"Halo, Bu. Maaf saya ingin mengirim kasur dan perlengkapan lainnya. Bisakah Ibu ke luar dari rumah?" tanya laki-laki yang tak kukenal namanya itu.Aku mengintip ke jendela lagi, kini ada mobil terbuka yang datang juga. Mobil itu membawa kasur, lemari, motor dan lain sebagainya."Halo, ini siapa?" tanyaku menyelidik, tapi telepon pun terputus.Aku tatap wajah Mas Hendra yang penuh serangkaian pertanyaan kepadaku."Siapa, Dek? Apa apa?" tanyanya."Kita disuruh ke luar, Mas," sahutku. Kemudian, Mas Hendra dan aku ke luar dari rumah.Para pengangkut barang pun turun, dan terlihat orang yang berada di dalam mobil pun turun."Perkenalkan saya temannya Yudi," ucapnya sambil menyodorkan tangan. Teman Yudi yang kemarin ngajak Mas Hendra kerja?"Ada apa, ya, Pak?" tanya Mas Hendra."Ini kami ditugaskan oleh pemilik PT tempat Pak Hendra akan kerja, untuk mengirimkan segala kebutuhan Pak Hendra," tuturnya menjelaskan."Loh, saya belum melamar kerja di mana pun!" jelas Mas Hendra. Aku hanya terdia
"Sebelumnya, aku minta maaf, Hen," ucap Yudi. Dadaku berdegup kencang, khawatir ia memberikan informasi ini pada Mas Hendra."Maaf kenapa?" tanya Mas Hendra."Saat kamu bertengkar dengan ibumu, aku ada di sana. Kemudian, kuikuti langkahmu, hingga ke sini," tutur Yudi membuatku menghela napas.Hari ini ia menjalankan tugasnya dengan baik, untuk selanjutnya aku yang menjalankan misi ini. Meyakinkan Mas Hendra bahwa aku menerima dia apa adanya."Ya sudah, terima kasih banyak, Yud. Besok kita ketemu di tempat kerja yang baru," ujar Mas Hendra.Kini papa memiliki perusahaan yang terletak di kota, bukan pedesaan seperti rumah ibu mertuaku ini. Namun, bertempat lokasi yang sama yaitu Jawa tengah. Bukan di kota tempat aku dilahirkan, yaitu kota Jakarta. Ibu mertuaku selalu menyebut aku ini anak kota yang miskin, padahal di Jakarta ada perusahaan yang papa urus. Justru, ia yang tak paham bibit bobot keluargaku. Namun, karena ia tahunya aku ini miskin, sikapnya pun berbeda dengan mertua pada u
POV Irma"Irma, hari ini di hadapan Linda, Gery akan umumkan bahwa Hendra yang menjabat sebagai direktur utama.""Mas Hendra tidak memakai jas, Pah. Hanya kemeja biasa," sahutku.Setelah Mas Hendra berangkat kerja, papa menghubungiku, ternyata hari ini Mas Hendra akan dijadikan direktur utama, aku yakin ia pasti malu jika hanya memakai kemeja saja. Pastinya di sana semua memakai jas dan pakaian rapi. "Kamu kan wanita cerdas, pikirkanlah bagaimana caranya agar jas itu sampai ke kantor," candanya."Baiklah, Pah. Aku akan kirim melalui kurir, Papa sudah berada di Jakarta lagi?" tanyaku."Iya, semalam Papa pulang, Mama minta dijemput, besok kami ke sana lagi, dan bersiaplah, semua akan Papa bongkar," tutur papa membuatku terkejut. Besok? Secepat itu aku akan meninggalkan kontrakan rumah ini?"Pah, terlalu cepat, nanti Mas Hendra marah," rayuku."Justru jika semakin lama menyimpan kebohongan, semakin kesal pula yang merasa dibohongi," terang papa. Aku terdiam, mencerna sedikit ucapan papa
POV HendraAku seperti mengenal suara yang berada di telepon. Suara itu mengingatkanku pada mertua. Mungkin aku rindu sudah lama tak menjumpainya. Jangankan berjumpa, menghubunginya melalui sambungan telepon pun jarang kulakukan, itu dikarenakan aku merasa belum bisa membahagiakan putrinya."Iya, Pak. Saya Hendra Gunawan," celetukku setelah menepis bahwa pria yang berada di telepon bukanlah mertuaku."Penuhilah permintaanku, jadilah direktur utama di PT. Ombang Ambing Makmur," terangnya membuatku terperangah. Ternyata perintah itu benar adanya. Beliau mempercayakan aku sebagai pemimpin perusahaan ini."Tapi, Pak ...." Telepon pun terputus. Belum sempat bicara apapun sudah diputus olehnya. Aku pun menyerahkan kembali ponsel Pak Gery padanya.Aku coba maju dan memberikan sepatah dua kata di hadapan para karyawan dan sebagian vendor yang datang.Setelah usai bicara, lalu kami pun diperbolehkan untuk meninggalkan kantor, karena belum ada aktivitas seperti layaknya kantor biasanya. Pabrik
Bab 13POV HendraGubrak ....Aku menoleh ke arah suara jatuhnya seseorang, ternyata itu ibuku. Tiba-tiba tubuh ibu yang sudah tua renta pun tersungkur jatuh ke tanah. Aku terkejut dan tak sanggup menahan kaki berdiam di tengah mobil yang sedang kutunggu turunnya pemilik perusahaan. Aku ayunkan kaki ini ke arah ibu yang sudah berada di pelukan Irma, istriku."Irma, kamu ada di sini?" tanyaku menyeruak keramaian. Mereka semua berkerumun mengerubungi ibu."Mas, tolong Ibu dulu, nanti baru aku ceritakan kenapa aku ada di sini," sahut Irma ikut panik. Mataku berkaca-kaca saat mendengar penuturan wanita yang sering didzalimi oleh ibuku. Ia amat mengkhawatirkan orang yang telah mengusirnya."Kita bawa pulang saja, Ibu biasa seperti ini jika kelelahan," sahutku sambil bangkit dari duduk dan menggendong Ibu."Bawa ke rumah sakit saja," ajak Linda."Nggak usah, bawa ke rumah dulu," sahutku. Rumah ibu tidak jauh dari perkebunan jagung ini. Jadi tentunya lebih efektif merebahkan tubuhnya dulu d
POV IrmaKetika Mas Hendra berangkat ke kebun, di mana tempat itu adalah sebagai saksi bahwa pengakuanku dan keluarga nanti. Tiba-tiba papa menghubungiku."Irma, datanglah ke kebun, kata Gery, di sana ada ibunya Hendra," pesan papa."Kan memang Papa akan mengumumkan sesuatu di sana, bagus dong jika Ibu tahu?" pungkasku."Tidak begitu, Sayang. Mama tidak setuju, ia ingin kamu tidak cerita terlebih dahulu tentang ini," sahutnya."Jadi apa yang harus kulakukan?" tanyaku pada papa."Ajak Ibu mertuamu pulang, nanti kita bicarakan di rumahnya saja," sambung papa. Kemudian telepon pun terputus.Aku mulai berpikir bagaimana caranya agar ibu mau pulang bersamaku. Sepertinya ia tidak mungkin mau pulang tanpa alasan.Aku siapkan obat bius untuk membuatnya pingsan. Namun, di saat aku mempersiapkan itu semua. Ternyata ibu malah pingsan betulan. Saat itu aku menjadi merasa bersalah. Niat ingin membiusnya malah ternyata ia benar-benar pingsan.Kami semua panik, termasuk Linda yang berada di sampingn
"Periksa saja, Mas. Jika itu kamu sudah tidak percaya kepadaku," jawabku dengan lantang. Mas Hendra takkan melakukan itu, ia sangat mempercayai istrinya."Aku percaya padamu, Sayang. Takkan mungkin kamu curiga padaku," cetusku padanya.Kemudian ia Linda pun merampas tas ku, ia semena-mena mengambil milik orang lain. Tidak ada sopan santunnya."Linda! Kamu tidak memiliki tata krama, merampas tas milik orang lain, itu nggak sopan!" teriak Mas Hendra. Aku hanya terdiam, tak bicara apapun padanya. Pembelaan hanya membuat Mas Hendra justru curiga.Aku lihat dahi Linda mengerut, ia seperti kehilangan cara untuk membuat Mas Hendra kehilangan kepercayaannya padaku. "Bagaimana? Ada bukti untuk menuduhku?" sindirku pada Linda. "Kok nggak ada ya? Bukankah dari rumah kamu ingin membius Bu Septi?" tanya Linda membuatku bertanya-tanya. Itu artinya dia punya mata-mata. Berati ia memang sengaja ingin memfitnahku."Kamu kok bisa bicara seperti itu pada Irma? Apakah ini sengaja kamu lakukan untuk mem
Mas Hendra sudah berada tepat di hadapanku. Ia menatap dengan mata berkaca-kaca. Aku tidak mengetahui apa yang ada di benaknya saat ini. "Mas, maafkan aku," tuturku melas. Berharap ia tidak tersinggung dengan apa yang telah kuucapkan.Kemudian, Mas Hendra meraih tangan papa juga mama. Ia mengecup tangan mereka. Napasku pun sontak berhembus. Lalu aku tersenyum sambil menutup mulut ini dengan kedua tanganku."Pah, Mah, maafkan aku," pinta Mas Hendra. Aku pikir ia akan marah padaku. Namun, kenyataannya Mas Hendra justru minta maaf kepada orang tuaku."Sudahlah Hendra, kami yang meminta maaf, karena telah merahasiakan ini semua dari kamu," jawab papa. "Jadi, ini benar? Pemilik perusahaan yang aku kelola adalah mertuaku?" tanya Mas Hendra dengan mata berkaca-kaca."Kenapa kalian lakukan ini pada kami? Ingin menghina seenak kalian?" sentak mertuaku. Ibu membuat Mas Hendra tiba-tiba menoleh ke arahnya. Kemudian, rasa haru tadi kini berubah menjadi kisruh."Bu! Jangan seperti itu, tolong ja