[Nilam lagi, Nilam lagi kapan sih, Mas jujurnya aku capek kucing-kucingan kayak gini!]Apa maksud dari pesan ini? Bukankah, Mas Restu bilang kalau teman yang mau pinjam uangnya itu laki-laki? Terus apa maksudnya kucing-kucingan atau jangan-jangan ...?Astaga!Tungkai kakiku terasa lemas membayangkan jika apa yang menjadi kecurigaanku ternyata benar, bagaimana? Pesan kembali masuk dari, Mas Restu.[Sabar dong! Sebagai gantinya nanti Mas lebihin transfernya ya] [Bener ya, Mas dua kali lipat, soalnya aku juga butuh buat arisan] emotion merajuk.[Iya, jangan ngambek ya! Ntar Mas berangkat kerja Mas transfer ya!][Ah shiaap, bosqu] emotion k*s.Seketika tubuhku benar-benar merasa limbung, jadi selama ini kecurigaanku benar? Sudah sejauh mana hubungan mereka?Tidak lama kemudian, Mas Restu datang, tidak ada yang aneh dari sikapnya lelaki itu masih terlihat sama seperti hari-hari biasanya. Pintar sekali ia menyembunyikan kebohongannya, sekarang aku yakin kalau Mas Restu memiliki simpanan.T
Sudah dua jam lebih aku di sini, seperti orang b*doh. Menunggu Mas Restu keluar untuk bertemu teman chatnya yang belum kuketahui jenis kelam*nanya itu.Namun, sampai saat ini belum ada tanda-tanda lelaki itu akan keluar, barangkali jam makan siang nanti. Rasa haus mendera, membuatku terpaksa untuk turun, beruntung ada pedagang keliling yang menjual air minum. Saat akan membayar minum yang memang tidak jauh dari lokasi kantor aku melihat Mobil Mas Restu keluar dari parkiran. Aku gegas melangkah ke mobil, jangan sampai aku kehilangan jejak, sia-sia sudah penantian ku beberapa jam yang lalu."Mbak kembaliannya!" teriak yang jual minuman."Ambil saja!" ucapku tanpa menoleh sembari mempercepat langkah.Aku segera masuk ke mobil, dan mengikuti mobilnya Mas Restu. Aku melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan, masih pukul setengah sebelas. Kenapa, Mas Restu keluar apa pekerjaannya sudah selesai? dan juga apa bosnya tidak marah?Aku bertanya-tanya pada diri sendiri sembari tetap fokus
"Apa, cerai? Kamu lagi gak bercanda, 'kan, Lam?" tanya Anya terkejut saat aku menceritakan permasalahan rumah tanggaku. "Diminum dulu coklat panasnya, biar kamu lebih tennangan dikit!" Anya menaruh dua mug besar berisi coklat yang masih panas terlihat dari asapnya yang masih mengepul."Makasih ya An! Kamu adalah sahabat terbaikku," ujarku sembari meraih mugnya, dan melempar senyum, Anya pun membalas tersenyum."Memangnya kamu sudah yakin dengan keputusanmu?" tanya Anya lagi.Anya adaalah sahabat sewaktu SMA dulu, dan sampai sekarang ini. Persahabatan kami semakin akrab saat tau kalau, Anak kami sama-sama bersekolah di taman kanak-kanak yang sama. Dari dulu sampai sekarang ini, kalau ada apa-apa kami sering bercerita dan berbagi, begitulah kekraban pertemanan ini, "Sepertinya itu adalah jalan terbaik, agar Mas Restu bisa bebas melakukan apa yang diinginkannya," ucapku pelan. "Kuakui perempuan itu memang cantik, dan muda," lanjutku lagi, merasa minder. "Paling juga cantik luarnya doan
"Sudah berapa lama kalian berhubungan, Mas?" Aku tetap bersikap santai, seolah-olah baik-baik saja, meski sebenarnya dalam hati, aku begitu hancur."Ayolah, Lam jangan mudah percaya dengan hal begituan, ini zamannya digital, dan itu hanya editan," ujar Mas Restu ia masih tetap kukuh menyangkal. "Bagaimana mungkin, Mas bisa membohongimu!"Mendengar itu membuatku terasa muak, pintar sekali Mas Restu bersilat lidah, sudah ketahuan dan aku sendiri yang melihatnya langsung tetap saja ia ingin bersandiwara."Sudahlah, Mas kamu tak perlu menyangkal lagi. Apa bukti ini kurang cukup?" Setenang mungkin aku bertanya sembari menunjukkan galeri ponsel.Mata Mas Restu langsung terbelalak tak percaya, dengan susah payah ia meneguk saliva."Kamu masih mau menyangkal, Mas?" "Ja-jadi kamu ngikutin, Mas?" Terbata ia bertanya."Iya seharian ini aku ngikutin kamu, karena akhir-akhir ini aku menaruh curiga semenjak aku datang ke kantor mengantarkan bekal untukmu!" tegasku.Mas Restu mengusap wajahnya deng
Perempuan cantik dengan kulit putih bersih itu terlihat tengah memindai setiap sudut ruangan. Rambut lurusnya tergerai. Aku tidak langsung menghampirinya, dan mengamatinya dari jauh sembari dalam benak bertanya-tanya apakah yang menuntun perempuan itu datang kemari.Sejenak kemudian, mata kami bertemu. Ia nampak tersenyum, tapi tentu bukan senyum tulus. Sebab, yang kuyakin mana ada ketulusan dari seseorang yang hendak merebut sesuatu dari kita. Aku berjalan menghampirinya."Halo, Nilam maaf kalau kedatanganku mengganggu waktu senggangmu, kamu tentunya sudah tahu tentang aku bukan? Jadi aku pikir tidak perlu lagi memperkenalkan diri." Satu sudut bibirnya terangkat naik, membentuk lengkung senyum. Seperti senyum meremehkan."Tidak perlu basa-basi langsung saja ke intinya!" pungkasku, melihat wajahnya yang sok manis itu rasanya membuatku muak."Apa kita akan bicara di sini?" tanyanya."Ikut saja ke belakang!" Ujarku langsung berbalik arah menuju ruangan kerjaku yang letaknya memang ada d
Untuk apa Mas Restu membawa perempuan itu kemari? Wajahnya telihat lebih kalem tidak seperti waktu datang ke restoran tadi. Melihat kedatanganku, Mas Restu langsung bangkit dari duduknya."Lam, sini kita perlu bicara!" ajak Mas Restu, wajahnya terlihat datar, masih seperti kemarin saat ia pergi meninggalkan rumah. Entah, mengapa seolah aku yang menciptakan permasalahan ini."Sebentar, Mas aku cuci muka dulu!" ucapku tenang, meski dalam dada ada gemuruh yang rasanya siap untuk meledak. Bagaimana tidak, dengan terang-terangan Mas Restu sudah berani membawa perempuan itu kemari.Akhirnya Mas Restu mengangguk setuju. "Silahkan, Mas tunggu!" Sementara itu, kulihat Ayuna menatap sinis ke arahku.Aku tak peduli, dan berlalu menuju kamar, seperti kataku akupun segera menuju kamar mandi yang menyatu dengan kamar untuk mencuci muka, agar hati merasa lebih tenang, dan bersiap dengan segala kemungkinan yang kelak akan terjadi.Setelah membiarkan Mas Restu dan selingkuhannya itu menunggu beberapa
"Kalau sudah tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, aku izin ke kamar Nizam, dan Ghazi," pamitku."Iya," jawab Mas Restu.Aku pun bangkit dari tempat duduk, mengayunkan langkah menuju kamar untuk memindahkan barang-barang ke kamar yang nantinya akan kutempati, kamar anak-anak. Baru saja mencapai pintu, aku mendengar perempuan yang berhasil menggantikan posisiku bersuara riang."Aku senang, akhirnya Mas memilih keputusan yang tepat," ucapnya. Lalu, kepalanya sengaja ia sandarkan di pundaknya Mas Restu. Melihat pemandangan itu membuat hatiku berdesir perih, apa aku akan sanggup tinggal di sini selama tiga bulan ke depan?Tak ada jawaban dari lelaki itu, juga aku tak bisa melihat ekspresinya karena posisi mereka yang memang membelakangiku. Kulanjutkan langkah untuk mengambil barang-barang di kamar.Begitu masuk, aku menatap setiap sudut kamar dengan perasaan perih. Kamar yang menjadi tempat saksi bisu kebersamaan kami selama beberapa kurun waktu. Aku tak menyangka bila akhirnya posisiku
"Sepertinya kalian memang harus segera menikah. Nanti keburu aku berubah pikiran," ucapku sengaja memanasinya. "Ingat kalian itu belum menikah, jangan dekat-dekat nanti ada orang ketiga lho, serem," sindirku yang langsung membuat Ayuna kesal."Jangan kelamaan menunda, Mas. Kasian Ayunanya, sepertinya udah ngempet. Nanti kalian malah khilaf, belum nikah itu dosa lho," lanjutku yang semakin membuat wajah Ayuna memerah, entah menahan marah atau malu. Ah, kalau malu tidak mungkin ia bisa datang kesini dan mengambil Mas Restu dariku.Sementara Mas Restu langsung nampak salah tingkah dan melepas tangan Ayuna yang sudah dari tadi nempel-nempel. Membuatku geli sendiri melihatnya."Ya sudah, Mas aku izin berangkat dulu!" Aku pun mulai melangkahkan kaki menemui Nizam yang sudah menungguku."Mas kok diam aja, bukannya belain aku?" tanya Ayuna suaranya terdengar dibua-buat khas anak kecil merajuk yang samar tertangkap indera pendengaranku. Aku menggeleng pelan, dan terus melangkah menemui Nizam d