Share

Masa Penantian

#Part_05

Aisyah mempersilakan Raya duduk. Lalu, ia menuangkan segelas air dan memberikan pada gadis itu. Adik Ustaz Soleh yang dipercaya sebagai keamanan asrama itu tersenyum tipis melihat tangan Raya gemetar saat menerima gelas. Raya terlihat ketakutan.

Dalam ruangan dengan penerangan seadanya, kecantikan Raya masih jelas terpancar. Dipandangi dalam-dalam gadis yang baru beberapa jam masuk ke asrama itu dengan tatapan menyelidik. Tanya jawab ringan pun diajukan, Aisyah ingin mengenal pribadi Raya lebih dalam.

Gadis yang belum genap berusia 16 tahun itu terkejut tatkala Aisyah menanyakan hubungannya dengan tuan muda Rayi, sampai-sampai pemuda tampan itu mencantumkan namanya sebagai wali yang boleh mengunjunginya. Masih dalam kebingungan Raya berterus terang. "Saya anak abdi ndalem di rumah Den Rayi, Ustazah. Ndoro Anjani majikan simbok saya."

Mendengar kejujuran Raya, keadaan berbalik. Aisyah tampak terpaku, tak percaya. Namun begitu, adik Soleh itu berusaha tenang. Ia semakin penasaran hal apa yang membuat tuan muda begitu menyukainya.

Aisyah sangat mengenal Rayi. Selain sahabat kental sang kakak, tuan muda itu santri yang aktif, pintar, berbakat, dan juga rendah hati. Tak ada santri yang tak mengenalnya. Karena kedisiplinan dan tanggung jawab yang dimiliki, ia dipercaya sebagai ketua pondok selama dua periode. Kini, karena Rayi pula ia mendapat tugas dari sang kakak untuk mengawasi gadis cantik itu.

"Aku kira cukup perkenalan kita. Hal ini jangan sampai diketahui temanmu yang lain. Apalagi kamu santri baru." Aisyah mengulurkan tangan. Raya seketika menyambut dan bergegas meninggalkan ruangan itu dengan penuh tanda tanya dalam benaknya.

🌺🌺🌺🌺 

Di tempat lain, Rayi baru saja selesai membersihkan diri dan hendak merebahkan tubuhnya yang atletis. Perjalanan panjang membuatnya merasa sangat lelah. Namun, berapa saat berlalu ia masih saja gelisah, serba salah tidak tahu harus berbuat apa. Baginya, rumah besar itu kini terasa sangat sempit tanpa kehadiran sang pujaan.

Ranjang dan bantal empuk menjadi saksi betapa ia tak mampu menghilangkan bayangan gadis itu. Mata yang tajam, nanar, memandang langit-langit kamar. Raya selalu hadir membuatnya sulit terpejam. Hingga menjelang pagi pun Rayi hanya bisa berguling ke sisi kanan dan kiri. Ia kemudian memutuskan menuju kamar mandi hendak menghambakan diri. Berharap beban kerinduannya berkurang setelah mengadukan pada zat Maha Pengasih.

Rayi larut dalam sujudnya. Segala doa dan harapan dipanjatkan untuk orang-orang yang ia sayangi dan kasihi. Tanpa terasa air matanya berlinang, saat menyebutkan nama Raya. Bayangan jurang terjal nan dalam di antara mereka membuat tuan muda itu tergugu. Ia seketika memohon, dalam hidup ia hanya ingin Raya yang menjadi jodohnya. Setelah serangkaian ibadah dilakukan, Rayi kelelahan dan akhirnya tertidur pulas.

Tak terasa sang fajar menjelang. Kicauan burung samar-samar terdengar, kian lama semakin riuh bersahutan. Cahaya terang perlahan menyinari seluruh alam membawa sejuta harapan. Di rumah besar tampak Mbok Yati sibuk membuat sarapan. Aroma wangi menguar, menggugah selera, memenuhi seluruh ruangan.

Rayi mengerjap. Tubuhnya masih terasa sangat lelah. Namun, ia harus segera bangkit dan melaksanakan salat. Air yang dingin perlahan membasahi kulit tuan muda. Begitu segar terasa menenangkan. Rayi sangat menikmati setiap tetes yang tertumpah.

Setelah beribadah tuan muda segera menemui Anjani. Sejak pulang dari pesantren ia belum melihat sang ibu. Rayi pun telah berganti pakaian, mengenakan kaos perpaduan hitam dan hijau tua lengan panjang dan training berwarna senada membuatnya tampak lebih segar.

Putra Anjani itu mengurungkan niatnya saat melihat kelibat Mbok Yati. Ia tak sabar ingin menyampaikan kabar gembira bahwa putrinya tercinta diterima. Menyadari keberadaan tuan muda, Mbok Yati segera menghampiri. Sama halnya Rayi, ia pun ingin segera mengetahui kabar tentang Raya.

"Den Rayi sampai jam berapa? Simbok nggak tahu." Mbok Yati menyeduh segelas teh hangat untuk tuan muda. "Raya gimana, Den? Apa dia ngerepotin?"

Rayi menyesap teh aroma melati buatan Mbok Yati. Untuk sejenak tuan muda terdiam, mengingat kembali semua kenangan indah bersama Raya. "Nggak, Mbok. Raya mandiri, nggak ngerepoti siapa-siapa. Hari ini juga dia udah mulai sekolah."

"Alhamdulillah. Terima kasih banyak, Den. Simbok nggak tahu lagi bagaimana balas kebaikan Ndoro Anjani dan Den Rayi." Mbok Yati seketika menitikkan air mata. Ia menangis bahagia.

"Kami nggak berbuat apa-apa, Mbok. Semua berkat kerja keras Raya sendiri." Rayi menggemgam erat tangan wanita yang telah mengasuhnya. "Nah, tugas simbok sekarang mendoakan supaya Raya betah dan bisa mengikuti pelajaran di sana."

Mbok Yati mengangguk. Ia merasa beruntung mendapat majikan yang sangat baik. Tidak hanya memperhatikan kebutuhannya saja, tetapi juga masa depan buah hatinya. Ucapan terima kasih pun berulang kali ia lontarkan. Segelas teh telah tandas, Rayi pun beranjak hendak menemui Anjani. "Mbok, saya ke kamar Bu e dulu, ya. Dari semalam belum ketemu."

Di dalam kamar, Anjani duduk santai di ranjang. Sesekali tampak tersenyum membuka lembar demi lembar album foto masa kecil Rayi. Tak banyak perubahan yang terjadi pada sang putra. Hanya postur tubuh dan kumis tipis yang membuatnya terlihat lebih gagah. 

"Hayo, Bu e lagi ngapain?" tanya Rayi mengejutkan Anjani. "Asyik banget kayaknya."

Kemudian ia duduk mensejajarkan tubuh. Rayi semringah melihat memori masa kecil dulu. Ia begitu polos dan juga lucu. Anjani menceritakan setiap kisah di balik pengambilan foto itu. Dari sekian banyak hanya satu gambar yang menarik perhatiannya. Tampak sosok ayah tercinta, ibu, Rayi, dan juga Mbok Yati yang menggendong Raya.

"Bu e, foto keluarga cuma ini aja?" tanya Rayi basa-basi. Putra Anjani itu benar-benar mabuk asmara. Sedikitpun tak bisa lepas dari bayangan Raya. Dengan memandangi foto sang pujaan ia berharap rasa rindunya sedikit terobati.

"Dulu sih, banyak. Bu e lupa naronya di mana? Paling yang di pabrik." jawab Anjani datar. Ia tak memperhatikan perubahan sikap Rayi setelah mendengar penjelasan darinya. "Jadi kapan, Le, kamu ke pabrik?"

Dengan berbisik Rayi menjawab pertanyaan Anjani, "Besok."

Sesuai janji pagi-pagi sekali Rayi bersiap. Setelah sarapan, ia bergegas menemui ibunya hendak berpamitan. Hari pertama berkerja ia ingin mendapat restu dan doa. Tak lupa ia juga menyalami takzim Mbok Yati pelayannya yang setia.

Dengan mengendarai sedan putih, Rayi meluncur menuju tempat kerja. Di sebuah pabrik tua yang menangani beberapa bidang usaha. Jalanan tampak masih lengang saat dirinya tiba di pelataran gedung. Ia pun bergegas turun untuk melihat-lihat area sekitar pabrik.

"Assalamualaikum, Den," sapa salah seorang pekerja. Suaranya lirih tak berani menatap Rayi. "Apa betul Raden ini putra Ndoro Anjani?"

Rayi tersenyum manis, wajahnya yang bersih terlihat semakin berkarisma. Ia lalu meminta pekerja itu bersikap biasa padanya. 

"Iya. Saya Rayi, Pak. Putra Bu e Anjani." Rayi memperkenalkan diri. Ia mengulurkan tangan menghormati pria paruh baya di depannya.

"Saya Alim, Den. Mandor di sini." Pria itu pun mengenalkan diri.

Untuk sesaat mereka terlibat perbincangan hangat sembari berkeliling melihat-lihat isi dan suasana pabrik. Beriringan menyusuri lorong gelap sisi lain gedung tua. Tampak berjajar mesin-mesin produksi yang tak terawat. Sesekali pegawai itu menjelaskan cara kerjanya. Rayi mendengarkan dengan seksama, ia tak segan bertanya hal yang belum diketahuinya.

Rayi melanjutkan penelusuran menaiki tangga menuju lantai dua. Semua tampak biasa tidak ada yang menarik perhatian. Ia pun masuk ke ruang utama, kantor di mana biasa Anjani menghabiskan waktu dan pemikirannya. Lumayan luas dan bersih tertata. Rayi melihat setiap sudut ruangan, tergantung berberapa foto lama. Foto para pendahulunya. Kakek buyut, buyut, kakek dan ibunya. 

Dahi Rayi berkerut saat melihat foto keluarga. Ia ingat betul foto itu diambil sebelum kepergian ayahanda tercinta. Walau hitam-putih, wajah orang yang berfoto terlihat jelas berdiri di sana. Ada yang menarik perhatiannya, seorang gadis kecil duduk di kursi persis di sampingnya. Ia terlihat lucu dengan rambut dikuncir dua.

Rayi tersenyum mengingat memori lama. Mengajak Raya berfoto susahnya luar biasa. Ada saja kenakalan gadis itu. Ia dan keluarga harus mengulang beberapa kali karena dirinya. Raya sengaja menutup kamera dengan tangan kecilnya, atau tiba-tiba berlari saat melihat kilauan kamera. 

Rayi mengelus wajah Raya dengan jari telunjuk. Ada rasa ngilu di dalam dada, mengingat perpisahan beberapa waktu lalu. Gadis itu pergi setelah mencuri hatinya. Kini, ia harus bersabar menantinya kembali pulang. Lamunan Rayi buyar, saat mandor pabrik datang. 

Di sofa kulit berwarna hitam, Rayi menjatuhkan tubuhnya. Ia meminta mandor mengumpulkan para pekerja. Ada beberapa hal penting yang ingin disampaikan. Segera mandor itu keluar ruangan. Dia dan teman-temannya bersiap menunggu Rayi di pelataran luas beratap pohon rindang.

Dalam sekejap Rayi sudah berkumpul dengan para pekerja. Ia menaiki podium dan menyapa semua. Senyum selalu tersungging di sudut bibirnya. Dengan kemeja biru muda dan celana panjang hitam, ia terlihat sangat berwibawa. Para pekerja terpukau dengan sambutan pertama tuan muda. Mereka saling berbisik, tampak beberapa dari mereka manggut-manggut mencerna ucapannya.

"Bapak-bapak sudah paham, ya? Besok datang seperti biasa, kita akan bersih-bersih pabrik. Semua siap?!" tanya Rayi mengulang ucapannya.

"Siap!" teriak para pekerja serempak.

"Alhamdulillah, kalau sudah mengerti. Sekarang kita tutup pertemuan ini, silakan kembali ke tempat kerjanya masing-masing." Rayi turun dari podium dan menyalami seluruh pekerja. 

Untuk mewujudkan rencana kerjanya itu, Rayi meminta para mandor dari beberapa divisi untuk masuk ke ruang rapat. Mereka berjumlah lima orang dengan tugas yang berbeda. Ia sangat bersyukur, mereka dengan senang hati menuntunnya. Cita-cita Rayi sangat mulia, ia akan ada mengadakan perubahan besar demi kemajuan bisnis keluarganya.

Bersambung ...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status