Share

Bab 3. Ibu Pengganti

Setelah dirawat selama dua minggu di rumah sakit, Pak Ariobimo akhirnya pulang ke rumah dan melakukan pemeriksaan berkala. Sejak kejadian itu Nouval jadi kembali dekat dengan kedua orang tuanya. Dia merasa tak mungkin membiarkan mamanya merawat papa sendirian di rumah.  Mama juga butuh istirahat.

“Ma, nanti pekerjakan perawat saja untuk membantu mama di rumah,” saran Nouval.

 “Apa Kau tak mau mengurus papa dan mama?” tanya mama dengan mata berkaca-kaca.

 Pria itu menghela napas. Sejak papa sakit, perasaan mama jadi lebih sensitif. Segala sesuatu bisa saja menjadi berbeda dalam pandangan mama. “Bukan seperti itu, Ma. Nouval kan harus kerja. Saat itu mama butuh bantuan perawat untuk mengurus papa,” jelasnya lembut dan sabar.

“Tapi Kau akan tetap sering nengok ke sini, kan?” Mama meminta kepastian.

 “Iya dong. Masa enggak ke sini. Nanti yang gangguin Mama, siapa?” godanya dengan ekspresi polos.

 “Terima kasih, Nak.” Wanita itu memeluk putranya dengan perasaan sedih yang tak bisa ditutupinya.

Setelah papa pulang, Nouval bisa kembali bekerja dengan tenang. Hanya saja, waktunya dengan Sassy menjadi lebih sedikit. Dia harus menyempatkan untuk menjenguk mama dan mengecek apakah keadaan di rumah baik-baik saja.

Sebulan setelah itu, Sassy mulai menyuarakan protes atas kesibukan Nouval mengurus orang tuanya. “Waktumu sudah tersita sangat banyak!” katanya tak senang, saat suaminya berniat untuk tidur.

Nouval tak menjawab. Hari ini jadwalnya memang sangat padat. Dia merasa sangat kelelahan. Tadi malam mama mengatakan bahwa pampers papa habis. Jadi sepulang kerja Nouval menyempatkan membeli beberapa keperluan rumah, agar mama tidak lagi kebingungan saat malam hari. Sekarang dia pulang ke rumah tapi istrinya terlihat tidak senang.

Sassy makin merasa jengkel saat mendengar dengkuran halus Nouval yang menjadi jawaban kemarahannya. Dia tidur membelakangi pria itu dengan perasaan tidak puas.

Jadwal Nouval minggu itu sangat padat. Begitu pula dengan istrinya. Mereka bahkan tidak sempat untuk sarapan bersama karena harus segera melakukan tugas masing-masing.

“Sore nanti pulang cepat! Kita harus bicara!” pesan Sassy masuk di ponsel Nouval.

Pria itu tertegun sejenak. Dia memang sangat sibuk akhir-akhir ini dan Sassy sudah tahu itu. Beberapa hari yang lalu Nouval sudah mengatakan bahwa dia akan sangat sibuk karena mendapatkan klien baru dengan kasus yang sedikit lebih berat dari biasanya. Nouval dan timnya harus bekerja ektra untuk memenangkan kasus itu.

“Ada apa?” tegur temannya, melihat Nouval terus memandangi ponsel dengan ekspresi rumit.

“Istriku uring-uringan sejak kemarin,” jawab Nouval. Ponsel diletakkannya tanpa membalas pesan Sassy. Temannya datang untuk mengantarkan berkas yang harus segera diperiksanya.

Pria itu terkekeh. "Istriku juga suka uring-uringan. Terutaman saat PMS atau saat rekeningnya kosong!”

Nouval balas tersenyum. Sassy tak mungkin kekurangan uang di rekeningnya. Berarti dia mungkin sedang PMS. Pemikiran itu membuat hatinya kembali ringan. Dia akan membelikan sesuatu nanti, saat pulang, agar perasaan Sassy kembali bahagia.

“Sayang, ayo tebak apa yang kubawa!” Nouval menyembunyikan hadiahnya di belakang punggung.

Sassy yang sedang nonton televisi, hanya menoleh dan merespon tanpa minat. “Paling juga coklat!” ujarnya cuek.

Mendapat penerimaan dingin, tak membuat Nouval kecil hati. Sassy sedang PMS, jadi dia memang akan bersikap sedikit tak biasa untuk beberapa hari. “Salah. Ayo tebak dong. Kalau benar, bisa minta hadiah lain hlo,” rayunya lagi.

“Enggak ada main-tebak-tebakan. Kita harus bicara serius!” Mata Sassy menatap suaminya tajam.

Nouval melonggarkan dasi di leher. Dia merasa tercekik melihat sikap Sassy. Ada sedikit rasa tidak suka  di hatinya. Nouval sendiri tidak tahu, sejak kapan dia memandang sikap otoriter Sassy tidak lagi menggemaskan.

“Ada apa?” Suaranya dibuat selelmbut mungkin, untuk mendinginkan suasana hati Sassy yang sedang panas. Hadiah yang tadi dibawanya, diletakkan di meja begitu saja.

“Mau sampai kapan bolak-balik ke tempat mama?”

Pertanyaan Sassy membuat suaminya melihat dengan bingung. “Maksudmu apa?”

“Sudah sebulan kau masih bolak-balik ke sana. Sampai hubungan kita jadi renggang begini! Jadi, mau sampai kapan kamu ke sana terus?” Mata Sassy berapi-api.

Nouval terkejut melihat api amarah di mata Sassy yang biasanya sangat cantik itu.

“Mereka orang tuaku. Selama mereka masih hidup, aku akan tetap ke sana!” tegas Nouval. Pria itu berdiri dan berjalan ke kamar mandi. Dia harus mendinginkan kepala agar emosinya reda.

“Bagaimana Sassy bisa berkata seperti itu? Melarangku  pergi ke rumah mama?” kesalnya dalam hati.

“Hei, aku belum selesai bicara!” teriak Sassy dari balik pintu. Nouval menyalakan keran air untuk mengusir suara Sassy dari gendang telinganya. Diputuskannya untuk berendam di bathtub dan berlama-lama di kamar mandi.

Saat keluar dari kamar mandi, dilihatnya hadiah yang tadi dibawa sudah berantakan di lantai dan Sassy tak ada. Nouval keluar, mencari di kamar lain. Didengarnya suara sayup musik dari dalam. Meskipun sedikit sedih tapi hatinya lega karena Sassy ada di situ. Dia kembali ke kamar dan tidur.

Minggu, Nouval mengosongkan waktu untuk membawa Sassy jalan. Meskipun tidak mudah tapi langkahnya berhasil memadamkan api dari mata istrinya. Keduanya kembali mesra sore itu.

Malam itu, setelah Sassy tidur. Nouval baru membuka pesan-pesan di ponsel. Termasuk beberapa miscall dari mama. “Besok jadwal papa periksa ke rumah sakit. Apa bisa ikut?”

Dengan cepat dia membalas pesan. “Bisa, Ma. Pagi-pagi Nouval antarin. Hanya saja, enggak bisa ikut ketemu dokter. Ada jadwal sidang pagi besok.”

Nouval membayangkan wajah tua mama yang kecewa dan kerepotannya mendaftar dan mengantri periksa. Kembali jarinya mengetik. “Besok. Embak perawatnya dibawa saja, buat bantu mama,” sarannya.

Tak ada balasan pesan. Artinya mama sudah tidur. Namun, dirinya justru jadi tidak bisa tidur. Hatinya jadi gelisah membayangkan kerepotan mamanya besok pagi di rumah sakit. Belum lagi harus menghadapi kerewelan papa yang sekarang selalu tidak senang dan tidak sabar terhadap apapun.

Pesan baru kembali dikirim. “Besok, tolong gantikan jadwal sidang pertamaku. Aku harus mengantar papa periksa ke rumah sakit!”

Minggu berikutnya, Nouval mengajak Sassy berkunjung ke rumah mama. Meskipun enggan, Sassy tak bisa menolak. Nouval menunjukkan pesan dari mama. “Besok mama dan papa mau mengatakan sesuatu yang penting. Bawa istrimu.” Bagi Nouval, itu sebuah perintah!

Setelah berbasa-basi, mama membuka percakapan. Di samping mama, duduk papa dengan disangga bantal. Mama berdehem sebentar, untuk meminta perhatian Nouval dan Sassy. Keduanya duduk diam dan siap mendengarkan apa yang ingin dikatakan mama.

“Sekarang jelaskan pada mama dan papa, kenapa kalian tidak mau punya anak. Apakah ada salah satu dari kalian yang mandul?” Pertanyaan mama tegas dan benar-benar memaksa untuk mendapat penjelasan masuk akal atas pernyataan Nouval sebelumnya.

Suami istri itu saling pandang dengan ekspresi rumit. Sassy mengangguk Dia menggenggam tangan Nouval, melarang pria itu bicara. Tampaknya kali ini dia memilih untuk mengambil alaih tanggung jawab, agar Nouval tidak terpojok lagi.

“Ma, kami memutuskan untuk tidak punya anak dan fokus pada pekerjaan. Banyak impian yang ingin kami capai. Rasanyanya, memiliki anak itu hanya akan merepotkan dan  mengganggu pekerjaan saja.” Sassy menjawab tanpa ragu, tak peduli jika kedua mertuanya melotot mendengarkan penjelasan absurd itu.

Setelah menghela napas panjang dan menyabarkan papa yang tersulut emosi, mama mengalihkan pandangan pada Nouval. “Apa kau juga tidak ingin punya anak?” Mama menatap Nouval tajam.

“Mama tahu bagaimana Sassy bisa punya ide gila itu. Karena keluarganya membuat dia kecewa. Lalu bagaimana denganmu. Apa pernah mama dan papa membuatmu kecewa, hingga kau membuat keputusan seperti itu?”

Nouval menggeleng.  “Bukan seperti itu, Ma. Ingin punya anak atau tidak itu, butuh kesepakatan dua orang. Jika Sassy keberatan, bagaimana Nouval bisa punya anak?” Akhirnya kata-kata itu meluncur juga. Dia juga sudah lelah terus disudutkan, padahal telah berulang kali merayu Sassy agar bersedia hamil.

Mama dan papa menatap Sassy tajam. Sekarang mereka tahu siapa dalang yang meracuni pikiran putra kesayangan mereka.

Merasa tersudut, Sassy akhirnya melontarkan ide baru. “Jika mama dan papa sangat ingin punya cucu dari kami, kupikir aku punya ide bagus.”

“Apa?” kejar mama.

“Kita cari ibu pengganti yang bersedia hamil anak kami,” katanya lancar.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status