuk mengetahui apa yang terjadi.

Sassy berdiri di depan pagar dengan termangu dan merasa dirinya tak dihargai. Ada rasa marah di hatinya melihat sikap tak bersahabat dari keluarga itu. Ada pula rasa sedih, melihat kedua mertuanya.

“Sassy, kau pulang naik taksi saja. Aku menunggui papa di rumah sakit.” Wanita itu membaca pesan dari suaminya dengan beragam rasa. Nouval tak menanyakan sedikitpun kabarnya. Dia hanya menyuruh pulang.

“Ternyata … dibandingkan aku, perhatian utamamu tetaplah kedua orang tua itu.” Hati Sassy terluka. Entah bagaimana asal mulanya tapi hari ini dia merasa seperti anak terbuang dan tidak diinginkan. Persis seperti yang dilakukan oleh ayah kandungnya dulu.

Nouval tak pulang selama dua hari. Belum pernah Sassy ditinggalkan seperti itu. Dia merasa sangat kesepian dan sedikit marah. Pesan yang dikirimkan Nouval hanya pesan satu arah. Suaminya hanya mengatakan apa yang akan dilakukannya tanpa meminta pendapat ataupun persetujuan Sassy lagi. Hal itu membuatnya menyimpan kejengkelan di hati.

Hari ketiga, Nouval pulang tepat saat Sassy baru saja berangkat kerja. Dia punya janji dengan klien yang tak bisa ditunda. Jadi dia hanya melambaikan tangan pada Nouval saat mobil mereka berpapasan di jalan kompleks.

Nouval yang selama dua hari kerepotan mengurus kebutuhan rumah sakit dan menjaga mamanya yang juga ikut drop, menjadi kecewa melihat istrinya sama sekali tidak menaruh perhatian pada apa yang menimpa keluarganya. Dia pulang dengan sedih dan merasa patah hati. Tadi dia berharap Sassy akan menghiburnya dengan pelukan hangat yang sangat dirindukannya.

Sesampai di rumah, Nouval menghempaskan diri di tempat tidur. Tempat rapi dan wangi yang menjadi ruang favorit mereka berdua. Nouval masih dapat menemukan aroma parfum yang biasa dipakai Sassy dari selimut yang dipasang rapi.

“Aku sangat merindukanmu. Aku membutuhkanmu saat ini. Apa kau tak bisa meluangkan waktu sebentar saja?” keluhnya tanpa sadar. Dipeluknya guling dan meresapi aroma Sassy di sana. Matanya terpejam. Setetes air mata jatuh dan membasahi guling. Hatinya terluka.

Dering ponsel di saku, membangunkan Nouval yang tertidur di kamar. “Nak, bisakah membawakan mama makan siang? Hari ini jadwal pemeriksaan papa sangat padat. Mama tak sempat keluar untuk membeli makan siang,” ujar mamanya di ujung telepon.

“Iya, Ma. Sebentar Nouval beli dan antar ke sana. Mama jangan ke mana-mana, nanti jatuh,” jawab pria muda itu cepat. Dia segera bangkit dari tempat tidur dan menuju kamar mandi.

Sore itu, Nouval mendengarkan penjelasan dokter tentang kondisi papa. Pria paroh baya itu terkena strook dan sebelah tubuhnya lumpuh, tak bisa digerakkan. Hatinya merasa terpukul. Bingung bagaimana mengatakan hal itu pada mamanya. Dan yang diduganya terjadi. Mama tak henti menangis dan menyesali kata-kata kejam yang dilontarkan Nouval beberapa hari lalu.

“Apakah kami pernah meminta lebih padamu, Nak? Apakah kami pernah menolak keinginanmu? Kenapa kau sampai hati bicara seperti itu? Mama tidak tahu bagaimana mengatakannya. Hanya saja, semenjak menikahi Sassy, kau semakin terlihat seperti orang lain yang tidak lagi kami kenali.”

Nouval hanya bisa memeluk mama dan terus mengatakan, “Maafin Nouval, Ma. Nouval sudah sadar sekarang. Tolong maafin sikap egois Nouval,” ujarnya lirih.

“Yang sudah terucap tak bisa ditarik lagi. Yang terjadi sudah terjadi. Kalau kau tak juga menyesali diri, maka Mama tak bisa lagi menjangkaumu!” sesal wanita itu. Nouval memandang mamanya dengan perasaan campur aduk. Hanya butuh waktu tiga hari, untuk membuat mamanya jadi tampak sangat tua dari biasanya.

“Mulai sekarang, Nouval akan patuh pada kata-kata Mama,” janjinya.

Dua anak beranak itu kembali berpelukan dan menangis. Tangis penyesalan yang dalam. Selama dua hari terakhir, Nouval mendengarkan semua kata-kata mama. Dari yang pedas, hingga hal sedih dan kecewa yang disimpan kedua orang tuanya. Hal itu membuat hatinya melembut dan membuka pikiran yang selama ini hanya terpaku pada istrinya.

Sassy yang selama ini dinilainya sebagai istri tak tercela, mulai dikoreksinya. Tak perlu melihat terlalu jauh ke belakang. Bahkan sejak papanya masuk rumah sakit, istrinya  itu tak ada menanyakan kabar ataupun menjenguk ke rumah sakit.

Nouval menggeleng sedih. “Kenapa selama ini aku tak melihat sisi dirinya yang ini?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status