Share

Bakti atau Hati

#Part_08

Lepas salat Subuh, Mbok Yati bersiap pulang. Setelah merapikan sofa, ia lalu memisahkan pakaian kotor Anjani untuk dibawa pulang. Sembari menunggu jemputan, ia berbincang ringan dengan majikannya itu. Mbok Yati sangat bersyukur, Ndoro Anjani berangsur pulih.

"Jangan terlalu capek, ya, Mbok. Kalau nanti simbok ikutan sakit, semuanya repot," ujar Anjani sembari mengusap-usap punggung tangan ibu Raya.

Tak lama berselang tampak diambang pintu, sopir pribadi Anjani telah tiba. Sesuai perintah Rayi, pagi-pagi sekali Kusno kembali ke rumah sakit. Ia segera mengangkut barang-barang yang sudah disiapkan Mbok Yati. Keduanya pun berpamitan dan berlalu meninggalkan kamar VIP. Mbok Yati berjanji, setelah tugasnya selesai akan segera ke rumah sakit dan membawakan keperluan majikannya.

"Hati-hati, Pak Kusno. Kamu juga, Mbok!" tukas Anjani.

Senyum Rayi merekah bagai hari mendung berubah cerah. Ia bersyukur Anjani masih diberikan panjang umur dan bisa menemani hari-harinya. Baginya selain cinta pertama wanita itu juga tiket menuju syurga. Tak seharusnya ia berlaku buruk dan mengabaikan. Diraihnya tangan yang telah menggendong dan membesarkan itu, lalu meletakkan di atas kepalanya. 

"Maafin Rayi, Bu e. Gara-gara Rayi, Bu e harus nginep di sini." Rayi mendekatkan wajahnya. Penyesalan jelas terlihat di sana.

Ndoro Anjani terharu, direngkuhnya putra semata wayangnya. Ada rasa sesal di dalam dada. Karena kesibukan selama bertahun-tahun ia telah mengabaikan putra tercinta. Ia harta satu-satunya yang paling berharga.

"Nggak, Le. Kamu nggak salah. Bu e cuma kecapean. Besok juga udah boleh pulang." Anjani membelai lembut rambut ikal Rayi. 

"Bu e jangan koma lagi, jangan pingsan lagi, ya. Bu e udah buat Rayi takut setengah mati. Rayi cuma punya Bu e." Rayi mengeratkan pelukannya.

Sedang asyik bercengkrama, seorang dokter dan perawat tampak memasuki ruangan. Mereka meminta maaf telah mengganggu kebersamaan ibu dan anak itu. Sama halnya Rayi, mereka pun tersenyum semringah. Mereka sangat bersyukur Anjani bisa melewati masa kritis. Keinginan sembuhnya sangat kuat. Mereka lalu meminta izin memeriksa kondisi Anjani.

Dengan telaten sang perawat memeriksa kondisi Anjani. Mulai dari tensi darah, gula, dan detak jantung. Kemudian meminta Anjani membuka mulut dan memeriksa mata.

Rayi dan Anjani saling pandang, keduanya terlihat penasaran. Di sudut kamar, sang dokter perlahan membaca hasil laporan. Ia mengamati lembar demi lembar riwayat kesehatan pasiennya.

"Mas Rayi, dari hasil pemeriksaan barusan dapat saya simpulkan bahwa kondisi Bu Anjani sudah kembali normal. Nggak ada yang perlu dikhawatirkan. Berita baiknya, Alhamdulillah siang ini sudah boleh pulang." 

Mendengar hal itu, Rayi segera mencium takzim tangan ibunya. Ia sangat bersyukur semua baik-baik saja. Ia pun berulang kali berucap terima kasih pada dokter yang telah merawat Anjani dengan sepenuh hati.

Setelah menuliskan resep dan memberi sedikit nasihat, dokter dan perawat berpamitan. Tak lupa ia meminta Rayi segera menyelesaikan administrasi perpulangan Anjani.

"Alhamdulillah, hari ini Bu e sudah boleh pulang. Saya siap-siap dulu, ya. Supaya jangan ada yang tertinggal." Rayi mengemasi barang-barang bawaannya. Dengan telaten satu per satu dimasukkan ke tas. 

Rayi betul-betul memperhatikan pesan dokter bahwa ibunya tidak boleh terlalu sedih dan juga terlalu gembira. Karena hal itu bisa mempengaruhi kinerja jantungnya. Dokter juga berpesan pada Rayi, untuk selalu menjaga dan membuat Anjani  bahagia. Mengajak berbincang terapi paling ampuh mengembalikan suasana hatinya.

Sepeninggal dokter, Rayi segera menghubungi Kusno bahwa Anjani sudah diperbolehkan pulang. Ia meminta supaya lelaki itu segera kembali ke rumah sakit untuk menjemputnya. Tuan muda itu juga berpesan supaya mbok Yati membersihkan kamar Anjani.

Di kediaman Anjani, mbok Yati sudah bersiap menyambut kedatangan sang majikan. Wanita itu memasak aneka makanan lezat dan mengganti semua bunga di vas. Ia tahu nyonya rumah sangat menyukai aroma bunga yang terkena tetesan embun pagi. 

Di saat mbok Yati sedang sibuk mempersiapkan semua, terdengar suara mobil memasuki pekarangan. Dengan tergopoh wanita itu segera berlari menghampiri asal suara. Langkahnya perlahan terhenti saat menyadari ternyata bukan mobil ndoro putri. Sesaat kemudian muncul seorang gadis cantik bersama pria gagah berusia paruh baya. Mereka berjalan menghampirinya.

"Assalamualaikum!" ucap lelaki itu lantang. Berwajah garang dan agak mendongak saat menyapa. Ia terlihat bukan seperti orang biasa. Lelaki itu berpenampilan ningrat, berperawakan tinggi dan berkumis agak lebat.

"Wa'alaikum salam. Ngapunten, ndoro ini siapa, ya? Dan ada keperluan apa?" tanya mbok Yati polos. Ia belum pernah bertemu dengan tamu dihadapannya

"Saya, juragan Suryo. Suryo Direjo partner bisnis ndoro Anjani. Apa Ndoro Anjani ada?" tanya Suryo dengan berkacak pinggang.

"Nganu, Gan. Ndoro Anjani ada di rumah sakit. Beliau dirawat." jawab mbok Yati tergagap.

Belum selesai mbok Yati menjelaskan soal sakit majikannya, tak berapa lama yang ditunggu tiba. Mobil Rayi dengan cepat memasuki garasi. Tanpa diperintah Pak Kusno segera turun dan membukakan pintu. Ia sangat senang ndoro Anjani pulih kembali. Dengan anggun perlahan Ndoro Anjani turun dan mengucapkan terima kasih.

"La itu, ndoro putri rawuh." Mbok Yati menunjuk ke luar. Wajahnya bingar, melihat nyonya besar sudah berada di rumah.

"Assalamualaikum, semua." sapa Ndoro Anjani. Kecantikan alaminya tetap terpancar walau tubuh masih belum sehat benar.

"Kang Suryo, kapan dateng? Maaf sekali penyambutannya seperti ini. Saya baru pulang dari rumah sakit, mohon dimaklumi." Ndoro putri berbasa-basi. Ia mempersilakan tamunya masuk.

"Mboten nopo-nopo, Mbak Yu. Saya yang minta maaf, gak tahu kalau Mbak Yu di rawat." jawab Suryo. Ia dan putrinya mengikuti langkah kaki Anjani. 

"Pak Kusno, tolong tasnya bawa ke dalam aja." pinta Anjani pada pak Kusno yang sedari tadi masih mematung di belakangnya.

"Bu e ,saya ke dalam dulu, ya. Mau istirahat." Rayi izin hendak meninggalkan mereka. Perasaannya tak enak. Ia merasa ada sesuatu yang tidak enak yang berhubungan dengan kedatangan tamunya.

"Duduk sini aja, Le.Temani Bu e!" Ndoro menahan tangan sang putra. Rayi tak berdaya, ia menurut saja perkataan Anjani. Dihirupnya napas dalam-dalam berusaha menguasai diri.

"Le, ini Hanum, putri Kang Mas Suryo. Dia itu lulusan universitas di Jakarta. Mereka ke sini karena permintaan Bu e. Ajak Hanum jalan-jalan keluar, ya," pinta Anjani. Rayi tak menanggapi. Ia terdiam tampak tak bersemangat.

"Kok malah ngelamun, sana!" sentakan wanita itu mengejutkan Rayi.

"Jangan sekarang, Bu e. Saya sangat lelah, ingin istirahat." Rayi mencari alasan.m mencoba menolak permintaan ibunda.

Anjani menatap tajam putranya. Rayi tak berkutik, perlahan pria itu bangkit dan berjalan seperti keinginan ibunya. Tanpa menunggu Hanum pun segera berlari kecil mengikutinya.

Hanum sosok yang ceria. Selain cantik, ia juga mudah bergaul. Walau baru sekali berjumpa, ia dengan mudah menyesuaikan diri dengan Rayi. Tanpa berbasa-basi ia bercerita segala hal pada pria itu. Masa kecil, keluarga, pengalamannya di Jakarta, dan juga kuliahnya. Rayi masih terdiam, pikirannya melayang. Sama sekali tak menanggapi apapun yang diucapkan gadis itu.

"Mas Rayi dengerin saya gak sih!" suara Hanum meninggi.

Mendengar hal itu Rayi terkejut, pekikkan Hanum membuyarkan lamunannya. Dalam hati penuh tanda tanya, apakah seperti itu calon istri yang dipilihkan ibunya. Rayi tampak menggeleng pelan kemudian berlalu menuju rumah. Melihat hal itu, Hanum sangat kesal. Ia merasa dihina dengan perlakuan Rayi yang meninggalkannya sendiri di taman.

"Mas Rayi, tunggu! Masih ada satu hal yang ingin saya sampaikan."

teriakan Hanum tak dihiraukan. Tanpa menoleh Rayi semakin mempercepat langkahnya.

Matahari kukuh di singgasana. Alunan tilawah sayup terdengar menentramkan jiwa. Di ruang tamu yang sangat luas dan nyaman Hanum duduk gelisah. Ia tampak masih sangat kesal dengan sikap yang diterimanya. Bak anak kecil ia tak henti merengek meminta pulang.

Suryo sangat malu dengan kelakuan putrinya. Ia seketika memohon maaf dan mengajak Hanum pamit. Begitu pun juga dengan Anjani. Ia meminta maaf, atas sikap putranya. Keduanya sepakat dengan rencana awal bahwa akhir bulan sebelum bulan Ramadan hajat besar akan digelar. Anjani dan Suryo terlihat sangat bahagia, putra-putri kesayangan akan segera menyempurnakan agamanya.

***

Tenda biru sudah terpasang, janur pun sudah melambai-lambai di ujung jalan. Persiapan besar-besaran pun telah dilakukan karena akan ada banyak tamu agung yang datang. Atas perintah Anjani para pekerja jauh-jauh hari sudah diliburkan, mereka diminta supaya membantu persiapan hajatan.

Hiruk pikuk kediaman Anjani sudah sangat terasa. Para sesepuh, sanak kerabat, dan handai tolan satu per satu mulai berdatangan. Rayi merasa sangat sesak. Ia lalu menyendiri, duduk di taman belakang. Pikirnya melayang. Rasa resah, gelisah, dan juga gundah menghantui jiwa dan raga. Mbok Yati yang melihat tuan mudanya sendiri segera menghampiri.

"Ada apa toh, Den? Kok sendirian di sini. Itu saudara-saudara pada ngumpul nanyain Den Rayi." Mbok Yati menjatuhkan tubuh di sisi tuan muda. Ia merasa ada sesuatu yang mengganjal pikiran tuannya.

"Nggak, Mbok. Lagi pingin sendiri aja." jawab Rayi datar. Ia masih memandang jauh ke depan. Ia hanya diam saat mbok Yati duduk di sampingnya.

"Den Rayi gak percaya Simbok? Kalau ada masalah cerita aja. Saya siap mendengarkan."

Tanpa kata tiba-tiba Rayi merangkul Mbok Yati. Ia meluapkan segala rasa pada wanita yang sudah dianggap seperti ibu kandungnya. Perlahan bahu kekar itu berguncang dan sesekali terdengar sesenggukan.

"Jangan begini toh, Den. Lepasin simbok. Kalau ada yang lihat nanti Ndoro bisa murka." Mbok Yati mencoba melepas tangan Rayi. Akan tetapi pria itu semakin menguatkan tangannya. Akhirnya, Mbok Yati pasrah, ia membiarkan tuan muda berurai air mata di bahunya.

"Jujur sama simbok. Den Rayi ini kenapa? Gak biasanya seperti ini. Simbok jadi takut," ucap mbok Yati. Ia terus mencoba mengetahui permasalahan yang dihadapi tuan muda. 

"Mbok, aku tidak mengharapkan pernikahan ini," jawab Rayi dengan terbata. Ia perlahan mengungkapkan isi hatinya.

"Astaghfirullah, jangan bilang begitu. Orak ilok, pamali. Acaranya itu besok, Den. Jangan aneh-aneh." Mbok Yati menasehati. Ia merengkuh bahu tuan muda, membenarkan posisinya.

"Kalau den Rayi gak suka, kenapa baru bilang sekarang. Aden coba keluar sekarang, sepanjang jalan banyak karangan bunga. Semua mendoakan Den Rayi bahagia." 

"Terus alasannya apa kalau Aden tidak suka? karena belum kenal? Aden harus lebih bersabar. Beri kesempatan Den Hanum melayani Den Rayi, dengan begitu cinta tumbuh sendiri."

"Den Rayi pernah dengar, 'kan? Witing tresno jalaran soko kulino, itu. Jaga perasaan Ndoro Anjani, Den. Beliau sangat bahagia dengan pernikahan ini. Jangan pernah melakukan hal-hal yang nantinya Den Rayi sesali." Mbok Yati mengelus-elus bahu Rayi.

"Saya masuk dulu, Den. Tolong dipikir-pikir lagi." Mbok Yati berlalu.

Hanya beberapa langkah kemudian kembali terhenti saat tuan muda itu mengutarakan isi hati bahwa ia sangat mencintai Raya, putrinya.

"Mbok, aku mencintai Raya." Rayi melangkah menghampiri mbok Yati. "Sejak kapan rasa cinta itu tumbuh, aku gak tahu. Tapi saat dia gak ada, aku merasa sangat kehilangan." Rayi berdiri tegak di hadapan pelayan yang tak lain ibu dari gadis yang dicintainya.

"Jangan, Den. Dibanding Hanum, Raya nggak ada sekukunya. Jangan buat kami lebih terhina." Mbok Yati bergegas masuk ke rumah, meninggalkan Rayi sendiri dalam kebimbangan.

Azan Zuhur berkumandang, Rayi pun memasuki rumah dengan langkah gontai. Dalam diam, ia mencoba mencerna kata-kata ibu Raya. Kalau bukan untuk dirinya, Setidaknya melakukan untuk ibunya.

Semua orang berbahagia menyambut kedatangan Rayi. Mereka segera memberi tempat duduk untuk calon pengantin. Bersama saudara-saudaranya, Rayi membantu mereka menghias barang-barang hantaran.

Bersambung ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status