Bab 5
"Bapak!" teriak Mas Hendra dan berlari memeluknya. Pemandangan yang membuatku haru, rasanya ingin sekali memeluk papaku juga. Sudah lama tak berjumpa dengannya."Kamu pulang ndak ngomong-ngomong, Mas?" tanya ibu pada suaminya, yaitu bapak mertuaku. Bapak yang masih berdiri di depan pintu masih tak menjawab pertanyaan ibu. Kemudian, Linda pun bergegas pergi tanpa pamit. Sepertinya ada yang dirahasiakannya. Tadi ia menagih utang, kenapa sekarang malah pergi begitu saja?"Loh kok Mbak Linda pergi? Mbak, di sini dulu!" teriak Kasih."Sudah, biarkan ia pergi, kamu duduk, Kasih!" teriak bapak sambil menunjuk ke arah kursi. Ia pun duduk dengan wajah ketakutan.Aku lupa mengecup tangan bapak mertua, setelah menikah dengan Mas Hendra, aku sudah tak pernah bertemu lagi dengannya, kecuali hari lebaran."Pak," sapaku. Ia pun tersenyum menatap wajahku. Seandainya mertua wanita sikapnya sama seperti bapak, pastilah aku akan membuka jati diriku sebenarnya."Kamu juga duduk!" tegas bapak terhadap ibu. Sebenarnya melihat suasana seperti ini, aku jadi agak sedikit sungkan. Lebih baik aku ambilkan minum untuk bapak saja. Lalu saatku berdiri, ia malah meminta untuk tetap duduk."Mau ke mana, Irma?" tanya bapak."Mau ambil minum untuk Bapak, khawatir haus," sahutku sopan."Tidak usah, kamu duduk, ya. Bapak mau bicara sesuatu." Wajahnya menunjukkan keseriusan, aku kasi semakin penasaran meskipun ada rasa takut. Apa sih sebenarnya yang akan dibicarakan oleh bapak?Tidak lama kemudian, ia memulai pembicaraan. Pembicaraannya dimulai dengan utang ibu yang disebutkan oleh Linda."Utang 20 juta pada anak kepala desa, untuk apa?" tanya bapak pada ibu menyelidik."A-anu, Pak.""Jawab!" sentak bapak."Untuk kuliah Kasih," sahutnya pelan. Kemudian Kasih bangkit dari duduknya."Mau ke mana kamu, Kasih?" tanya bapak."Mau ke luar, memang kenapa? Ini urusan orang tua, aku nggak mau ikut campur!" celetuknya kemudian tanpa permisi lagi ia pun pergi dan lari dari pembicaraan ini."Kasih!" teriak Bu Septi. Sepertinya ia cemas dicecar sendiri oleh bapak."Bayar kuliah? Bapak kirim tiap bulan lima juta, Bapak rela makan pakai telur dadar setiap harinya untuk mencukupi kebutuhan kalian, tapi kenapa kamu malah banyak utang!" Bapak terlihat kesal. Ia seperti tak percaya dengan ucapan ibu.Lima juta bukan uang yang sedikit, untuk hidup di kampung seperti ini, uang lima juta cukup banyak. Namun, ibu tetap meminta uang jatah mingguanku, dan Mas Hendra pun selalu dipintai uang. Malah belakangan ini, aku hanya mendapatkan sisa pembelian token sebesar 47.000 untuk seminggu. Sungguh kelewat batas perlakuannya.Ibu terdiam, ia tak menjawab pertanyaan bapak. Mas Hendra pun kini ikut geram dengan ibu yang ternyata telah membohonginya."Bu, jadi selama ini yang ibu sebut-sebut Bapak tidak pernah kirim uang itu bohong?" tanya Mas Hendra dengan penuh kekesalan. Ia tampak berapi-api saat tahu, ibunya selama ini telah membohonginya.Aku tak mampu berkata-kata, hanya menyaksikan cecaran bapak terhadap ibu."Kamu tahu tidak, kenapa aku tiba-tiba pulang ke kampung?" tanya bapak. Pertanyaan yang sedari tadi ingin aku lontarkan kini bapak sendiri yang ingin mengatakannya.Ibu menggelengkan kepalanya, Mas Hendra pun terlihat penasaran dengan kepulangan bapak secara tiba-tiba."Bapak mendapatkan segelintir omongan, bahwa Ibumu diam-diam seringkali bertemu lelaki," terang bapak membuatku menggelengkan kepala. Astaga ibu, kenapa ia tega sekali berkhianat?"Bohong! Kamu dengar dari siapa, Pak? Jangan fitnah sembarangan!" sanggah Bu Septi. Jika yang disebutkan bapak itu benar adanya, aku yakin ini ada kaitannya dengan Linda juga."Makanya Bapak tanya langsung, apa benar gosip yang telah Bapak terima?" tanya bapak secara baik-baik."Ndak benar itu, Pak. Bohong, Ibu pakai uang dari Bapak benar-benar untuk Kasih," sanggahnya lagi."Mungkin gaya hidup Kasih lah yang membuat Ibu menghabiskan uangnya, Pak," jelas Mas Hendra. Namun, ibu marah ketika mendengar Mas Hendra menghina Kasih, adiknya."Kamu jangan begitu pada adikmu, gaya hidup, Kasih tuh kuliah jadi apa-apa memang mahal, kasihan kalau ia tidak dicukupi kebutuhannya," sambung ibu membela Kasih.Kemudian telepon seluler milik ibu tiba-tiba berdering. Namun, ketika ia melihat kontak yang menghubunginya, sontak jarinya dengan cepat mematikan teleponnya. "Siapa, Bu? Kok dimatikan?" tanya bapak sembari melihat ke layar ponselnya."Bukan siapa-siapa, itu tadi Linda," elaknya. Namun, sepertinya bapak tak mempercayai ucapan ibu.Aku dan Mas Hendra pun merasa ada yang ibu sembunyikan, terlihat dari mata Mas Hendra yang tiba-tiba menyorot mataku dan mengedipkan matanya. Aku yakin, ini tanda bahwa ia sebenarnya tak mempercayai ucapan Ibunya."Sini!" pinta bapak. Kemudian, ponsel itu ditariknya begitu saja, sepertinya bapak mengerti sekali gelagat ibu yang sesungguhnya.Setelah mengambil ponselnya, mata bapak tak henti-hentinya menatap Bu Septi, tatapannya seperti marah dan kesal terhadap istrinya itu. Aku yang baru kali ini bertemu lagi dengannya pun merasa takut melihat tatapannya.Astaga, kenapa jadi begini rumah tanggaku. Sebelumnya baik-baik saja. Namun, setelah ibu sering meminta uang pada Mas Hendra, terutama di puncak-puncaknya saat ibu meminta uang 400 ribu, dan sisanya untukku 100 ribu, sejak itulah rumah tangga mulai gaduh dan bermasalah."Pak, tolong maafkan Ibu!" lirihnya saat melihat tatapan bapak yang berubah menjadi garang.BersambungPov Bu Septi Semenjak itulah aku berjanji pada diri sendiri, suamiku tak boleh merantau ke Jakarta tapi kenyataannya pekerjaan yang ia dapatkan selalu berada di Jakarta, tapi ada perjanjian di antara kami berdua, jika ia menikah lagi, maka anak-anak takkan bisa ia dapatkan sekalipun aku mati. Dalam perjanjian, jika aku mati sebelum anak-anak menikah, maka mereka akan ditaruh di panti asuhan.Rasa trauma yang aku alami sejak beranjak dewasa itu, membuatku tak ingin memiliki menantu orang jauh. Terlebih-lebih karena perlakuan ayahku dulu, aku jadi lebih menjadikan anakku, Hendra, adalah orang yang harus sayang dan nurut terhadap semua kata-kataku. Namun, kenyataan ini telah berbeda ketika ia bertemu dengan Irma. Ia berubah, tak lagi menuruti kata-kataku."Bu, Irma hanya ingin Mas Hendra tidak durhaka pada Ibu, makanya aku mengalah, tetaplah menjadi Ibu dari suamiku," pinta Irma yang tiba-tiba turun dari mobil mewahnya.Aku tetap pada pendirian, tidak ingin berbagi Hendra pada wanita ya
POV Bu SeptiAku mengambil ponsel yang berada di atas meja. Tak ingin menyia-nyiakan waktu, aku harus gerak cepat untuk menyusul bapak ke Jakarta."Halo, Linda, kamu sudah di rumah?" tanyaku padanya. "Ada apa Bu? Nggak usah basa-basi," ketusnya."Linda, kamu bisa nolong saya nggak? Belikan tiket pesawat yang menuju Jakarta. Agar cepat sampai ke sana. Suamiku kecelakaan," pintaku. Khayalanku Linda panik ketika mendengar berita ini, tapi kenyataannya ia malah tertawa renyah hingga membuat telingaku sedikit berdenging."Linda! Kenapa tertawa?" tanyaku heran."Ya tertawa lah, anakmu sudah jadi orang kaya, tapi ibunya masih minta-minta," ejeknya. Kemudian telepon ia matikan. Astaga, aku mengelus dada dan menghela napas dalam-dalam.Ini yang dinamakan sudah jatuh tertimpa tangga pula. Aku sudah ditinggalkan, kini bapak kecelakaan."Bu, kita telepon Mas Hendra dan Mbak Irma saja, pasti ditolong!" tekan Kasih.Aku tetap tidak mau, biarkan saja aku kocek tabungan yang sudah kubelikan emas. "
POV Bu SeptiAku sudah kepalang tanggung membenci Irma. Meskipun sudah mengetahui bahwa Irma adalah anak orang kaya, sepertinya rasa malu dan gengsi menerimanya sebagai menantu sudah tak mungkin meleleh dari hati ini. Biarkan saja aku suruh Hendra memilih, ibu yang melahirkannya atau wanita yang baru ia temui dalam hitungan tahun."Bu, bisakah Ibu tidak memberikan pilihan? Irma sudah membuka jati dirinya, apa yang Ibu cari lagi? Bukankah selama ini, keinginan Ibu adalah aku menikah dengan orang kaya? Sekarang sudah terkabul, Bu!" Hendra terus menerus membela Irma, aku tak sudi menerima wanita kota itu menjadi menantu. Bisa-bisa nanti aku akan dijadikan pembantu olehnya, seperti yang dikatakan oleh Linda."Pergi kalian dari sini!" Aku usir mereka, orang yang terbilang berkuasa. Namun, karena kekuasaan mereka lah berani membeli Hendra, anakku."Bu, apa Ibu sebegitu membenciku?" tanya Irma. Aku tak menoleh sedikitpun ke arahnya."Irma, sudahlah, sudah cukup kamu tidak usah melanjutkan pe
Mas Hendra sudah berada tepat di hadapanku. Ia menatap dengan mata berkaca-kaca. Aku tidak mengetahui apa yang ada di benaknya saat ini. "Mas, maafkan aku," tuturku melas. Berharap ia tidak tersinggung dengan apa yang telah kuucapkan.Kemudian, Mas Hendra meraih tangan papa juga mama. Ia mengecup tangan mereka. Napasku pun sontak berhembus. Lalu aku tersenyum sambil menutup mulut ini dengan kedua tanganku."Pah, Mah, maafkan aku," pinta Mas Hendra. Aku pikir ia akan marah padaku. Namun, kenyataannya Mas Hendra justru minta maaf kepada orang tuaku."Sudahlah Hendra, kami yang meminta maaf, karena telah merahasiakan ini semua dari kamu," jawab papa. "Jadi, ini benar? Pemilik perusahaan yang aku kelola adalah mertuaku?" tanya Mas Hendra dengan mata berkaca-kaca."Kenapa kalian lakukan ini pada kami? Ingin menghina seenak kalian?" sentak mertuaku. Ibu membuat Mas Hendra tiba-tiba menoleh ke arahnya. Kemudian, rasa haru tadi kini berubah menjadi kisruh."Bu! Jangan seperti itu, tolong ja
"Periksa saja, Mas. Jika itu kamu sudah tidak percaya kepadaku," jawabku dengan lantang. Mas Hendra takkan melakukan itu, ia sangat mempercayai istrinya."Aku percaya padamu, Sayang. Takkan mungkin kamu curiga padaku," cetusku padanya.Kemudian ia Linda pun merampas tas ku, ia semena-mena mengambil milik orang lain. Tidak ada sopan santunnya."Linda! Kamu tidak memiliki tata krama, merampas tas milik orang lain, itu nggak sopan!" teriak Mas Hendra. Aku hanya terdiam, tak bicara apapun padanya. Pembelaan hanya membuat Mas Hendra justru curiga.Aku lihat dahi Linda mengerut, ia seperti kehilangan cara untuk membuat Mas Hendra kehilangan kepercayaannya padaku. "Bagaimana? Ada bukti untuk menuduhku?" sindirku pada Linda. "Kok nggak ada ya? Bukankah dari rumah kamu ingin membius Bu Septi?" tanya Linda membuatku bertanya-tanya. Itu artinya dia punya mata-mata. Berati ia memang sengaja ingin memfitnahku."Kamu kok bisa bicara seperti itu pada Irma? Apakah ini sengaja kamu lakukan untuk mem
POV IrmaKetika Mas Hendra berangkat ke kebun, di mana tempat itu adalah sebagai saksi bahwa pengakuanku dan keluarga nanti. Tiba-tiba papa menghubungiku."Irma, datanglah ke kebun, kata Gery, di sana ada ibunya Hendra," pesan papa."Kan memang Papa akan mengumumkan sesuatu di sana, bagus dong jika Ibu tahu?" pungkasku."Tidak begitu, Sayang. Mama tidak setuju, ia ingin kamu tidak cerita terlebih dahulu tentang ini," sahutnya."Jadi apa yang harus kulakukan?" tanyaku pada papa."Ajak Ibu mertuamu pulang, nanti kita bicarakan di rumahnya saja," sambung papa. Kemudian telepon pun terputus.Aku mulai berpikir bagaimana caranya agar ibu mau pulang bersamaku. Sepertinya ia tidak mungkin mau pulang tanpa alasan.Aku siapkan obat bius untuk membuatnya pingsan. Namun, di saat aku mempersiapkan itu semua. Ternyata ibu malah pingsan betulan. Saat itu aku menjadi merasa bersalah. Niat ingin membiusnya malah ternyata ia benar-benar pingsan.Kami semua panik, termasuk Linda yang berada di sampingn