Part 1
Foto besar terpajang di dinding. Seorang wanita bermata sipit menggandeng tangan suaminya dan memperhatikan potret keluarga kecil mereka.
“Bagus, ‘kan, Pah?” tanya wainta itu sambil tersenyum dan bergelayut manja di lengan suami.
Sang suami terdiam, tatapannya beralih pada sosok wanita yang baru saja keluar membawa seplastik sampah.
“Kamu tidak suka?” Wanita bermata sipit itu kembali bertanya sambil melepaskan tangan. “Bisa kita turunkan,” lanjutnya lagi dengan wajah masam.
“Ah, tidak! Biarkan saja di sana. Aku suka, hanya saja ....” Ucapannya terhenti dan memandang kembali pada wanita yang membawa sampah hendak dibuang ke depan rumah.
“Terserah kamu bila mau dilepas demi menghargai perasaan dia.” Wanita bermata sipit itu pergi sambil menahan emosi.
“Sampai kapan aku akan diperlakukan seperti pembantu di rumah suamiku sendiri, Mas?” Sosok yang sedari tadi memegang plastik berisi sampah mendekati lelaki yang masih berdiri mematung.
“Maafkan aku tidak bisa membela kamu di hadapan Felicia. Besok-besok, kita buat foto keluarga sendiri ya? Dipajang di kamar kamu.”
Wanita itu mengangguk dan berlalu.
Kubawa Maduku dalam Kesengsaraan
***
Aku Felicia, istri pertama suamiku. Duduk dengan menyilangkan kaki, sambil menatap seorang wanita yang bersimpuh di bawah kursi. Sudah persis seperti nyonya angkuh.
“Tolong, Mbak, ibuku sakit keras, aku butuh uang, Mbak. Aku mohon beri aku bantuan dan titip Nayma karena aku harus ke rumah sakit. Mbak, kita sudah hidup bersama sekian lamanya, apa Mbak tidak punya sedikit rasa iba untukku?” Wanita yang sedang merengek itu bernama safira, dia adalah adik maduku. Ia memohon dengan berurai air mata.
“Jika aku mengatakan tidak, apa yang akan kamu lakukan?” tanyaku sinis.
“Mbak, bukankah aku sudah berulang kali meminta maaf sama Mbak? Mbak, aku sudah menjalani hidup yang penuh penderitaan di rumah ini. Apa Mbak masih akan terus menyiksaku? Jika di dalam poligami seorang suami harus adil, aku sudah menerima ketidak adilan dalam hal apapun, Mbak. Nafkah lahir, nafkah batin dan pengakuan di depan masyarakat, aku sudah mengalah untuk itu, Mbak. Jadi tolong, Mbak Felic, untuk kali ini, aku minta beri aku sedikit uang.”
“Kamu sudah masuk ke dalam kehidupan kami, kamu sudah merusak keutuhan rumah tanggaku dengan Mas Hanan, ini konsekuensi yang harus kamu dapatkan. Karena aku bukan seperti kamu yang miskin tidak punya apapun. Mas Hanan bisa bergaya layaknya orang kaya, itu semua dari aku. Aku bukan istri tua yang bodoh.”
“Mbak, tolong, aku butuh uang.”
“Bukankah ibumu punya asuransi kesehatan? Kenapa butuh uang?”
“Tapi Ibu berada di ruangan yang banyak sekali penghuni orang sakitnya, Mbak. Aku kasihan dan aku tidak tahan bila harus mencium bau keringat.”
“Sombong sekali kamu. Sudah hidup menumpang, masih berlagak.” Aku menjatuhkan lima lembar uang ratusan. “Ini hitung-hitung beramal sama orang miskin. Selebihnya jangan harap aku akan memberi banyak lagi. Kalau tidak mau, aku akan mengeluarkan anakmu dari sekolah yang sekarang.”
“Mbak, kenapa selalu mengancam mengeluarkan Nayma? Kenapa anak kecil yang tidak bersalah selalu dijadikan sasaran, Mbak? Mbak boleh mencaci maki aku, tetapi Nayma, dia tidak tahu apa-apa.” Tangis Safira semakin kencang.
“Apakah dunia kamu akan runtuh jika anakmu keluar dari sekolah elit? Banyak orang yang sekolah di sekolah negeri dan mereka berhasil. Kalau merasa tidak mampu, jangan memaksakan diri. Kenapa ego kamu tinggi sekali sementara kamu di sini hanya hidup menumpang? Jelas aku tidak peduli dengan anak kamu. Dia tidak punya hubungan darah denganku. Kenapa aku harus kasihan?”
“Mbak Felic, Mbak Felic, tolong beri aku uang yang banyak untuk memindah Ibu di kamar yang layak, Mbak. Mbak sudah menyiksa perasaanku selama ini, kenapa masih saja membuat aku menderita.” Safira meraung-raung.
Aku bangun dan dengan angkuh berjalan menuju dapur dan menuang minum. Meski Safira menderita saat ini, nyatanya itu tidak mampu menyembuhkan luka hati karena harus diduakan dan dihianati oleh suamiku.
Mas Hanan ternyata dari tadi melihat kami dari dapur. Ia menatapku penuh harap.
“Felic ....”
“Boleh, antarkan saja, tapi pakai motor butut kamu semasa muda. Jangan berani-berani menggunakan mobil.”
“Tapi sekarang sedang musim hujan.”
“Dulu kamu biasa hujan-hujanan pakai mantel. Mau jadi orang manja sekarang?” Mas Hanan tidak berkutik.
Lelaki itu menuju ke posisi Safira duduk. Membangunkannya dengan pelan dan menenangkan. Sungguh demi apapun aku merasa sakit melihat itu.
Aku Felicia sudah bersumpah akan membuat hidup maduku dan suamiku menderita. Aku rela menghabiskan waktu setiap hari bersama dengan maduku, demi bisa melihat mereka hidup sengsara
“Teruntuk suamiku, Mas Hanan, pria yang sudah membuat aku memeluk Islam dari aku yang sebelumnya nonis, selamat menempuh hidup baru ya, Pah. Terima kasih sudah membohongi aku dan Abizar. Terima kasih sudah meninggalkan kami sendirian dan kamu memilih hidup di kota ini demi bersama dengan dia istri simpanan kamu. Aku menemanimu dari yang awalnya kamu pemuda miskin tidak punya apa-apa, sampai sekarang kaya raya dan bisa membuat pesta yang sangat megah. Aku dimusuhi keluargaku, meninggalkan kedua orang tuaku yang kaya raya demi hidup bersama kamu. Masih ingat tidak, Pah, kita memulai usaha semua dari tabungan aku. Aku menyayangi ibumu dan memenuhi kebutuhan keluargamu tanpa pernah mengungkit. Aku kira itu cukup bisa membuat kamu setia, ternyata di belakang aku, kamu berkhianat.” Dengan nada lemah lembut Felicia berucap.Semua tamu yang hadir langsung duduk dan mendengarkan.“Kau menggunakan uang kita untuk membahagiakan perempuan yang di sampingmu. Aku ikhlas, Pah. Sangat ikhlas. Aku seba
Part 28“Halo, adik maduku. Kenalkan, aku Felicia, istri sah Hanan. Pasti kamu sudah sering mendengar namaku ‘kan? Kamu cantik sekali. Selamat ya atas pernikahan kalian. Pelaminannya megah, pestanya mewah. Beruntung sekali kamu mendapatkan seorang pria kaya seperti suamiku.” Felicia beralih pada Safira yang masih berdiri ditopang ibunya. Sambil berbicara, tangannya sibuk merapikan jas Hanan.Tamu yang hadir dan sedang mengantri terpaksa diberhentikan oleh Ustadz Ridho untuk tidak naik ke pelaminan lebih dulu. Ia juga sering mencuri pandang pada Veronica yang terlihat sangat cantik.Sementara Salamah, sesekali melempar tatapan marah pada Veronica. Sadar sesuatu hal kalau Veronica bisa jadi menggoda suaminya karena balas dendam.“Aku mau foto dulu dengan kalian. Untuk kenang-kenangan. Vero, tolong ambilkan gambar pakai ponselku,” kata Felicia pada Veronica. “Ah, adik madu kamu kelelahan ya? Gak papa, aku ambil foto sebentar saja.”Seperti dihipnotis, Safira tidak bisa berkutik dan menga
Sepulangnya dari menemui Hanan, Abizar tidak pernah lagi bertanya tentang ayahnya. Namun begitu, ia lebih banyak menyendiri dan bersedih.Besok adalah hari resepsi pernikahan Hanan dan Safira. Felicia sudah mempersiapkan hati dan mental untuk hadir kesana. Tidak lupa sebuah kado telah dia bungkus sebagai hadiah pernikahan. Sebuah foto keluarga yang bahagia. Ia, Hanan, Abizar dan ibu mertuanya telah disobek menjadi dua, dibingkai dengan kaca pecah dan dimasukkan kedalam dus dibungkus kertas serta dihiasi pita.“Abi, besok Mama mau ada perlu dan menginap. Kamu sama Mbak di rumah ya? Sama Om Adi juga. Mama minta maaf sebelumnya ya, Sayang?”“Mama menginap berapa malam?” tanya Abizar.“Hanya semalam saja.”Meski berat hati Abizar mengizinkan.Malam harinya, Felicia menelpon agen penjualan rumah di kota tempat Hanan tinggal. “Berapapun yang penting laku cepat,” katanya.Semua sertifikat rumah dan tanah yang ia miliki bersama Hanan sudah ada di tangan. “Kamu tidak akan menggunakan harta yan
Part 27“Setidaknya kalau kamu mau menitipkan Abizar, kamu harusnya beritahu aku dulu.”“Bukankah kamu tidak merespon telepon dari aku terus, Hanan?”“Feli, kamu bisa berkirim pesan.”“Apa kehadiran Abizar selama beberapa hari saja akan membuat kamu terganggu? Hanan, jika dihitung-hitung, lebih banyak waktu kamu yang dilewati seorang diri. Aku membawa Abi dan menitipkan sama kamu hanya paling lama dua atau tiga hari. Apa kamu benar-benar tidak suka?” Nada bicara Felicia meninggi.“Papa, Mama, jangan bertengkar! Aku hanya ingin menghabiskan waktu bersama Papa dan Mama.” Di saat keduanya adu mulut, Abizar keluar sambil menangis. “Papa tidak mau aku tinggal di sini sama Papa?”“Abi.” Hanan mendekati anak semata wayangnya.“Papa tidak suka ya kalau ketemu aku? Kenapa sepertinya tidak mau aku ada di sini?” Dengan wajah sedih Abizar bertanya.“Jagoan Papa tidak boleh bicara seperti itu! Papa senang kok Abi ada di sini, hanya saja Papa sedang sibuk sekali.”“Baiklah, Papa, aku akan ikut Mama
“Mas, aku boleh gak lihat rumah Mas yang sama Mbak Feli yang rumah di kota ini?” tanya Safira saat sudah di dalam mobil.“Memangnya kenapa?”“Aku pengen tahu saja.”“Rumah itu aku yang membeli. Jadi, kalau kemungkinan terburuknya Felicia tahu tentang hubungan kita, aku akan menjualnya.”Safira tersenyum senang mendengar jawaban dari Hanan.***“Mama kenapa Papa sudah tidak pernah menelpon aku?” tanya Abizar.“Papa sibuk, Sayang. Gak papa, selagi ada Mama di sini.”“Mama, aku rindu memancing sama Papa.” Abizar duduk di sofa dekat jendela, mengamati tumbuhan yang daunnya menari-nari di taman depan kamar sang ibu. Tangannya memeluk lutut.“Mama antar kamu memancing di tempat biasanya ya?” Felicia mendekati Abizar dan duduk di bawa sofa.“Tempatnya sama, tetapi rasanya beda. Aku butuh Papa. Aku ingin sama papa.”Felicia mengepalkan tangan. ‘Meski balas dendam itu dosa, aku tetap akan melakukannya, Hanan. Kamu sudah keterlaluan.’“Abi, dengar! Suatu saat Mama akan cerita, kenapa Papa tidak
Part 26“Kamu dari mana saja?” tanya Felicia kesal. “Aku harus pulang cepat, kasihan Abizar.”“Cari suami orang,” jawab Veronica asal. “Ayo, Kak berangkat!”“Tugas kamu sudah selesai. Kamu boleh mundur dari kajian itu.”“Belum dong. Aku masih harus berangkat minggu depan. Melihat situasi dan keadaan apakah resepsinya jadi atau batal.”“Resepsinya harus jadi. Aku ingin melihat Hanan bersanding di pelaminan dengan wanita itu.”“Wah, ini rencana Kakak? Mau datang ke resepsi mereka? Aku ikut ya, Kak?”“Kamu ‘kan dapat undangan, kesana sendiri saja!”“Aku akan menjadi pengawal Kak Feli.”Felicia keluar rumah menuju mobil. “Jadi antar aku tidak?”“Jadi dong! Aku mau pulang juga, kangen Mama.”Felicia kembali diam di dalam mobil. Hatinya membara penuh amarah, tetapi ia tidak ingin meluapkan di hadapan Veronica.“Kak, kalau aku pada akhirnya memilih kembali pada keyakinan lama aku, apa aku akan berdosa?” tanya Veronica sambil fokus menyetir.“Menurut Islam ya dosa. Makanya kalau belum mantap,