Ibu dan bapak sangat terkejut mendengarnya. “Nonsens!”
Nouval sendiri tak menyangka akan melihat kemarahan yang begitu besar di mata mamanya. Wanita paruh baya itu melotot ke arah menantu cantiknya. “Kamu pikir akan ada wanita yang mau jadi ibu dari entah siapa?”
“Selalu ada orang yang butuh uang, Ma,” kata Sassy enteng.
“Apa? Kalau kamu saja tidak bersedia mengandung benih dari suamimu sendiri dengan berbagai alasan absurd, bagaimana orang lain mau mengandung anakmu!” Nada suara mama makin naik karena Sassy menjawab kata-katanya.
“Itu sesimpel orang menjual jasa, Ma. Kita---”
“Kalau memang sesimpel itu, kenapa bukan kamu sendiri yang hamil!” potong mama dengan nada tinggi.
“Karena Sassy mau utamain kerja! Enggak mau pusing urusin hamil dan punya bayi! Karena Sassy enggak suka bayi!” jerit Sassy akhirnya. Dia kesal terus dipaksa hamil dan punya anak oleh kedua mertuanya yang kolot.
“Apa!”
Kali ini Nouval yang terkejut. Ditatapnya wanita yang sangat dicintainya itu tak percaya. Kedua pundak Sassy dipegang untuk membuat istrinya itu melihat matanya. “Itukah alasan sebenarnya?”
Sassy tak sanggup menatap sinar kecewa dan marah di mata Nouval. Dipejamkannya mata dan mengangguk sebagai jawaban. Dia tak bisa menyembunyikan lagi kebenaran itu dari suami dan mertuanya.
“Kamu itu wanita tapi kamu sendiri yang justru merendahkan wanita! Kamu tidak tahu apa yang kamu lewatkan dengan memutuskan tidak ingin hamil dan punya bayi!” kecam mama pedas.
“Kam--mu--tak pu--nya ha--ha--ti!” ujar papa terbata. Nouval dan mama menoleh cepat pada papa. Pria tua itu merasa sesak di dadanya mendengar pengakuan menantunya.
“Ambilkan oksigen untuk papa!” perintah mama.
Nouval langsung lari ke kamar dan menyeret tabung oksigen yang disiapkan di rumah. Perawat membantunya memasang selang Nasal Cannula ke hidung papa. Pria itu dibawa kembali ke kamar untuk beristirahat.
“Mama akan carikan istri lain untukmu! Istri yang patuh dan bersedia mengandung darah dagingmu sendiri. Karena kita tak bisa lagi mengharapkannya dan membuang waktu percuma!” kata mama di kamar.
“Mama!” Nouval protes.
Akan tetapi, dia juga tak tau mau protes apa, pada siapa. Sassy yang selama ini dia lindungi dari tudingan miring keluarga, ternyata hanya memanipulasi cintanya. Nouval sangat kecewa.
“Mama dan papa selalu menuruti kemauanmu. Bahkan untuk menikahi wanita yang kamu cintai, kami tidak keberatan. Kami juga sudah mentolerir waktu panjang yang terbuang menunggu cucu dari seorang wanita yang sebenarnya memang tidak ingin hamil dan punya anak, karena benci bayi!”
Mama terengah-engah mencurahkan segala kekesalannya pada Nouval di kamar. Tangan papa menunjuk pada putranya. Hanya saja, kondisinya membuat pria tua itu tak mudah mengekspresikan emosinya.
Nouval tak ingin berbantahan dengan kedua orang tuanya. Semua kata-kata pedas mama diterimanya. Dia sendiri merasa bersalah karena Sassy membuat papa seperti sekarang. Nouval tak mau mama juga mengalami hal yang sama jika dia masih juga membantah dan berkata kasar.
“Biarkan Nouval bicarakan ini dengan Sassy.” Itu kata terbaik yang bisa dia ucapkan setelah mendengar ceramah mama yang panjang. Pandangannya beralih pada papa yang terlihat tidak puas.
“Papa jangan pikir yang macam-macam lagi. Istirahat ya. Kasihan mama kalau papa sakit lagi,” bujuk pria muda itu. Diperiksanya apakah posisi baring papa sudah nyaman. Kemudian dia berdiri dan memeluk mama.
“Kami pulang dulu, Ma. Nanti Nouval akan bicarakan itu dengan Sassy,” janjinya sekali lagi. Mama mengangguk dengan mata berkaca-kaca.
Pasangan muda itu meninggalkan rumah mama dalam diam. Ada mendung tebal yang menggayuti keduanya. Membuat jarak antara mereka.
“Aku tidak tahan dengan sikap diammu sepanjang jalan!” tegur Sassy sesampainya di rumah mereka.
Nouval menarik tangan Sassy untuk duduk di ruang makan. Mereka duduk berhadapan. Setelah menuangkan air dan meneguk isinya seperti orang kehausan, Nouval kembali menatap Sassy dengan wajah serius.
“Dulu, waktu kamu kuliah, kita sepakat untuk mengejar karier dulu, baru punya anak. Kamu ingat itu? Itu makanya aku setuju. Aku mendukungmu dan menghadang semua tudingan keluarga padamu. Kenapa tadi kamu bilang tidak suka bayi? Sejak kapan kamu jadi wanita yang tidak suka bayi?” Nouval memberondong istrinya dengan pertanyaan.
“Aku enggak suka bayi, sejak ibu tiriku hamil dan membuat papa melupakan mama!” ketus Sassy sambil membuang muka.
Nouval memegang dadanya dan menarik napas panjang. “Jadi, alasan demi karier itu hanya agar aku setuju dan menerimamu?” Tangan pria itu memegang kedua pipi Sassy agar melihat ke arahnya.
“Ya! Mestinya, kalau kamu benar mencintaiku, itu bukan hal yang sulit. Orang yang mencintai seseorang harusnya mendukung keinginan kekasihnya!” balas Sassy.
Nouval menatapnya keheranan. Kedua alisnya sampai bertaut melihat istrinya. “Berarti kamu enggak mencintaiku, makanya gak mau hamil dan melahirkan anakku!” todong Nouval, membalikkan pemikiran Sassy.
“Bukan begitu konsepnya!” elak Sassy terkejut dengan kesimpulan yang dibuat suaminya. “Aku mencintaimu … sungguh!”
“Kalau begitu, bisakah kau hamil dan melahirkan buah cinta kita?” tantang Nouval tajam.
Sassy kesal karena pembahasan kembali ke masalah itu lagi. Dua kakinya dihentakkan ke lantai. Tangannya mengepal kuat. “Ini tubuhku, aku berhak memutuskan apakah mau merusak bentuk tubuhku dengan hamil atau tidak. Kau juga tak bisa memaksaku, Nouval. Jika nanti aku terlihat jelek, kau juga akan berpaling dariku. Jadi, untuk apa aku mengambil resiko itu, jika kau bisa mencintaiku apa adanya seperti sekarang!”
Mulut Nouval membuka dan matanya melebar. Dia sungguh tidak bisa percaya apa yang ada dalam pikiran Sassy. “KAu sangat egois. Aku tidak lagi mengenalimu!” gumamnya lirih, lalu berdiri dan pergi.
“Kau bilang apa tadi?” kejar Sassy yang tidak mendengar jelas apa yang dikatakan suaminya.
“Katakan, kau bilang apa tadi?” desak Sassy yang mengikuti Nouval hingga ke kamar.
“Enggak ada. Hanya saja, prinsipmu itu punya konsekuensi sendiri. Karena setiap keputusan yang kita buat akan selalu ada hal baik dan buruk yang mengikuti.” Nouval masuk ke kamar mandi, membiarkan Sassy termangu.
Sassy duduk di tempat tidur dan memikirkan kata-kata Nouval. Pria itu sangat dikenalnya. Apa yang dikatakannya sering memiliki makna tersirat juga. “Apa maksudnya dengan konsekuensi?”
Nouval sudah berganti pakaian dan kelihatan segar. Dilihatnya istrinya masih duduk dan sedang berpikir serius. “Apa yang kau pikirkan?” tanyanya sambil lalu.
“Kata-katamu tadi. Konsekuensi dari keputusan yang kubuat. Apa yang coba kau sembunyikan?” Sassy berbaring di sebelah Nouval dan memeluknya.
“Karena, kalau kau beneran tidak bersedia hamil, maka mama akan mencarikan istri lain untukku,” jawab Nouval enteng. Dia ingin melihat reaksi istrinya tentang topik itu.
“Apa?”
Sassy langsung duduk dengan tegak, mendengar kata-kata yang dilontarkan suaminya. Dia menuding, ”Kau pasti setuju, kan?”
Nouval melihat pada istrinya dengan pandangan keheranan. Kemudian dia menggelengkan kepala ringan. “Jika kau bersedia hamil maka aku tidak akan menyetujui ide mama!”
“Hah! Kalian seperti keluarga kuno dan otoriter. Selalu memaksakan kehendak! Apa aku punya pilihan sekarang?” Sassy mengomel tak senang.
“Tenang saja, Sayang. Kau selalu punya pilihan kok. Aku akan selalu mendukung apapun pilihan yang kau buat untuk dirimu!”
Nouval berbaring miring, memeluk guling. Dia tak ingin Sassy melihat bagaimana dia tengah menahan kekecewaan besar di hatinya pada wanita itu.
Sassy ikut berbaring di samping Nouval dan memeluknya. “Bagus! Sekarang aku tenang. Kau akan selalu mendukung dan ada di sisiku. Terima kasih, Sayangku. Kau suami ter-the best!” Tujuh hari berturut-turut, mama selalu menanyakan hal yang sama. Tentang ide mencari istri baru untuk Nouval. Pria itu akhirnya menyerah. Sassy juga tetap teguh dengan keputusannya tak mau punya anak.“Terserah mama saja,” katanya menyerah.Nouval membayangkan mamanya bergerilya, mencari calon istri baru untuknya. Mungkin semua kerabat jauh dan kenalannya akan ditanyai. Pria itu menggeleng pasrah.Tak diduga, hanya dalam satu bulan, mama berhasil menemukan seorang gadis polos dari kampung halaman. Putri teman baiknya semasa sekolah. Nouval sangat yakin bahwa setiap hari mamanya mencari dan menyaring begitu banyak kandidat.“Bagaimana, apa menurutmu dia cantik?” tanya mama setelah menyodorkan foto seorang gadis muda pada Nouval.Pria itu memperhatikan dengan seksama. Tak ada cacat cela di wajahnya. “Gadis seca
Pagi itu Sassy masih terlihat ceria saat memasak telur ceplok untuk Nouval. Dia menggumamkan senandung sembari tersenyum dan kadang berputar di depan kompor. Nouval yang sudah rapi dan baru turun dari lantai atas, tertegun melihat istrinya.“Senang sekali pagi ini? Apa ada project baru?” Nouval duduk di kursinya dan menyesap kopi yang sudah hampir dingin di meja.“Bukan.”Sassy meraih piring, mengangkat telur goreng dan membawa makanan itu ke meja. Diletakkannya satu di depan Nouval, satu lagi di depannya. Dia menuang juice dari pitcher dan menawarkan pada Nouval yang segera menolaknya.“Lalu kenapa happy banget pagi-pagi?” Nouval mulai menyuap sarapannya ke mulut. Selembar roti yang sudah dipanggang, dan telur ceplok setengah matang. Serta beberapa iris buah pir di pinggir piring.“Karena aaat bangun tadi, Irene mengajakku untuk membangun bisnis baru,” jawab Sassy masih dengan wajah berseri-seri.“Bisnis apa?” Nouval ingat bahwa Irene adalah teman yang kemarin ditemui istrinya dan ba
Nouval masih menunggu respon istrinya. Namun, Sassy tak menjawab apapun. “Apa kau masih mendengarkanku?”Suara dengkuran halus, menjadi jawaban pertanyaan Nouval. Dia ikut memejamkan mata juga karena lelah. Besok masih ada waktu untuk bicara.“Sassy, bisa kita bicara sebentar?” tanya Nouval pagi itu saat mereka sarapan.“Kau tahu aku sedang dikejar deadline. Sementara client minta iklannya diperbarui. Banyak hal yang harus kukerjakan di kantor.”“Tapi ini penting, Sas,” kata Nouval lagi.Sassy mengangkat mukanya dari piring sarapan kosong. “Apa kau sakit keras?” tanyanya sambil mengangkat piring dan langsung mencucinya.“Bukan ….”“Kalau begitu, nanti saja kita bicara. Pagi ini aku buru-buru.” Sassy menyambar blazer yang disampirkan di sandaran sofa dan mengenakannya.“Tap---”“Aku harus pergi, Sayang. Atau aku harus begadang di kantor malam ini,” potong Sassy. Dikecupnya pipi Nouval sebelum keluar pintu depan menuju garasi.Nouval terdiam di kursinya. Kemudian dikerjarnya Sassy saat
Mama menatap Nouval tak sabar. “Niat baik jangan ditunda-tunda,” ujar Mama, diikuti anggukan kepala Papa.“Bagaimana pendapat keluarganya? Jangan sampai Mama yang terlalu mendesak. Ada baiknya juga kalau dia berpikir dulu,” kata Nouval.“Mereka udah setuju kok,” bantah Mama lagi.Nouval mengangguk. “Trus, persiapannya bagaimana?”“Tenang aja. Mama dan keluarga mereka yang siapin. Kamu kerja seperti biasa aja. Ambil libur sejak Jumat bisa?”“Kenapa bukan Sabtu saja aku libur? Kan acaranya Minggu,” tawar Nouval.“Kan kita mesti pulang kampung dulu. Nanti kamu lelah. Pengantin baru kok lelah itu bagaimana?”Papa tertawa mendengarnya. Nouval terdiam kikuk. Dia paham arah pembicaraan mamanya. Melihat Nouval diam, Mama berpikir lain.“Kalau memang ada jadwal sidang Jumat yang enggak bisa ditunda, ya udah, gapapa hari Sabtu pagi kita berangkat.”“Artinya, Jumat malam kamu tidur di sini. Sabtu pagi kita langsung meluncur ke sana,” tambah Mama lagi.Nouval mengangguk. Itu adalah jalan tengah
Pagi hari Sassy bersikap manis. Dia sudah rapi dan siap ke kantor. Tapi masih menyempatkan membuat sarapan ala kadarnya dan menunggu Nouval turun dari kamar.“Pagi, Sayang …,” sapanya riang.“Pagi.” Nouval mencium kening Sassy yang dengan sigap sudah berdiri di depan tangga menyambutnya.“Sarapan dulu.” Sassy mengambil alih tas Nouval dan diletakkan di atas meja ruang tamu. Nouval patuh. Dia berjalan ke meja makan dan duduk menunggu piringnya disajikan.Sepiring roti diolesi selai dan secangkir kopi segera sampai di hadapannya. Nouval segera menghirup minumannya. Kopi itu mulai mendingin. Sepertinya Sassy menyiapkan sarapan lebih cepat dari biasa. Dan dari gigitan roti pertamanya, Nouval bisa meyakinkan itu.Sassy ingin bicara dengannya sejak pagi, tapi Nouval turun terlalu lama. Maka semua sarapan yang dibuat istrinya jadi dingin. Meskipun begitu, Nouval tetap menikmati roti dan kopinya. Mereka berdua sarapan dalam diam. Seakan, kepingan roti dingin itu terlalu menarik untuk dilewatk
Di luar, seorang wanita menunduk ke dekat jendela mobilnya, wajah seseorang yang dulu pernah akrab. Wanita itu tersenyum ramah padanya.“Widya!” Sassy ikut mengembangkan senyum melihat wanita yang dikenalnya di parkiran kampus. Jendela mobil diturunkan.“Lagi ngapain di sini?” tanya Sassy.“Aku biasa ke sini, tapi baru kali ini ketemu kamu. Lagi ada urusan apa?” Widy ganti bertanya tanpa menjawab pertanyaan Sassy. Wajahnya masih penuh dengan senyuman hangat dan ramah.“Lagi mengenang masa kita kuliah.” Sassy membuka pintu mobil dan keluar.“Eh, mumpung ketemu, kita duduk di cafetaria yuk. Nostalgia dulu,” ajak Sassy.“Wah … aku enggak bisa. Anakku nunggu di rumah, jadi harus langsung pulang. Widya berjalan ke mobilnya yang berselang satu mobil dari Sassy.“Tapi kalau kamu luang dan pingin ngobrol, ayo ikut ke rumahku,” tawarnya.Sassy menimbang dengan ragu. Hari sudah siang dan dia belum ke kantor sejak pagi. Pikirannya yang sedang sumpek dan buntu, tidak akan maksimal untuk diajak me
Sassy melihat temannya dengan ekspresi tak mengerti yang nyata. Tapi sebelum sempat bertanya, Widya kembali mencondongkan tubuh ke arah Sassy, yang membuat Sassy ikut mendekat tanpa sadar.“Dan setelah anak ini lahir, rasanya cintaku pada suamiku sudah berpindah semua ke dua anakku! Aku lebih mencintai makhluk-makhluk mungil ini ketimbang ayahnya!” Widya mengangguk meyakinkan.Sassy hanya bisa terbengong tak mengerti. “Bagaimana Widya yang cerdas dan cantik itu bisa jatuh cinta pada dua makhluk kecil super jorok dan berisik ini?” batinnya.Melihat Sassy terdiam, Widya merasa bersalah. “Maafkan aku. Kau mungkin belum mengerti sekarang. Tapi nanti, setelah punya anakmu sendiri, naluri keibuan akan muncul dan membimbingmu untuk mencintai mereka tanpa syarat! Jenis cinta yang sangat berbeda dengan cinta pada pasangan kita.”Ponsel Sassy bergetar. Diangkatnya telepon. “Ibu di mana? Apakah bisa ke kantor sekarang? Ada client yang ingin bertemu,” kata suara di seberang telepon.“Ya!” sahut S
Nouval tak ingin berdebat dengan istrinya. Dia menyadari bahwa hal ini sangatlah sensitif. Hati Sassy pasti sangat terluka memikirkan point-point kompromi ini.“Akan kupelajari dulu. Nouval mengirimkan catatan Sassy ke ponselnya sendiri.Tubuh Sassy tiba-tiba kaku. Respon Nouval di luar dugaannya. Dia sudah bersiap untuk berdebat jika Nouval tidak setuju. Tapi Nouval minta waktu memikirkannya. Apakah itu artinya dia tidak setuju? Ataukah sedang mencari celah hukum untuk mendebat dirinya nanti?“Aku berangkat.” Nouval berdiri. Dia mencium dahi istrinya seperti biasa. Seolah tak ada yang terjadi barusan tadi.“Apa dia sama sekali tidak peduli? Atau ini hanya alasan untuk menolak semua syaratku?” batin Sassy. Sekarang dia sendiri yang gelisah menunggu persetujuan Nouval tentang persyaratannya. Dilihatnya mobill suaminya menghilang dari pandangan mata.Siang itu saat jam istirahat, Nouval kembali membaca persyaratan dari Sassy. Beberapa poin diberinya tanda. Itu adalah hal-hal yang harus