Aku pun segera membukakan pintu sembari mengucap salam. Namun, belum sempat aku melanjutkan salamku hingga akhir aku dikejutkan dengan sesuatu yang benar-benar di luar dugaanku."Sekarang, Mbak boleh pergi dari sini!" Ayuna mendorong koper ke arahku dengan tatapan sinis."Apa-apaan ini?" tanyaku geram, melihat tingkah songongnya."Memangnya kurang jelas?" tanya Ayuna lagi. "Silahkan, Mbak angkat kaki dari sini!" Aku berdecak kesal, bisa-bisanya perempuan ini mengusirku dari rumah, apa dia lupa kalau aku sama Mas Restu belum resmi bercerai, dan baru talak satu."Siapa kamu beraninya mengusirku dari sini? Ingat ya semua harta benda yang ada di sini hasil kerja keras aku dan Mas Restu, dan kamu hanya menumpang!" tegasku.Bukannya merasa tersinggung, Ayuna malah tersenyum sinis seolah mengejek."Apa, Mbak lupa kalau semua harta kekayaan ini atas nama milik Mas Restu, dan aku, aku adalah istrinya Mas Restu yang dinikahinya sah secara agama ataupun negara. Sementara Mbak perempuan malang y
"Mama ...," teriak Nizam dan Gahzi di balik pintu.Aku yang tak sanggup mendengar teriakan mereka berusaha menggedor pintu sekeras mungkin agar segera dibukakan."Mas ... Tolong buka pintunya, biarkan aku bertemu dan bersama anak-anak," teriakku di balik pintu."Mama ... Jangan pergi!" Aku mendengar Nizam berlari ke arah pintu."Nizam, Ghazi ayo masuk ke kamar!" Terdengar Mas Restu memerintah Nizam dan Ghazi."Aku mau ikut Mama ...." Suara teriakan Nizam membuat hatiku terasa pilu."Nizam, kamu dengar kata Papa sekarang masuk ke kamar!" Suara Mas Restu terdengar nyaring, membuat hatiku semakin terasa panas bisa-bisanya Mas Restu membentak mereka begitu."Gak mau, aku mau ikut Mama!" teriak Nizam."Mas ... Buka pintunya!" Aku kembali menggedor pintunya dengan keras sembari berteriak."Yuna cepat bawa anak-anak masuk ke kamar!" titah Mas Restu ke Ayuna."Baik, Mas."Aku begitu merasa sedih karena tidak bisa mengajak mereka ikut bersamaku. Tak mau menyerah aku terus berteriak dan mengged
"Pagi, Mbak Nilam?" sapa Ayuna sembari salah satu sudut bibirnya terangkat naik membentuk lengkungan senyum. Namun, tentu saja bukan senyum tulus."Oh ya, mungkin Mbak Nilam ke sini mau ambil barang-barang Mbak Nilam yang belum sempat Mbak bereskan. "Ayuna kembali melempar senyum. "itu saya sudah bereskan semua," lanjutnya sembari menunjuk pada sebuah dus di atas meja.Aku tersenyum sinis. "Apa hakmu membereskan barang-barang saya?" tanyaku."Ya aku pikir aku berhak karena semua harta adalah milik Mas Restu, dan aku istri sahnya. Jadi, wajar dong kalau aku mau mengelola restoran ini," jawab Ayuna santai.Dia pikir bisa melakukan itu? Meski sudah bercerai tetap saja aku masih berhak atas harta Gono gini, harta yang sudah kami kumpulkan bersama sekalipun atas nama Mas Restu."Ada apa ribut-ribut?" Tiba-tiba Mas Restu datang, entah ada angin apa? Sejak aku yang mengurusnya ia jarang sekali datang kemari. Tetapi, hari ini sengaja atau hanya kebetulan Mas Restu ada di sini."Mas Restu," s
Saat aku dan Ibu tengah sibuk memasak di dapur, terdengar suara deru mobil memasuki halaman, entah siapa yang datang. Aku dan Ibu seketika saling berpandangan."Siapa, Bu?" "Entah, tapi sepertinya Ibu gak ada janji kedatangan tamu," jawab Ibu. Ekpresinya sama sepertiku penasaran.Karena penasaran akhirnya aku menawarkan diri untuk melihat ke depan."Ya udah kalau gitu, aku lihat ke depan dulu ya, Bu," ucapku, yang dibalas Ibu dengan anggukan.Begitu sampai di depan aku termangu saat melihat mobil Mas Restu terparkir di halaman. Untuk apa lagi lelaki itu datang kemari? Belum puaskah dia menyakitiku?Aku berdiri menunggu Mas Restu ke luar dari mobilnya. Tidak lama kemudian lelaki itu keluar sembari melempar senyum, senyum yang sempat membuat hatiku berdebar kala melihatnya. Tapi, itu dulu. Semua rasa itu berubah sejak Mas Restu terang-terangan memilih selingkuhannya. Ia berjalan menghampiriku."Ada perlu apa lagi, Mas kemari?" tanyaku dingin. Sedingin hatiku yang membeku. Karena, perla
Begitu sampai ke rumah, dan akan masuk tiba-tiba ponselku berdering, aku pun segera mengambilnya di dalam tas, begitu melihat nama yang terpampang dilayar dahiku langsung berkerut."Mas Restu? Mau apa lagi dia?" batinku.Aku pun segera menggeser tombol warna hijaunya, hingga sambungan telpon pun terhubung."Sudahlah, Nilam kamu tidak akan menang melawan, Mas." Suara di ujung sana terdengar begitu membuat kesal."Aku tau kamu baru saja pulang minta bantuan seseorang, tapi sayangnya usahamu akan sia-sia." Sedetik kemudian terdengar suara tawa.Aku langsung waspada dan melihat sekeliling, mencari keberadaan Mas Restu dari mana dia tau kalau aku dari rumah Anya dan memang minta bantuan. Apa dia mengikutiku?"Dari mana kamu tau? Mas mengikutiku?"Mas Restu terdengar tertawa. "Itu tidak penting dari mana Mas bisa tau," Suara tawanya kembali terdengar begitu menyebalkan ditelinga."Sudahlah, Nilam kamu terima saja tawaran, Mas. Kita berdamai dan rujuk Mas akan memberi fasilitas lebih untukmu
"Auw ...," ucap perempuan itu. "Kalau jalan pake mata dong, Mbak," teriaknya. Padahal bisa dikatakan kami sama-sama bersalah.Sontak aku pun menoleh ke arah sumber suara sejenak mata kami bertemu, dan menimbulkan aura kaget diantara kami. Detik berikutnya ia tersenyum sinis."Pantes saja," ucapnya sinis sembari melipatkan tangan di depan dada. "rupanya mantan yang gagal move on, udah ditalak masih aja ngejar-ngejar Mas Restu," lanjut Ayuna.Mendengar ucapannya sebelah sudut bibirku terangkat, membentuk lengkung senyum. Apa aku tidak salah dengar? Dia bilang aku gagal move on?"Dengar ya, Mbak jauhi Mas Restu! Jangan ngejar-ngejar dia lagi, kayak gak ada lelaki lain saja," belum puas, Ayuna kembali memutar fakta.Rasanya aku ingin sekali tertawa mendengar tuduhannya, mengatakan aku mengejar Mas Restu dan gak punya lelaki lain, apa dia tidak sadar sedang mengatai dirinya sendiri?"Apa aku gak salah dengar?" tanyaku sembari melipatkan tangan di dada, dan menatap tajam ke arahnya. "Kamu b
"Nizam mau sama, Mama!" teriaknya saat dalam pelukan Bi Atun."Jangan, Den nanti Tuan marah," ucap Bi Atun yang terdengar olehku.Ya Allah teganya Mas Restu melarang anak-anak bertemu denganku, apa dia benar-benar sudah tidak waras?"Mama ...," Nizam terus berteriak membuat hatiku semakin perih."Bi Atun cepat bawa, Nizam masuk!" teriak Ayuna dengan nada tinggi"Baik, Nyonya!" Wajah Bi Atun terlihat begitu takut."Ayo, Den kita masuk nanti Papa Den Nizam marah.""Gak aku gak mau masuk aku mau Mama ... Nizam mau sama Mama! Mama ...." Bocah itu terus berteriak, dan sekuat tenaga berusaha melepaskan diri.Namun, akhirnya Nizam berhasil lolos dan berlari ke arah pintu gerbang. Bisa kurasakan jemari kecilnya menyentuh tanganku dengan erat, matanya basah dengan air mata."Mama kenapa ninggalin, Nizam?" tanyanya disela Isak yang semakin jadi. Aku menggeleng sembari menahan sesak."Mama gak ninggalin kamu, Sayang," jawabku."Nizam cepat masuk!" bentak Ayuna sembari hendak menarik pundaknya."
"jangan melamun terus, gak baik buat kesehatan!" ucap Ibu sembari meletakkan nampan berisi satu gelas teh panas ke atas nakas. "Eh, Ibu." Aku yang tengah berdiri di depan jendela sontak menoleh mendengar ucapan beliau."Mau berapa lama kamu menyiksa diri? ingat meski kamu tidak mendapatkan hak asuh anak-anakmu, tapi kamu tetap harus berjuang untuk mereka. "Karena, suatu saat nanti. Ketika mereka sudah dewasa mereka akan mencarimu. Kamu sudah punya bekal, punya sesuatu untuk mereka," terang Ibu lemah lembut.Aku terdiam mendengar dan mencerna dari setiap kata yang keluar dari mulut, Ibu.Ucapan Ibu benar, aku tidak boleh larut dalam kesedihan seperti ini. Akan kubuktikan kalau aku bisa tanpa Mas Restu. Karena ada Tuhan yang akan membantuku pemilik kerajaan langit dan bumi. Bukankah siapa yang bersungguh-sungguh ia pasti akan dapat.Ah bodohnya aku, menyiksa diri seperti ini terpuruk dalam kesedihan yang kuciptakan sendiri. Padahal aku punya Tuhan Maha segala Maha, orang bilang jika t