Share

Bab 2

Selepas ijab qobul, aku tidak lagi melihat Sinta sampai selesai semua rangkaian acara pernikahan keduaku.

”Carilah istri pertamamu, Nak. Walau bagaimanapun dia istrimu. Abah bukan tidak tidak menyukai Sinta, hanya saja Abah belum bisa menerima atas tindakan orangtuanya," ucap Abah yang membuatku merasa bersalah karena tadi berbahagia ketika tidak melihatnya dengan tatapan yang selalu kosong kedepan.

"Baik, Bah."

"Jangan biarkan dia merasa terasing disini. Kasihan. Walau bagaimanapun dia adalah istrimu dan juga sudah seperti anak Abah. Meskipun Abah belum bisa mengajaknya bicara Akrab," lanjutnya lagi dan seringkali terdengar helaan nafas berat dan panjang Abah.

Awal pernikahanku dengan Sinta Rania memang bukan keinginan kami. Dalam artian orangtua Sinta yang mengancam keluargaku agar menikahi Sinta.

Semua keluargaku bisa berpura-pura baik, tapi tidak dengan Abah. Beliau hanya tersenyum padanya sekilas lalu pergi.

Tetapi Abah tetap lebih menyayangi dia daripada yang lain, sama seperti umi.

Aku menikahi Janah juga penyebab utama bukanlah karena Sinta seorang wanita yang tidak akan memiliki keturunan, tapi memang dua tahun yang lalu harusnya menjadi pernikahanku dengan Janah.

Dua tahun yang lalu tepat aku akan berkunjung kerumah ustadz Hanafi bersama rombongan keluarga besar, dengan memiliki niat untuk melamar Janah.

Meskipun aku belum bertanya padanya, apakah dia menyukaiku, tapi ustadz Hanafi bilang 'Janah tidak akan menolak jika aku melamarnya.

Oleh sebab itu kami bergegas menuju rumahnya. Memang terbilang tidak terlalu jauh, tapi juga tidak dekat dan hanya ada satu jalan agar bisa sampai. Tidak ada jalan alternatif lainnya yang bisa dilalui.

Ketika sedang dipertengahan, ada segerombolan orang yang berbadan tegap dan berjas hitam menghentikan dan mengancam kami agar ikut intrupsi mereka dengan menodongkan senjata tajam.

Semua yang ada di mobil panik, tidak terkecuali aku dan Abah. Tapi kami menyembunyikan kepanikan karena kami adalah seorang lelaki yang harus menenangkan kekhwatiran para perempuan.

"Apa yang kalian inginkan?" tanyaku yang mencoba agar tetap tenang.

"Ikutlah dengan kami kalau ingin selamat, tapi jika tidak, jangan salahkan kami yang tidak memperingatkan," ancam salah satu dari mereka.

Aku melirik kesamping kiri ke arah Abah, beliau hanya mengangguk pelan dan menutup matanya mencoba menghirup udara segar.

"Baiklah, tunjukkan kami jalannya."

Ada rasa sesal ketika dewan santri dan beberapa santri lain yang jago bela diri menawarkan diri untuk ikut dengan kami, tapi dengan cepat aku menolaknya. Aku pikir kejadian seperti ini hanya ada dalam dongeng. Meskipun aku bisa bela diri, tapi kita kalah jumlah. Ada suaminya bibi Ratih di belakang, tapi sudah gemetaran juga. Karena memang hanya aku yang bisa bela diri. Jadi aku lebih memilih mundur.

***

Setelah hampir satu jam, beberapa mobil itu masuk kedalam sebuah gerbang mewah yang menjulang tinggi.

Kami mengikuti dibelakang dan langsung masuk ke gerbang itu. Subhanallah, rumah yang seperti istana terpangpang jelas didepan wajah kami.

Mereka kembali menodongkan senjata kepada kami, sampai tiba di salah satu ruangan. Seseorang yang berjas putih, tapi bukan seorang dokter duduk dengan tenang disalah satu tempat duduk diruangan ini.

"Kalian mengenal Saya?" tanyanya ketika melihat kami menatapnya lekat.

"Kalian memang tidak mengenal Saya, tapi Saya mengenal kalian," lanjutnya lagi dan beranjak dari tempat duduknya.

Dia menghampiri kami dan matanya memperhatikan wajah kami satu persatu dari atas sampai bawah.

"Duduklah. Mari Abah, Saya bantu!" titahnya pada kami dan dia membantu Abah untuk duduk. Tidak ada pilihan lain bagi Abah selain menuruti lelaki ini.

Kami semua duduk dan lelaki ini menahan Abah oleh para bodyguardnya, lalu kami semua juga di tahan, tidak bisa keluar. Kami semua akan dia bebaskan dengan satu syarat.

"Saya tau bahwa lelaki bernama Fahmi Idris, anak tertua Abah. Saya ingin saudara Fahmi menikahi putri Saya, Sinta. Dia gadis yang cantik dan sangat baik hati. Semua orang akan bahagia jika dia hadir diantara kalian," ucapnya dengan tegas tapi seperti ada kesedihan dimatanya.

"Satu kesalahannya, yaitu dia anak seorang Mapia. Saya tidak bisa menunjukkan identitas yang sebenarnya. Kini dia sedang memimpin sebuah perusahaan besar yang menambah kekhawatiran Saya padanya. Oleh sebab itu Saya ingin dia ada dilingkungan yang aman. Biar perusahaannya di kerjakan oleh orang-orang kepercayaannya," lanjutnya lagi yang kini ada buliran bening dimatanya.

Memang, sekuat dan sekejam apapun seorang ayah, tidak bisa menunjukannya jika dihadapkan dengan anak-anaknya.

Disitulah kami merasa tersudut. Dengan cepat Abah menyetujui pernikahan ini. Tetapi setelah akad nikah dilakukan, Pak Adam, ayahnya Sinta menembak Diyah. Kami benar-benar kecewa Pak Adam tidak bisa menepati janjinya.

Diyah membutuhkan waktu penyembuhan selama satu tahun. Kami semua masih merahasiakan kejadian ini dari Sinta. Karena waktu Diyah tertembak, Sinta dan aku sedang berada di pedesaan, cabang pondok kami.

***

Sejauh mata memandang, aku tidak bisa menemukan Sinta. Sepertinya dia sedang menghibur diri. Awalnya aku berat untuk menikah dengan Janah, tapi sikap Sinta yang tegar membuat beratku menjadi ringan dan ingin segera meminang Janah.

Ada rasa yang tidak bisa aku jelaskan setelah ijab qobul terucap, entah khawatir tentang perasaan Sinta atau yang lain. Aku juga tidak tahu pasti.

Aku berjalan menuju taman pondok belakang.

"Mas, mau kemana?" tanya Janah yang tiba-tiba sudah berada dibelakang ku.

"Mas sedang mencari Sinta. Apa kamu melihatnya?"

"Iya, aku melihatnya. Mbak Sinta sedang duduk di bangku yang ada di taman belakang," jelasnya dan langsung menggandeng tanganku dan berjalan cepat menuju taman.

Tadinya aku ingin bicara berdua dengan Sinta, tapi aku juga tidak bisa mengusir Janah.

Kami sampai di taman dan mataku menyapu tempat ini. Dapat. Dia sedang duduk dengan kepala menengadah ke langit.

Apa yang sedang dilihatnya, di atas tidak ada apapun.

Kulepaskan tangan dari gandengan Janah dan duduk di samping Sinta.

"Apa yang kau lakukan, disini tidak ada apapun."

"Siapa bilang tidak ada, ada langit dan bunga-bunga yang sangat indah," ucapnya tanpa menatapku sama sekali.

"Tapi mereka bukan manusia."

”Meskipun mereka bukan manusia, tapi mereka setia. Keindahan mereka abadi. Tidak seperti manusia. Menyatakan cinta, tapi menyakiti hati bahkan sampai dasarnya," ucapnya pelan tapi sangat menusuk hatiku.

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Ardi Ningrum
Diyah itu siapa ya?
goodnovel comment avatar
Asa Benita
Manusia itu makhluk yg egois dan pastinya mereka akan lbh mementingkan kepentingan diri sendiri. Poligami krn istri tdk bisa memiliki anak, padahal Rasulullah ketika melakukan poligami bukan itu alasannya. Gitu kok ga malu mengaku sbg hamba Rasulullah..
goodnovel comment avatar
carsun18106
ruwet ya keluarga ini
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status