“Rey, kemarin Namira ke kota. Katanya ada hal penting. Ada apa? Kenapa belum pulang sampai sekarang? Apa kalian ada masalah?”
Tubuhku membeku saat ibu menanyakan tentang Namira. Aku harus bilang apa? Apa aku harus jujur tentang masalah pelik yang sedang kuhadapi?
Tapi tunggu … Ibu bertanya tentang Namira? Itu artinya ia belum tahu yang sesungguhnya? Namira tidak menceritakan apa yang terjadi denganku? Ah, syukurlah setidaknya ia masih memiliki sedikit perasaan dengan tidak menceritakan yang sebenarnya pada ibuku.
“Pekerjaan Rey baik, Bu. Doakan lancar terus, ya,” kataku mengalihkan pembicaraan.
“Rey … Kenapa pertanyaan ibu tidak dijawab? Ibu tanya Namira, loh. Tidak tanya tentang pekerjaanmu,” ucap ibu tak terima dengan jawabanku.
"Em ... A-anu, Bu. Namira katanya kangen sama Rey, Rey juga menyuruhnya datang ke kota. Tapi mungkin dia nggak bakal lama kok, Bu," jawabku berkilah, berharap ibu akan percaya dengan alasanku.
"Yang bener? Biasanya juga kamu yang pulang, atau kalau nggak anak-anak pasti dibawa semua."
Kutepuk dahiku sendiri, usia ibu memang sudah beranjak tua. Namun, pemikirannya masih sangat tajam. Itulah sebabnya aku tak memperbolehkannya tinggal sendirian, melainkan Namira kutugaskan khusus menjaganya di kampung.
"Iya, bener, Bu. Oh, iya, bagaimana Ibu di kampung? Sehat? Sepeninggal Namira, Ibu sama anak-anak sama siapa di rumah?" tanyaku menyelidik, karena sejujurnya hingga hari ini Namira belum mau bertegur sapa denganku. Padahal semalam kami bertiga sempat duduk bersama di meja makan.
"Sehat, Rey. Ibu, anak-anak ditemani Siti, makcikmu," jawab ibu membuatku sedikit lega. Setidaknya Namira tak menelantarkan ibuku sendirian bersama anak-anak.
"Rey, ajak Namira pulang. Aku lihat usaha Namira di rumah sudah semakin maju. Apa kalian tidak ingin melanjutkan ini saja? Kamu lepas jabatan kamu itu? Ibu sudah tua. Pengin didampingi kamu juga."
Sebentar ... Usaha? Usaha Namira? Usaha apa?
"Em ... Bukan Rey nggak mau pulang, Bu. Tapi jabatan ini kan baru Rey pegang beberapa bulan. Nggak enak kalau Rey keluar kantor," ungkapku dengan pikiran berkecamuk mengenai perkataan ibu. "Oh, ya. Ibu bilang usaha Namira? Emang Namira punya usaha apa, Bu?"
"Owalah, Rey. Kamu itu gimana. Jadi suami kok nggak tau. Dua bulan ini Namira buka usaha ... Katanya dapat warisan dari orang tuanya. Tau sendiri kan orang tuanya juga udah tua kaya Ibu. Terus, uang yang dia dapat itu dipakai buat buka usaha ... Em, anu, usaha ...."
Tutt tutt tutt
Ah, kenapa terputus. Hampir saja aku tahu tentang usaha yang Namira dirikan tanpa sepengetahuanku.
[Aduh, Rey. Baterai Ibu habis. Ngobrolnya kita lanjut nanti, ya. Salam untuk Namira, suruh cepat pulang. Ibu kesepian kalau nggak ada dia. Ibu juga berharap kamu bisa pulang, menetap di desa sama Ibu]
Ya Tuhan, apalagi ini? Kenapa seakan masalah datang bertubi-tubi padaku? Padahal niat awalku hanya untuk mencari kesenangan selama Namira tidak ada di sampingku. Tapi ternyata semuanya seakan menjadi bom waktu yang siap meledakkan hidupku.
Kuusap layar ponsel ke atas, terpasang indah foto kedua anakku di dalamnya. Zanna Kirania dan Alvan Zafar. Putri kecilku yang kini telah berusia sembilan tahun dan putra manisku berumur enam tahun. Aku merutuki diriku sendiri yang tega menduakan ibunya demi kesenanganku sendiri.
Tringgg
Untuk kedua kalinya ponselku berdering, sebuah pesan singkat masuk.
[Mas, jangan lupa istirahat, makan yang banyak, ya. Aku sayang kamu]
Ah, Bella. Dia itu selalu saja membuatnya nyaman dan serasa sangat dicintai. Tak masalah aku menduakan Namira, toh Bella bisa membuatku begitu bahagia. Kedua anakku pun aku yakin dapat menerima Bella yang dapat membahagiakan ayahnya ini.
Aku tersenyum tipis, lalu membalas pesan Bella dengan mesra. Tak lupa emotikon hati kukirim dipaling bawah.
Jangan tanya Namira, sebelum ada kejadian ini saja dia sangat jarang mengirimiku pesan. Apalagi sekarang, entah mungkin bisa saja nomorku diblokir olehnya. Dasar wanita, kalau merajuk itulah andalannya.
**
"Bel, ini pesananmu, kan?" ucapku sembari menyodorkan beberapa skincare yang ia pesan tadi pagi.
Pada akhirnya aku menurutinya untuk membelikannya skincare meski tabungan tersembunyiku harus terkuras lagi. Tak masalah, aku bahagia kalau Bella bahagia. Dia harus cantik meski bersuami pria setengah tua sepertiku.
"Asik, terimakasih, Mas. Aku yakin kamu nggak akan membiarkanku sedih," teriak Bella kegirangan sembari menciumiku bertubi-tubi.
Kulihat Namira yang sedang duduk di depan televisi melirikku sekilas, lalu beralih kembali pada ponsel yang ada digenggamannya.
Suara perutku yang keroncongan mau tidak mau harus membuatku melepaskan pelukan Bella dan beranjak ke dapur. Kubuka tudung saji dan siap menyantap makanan lezat malam ini. Namun, betapa terkejutnya ketika satu pun tak kudapati makanan di atas meja makan.
"Nay, kok nggak ada makanan?" teriakku lantang dari dapur, karena biasanya ia akan memasak begitu banyak makanan yang lezat.
Beberapa saat aku menunggu tapi Namira tak kunjung menjawab panggilanku. Entah sejak kapan ia mulai berani membangkang seperti ini. Dasar istri tak tahu diri!
"Namira!!" teriakku kedua kalinya. Namun, tak berselang lama ia masuk ke dalam dapur dengan membawa ponselnya yang menyala, sepertinya ia tengah melakukan panggilan dengan seseorang.
"Ya, gimana, Bu? Teriakan? Itu tadi Mas Rey," ucap Namira membuatku terkejut, sedangkan Bella tampak berjalan membawa buah apel di tangannya dari arah ruang tengah.
"Apa? Rey teriak-teriak? Jahat sekali dia meneriakimu seperti itu, Ra," sahut ibu dari seberang sana, membuatku lagi-lagi diserang rasa gugup.
"Eh, eng-enggak, Bu. Mana ada Rey berteriak?" ucapku memotong pembicaraannya.
"Awas kamu, Rey. Kalau sampai berani macam-macam dengan menantu Ibu itu," lanjut ibu membuatku semakin lemas, "cepat pulang, Namira sudah setuju jika kalian pulang bersama."
"Mas! Kamu mau pulang kemana?" bentak Bella tiba-tiba membuatku terlonjak.
"Lho. Rey, Namira, itu suara siapa?"
Matilah aku, Bella begitu ceroboh berteriak seperti itu saat sambungan telepon ibu masih tersambung.
"Oh ... Itu ya, Bu. Itu suara seling ...."
"Bu udah dulu, ya. Nanti aku telepon lagi," kataku buru-buru memutuskan sambungan telepon.
Sedetik kemudian aku lantas mendelik ke arah dua istriku itu. Mereka benar-benar membuatku begitu pusing.
"Aarrgghh ... Bisa nggak sih kalian itu membuatku tidak pusing?" hardikku pada kedua istri tercintaku.
Namira melengos, lalu duduk di kursi. "Pusing dibuat sendiri kok ngeluh. Itu belum seberapa, ya. Lihat saja kalau sampai Ibu tahu apa yang kamu lakuin ke aku," sahut Namira mengancam.
Aku mengacak rambut kasar, sedangkan Bella terlihat tak berdosa dengan lantas berlalu masuk ke dalam kamar.
"Kemasi barang-barangmu, besok pulang bersamaku," tandas Namira lagi sukses membuatku terpaku untuk kesekian kalinya.
"Astaga. Ibu ... Bagaimana bisa Ibu ada di sini," gumamku lirih saat Namira membukakan pintu untuk orang yang paling aku cintai di dunia ini.Setelah penolakanku kemarin saat Namira mengajakku pulang, tak tahunya hari ini ibu datang kemari. Si*l ... Seperti makan buah simalakama saja. Bergerak kesegala arah terasa keliru."Dengar. Kamu boleh memperlakukanku seperti ini, Mas. Tapi jangan lupa akan karmamu, bahwa yang melahirkanmu itu juga seorang wanita. Bagaimana bisa kamu juga menyakiti hati seorang wanita yang telah melahirkan anak-anakmu?" Masih terngiang jelas di telingaku saat Namira mengatakan hal itu kemarin."Halah, bisanya ceramah aja. Udah Mas, jangan pedulikan dia. Toh pernikahan kita juga sah di depan penghulu, dan aku tak masalah jika hanya dinikahi secara siri," ucap Bella menimpali, membuatku sedikit membumbung tinggi karena pembelaannya.Namira tak bergeming, ia menatap madunya bengis. Belum pernah aku melihatnya dengan tatapan seperti itu. Menyeramkan."Cukup Namira.
Dadaku berpacu begitu cepat, saat tiba-tiba saja Bella keluar kamar dengan pakaian kurang bahannya. Ia juga mengajakku pergi ke salon saat ibu baru saja tiba di rumah.Keringat dingin mulai membasahi dahiku, sedangkan kulihat Namira tersenyum tipis ke arahku. Persis seperti senyuman mengejek."Rey, kok nggak jawab?" tanya ibu lagi ketika aku terdiam saat ibu bertanya tentang Bella."Em ... Ini, anu, Bu ....""Oh, ini mertuaku? Kenalkan, Bu. Saya istri Mas Rey juga, yang artinya adalah menantumu juga, namaku Bella Cantika," sahut Bella tak terkendali, membuatku sekali lagi hampir saja jantungan.Ibu terperanjat, begitu juga makcik yang berdiri di sisi ibu. Tak terkecuali anak perempuanku yang ada dipelukan ibunya, ia sontak melepaskan pelukannya dan menatapku lekat.Usianya sudah menginjak sembilan tahun, sedikit banyaknya ia pasti tahu apa yang sedang terjadi atas perkataan Bella beberapa saat yang lalu. Ya Tuhan, andai aku bisa memutar waktu pasti aku tak akan melakukan kesalahan bod
Hingga dini hari, kedua mataku masih saja belum mau terpejam. Pikiranku masih memikirkan paket siang tadi untuk Namira. Hatiku berkecamuk, menerka-nerka siapa Leo itu.Malam ini Bella tidur lebih awal, katanya kepalanya pusing semenjak kehadiran ibu. Sedangkan Makcik pulang ke kampung sore tadi. Sebenarnya aku berharap ibu dan kedua anakku mau menerima Bella seperti kehadiran Namira, tapi rasanya hal itu masih sangat mustahil. Mengingat sikap Kirani dan Zafar ketika berhadapan dengan Bella, mereka sama sekali tak bisa bersikap baik.Akhirnya aku memutuskan keluar kamar hendak mengambil minum di dapur. Namun, aku seperti mendengar seseorang tengah menangis sesegukan di mushola rumah. Tanpa pikir panjang lagi aku lantas mendekat ke arah mushola dan melihat apa yang sedang terjadi.Betapa terkejutnya ketika kulihat ibu duduk bersimpuh dengan linangan air mata, ia menangis sesegukan dengan menyebut namaku. Seketika itu juga hatiku hancur, bagai disayat sembilu ketika melihat ibu menangis
[Mas, cepet pulang, ya. Sumpah aku di rumah capek banget. Ibumu emang nggak ada akhlak seharian nyuruh-nyuruh aku terus]Jam kerjaku belum juga selesai, Bella sudah mengirimkan pesan menggelikan. Seharusnya ia bahagia bukan? Ibu sudah mau bicara dengannya meskipun dengan dalih menyuruh. Itu artinya ibu sudah mulai membuka hati untuknya. Tapi kenapa Bella malah marah? Harusnya dia sabar sedikit supaya bisa meraih hati ibu sepenuhnya.Kubalas pesannya dengan emotikon jempol dan cium, lalu kembali meneruskan pekerjaanku yang belum selesai. Sejak Namira menarik semua uangku, aku merasa seperti pekerjaanku ini sia-sia saja. Kerja dari pagi sampai sore, lelah, tapi kini uangku ditarik olehnya. Sungguh mengenaskan.Ah, tapi tidak masalah. Yang penting sedikit banyak aku masih bisa menyisihkan uang di ATM tersembunyiku meski jumlahnya tak lebih dari sepuluh juta. Itu pun kemarin sudah digerogoti Bella ketika mengajak ke salon.Tak masalah bagiku, yang penting Bella senang, hari-hariku berwarn
Kusandarkan tubuhku di sisi jendela kamar yang terbuka, sedangkan Bella masih terduduk diam di atas ranjang. Tak sepatah katapun terucap sejak kepulanganku sore tadi. Terlebih setelah berdebat dengan ibu.Huufftt haaahhKini aku merasa menjadi seorang anak yang durhaka. Demi seorang wanita aku tega membentak ibuku sendiri. Ya Tuhan ... Tolong maafkan aku yang telah tega menggores hati wanita yang telah melahirkanku."Foto apa, Bu?" tanyaku saat ibu menjelaskan perihal kepergian Namira.Ibu diam, kemudian pandangan kami teralihkan pada Bella yang ikut masuk ke dalam kamar utama tempatku berbincang dengan ibu."Tanyakan padanya," sahut ibu dengan menatap tajam wanita yang kucintai dua bulan terakhir ini.Kepalaku rasanya mau pecah, saat penatku di kantor belum hilang tapi sudah berganti dengan masalah pelik di rumah. Padahal harapanku akan bahagia dengan menikahi Bella dan tetap mempertahankan Namira. Tapi ternyata aku salah."Bel, foto apa?"Bella memandangku dan ibu secara bergantian,
Berulang kali aku mengetik kemudian kembali menghapus kata di dalam layar ponselku. Hatiku bimbang, ketika ingin mengirimkan pesan pada kedua orang tua Namira di kampung. Jika bukan ke kampung, kemana dia pergi? Di kota dia sama sekali tidak tahu arah, rasanya aneh jika dia tidak pulang ke rumah.Namun, jika aku mengirimkan pesan pada ibu dan menanyakan keberadaannya pasti kedua orangtuanya akan tahu apa yang telah terjadi padaku dan Namira. Jika mereka tahu, bisa saja mereka menyuruhku bercerai dengan anaknya. Oh ... Jangan sampai. Aku mencintai Namira, mana mungkin aku bisa bercerai dengannya.Bagaimanapun caranya, aku harus membuat kedua istriku berdamai dan hidup berdampingan. Mereka berdua sangat berarti untukku. Lagipula jika aku sampai berpisah dengan Namira, pasti anak-anak akan dibawa serta olehnya dan aku tak akan sanggup jika harus berpisah dari anak-anak.Kutatap nanar sebuah bingkai foto yang terpasang indah di atas meja kerjaku, foto saat kami baru saja melangsungkan aca
"Sial!" Aku mengumpat dengan memukul setir kemudi keras saat mobil merah yang kuikuti sejak tadi berbelok arah ke kanan sedang aku harus terhenti karena lampu lalu lintas yang menyala warna merah.Jika itu Namira, bagaimana bisa dia berdandan seperti itu? Lagi pula itu mobil siapa? Lalu, siapa pria itu?Kuambil ponsel yang tersimpan di saku, lalu menekan nomor Namira cepat. Kudekatkan benda pipih itu ke telinga tapi tak sekalipun ia berdering."Nomor yang anda tuju sedang tidak dapat dihubungi"Lagi-lagi aku mengumpat keras, ketika nomor Namira masih saja belum bisa dihubungi. Ada apa ini? Apa aku hanya salah lihat? Tapi wanita tadi benar-benar sangat mirip dengan Namira.Lampu hijau menyala, membuatku mau tak mau harus berbelok arah dan kembali pada perjalananku ke rumah. Hampir sepuluh menit aku mengikutinya namun semua hanya berakhir sia-sia.**Kuparkirkan mobil fortuner hitamku di garasi, lalu turun dan berniat hendak beristirahat setelah lelah seharian ini. Kulihat Kirani dan Za
Pasca kejadian sore tadi Bella belum mau bertegur sapa denganku, ia hanya duduk diam dengan memainkan ponselnya di atas ranjang. Sedang aku masih hanyut dalam pikiranku yang semakin berkecamuk. Perihal wanita misterius itu dan juga pesan Namira. Bagaimana bisa wanita itu terlihat sangat mirip dengan Namira? Juga bagaimana bisa Namira mengirimkan pesan itu padaku saat ia tak ada di rumah?Sepertinya aku salah dengan mempermainkan perasaannya. Di wanita baik, tak seharusnya aku memperlakukannya seperti ini. Tapi aku bisa apa? Semua sudah terjadi dan aku hanya boleh menjalaninya, untuk mundur pun semua sudah terasa sangat jauh.“Bel, tolong ambilin aku minum, ya,” ucapku pada Bella, karena memang aku sedang tak berselera keluar kamar.Namun, ia masih terdiam dengan terus berselancar dalam sosial medianya. Padahal, jika Namira, ia kan langsung berdiri dan menuruti perintahku. Ah, lagi-lagi Namira yang ada di kepalaku saat ini.“Bel … dengar tidak?” kataku lagi saat ia tak kunjung berdiri