Share

Berdamai dengan Keadaan

Gending klasik Jawa mengalun mendayu di rumah Hanum. Suaranya merdu, menyejukkan kalbu. Sekeliling rumah dihias indah, disulap semakin mewah dan megah. Senyum merekah terpancar di wajah juragan Suryo dan istrinya, juragan Sonia.

Bahagia membuncah putri kesayangan mereka akan menapaki biduk rumah tangga. Semua laden bersiap saat acara pengajian dihelat. Para tamu jauh dan para jemaah pengajian satu per satu mulai berdatangan. Mereka ingin ikut serta mendoakan kebahagiaan kedua mempelai.

Hanum duduk di kursi. Dengan mengenakan baju kurung dan batik grompol, siap untuk didandani. Perias terlihat berhati-hati saat mulai menyapukan beraneka jenis bedak di wajah cantiknya. Ia tampak kewalahan karena calon pengantin selalu bergerak-gerak, tak mau diam. Hanum sangat sibuk dengan ponselnya. Berulang kali ia menelepon seseorang dan tak segan meminta perias berhenti karena dapat menggangu konsentrasinya.

"Udah sih, Mbak. Udah gerah, nih! Masih kurang apalagi?" tanya Hanum sambil mengipas-ngipas wajah dengan tangannya. Dari dulu ia memang paling tidak suka berdandan. Penampilan yang selalu anggun, wajah cantik, dan kulit kuning langsat tanpa polesan pun ia sudah terlihat cantik jelita.

"Sebentar lagi, Den. Tolong Den Hanum jangan gerak-gerak dulu, nanti malah lama," ucap perias lirih sembari menakupkan kedua tangan di depan dada. Dia takut dihukum, kalau sampai Hanum marah padanya. 

"Berapa menit lagi?" tanya Hanum kesal, wajahnya gusar. Ia membanting pelan ponselnya di meja. 

 "Sebentarr ... lagi, Den." ucap perias sambil membungkuk. Ia pun ingin segera menyelesaikan tugas dan pergi dari ruangan berpendingin itu. 

"Sebentar lagi terus dari tadi!" ucap Hanum ketus.

"Assalamualaikum ..." Ndoro Sonia masuk ke kamar Hanum. Ia merengkuh bahu putrinya. Dipandangi penampilan putri semata wayang dari ujung kaki hingga kepala. 

"Masyaallah sangat sempurna." Sonia memuji putrinya. Perlahan ia membuka kotak berbingkai kuningan yang dibawa. Satu set perhiasan bertahta berlian yang mahal nan mewah untuk dipakai di hari istimewa.

"Sudah, Den. Sudah selesai." ucap perias. Akhirnya ia dapat bernapas lega. Segera ia mengemasi barang-barangnya dan berlalu meninggalkan Hanum dan Sonia.

"Bu, aku gak mau nikah. Tapi Bopo terus saja maksa." Hanum menumpahkan kekesalan. Dibantu ibunya, ia mengenakan perhiasannya.

"Hust!  jangan bilang gitu. Kamu itu beruntung bisa nikah sama Rayi," ucap Sonia meletakkan ujung jari telunjuk menutupi bibirnya.

"Orangnya baik, saleh, ganteng lagi. Dari pada sama temanmu orang Jakarta yang gak jelas itu!" Ibu Hanum membujuk dan menasehati putri semata wayang. Ada rasa khawatir tiba-tiba menyelinap menggelayuti pikirannya. 

"Yuk, keluar. Pengajian udah mau dimulai." ajak Ndoro Sonia. Hanum bermalas-malasan mengikuti langkah kaki ibunya. Bak putri, perlahan Hanum menuruni anak tangga. Semua mata takjub menatap calon pengantin yang begitu menawan. Oleh pembawa acara, gadis itu dipersilakan duduk, diapit kedua orang tuanya. 

Para jamaah saling berbisik. Dari acara pengajian dimulai hingga akan selesai, Hanum sama sekali tak memperhatikan. Ia sangat gelisah dan berulang kali mengecek ponsel milikya. Juragan Suryo pun merasa gerah, melihat tingkah putri kesayangannya. Karena Hanum, masyarakat berani menggunjingkan dirinya. 

" Hanum!" juragan Suryo melotot. Matanya tajam menatap putrinya. Gadis muda itu terkejut, baru kali ini boponya membentak. Hanum tertunduk, dia semakin kesal. Bopo yang selama ini dibanggakan telah sangat melukai hatinya.

"Lungguh yang bagus. Dilihatin banyak orang gitu. Yang sopan." ucap juragan Suryo. Ia pun menarik napas panjang, 

Satu setengah jam berlalu, acara pengajian itu pun selesai. Hanum bersiap dengan acara selanjutnya yaitu melakukan prosesi siraman. Juragan Suryo meminta anak buahnya mengantarkan sebagian air siraman ke kediaman mempelai pria. Acara itu berjalan sangat meriah, semua keluarga ikut berbahagia. Semakin sore kediaman juragan Suryo, semakin penuh sesak. Mereka antusias menyambut keluarga Rayi diacara Midodareni.

***

Utusan Hanum tiba di kediaman Rayi. Tak kalah meriah dengan rumah Suryo, rumah joglo itu dihias sangat indah. Para tamu disambut Anjani dengan suka cita. Aneka makanan dan minuman disajikan untuk menghormati utusan besan. Setelah cukup beristirahat, mereka segera pamit untuk mempersiapkan acara berikutnya. Beberapa sesepuh mengiringi kepergian mereka.

Ndoro Anjani meminta Mbok Yati menyiapkan air untuk siraman Rayi. Wanita paruh baya itu mengangguk, ia melakukan dengan senang hati. Dengan telaten mencampur air kiriman dari keluarga Hanum dengan air yang sudah dipersiapkan untuk Rayi. Wanita itu tampak sangat bahagia.

"Den, Den Rayi. Airnya sudah siap, Den." Mbok Yati memanggil Rayi yang masih berada dalam kamar.

Perlahan pintu terbuka, Rayi keluar tanpa berucap sepatah kata. Dadanya sesak, tuan muda itu belum bisa menerima kenyataan. Ia berjalan diiringi sanak keluarga menuju tempat siraman. Mereka sangat berbahagia, akhirnya Rayi mendapatkan jodohnya. 

Ndoro Anjani mendapatkan kehormatan pertama mengguyur Rayi. Mata bulat dengan bulu lentik itu berkaca-kaca karena terharu dan bahagia. Pun Rayi dia menangis sejadi-jadinya. Menyesali diri tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya ada rasa takut menyakiti hati ibunya yang membuat ia bertahan. Acara yang seharusnya penuh tawa berubah menjadi lautan air mata. Rayi sungguh rapuh, dia terjatuh bersimpuh di kaki pelayan keluarganya. 

Anjani terkejut. Ia tak menyangka Rayi rela merendahkan derajatnya di kaki pelayan. Wanita itu pun segera menolong supaya kembali duduk di kursi. Semua yang hadir tampak berbisik, mereka saling bertanya apa yang sedang terjadi.

Walau berjalan lambat, prosesi siraman Setelah prosesi selesai, didampingi saudara-saudara sepupunya, Rayi kembali ke dalam kamar. Tiba-tiba Rayi menahan tangan Mbok Yati saat ia akan berlalu pergi. 

"Di sini saja, Mbok. Tolong jangan pergi." Rayi memohon dengan sangat. Suasana kembali sunyi. Ia tak dapat menahan air matanya. Ndoro Anjani semakin heran. Dia merasa ada sesuatu antara Rayi dan Mbok Yati yang dirinya tak ketahui. 

"Maaf, Den. Saya gak bisa. Masih banyak pekerjaan di belakang. Den Rayi istirahat saja." Mbok Yati pun berjalan keluar meninggalkan tuan muda. 

Kini Rayi sendiri di dalam kamarnya. Mencoba menenangkan diri dan berdamai dengan kenyataan. Pandangannya nanar menatap langit-langit kamar. Merasa cintanya layu sebelum berkembang. Ia menyesal tak sempat menyatakan perasaannya pada Raya. Kembali air matanya luruh, ia tak berdaya.

Lepas Maghrib, keluarga Rayi bersiap mengunjungi kediaman juragan Suryo. Mereka akan menghadiri prosesi malam midodareni. Sang mempelai-Rayi awalnya tidak ingin ikut. Dia beralasan percuma saja, karena dirinya tidak diizinkan masuk. Keinginannya berubah setelah mendengarkan nasehat Mbok Yati. Dengan mengenakan beskap dan surjan, Rayi tampak sungguh menawan. Aura ningratnya benar-benar terpancar.

Anjani tersenyum simpul, melihat sang putra mengenakan pakaian kebesaran keluarganya. Baju yang sama yang dipakai (alm) Ndoro Chandra boponya, saat akan menikahinya. Berulang kali dia menciumi putra semata wayang itu membuat Rayi semakin tak berdaya.

"Bu e bahagia?" tanya Rayi. Anjani mengangguk, tak terasa bulir bening satu per satu membasahi pipinya.

"Bu e bahagia, Le. Semoga awakmu juga selalu bahagia." Ndoro Anjani mantab menggandeng putranya. Mereka berjalan berdampingan. Diantar iring-iringan mobil keluarga, perlahan mobil Rayi keluar halaman....

Bersambung ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status