"Astaga. Ibu ... Bagaimana bisa Ibu ada di sini," gumamku lirih saat Namira membukakan pintu untuk orang yang paling aku cintai di dunia ini.
Setelah penolakanku kemarin saat Namira mengajakku pulang, tak tahunya hari ini ibu datang kemari. Si*l ... Seperti makan buah simalakama saja. Bergerak kesegala arah terasa keliru.
"Dengar. Kamu boleh memperlakukanku seperti ini, Mas. Tapi jangan lupa akan karmamu, bahwa yang melahirkanmu itu juga seorang wanita. Bagaimana bisa kamu juga menyakiti hati seorang wanita yang telah melahirkan anak-anakmu?" Masih terngiang jelas di telingaku saat Namira mengatakan hal itu kemarin.
"Halah, bisanya ceramah aja. Udah Mas, jangan pedulikan dia. Toh pernikahan kita juga sah di depan penghulu, dan aku tak masalah jika hanya dinikahi secara siri," ucap Bella menimpali, membuatku sedikit membumbung tinggi karena pembelaannya.
Namira tak bergeming, ia menatap madunya bengis. Belum pernah aku melihatnya dengan tatapan seperti itu. Menyeramkan.
"Cukup Namira. Hargai keputusanku, dan kalau perlu bantu aku untuk menjelaskan pada Ibu tentang status yang kini tengah kusandang."
Emosiku memuncak, melihat tiga hari ini Namira berubah menjadi garang dan tak terkendali. Aku yakin ada sesuatu dibalik semua ini. Mana mungkin dia berubah sedrastis ini dalam kurun waktu yang sangat singkat?
"Dasar wanita nggak tahu diuntung. Masih untung Mas Rey mau denganmu, bukannya bersyukur malah kaya gini." Sekali lagi Bella menimpali perkataanku.
Selangkah Namira mendekat, lalu menampar keras pipi Bella keras hingga terhuyung ke samping.
"Dengar juga jal*ng. Silahkan kamu menikmati lelaki ini, asal kamu mau hidup susah dengannya. Bahkan semua isi ATM-nya telah kukuras, semua asetnya pun juga atas namaku. Aku pun tak akan menceraikan lelaki ini agar tak sepeserpun harta gono gini jatuh kepada kalian!" tandas Namira lantang, membuatku terlonjak kaget.
"Hahaha ... Kalau kamu nggak mau cerai, biar Mas Rey yang menceraikanmu. Terima saja nasib burukmu, Namira."
Astaga! Apalagi ini ... Kepalaku hampir saja mau pecah dengan pertengkaran ini. Mana mungkin aku bisa menceraikan Namira? Nama baikku di perusahaan akan jatuh jika sampai mereka tahu aku cerai karena alasan orang ketiga. Lagi pula bagaimana nasib ibu? Siapa yang akan mengurusnya jika bukan Namira? Bella? Aku yakin ia tak akan mampu.
"Tanyakan pada lelakimu itu. Berani atau tidak dia menceraikanku!" pungkas Namira dengan menatapku lekat.
Sedetik kemudian Bella beralih menatapku, seolah ia berharap bahwa aku akan mengatakan persetujuan menceraikan Namira.
"Ti-tidak bisa. Aku tidak bisa cerai dengan Namira. Tolong, mengertilah ...." ucapku dengan raut wajah memelas, berharap Bella akan paham akan keinginanku.
"Satu kosong, Nona. Aku permisi dulu, ada hal penting yang mau aku lakukan," lanjut Namira dengan melangkah menjauh dariku, "oh, ya, suamiku ... Jangan lupa akhir bulan ini biaya sekolah Kirani, ya. Dua juta lima ratus ribu."
Mulutku menganga, seluruh uangku telah habis ia tarik. Sedangkan gajiku hanya kisaran delapan juta. Jika angsuran rumah satu juta lima ratus, biaya sekolah Kirani dua juta lima ratus, jatah bulanan ibu lima ratus ribu, jatah bulanan Namira satu juta lima ratus, tinggal tiga juta saja. Mana cukup untuk hidup satu bulan. Belum lagi kebutuhan Bella, dua hari yang lalu saja sekali belanja dia menghabiskan hampir dua juta. Bisa mati berdiri jika terus-terusan seperti ini.
Namira berjalan menjauhiku dan Bella yang masih berkacak pinggang. Aku tahu bahwa Bella terlihat sangat marah dengan Namira, tapi aku bisa apa? Selain berusaha mendamaikan kedua istriku itu.
Setengah jam berlalu, Namira tak kunjung masuk ke dalam rumah. Aku yang merasa sangat penasaran akhirnya memberanikan diri berdiri di ambang pintu dan melihat apa yang sedang Namira lakukan di luar sana.
Betapa terkejutnya ketika kulihat ia tengah mengobrol dengan seseorang lewat sambungan telepon. Ia tampak bahagia dan tersenyum lepas. Segera kutajamkan pendengaranku dengan mendekatkan daun telinga ke arah Namira yang berdiri sekitar tujuh meter di hadapanku.
"Iya ... Beruntungnya aku bisa mengenalmu. Kalau nggak ada kamu, aku nggak bakal sekuat ini. Mungkin saat ini aku masih nangis-nangis nggak jelas gara-gara ulah Mas Rey," ucapnya membuatku mengernyitkan dahi.
Dia bicara dengan siapa? Sepertinya asik sekali. Juga kudengar ia menyebut namaku.
"Makasih, ya. Semua ini berkat kamu. Kamu tenang aja, aku bakal mempertahankan apa yang sudah seharusnya menjadi milikku. Kamu tidak perlu khawatir, Leo."
Deg
Leo? Bukankah Leo itu nama lelaki?
Dadaku kembang kempis. Membayangkan betapa seringnya Namira berhubungan dengan orang itu hingga terlihat sangat akrab seperti ini. Berani sekali jika Namira memang telah bermain api di belakangku.
Aku lantas beranjak meninggalkan Namira yang masih berdiri di teras dan mengobrol hangat dengan pria yang ia sebut Leo tersebut. Bisa atau tidak aku harus cari tahu. Siapa Leo itu!
"Rey ... Ibu datang," teriak ibu membuyarkan lamunanku tentang kejadian semalam. Kejadian semalam saja sudah membuatku begitu pening, siapa Leo dan bagaimana bisa pria itu mengenal Namira. Apa mungkin dia juga yang sudah mengajari Namira untuk bertindak garang dan membangkang kepadaku? Jika iya, awas saja. Aku akan mencari orang itu meski ke ujung dunia.
"I-iya. Ibu ... Kok Ibu ke sini? Sama siapa?"
"Sama Makcikmu, sama kedua anakmu. Habis Ibu menyuruhmu pulang kamu nggak pulang. Ibu rindu, lagian anak-anak juga sudah mulai mencari ibunya," terang ibu dengan melihat kedua anakku yang sudah berhambur dipelukan ibunya.
Ah, manis sekali pemandangan ini.
"Seharusnya Ibu nggak usah repot-repot. Nanti Rey bakal pulang kalau udah libur, lagian Namira juga rencananya mau pulang hari ini. Iya kan, Nay?" ucapku asal, menutupi kegugupanku.
Namira melengos, "siapa bilang? Aku tidak bilang begitu," tandasnya santai.
"Mas, anterin aku ke salon, yuk. Rambut aku udah lepek, nih."
Kami semua menoleh ke arah sumber suara, saat tiba-tiba saja Bella datang dari arah kamar tamu. Seketika itu juga raut wajah ibu berubah ketika melihat Bella dengan pakaian kurang bahannya.
"Lho, dia siapa, Rey?" tanya ibu menyelidik.
Bagaimana ini? Aku harus jawab apa?
Dadaku berpacu begitu cepat, saat tiba-tiba saja Bella keluar kamar dengan pakaian kurang bahannya. Ia juga mengajakku pergi ke salon saat ibu baru saja tiba di rumah.Keringat dingin mulai membasahi dahiku, sedangkan kulihat Namira tersenyum tipis ke arahku. Persis seperti senyuman mengejek."Rey, kok nggak jawab?" tanya ibu lagi ketika aku terdiam saat ibu bertanya tentang Bella."Em ... Ini, anu, Bu ....""Oh, ini mertuaku? Kenalkan, Bu. Saya istri Mas Rey juga, yang artinya adalah menantumu juga, namaku Bella Cantika," sahut Bella tak terkendali, membuatku sekali lagi hampir saja jantungan.Ibu terperanjat, begitu juga makcik yang berdiri di sisi ibu. Tak terkecuali anak perempuanku yang ada dipelukan ibunya, ia sontak melepaskan pelukannya dan menatapku lekat.Usianya sudah menginjak sembilan tahun, sedikit banyaknya ia pasti tahu apa yang sedang terjadi atas perkataan Bella beberapa saat yang lalu. Ya Tuhan, andai aku bisa memutar waktu pasti aku tak akan melakukan kesalahan bod
Hingga dini hari, kedua mataku masih saja belum mau terpejam. Pikiranku masih memikirkan paket siang tadi untuk Namira. Hatiku berkecamuk, menerka-nerka siapa Leo itu.Malam ini Bella tidur lebih awal, katanya kepalanya pusing semenjak kehadiran ibu. Sedangkan Makcik pulang ke kampung sore tadi. Sebenarnya aku berharap ibu dan kedua anakku mau menerima Bella seperti kehadiran Namira, tapi rasanya hal itu masih sangat mustahil. Mengingat sikap Kirani dan Zafar ketika berhadapan dengan Bella, mereka sama sekali tak bisa bersikap baik.Akhirnya aku memutuskan keluar kamar hendak mengambil minum di dapur. Namun, aku seperti mendengar seseorang tengah menangis sesegukan di mushola rumah. Tanpa pikir panjang lagi aku lantas mendekat ke arah mushola dan melihat apa yang sedang terjadi.Betapa terkejutnya ketika kulihat ibu duduk bersimpuh dengan linangan air mata, ia menangis sesegukan dengan menyebut namaku. Seketika itu juga hatiku hancur, bagai disayat sembilu ketika melihat ibu menangis
[Mas, cepet pulang, ya. Sumpah aku di rumah capek banget. Ibumu emang nggak ada akhlak seharian nyuruh-nyuruh aku terus]Jam kerjaku belum juga selesai, Bella sudah mengirimkan pesan menggelikan. Seharusnya ia bahagia bukan? Ibu sudah mau bicara dengannya meskipun dengan dalih menyuruh. Itu artinya ibu sudah mulai membuka hati untuknya. Tapi kenapa Bella malah marah? Harusnya dia sabar sedikit supaya bisa meraih hati ibu sepenuhnya.Kubalas pesannya dengan emotikon jempol dan cium, lalu kembali meneruskan pekerjaanku yang belum selesai. Sejak Namira menarik semua uangku, aku merasa seperti pekerjaanku ini sia-sia saja. Kerja dari pagi sampai sore, lelah, tapi kini uangku ditarik olehnya. Sungguh mengenaskan.Ah, tapi tidak masalah. Yang penting sedikit banyak aku masih bisa menyisihkan uang di ATM tersembunyiku meski jumlahnya tak lebih dari sepuluh juta. Itu pun kemarin sudah digerogoti Bella ketika mengajak ke salon.Tak masalah bagiku, yang penting Bella senang, hari-hariku berwarn
Kusandarkan tubuhku di sisi jendela kamar yang terbuka, sedangkan Bella masih terduduk diam di atas ranjang. Tak sepatah katapun terucap sejak kepulanganku sore tadi. Terlebih setelah berdebat dengan ibu.Huufftt haaahhKini aku merasa menjadi seorang anak yang durhaka. Demi seorang wanita aku tega membentak ibuku sendiri. Ya Tuhan ... Tolong maafkan aku yang telah tega menggores hati wanita yang telah melahirkanku."Foto apa, Bu?" tanyaku saat ibu menjelaskan perihal kepergian Namira.Ibu diam, kemudian pandangan kami teralihkan pada Bella yang ikut masuk ke dalam kamar utama tempatku berbincang dengan ibu."Tanyakan padanya," sahut ibu dengan menatap tajam wanita yang kucintai dua bulan terakhir ini.Kepalaku rasanya mau pecah, saat penatku di kantor belum hilang tapi sudah berganti dengan masalah pelik di rumah. Padahal harapanku akan bahagia dengan menikahi Bella dan tetap mempertahankan Namira. Tapi ternyata aku salah."Bel, foto apa?"Bella memandangku dan ibu secara bergantian,
Berulang kali aku mengetik kemudian kembali menghapus kata di dalam layar ponselku. Hatiku bimbang, ketika ingin mengirimkan pesan pada kedua orang tua Namira di kampung. Jika bukan ke kampung, kemana dia pergi? Di kota dia sama sekali tidak tahu arah, rasanya aneh jika dia tidak pulang ke rumah.Namun, jika aku mengirimkan pesan pada ibu dan menanyakan keberadaannya pasti kedua orangtuanya akan tahu apa yang telah terjadi padaku dan Namira. Jika mereka tahu, bisa saja mereka menyuruhku bercerai dengan anaknya. Oh ... Jangan sampai. Aku mencintai Namira, mana mungkin aku bisa bercerai dengannya.Bagaimanapun caranya, aku harus membuat kedua istriku berdamai dan hidup berdampingan. Mereka berdua sangat berarti untukku. Lagipula jika aku sampai berpisah dengan Namira, pasti anak-anak akan dibawa serta olehnya dan aku tak akan sanggup jika harus berpisah dari anak-anak.Kutatap nanar sebuah bingkai foto yang terpasang indah di atas meja kerjaku, foto saat kami baru saja melangsungkan aca
"Sial!" Aku mengumpat dengan memukul setir kemudi keras saat mobil merah yang kuikuti sejak tadi berbelok arah ke kanan sedang aku harus terhenti karena lampu lalu lintas yang menyala warna merah.Jika itu Namira, bagaimana bisa dia berdandan seperti itu? Lagi pula itu mobil siapa? Lalu, siapa pria itu?Kuambil ponsel yang tersimpan di saku, lalu menekan nomor Namira cepat. Kudekatkan benda pipih itu ke telinga tapi tak sekalipun ia berdering."Nomor yang anda tuju sedang tidak dapat dihubungi"Lagi-lagi aku mengumpat keras, ketika nomor Namira masih saja belum bisa dihubungi. Ada apa ini? Apa aku hanya salah lihat? Tapi wanita tadi benar-benar sangat mirip dengan Namira.Lampu hijau menyala, membuatku mau tak mau harus berbelok arah dan kembali pada perjalananku ke rumah. Hampir sepuluh menit aku mengikutinya namun semua hanya berakhir sia-sia.**Kuparkirkan mobil fortuner hitamku di garasi, lalu turun dan berniat hendak beristirahat setelah lelah seharian ini. Kulihat Kirani dan Za
Pasca kejadian sore tadi Bella belum mau bertegur sapa denganku, ia hanya duduk diam dengan memainkan ponselnya di atas ranjang. Sedang aku masih hanyut dalam pikiranku yang semakin berkecamuk. Perihal wanita misterius itu dan juga pesan Namira. Bagaimana bisa wanita itu terlihat sangat mirip dengan Namira? Juga bagaimana bisa Namira mengirimkan pesan itu padaku saat ia tak ada di rumah?Sepertinya aku salah dengan mempermainkan perasaannya. Di wanita baik, tak seharusnya aku memperlakukannya seperti ini. Tapi aku bisa apa? Semua sudah terjadi dan aku hanya boleh menjalaninya, untuk mundur pun semua sudah terasa sangat jauh.“Bel, tolong ambilin aku minum, ya,” ucapku pada Bella, karena memang aku sedang tak berselera keluar kamar.Namun, ia masih terdiam dengan terus berselancar dalam sosial medianya. Padahal, jika Namira, ia kan langsung berdiri dan menuruti perintahku. Ah, lagi-lagi Namira yang ada di kepalaku saat ini.“Bel … dengar tidak?” kataku lagi saat ia tak kunjung berdiri
Dua minggu kemudian ....Sudah dua minggu ini Namira pergi meninggalkanku dan anak-anak. Setiap hari aku harus selalu mendengar teriakan sumbang mereka, terlebih saat mereka tengah bertengkar dengan Bella. Serasa sudah seperti perang dunia ke tiga.Pagi ini aku sengaja bangun sedikit siang karena memang sedang akhir pekan. Siang nanti Bella mengajakku belanja karena ia bilang suntuk di rumah. Tak masalah aku menuruti kemauannya kali ini, karena selama dua minggu ini Bella juga sudah berkelakuan baik pada ibu.Bukan aku tak mencari Namira, tapi rasanya pencarianku sudah sampai ke ujung dunia. Setitik pun tak ada tanda-tanda keberadaan Namira. Bahkan, aku sampai menyuruh salah seorang temanku untuk menelepon ke rumah Namira di kampung. Tapi nihil, ia hilang bak ditelan bumi.Aku mendesah pelan, ketika kulihat satu lembar kertas transaksiku kemarin di ATM. Uangku tinggal tujuh juta, sedangkan siang nanti Bella juga mengajak belanja. Mana cukup untuk hidup dua minggu kedepan jika Bella te