Share

Penyesalan Rayi

 

#Part_06

 

 

Hari-hari berjalan sangat cepat. Rayi dalam waktu singkat mampu menaikkan produksi dan juga menambah relasi. Pabrik tua yang dulu berdiri kukuh di pinggiran desa disulap menjadi pabrik raksasa. Semua mesin dan peralatan yang dulu teronggok tak berguna beralih fungsi menjadi mesin serbaguna.

 

Rayi sangat bersemangat. Kabar keberhasilan dan prestasi Raya memacunya menjadi lebih baik setiap saat. Ia ingin membuktikan bahwa dirinya layak untuk dibanggakan. Ia mampu bekerja tidak hanya mengandalkan warisan leluhur saja.

 

Selain itu berkat dukungan ibu tercinta, ia berani merogoh kocek dalam untuk mendatangkan beberapa insinyur teknik mesin. Dengan pengetahuan yang mereka miliki alat-alat itu kembali berfungsi dan menghasilkan uang berkali-kali lipat. Anjani bahagia dan bangga pada putra semata wayangnya.

 

"Le ... Alhamdulillah. Usaha kita maju pesat. Banyak perusahaan besar yang ingin menjadi partner kita," ucap Anjani memulai pembicaraan disela-sela sarapan. Putranya menanggapi dengan santai, ia asyik melahap makanan yang tersedia di meja.

 

"Syukur alhamdulillah, Bu e," jawab Rayi singkat. Ia ingin cepat-cepat meninggalkan meja. Berbincang lama-lama malah akan membuatnya sesak. Rayi paham betul arah pembicaraan sang ibunda.

 

"Belum juga setahun, kamu sudah seperti ini. Bu e bangga sama kamu, Le." Ndoro Anjani menepuk-nepuk lembut bahu putranya.

 

"Bu e juga gak bosan-bosan ingetin kamu. Umurmu sekarang sudah cukup. Sudah waktunya kamu menikah. Bu e sudah tua, jangan sampe keduluan dipanggil Yang Kuasa." Ndoro Anjani menatap lekat Rayi, ia berharap banyak padanya.

 

Bukan kali ini saja, Anjani membahas hal itu. Hampir setiap hari ibunya mengulang perkataan yang sama. Ia yakin Rayi mampu menjadi suami dan imam yang baik apalagi sejak mengetahui usaha yang dipimpinnya berkembang pesat. Ia kian bersemangat membujuk tuan muda untuk menikah. Wanita itu ingin putranya tidak sendiri lagi. Ia memiliki sandaran hati, tempat untuk berkeluh kesah dan memadu kasih sayang.

 

Rayi putra yang berbakti, walaupun tak menyukai hal itu ia tetap berlaku sopan. Ia hanya menjawab klise dengan meminta didoakan supaya segera bertemu jodoh yang tepat. Kemudian berlalu meninggalkan Anjani sendiri, lalu berangkat menuju pabrik atau tempat yang lain yang tenang.

 

Sama seperti harapan Anjani, Rayi pun ingin segera melepas masa lajang. Namun, hati dan jiwanya sudah terpaut lekat pada Raya. Gadis belia yang sederhana, tetapi penuh pesona. Dia hanya ingin bersama gadis itu dan siap untuk selalu menunggunya.

 

Pagi itu Rayi tak segera ke pabrik. Mendung gelap membuat suasana terasa sangat syahdu. Hujan rintik perlahan membasahi bumi, alunan melodi alam lembut menyentuh sanubari. Ditemani setumpuk kertas, Rayi duduk bersantai di teras. Aroma petrikor menguar kuat membawanya ke masa silam.

 

Saat itu Raya masih sangat kecil. Niatnya menghibur dengan mengajak Rayi bermain hujan-hujanan saat sedang berduka--setelah kepergian ayahanda--berakhir lara. Kasihan Raya, ia dihukum keluarga ayahnya. Raya kecil tidak boleh masuk rumah sampai hujan deras itu reda. 

 

"Huh ..." Rayi mengembuskan napas kasar. Dadanya terasa sakit mengingat kenangan pahit itu kembali. Ia merasa bodoh, tidak menolong Raya malah ikut menonton bersama saudara-saudara lainnya. Seketika Rayi memukuli kepalanya.

 

"Raya, semoga kau sudah melupakannya." Rayi bergumam. Lamunannya buyar melihat Mbok Yati tergopoh-gopoh mendatanginya. Wajah wanita itu tampak pucat penuh dengan kecemasan.

 

"Den Rayi! Ndoro, Den," teriak Mbok Yati terengah. Ia menunjuk-nunjuk ke dalam rumah.

 

"Tenang, Mbok, napas dulu. Cerita ada apa?" tanya Rayi. Ia memberi contoh untuk diikuti pelayannya.

 

"Den, Ndoro Anjani belum keluar kamar sejak habis sarapan. Saya takut ndoro kenapa-kenapa." Mbok Yati meremas tangannya. Hal yang selalu ditunjukkan saat wanita itu takut atau panik. 

 

Mendengar ucapan Mbok Yati, Rayi segera berlari ke kamar Anjani. Ia sangat takut terjadi sesuatu pada sang ibu. Kecemasan sangat terukir jelas di wajahnya.

 

Rayi  berusaha membuka pintu sembari terus berteriak memanggil Anjani. Namun, hanya senyap yang ia dapat, masih tak ada jawaban dari dalam kamar. "Bu e! Bu e! Buka pintunya! Bu e!" 

 

Rayi semakin khawatir dengan kondisi ibunya. Ia mencoba sekuat tenaga mendobrak pintu kamar. Pun Mbok Yati terlihat sangat panik, segala cara ia lakukan untuk membantu tuannya. Wanita paruh baya itu ikut berteriak--memanggil nama majikan--sembari menggedor-gedor pintu kamar.

 

Simbok Raya itu tak kehabisan akal, dengan sigap ia berlari menemui Pak Kusno untuk meminta bantuan. Tanpa banyak cakap, ia menarik tangan lelaki itu dan mengajaknya menuju kamar sang majikan. "Ayo cepet, Pak!"

 

Menyadari yang terjadi, Pak Kusno dan Rayi berusaha bersama-sama mendobrak pintu kamar. Setelah beberapa kali dorongan akhirnya kamar terbuka. Rayi terkejut mendapati Anjani sudah tergeletak di lantai. Wajahnya pucat dan kakinya terasa dingin. "Astaghfirullahal'adzim, Bu e!" 

 

Rayi seketika membopong tubuh ibunya. Diikuti Pak Kusno yang segera berlari membukakan pintu mobil. Tak kalah cepat, Mbok Yati juga telah membawa keperluan Anjani. Dalam sekejap mobil putih keluarga Rayi telah melaju kencang membelah jalan yang licin setelah beberapa waktu lalu diguyur hujan.

 

Di dalam mobil Rayi terus mengosok-gosok tangan Anjani yang mulai terasa dingin. Perlahan menepuk-nepuk wajah sang ibu mencoba menyadarkan. Ia terus menggoyang-goyangkan tubuh Anjani yang lemah. Sayangnya wanita itu tetap saja tak merespon. Tuan muda semakin khawatir, ia meminta Pak Kusno mengendarai lebih cepat. "Pak, lebih cepat lagi, ya."

 

Setelah hampir setengah jam menempuh perjalanan, akhirnya mereka tiba di pelataran rumah sakit. Area yang padat membuat mobil putih itu tidak dapat bergerak. Rayi kemudian meminta Pak Kusno membukakan pintu. Seketika itu juga membopong tubuh Anjani yang lemah menuju ruang IGD.

 

Rayi bersyukur perawat bertindak cepat. Mereka membawakan brankar dan segera melakukan pemeriksaan. Namun, melihat kondisi Anjani perawat segera melarikannya ke ICU. Wanita itu membutuhkan penanganan lebih intensif.

 

 

Mbok Yati dan Pak Kusno saling pandang. Mereka tidak tahu harus berbuat apa untuk menghibur tuan muda. Melihat begitu banyak alat terpasang di tubuh sang majikan kedua pelayan setia itu sangat sedih. Mereka hanya bisa mendoakan kesembuhan Anjani.

 

Rayi terpekur, duduk termenung di bawah jendela. Tak memedulikan pandangan orang-orang di sekitarnya. Ia sedih dan menyesal telah mengabaikan wanita terpenting dalam hidupnya. Melihat hal itu Mbok Yati memberi dukungan. Sesekali lembut mengusap bahu tuan muda. Dengan santun memberi nasihat supaya tuannya tak menyerah dan mudah putus asa.

 

Kegelisahan Rayi semakin membuncah kala dokter yang menangani belum bisa memberikan jawaban. Ia dan timnya harus melakukan serangkaian tes untuk memastikan keadaan Anjani. Kini, ketiganya hanya bisa pasrah.

 

Rayi, Mbok Yati, dan Pak Kusno terlihat sudah sangat kelelahan. Mereka sudah seharian menunggu, tetapi belum juga ada tanda-tanda Anjani akan segera sadar. Rayi hanya bisa mondar-mandir di koridor karena dokter tak mengizinkan masuk sampai sang ibu siuman. Ketiganya hanya dapat memandangi Anjani dari kaca jendela yang buram.

 

Dalam hening tak terasa air mata meniti di pipi tuan muda. Rasa sesak, sesal, dan sedih menggelayuti jiwa. Rasa bersalah terus menghantui. Ucapan Anjani saat sarapan kembali terngiang. Bayangan kehilangan wanita yang paling dicintai itu pun bermain di pelupuk mata. Rayi semakin memeluk lutut erat tak kuasa menahan bulir bening yang semakin tak tertahan.

 

Sampai menjelang Maghrib masih belum ada kabar dari rumah sakit. Tampak Dokter dan perawat bergantian memasuki ruangan untuk memastikan perkembangan Anjani. Dari kejauhan Pak Kusno berlari-lari membawakan makanan dan minuman. Sopir pribadi itu kasihan melihat kondisi Rayi, sejak datang belum sempat makan.

 

"Gimana keadaan Ndoro, Den? Apa kata dokter tadi?" tanya Pas Kusno sembari menawarkan sebungkus nasi.

 

Alih-alih menerima, Rayi meminta sopirnya itu supaya pulang. Ia tak ingin semakin merepotkan. Akan tetapi, lelaki tua itu kukuh menolak. Yang dilakukannya hanyalah hal kecil, tak sebanding dengan kebaikan yang sudah dilakukan keluarga Rayi. Keluarga besarnya sudah banyak berhutang budi pada Anjani. Kusno bersikeras akan tetap menemani hingga sang majikan sadar.

 

Begitu juga dengan Mbok Yati. Ia terlihat baik-baik saja di depan Rayi walaupun lelah teramat sangat melanda. Ia pun menanyakan hal serupa pada tuannya. "Bagaimana, Den? Ndoro Anjani baik-baik saja, 'kan? 

 

"Belum tahu, Mbok. Masih ditangani dokter. Minta doanya, ya. Semoga Bu e baik-baik saja." pinta Rayi.

 

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status