Share

Gelora Cinta

#Part_04

 

Alhamdulillah, ya, Allah!" rasa syukur terucap dari bibir Raya. Ia bersorak gembira, mendengar namanya disebutkan. Kini Ia akan belajar di pesantren Rayi bersama teman-teman yang berjumlah ratusan santri. Mereka pun bergegas menghambur ke luar menemui keluarganya.

 

"Den, saya diterima! Saya diterima!" sorak Raya bersemangat.

 

Raya segera berlari memeluk erat Rayi. Kemudian menyandarkan kepala di dada tuan muda. Tetes bulir bening mewarnai kelopak mata ungkapan rasa suka cita. Sungguh ia tak sadar apa yang telah dilakukannya. Gadis itu tenggelam dalam euphoria kebahagiaan.

 

Entah apa yang dipikirkan Rayi, ia membalas pelukan Raya. Tangan kekarnya melingkar erat. Membenamkan semakin dalam dan mencium lembut kepala gadis kecil itu yang telah memberinya kebahagiaan.

 

"Iya. Kamu memang pantas mendapatkannya." Suara Rayi bergetar, ia menahan bulir hangat di kelopak matanya. Untuk beberapa saat menikmati kehangatan. Gadis itu akan berpisah dengannya untuk waktu yang lama.

 

Raya perlahan merenggangkan pelukan. Menatap lekat tuan muda yang penuh pesona. "Den, antar Raya ke tempat daftar ulang, ya." 

 

Raya menggemgam erat tangan Rayi. Dia tidak mengetahui ada hati yang berbunga atas perlakuannya. Rayi tak menolak, saat tangan raya menelusup ke sela-sela jarinya. Begitu lentik dan halus. Ia seperti hilang kesadaran, mengikuti ke manapun Raya berjalan.

 

"Alhamdulillah, selesai." Raya mengangkat kedua tangannya.

 

"Den, terimakasih banyak sudah membantu saya. Raya janji akan belajar sungguh-sungguh supaya Den Rayi, Ndoro Anjani dan simbok bangga." Raya menatap tuan muda tanpa berkedip. Rasa haru menyeruak terasa amat sesak. Ia merasa hatinya tak rela berpisah dengan tuan muda.

 

"Saya harus masuk, Aden jaga diri, ya." Perlahan Raya berlalu meninggalkan Rayi yang diam terpaku.

 

Gadis itu perlahan masuk ke gerbang. Mata indahnya terus menatap tuan muda dari balik pagar besi. Ada rasa iba menggelayuti hatinya. Perlahan pagar itu pun ditutup, Rayi melambaikan tangan melepas kepergian Raya.

 

Rayi berjalan gontai meninggalkan asrama putri. Langkah kakinya lemah dan terasa sangat berat. Semua kenangan singkat bersama Raya berputar satu per satu bak layar slide yang berjalan. Walau baru saja berpisah, tuan muda teramat merindukan celoteh dan senyuman gadis polos itu. Tiba-tiba saja seseorang mendekapnya erat dari belakang. Tangan halus yang sangat ia kenal. Rayi pun segera berbalik.

 

"Raya ..."

 

Air mata Rayi luruh, ia tak bisa menahan gelora cinta dan juga menyembunyikan kesedihannya. Ia begitu rapuh.

 

"Aden, kenapa nangis?" tanya Raya polos. Ia mengusap air mata yang masih meniti di pipi tuannya. Ia juga merapikan baju Rayi membuatnya terlihat gagah.

 

"Nggak apa-apa. Kamu juga jaga diri, ya. Kalau ada yang nakal lawan, selagi kamu benar."' Rayi menasehati Raya dengan suara terbata. Ia mendekap Raya, kemudian menempelkan dagunya di kepala gadis itu.

 

"Assalamualaikum, Den." Raya melambaikan tangan dan bergegas masuk ke pesantren.

 

Rayi semakin tak kuasa menahan air matanya. Sekujur tubuh terasa lemah seakan tak bertulang. Raga itu rapuh melayang. Ia menggerutu mengapa harus berpisah di saat bunga cinta mulai merekah. Mengapa harus tergugu disaat rindu. Hidup memang panggung sandiwara, ceritanya penuh rekayasa dan drama. Alurnya berliku membuat pelakunya terpaku.

 

Rayi segera menemui teman-temannya. Ia hendak berpamitan karena akan kembali pada keluarga. Semua urusan dan keperluan di pesantrennya pun telah purna. 

 

Ustaz Soleh tahu sahabat baiknya sedang tidak baik-baik saja. Sejak berpisah dengan Rayi ia tampak gelisah dan murung.

 

"Yang sabar, Den. Raya akan baik-baik saja di sini. Ikhlaskan dia menuntut ilmu. Kelak, dia juga yang akan mendidik anak-anakmu." Ustaz Soleh menepuk-nepuk bahu Rayi.

 

"Mas Soleh ... " Rayi mengerutkan dahi. Wajah tampannya memerah menahan malu.

 

"Den Rayi ... den Rayi. Mana pernah kamu secengeng ini. Nangis-nangis ditinggal pergi. Kalau nggak cinta apa namanya. Jangankan aku, orang awam juga tahu. Tenang aja, kami akan menjaganya." Ustaz Soleh menggoda sahabatnya.

 

"Ish, Mas Soleh ini bisa aja. Makasih ya mas, aku titip Raya." Rayi menjabat kemudian memeluk erat sahabatnya. Gundah yang semula membuncah perlahan mereda. Ia semakin optimis dengan masa depan cintanya. 

 

Soleh melambaikan tangan melepas kepergian tuan muda. Di pesantren mereka selalu bersama. Ia bak pengawal pribadi selalu mendampingi Rayi kemanapun tuan muda itu pergi. Walau ia tak sepopuler sahabatnya, Soleh tetap diperhitungkan. Ia mumpuni dalam membaca kitab dan juga berpidato.

 

Di dalam angkutan umum, Rayi terpekur. Menatap keluar jendela membawa pulang sejuta asa. Ia berharap waktu cepat berlalu dan segera membawa kembali sang pujaan. Pujaan hati yang ayu nan rupawan. Rupa yang elok dan menggemaskan. Gemas karena tingkahnya yang lucu diam-diam mencuri perhatian. 

 

🌺🌺🌺🌺

 

Raya dan teman-teman barunya berkumpul di aula. Mereka akan mendapat pengarahan dan pembekalan dari para ustaz dan ustazah pengasuh pondok. Menjelang Magrib mereka pun bersiap jemaah. Melakukan aktivitas yang sudah terjadwal hingga pukul sepuluh malam. 

 

Satu per satu dari mereka dipanggil menuju kamar yang sudah ditentukan. Tampak masih banyak para santri hilir mudik masih kebingungan mencari kamar. Beruntung Raya berada di lantai satu dekat dengan musalla. Ia dan teman sekamarnya bergantian membersihkan diri dan bergegas beristirahat.

 

Angan Raya melayang mengingat semua kejadian tadi siang. Ia belum bisa melupakan kesedihan yang terpampang jelas di wajah tuan muda. Banyak pertanyaan bermain dibenaknya. Perlahan ia mencoba mereka ulang tiap adegan. Pelukan erat Rayi, tatapan yang dalam, dan tiba-tiba ia memegangi pucuk kepalanya.

 

"Ah, nggak mungkin. Pasti aku salah. Massa Den Rayi cium kepalaku. Aden 'kan emang tinggi." Raya menepuk jidatnya. Ia merasa bodoh. Setelah berdoa ia pun perlahan memejamkan mata.

 

Baru beberapa saat membaringkan tubuh, terdengar salam diiringi ketukan pintu dari luar. Terdengar semakin keras dan berulang-ulang. Walau berat, Rayi tetap turun dari ranjang. Ia penasaran siapa gerangan yang bertandang di tengah malam.

 

"Walaikum salam, siapa?" tanya Raya dari dalam kamar. Ia masih ragu untuk segera membukakan pintu.

 

 

"Aku Aisyah, adik ustaz Soleh." 

 

Setelah mendapat jawaban Raya bergegas membuka pintu. Mendadak jantungnya berdebar kencang. Ia teringat pesan tuannya bahwa setiap saat kamar akan disidak. Bila kedapatan membawa sesuatu yang tidak diperkenankan maka harus siap menerima hukuman.

 

"Iya ... Iya, Ustazah." Raya perlahan membuka pintu. Tampak sosok gadis beranjak dewasa dengan seragam serba hitam berdiri di ambang pintu. Raya tampak gugup, tak satupun dari temannya yang ikut terbangun.

 

"Kamu yang namanya Raya. Ayo ikut saya. Ada sesuatu yang ingi saya tanyakan!" pinta Aisyah tegas. Ia tak memberi kesempatan Raya membangunkan temannya sekamar. 

 

Raya pasrah entah apa yang diinginkan kakak seniornya itu. Gadis itu hanya bisa mengekor tanpa sepatah kata terucap. Ia tampak mengatur napas mempersiapkan diri dengan segala sesuatu yang akan terjadi.

 

 

 

 

Bersambung ...

 

 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
alanasyifa11
sejauh ini suka banget ama ceritanya! bakal lanjut baca setelah ini~ btw author gaada sosmed kah? aku pingin follow nih
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status