Share

Bab 3

“Rey, kemarin Namira ke kota. Katanya ada hal penting. Ada apa? Kenapa belum pulang sampai sekarang? Apa kalian ada masalah?”

Tubuhku membeku saat ibu menanyakan tentang Namira. Aku harus bilang apa? Apa aku harus jujur tentang masalah pelik yang sedang kuhadapi?

Tapi tunggu … Ibu bertanya tentang Namira? Itu artinya ia belum tahu yang sesungguhnya? Namira tidak menceritakan apa yang terjadi denganku? Ah, syukurlah setidaknya ia masih memiliki sedikit perasaan dengan tidak menceritakan yang sebenarnya pada ibuku.

“Pekerjaan Rey baik, Bu. Doakan lancar terus, ya,” kataku mengalihkan pembicaraan.

“Rey … Kenapa pertanyaan ibu tidak dijawab? Ibu tanya Namira, loh. Tidak tanya tentang pekerjaanmu,” ucap ibu tak terima dengan jawabanku.

"Em ... A-anu, Bu. Namira katanya kangen sama Rey, Rey juga menyuruhnya datang ke kota. Tapi mungkin dia nggak bakal lama kok, Bu," jawabku berkilah, berharap ibu akan percaya dengan alasanku.

"Yang bener? Biasanya juga kamu yang pulang, atau kalau nggak anak-anak pasti dibawa semua."

Kutepuk dahiku sendiri, usia ibu memang sudah beranjak tua. Namun, pemikirannya masih sangat tajam. Itulah sebabnya aku tak memperbolehkannya tinggal sendirian, melainkan Namira kutugaskan khusus menjaganya di kampung.

"Iya, bener, Bu. Oh, iya, bagaimana Ibu di kampung? Sehat? Sepeninggal Namira, Ibu sama anak-anak sama siapa di rumah?" tanyaku menyelidik, karena sejujurnya hingga hari ini Namira belum mau bertegur sapa denganku. Padahal semalam kami bertiga sempat duduk bersama di meja makan.

"Sehat, Rey. Ibu, anak-anak ditemani Siti, makcikmu," jawab ibu membuatku sedikit lega. Setidaknya Namira tak menelantarkan ibuku sendirian bersama anak-anak.

"Rey, ajak Namira pulang. Aku lihat usaha Namira di rumah sudah semakin maju. Apa kalian tidak ingin melanjutkan ini saja? Kamu lepas jabatan kamu itu? Ibu sudah tua. Pengin didampingi kamu juga."

Sebentar ... Usaha? Usaha Namira? Usaha apa?

"Em ... Bukan Rey nggak mau pulang, Bu. Tapi jabatan ini kan baru Rey pegang beberapa bulan. Nggak enak kalau Rey keluar kantor," ungkapku dengan pikiran berkecamuk mengenai perkataan ibu. "Oh, ya. Ibu bilang usaha Namira? Emang Namira punya usaha apa, Bu?"

"Owalah, Rey. Kamu itu gimana. Jadi suami kok nggak tau. Dua bulan ini Namira buka usaha ... Katanya dapat warisan dari orang tuanya. Tau sendiri kan orang tuanya juga udah tua kaya Ibu. Terus, uang yang dia dapat itu dipakai buat buka usaha ... Em, anu, usaha ...."

Tutt tutt tutt

Ah, kenapa terputus. Hampir saja aku tahu tentang usaha yang Namira dirikan tanpa sepengetahuanku.

[Aduh, Rey. Baterai Ibu habis. Ngobrolnya kita lanjut nanti, ya. Salam untuk Namira, suruh cepat pulang. Ibu kesepian kalau nggak ada dia. Ibu juga berharap kamu bisa pulang, menetap di desa sama Ibu]

Ya Tuhan, apalagi ini? Kenapa seakan masalah datang bertubi-tubi padaku? Padahal niat awalku hanya untuk mencari kesenangan selama Namira tidak ada di sampingku. Tapi ternyata semuanya seakan menjadi bom waktu yang siap meledakkan hidupku.

Kuusap layar ponsel ke atas, terpasang indah foto kedua anakku di dalamnya. Zanna Kirania dan Alvan Zafar. Putri kecilku yang kini telah berusia sembilan tahun dan putra manisku berumur enam tahun. Aku merutuki diriku sendiri yang tega menduakan ibunya demi kesenanganku sendiri.

Tringgg

Untuk kedua kalinya ponselku berdering, sebuah pesan singkat masuk.

[Mas, jangan lupa istirahat, makan yang banyak, ya. Aku sayang kamu]

Ah, Bella. Dia itu selalu saja membuatnya nyaman dan serasa sangat dicintai. Tak masalah aku menduakan Namira, toh Bella bisa membuatku begitu bahagia. Kedua anakku pun aku yakin dapat menerima Bella yang dapat membahagiakan ayahnya ini.

Aku tersenyum tipis, lalu membalas pesan Bella dengan mesra. Tak lupa emotikon hati kukirim dipaling bawah.

Jangan tanya Namira, sebelum ada kejadian ini saja dia sangat jarang mengirimiku pesan. Apalagi sekarang, entah mungkin bisa saja nomorku diblokir olehnya. Dasar wanita, kalau merajuk itulah andalannya.

**

"Bel, ini pesananmu, kan?" ucapku sembari menyodorkan beberapa skincare yang ia pesan tadi pagi.

Pada akhirnya aku menurutinya untuk membelikannya skincare meski tabungan tersembunyiku harus terkuras lagi. Tak masalah, aku bahagia kalau Bella bahagia. Dia harus cantik meski bersuami pria setengah tua sepertiku.

"Asik, terimakasih, Mas. Aku yakin kamu nggak akan membiarkanku sedih," teriak Bella kegirangan sembari menciumiku bertubi-tubi.

Kulihat Namira yang sedang duduk di depan televisi melirikku sekilas, lalu beralih kembali pada ponsel yang ada digenggamannya.

Suara perutku yang keroncongan mau tidak mau harus membuatku melepaskan pelukan Bella dan beranjak ke dapur. Kubuka tudung saji dan siap menyantap makanan lezat malam ini. Namun, betapa terkejutnya ketika satu pun tak kudapati makanan di atas meja makan.

"Nay, kok nggak ada makanan?" teriakku lantang dari dapur, karena biasanya ia akan memasak begitu banyak makanan yang lezat.

Beberapa saat aku menunggu tapi Namira tak kunjung menjawab panggilanku. Entah sejak kapan ia mulai berani membangkang seperti ini. Dasar istri tak tahu diri!

"Namira!!" teriakku kedua kalinya. Namun, tak berselang lama ia masuk ke dalam dapur dengan membawa ponselnya yang menyala, sepertinya ia tengah melakukan panggilan dengan seseorang.

"Ya, gimana, Bu? Teriakan? Itu tadi Mas Rey," ucap Namira membuatku terkejut, sedangkan Bella tampak berjalan membawa buah apel di tangannya dari arah ruang tengah.

"Apa? Rey teriak-teriak? Jahat sekali dia meneriakimu seperti itu, Ra," sahut ibu dari seberang sana, membuatku lagi-lagi diserang rasa gugup.

"Eh, eng-enggak, Bu. Mana ada Rey berteriak?" ucapku memotong pembicaraannya.

"Awas kamu, Rey. Kalau sampai berani macam-macam dengan menantu Ibu itu," lanjut ibu membuatku semakin lemas, "cepat pulang, Namira sudah setuju jika kalian pulang bersama."

"Mas! Kamu mau pulang kemana?" bentak Bella tiba-tiba membuatku terlonjak.

"Lho. Rey, Namira, itu suara siapa?" 

Matilah aku, Bella begitu ceroboh berteriak seperti itu saat sambungan telepon ibu masih tersambung.

"Oh ... Itu ya, Bu. Itu suara seling ...."

"Bu udah dulu, ya. Nanti aku telepon lagi," kataku buru-buru memutuskan sambungan telepon.

Sedetik kemudian aku lantas mendelik ke arah dua istriku itu. Mereka benar-benar membuatku begitu pusing. 

"Aarrgghh ... Bisa nggak sih kalian itu membuatku tidak pusing?" hardikku pada kedua istri tercintaku.

Namira melengos, lalu duduk di kursi. "Pusing dibuat sendiri kok ngeluh. Itu belum seberapa, ya. Lihat saja kalau sampai Ibu tahu apa yang kamu lakuin ke aku," sahut Namira mengancam.

Aku mengacak rambut kasar, sedangkan Bella terlihat tak berdosa dengan lantas berlalu masuk ke dalam kamar.

"Kemasi barang-barangmu, besok pulang bersamaku," tandas Namira lagi sukses membuatku  terpaku untuk kesekian kalinya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status