Selepas ijab qobul, aku tidak lagi melihat Sinta sampai selesai semua rangkaian acara pernikahan keduaku.
”Carilah istri pertamamu, Nak. Walau bagaimanapun dia istrimu. Abah bukan tidak tidak menyukai Sinta, hanya saja Abah belum bisa menerima atas tindakan orangtuanya," ucap Abah yang membuatku merasa bersalah karena tadi berbahagia ketika tidak melihatnya dengan tatapan yang selalu kosong kedepan."Baik, Bah.""Jangan biarkan dia merasa terasing disini. Kasihan. Walau bagaimanapun dia adalah istrimu dan juga sudah seperti anak Abah. Meskipun Abah belum bisa mengajaknya bicara Akrab," lanjutnya lagi dan seringkali terdengar helaan nafas berat dan panjang Abah.Awal pernikahanku dengan Sinta Rania memang bukan keinginan kami. Dalam artian orangtua Sinta yang mengancam keluargaku agar menikahi Sinta.Semua keluargaku bisa berpura-pura baik, tapi tidak dengan Abah. Beliau hanya tersenyum padanya sekilas lalu pergi.Tetapi Abah tetap lebih menyayangi dia daripada yang lain, sama seperti umi.Aku menikahi Janah juga penyebab utama bukanlah karena Sinta seorang wanita yang tidak akan memiliki keturunan, tapi memang dua tahun yang lalu harusnya menjadi pernikahanku dengan Janah.Dua tahun yang lalu tepat aku akan berkunjung kerumah ustadz Hanafi bersama rombongan keluarga besar, dengan memiliki niat untuk melamar Janah.Meskipun aku belum bertanya padanya, apakah dia menyukaiku, tapi ustadz Hanafi bilang 'Janah tidak akan menolak jika aku melamarnya.Oleh sebab itu kami bergegas menuju rumahnya. Memang terbilang tidak terlalu jauh, tapi juga tidak dekat dan hanya ada satu jalan agar bisa sampai. Tidak ada jalan alternatif lainnya yang bisa dilalui.Ketika sedang dipertengahan, ada segerombolan orang yang berbadan tegap dan berjas hitam menghentikan dan mengancam kami agar ikut intrupsi mereka dengan menodongkan senjata tajam.Semua yang ada di mobil panik, tidak terkecuali aku dan Abah. Tapi kami menyembunyikan kepanikan karena kami adalah seorang lelaki yang harus menenangkan kekhwatiran para perempuan."Apa yang kalian inginkan?" tanyaku yang mencoba agar tetap tenang."Ikutlah dengan kami kalau ingin selamat, tapi jika tidak, jangan salahkan kami yang tidak memperingatkan," ancam salah satu dari mereka.Aku melirik kesamping kiri ke arah Abah, beliau hanya mengangguk pelan dan menutup matanya mencoba menghirup udara segar."Baiklah, tunjukkan kami jalannya."Ada rasa sesal ketika dewan santri dan beberapa santri lain yang jago bela diri menawarkan diri untuk ikut dengan kami, tapi dengan cepat aku menolaknya. Aku pikir kejadian seperti ini hanya ada dalam dongeng. Meskipun aku bisa bela diri, tapi kita kalah jumlah. Ada suaminya bibi Ratih di belakang, tapi sudah gemetaran juga. Karena memang hanya aku yang bisa bela diri. Jadi aku lebih memilih mundur.***Setelah hampir satu jam, beberapa mobil itu masuk kedalam sebuah gerbang mewah yang menjulang tinggi.Kami mengikuti dibelakang dan langsung masuk ke gerbang itu. Subhanallah, rumah yang seperti istana terpangpang jelas didepan wajah kami.Mereka kembali menodongkan senjata kepada kami, sampai tiba di salah satu ruangan. Seseorang yang berjas putih, tapi bukan seorang dokter duduk dengan tenang disalah satu tempat duduk diruangan ini."Kalian mengenal Saya?" tanyanya ketika melihat kami menatapnya lekat."Kalian memang tidak mengenal Saya, tapi Saya mengenal kalian," lanjutnya lagi dan beranjak dari tempat duduknya.Dia menghampiri kami dan matanya memperhatikan wajah kami satu persatu dari atas sampai bawah."Duduklah. Mari Abah, Saya bantu!" titahnya pada kami dan dia membantu Abah untuk duduk. Tidak ada pilihan lain bagi Abah selain menuruti lelaki ini.Kami semua duduk dan lelaki ini menahan Abah oleh para bodyguardnya, lalu kami semua juga di tahan, tidak bisa keluar. Kami semua akan dia bebaskan dengan satu syarat."Saya tau bahwa lelaki bernama Fahmi Idris, anak tertua Abah. Saya ingin saudara Fahmi menikahi putri Saya, Sinta. Dia gadis yang cantik dan sangat baik hati. Semua orang akan bahagia jika dia hadir diantara kalian," ucapnya dengan tegas tapi seperti ada kesedihan dimatanya."Satu kesalahannya, yaitu dia anak seorang Mapia. Saya tidak bisa menunjukkan identitas yang sebenarnya. Kini dia sedang memimpin sebuah perusahaan besar yang menambah kekhawatiran Saya padanya. Oleh sebab itu Saya ingin dia ada dilingkungan yang aman. Biar perusahaannya di kerjakan oleh orang-orang kepercayaannya," lanjutnya lagi yang kini ada buliran bening dimatanya.Memang, sekuat dan sekejam apapun seorang ayah, tidak bisa menunjukannya jika dihadapkan dengan anak-anaknya.Disitulah kami merasa tersudut. Dengan cepat Abah menyetujui pernikahan ini. Tetapi setelah akad nikah dilakukan, Pak Adam, ayahnya Sinta menembak Diyah. Kami benar-benar kecewa Pak Adam tidak bisa menepati janjinya.Diyah membutuhkan waktu penyembuhan selama satu tahun. Kami semua masih merahasiakan kejadian ini dari Sinta. Karena waktu Diyah tertembak, Sinta dan aku sedang berada di pedesaan, cabang pondok kami.***Sejauh mata memandang, aku tidak bisa menemukan Sinta. Sepertinya dia sedang menghibur diri. Awalnya aku berat untuk menikah dengan Janah, tapi sikap Sinta yang tegar membuat beratku menjadi ringan dan ingin segera meminang Janah.Ada rasa yang tidak bisa aku jelaskan setelah ijab qobul terucap, entah khawatir tentang perasaan Sinta atau yang lain. Aku juga tidak tahu pasti.Aku berjalan menuju taman pondok belakang."Mas, mau kemana?" tanya Janah yang tiba-tiba sudah berada dibelakang ku."Mas sedang mencari Sinta. Apa kamu melihatnya?""Iya, aku melihatnya. Mbak Sinta sedang duduk di bangku yang ada di taman belakang," jelasnya dan langsung menggandeng tanganku dan berjalan cepat menuju taman.Tadinya aku ingin bicara berdua dengan Sinta, tapi aku juga tidak bisa mengusir Janah.Kami sampai di taman dan mataku menyapu tempat ini. Dapat. Dia sedang duduk dengan kepala menengadah ke langit.Apa yang sedang dilihatnya, di atas tidak ada apapun.Kulepaskan tangan dari gandengan Janah dan duduk di samping Sinta."Apa yang kau lakukan, disini tidak ada apapun.""Siapa bilang tidak ada, ada langit dan bunga-bunga yang sangat indah," ucapnya tanpa menatapku sama sekali."Tapi mereka bukan manusia."”Meskipun mereka bukan manusia, tapi mereka setia. Keindahan mereka abadi. Tidak seperti manusia. Menyatakan cinta, tapi menyakiti hati bahkan sampai dasarnya," ucapnya pelan tapi sangat menusuk hatiku."Maafkan Mas, Sinta," ucapku lirih dengan harapan dia mau memaafkan aku. Kini aku yang tidak berani menatap matanya yang sendu."Kenapa minta maaf, Mas?" tanyanya dengan suara yang terdengar tegar. Seperti sudah mengikhlaskan semuanya."Maaf untuk segalanya," ucapku lagi dengan menaikan kepala, ikut menatap langit yang biru. Tadinya aku berfikir sinar matahari akan mengenai mata jika menatap langit. Ternyata tidak. Ada bayangan pohon yang menutupi sinarnya. Sehingga dari bangku taman ini kita bisa menatap langit yang biru tanpa mata yang terkena sinar matahari."Bukankah aku sudah melarang Mas untuk tidak menerima perjodohan itu. Tapi Mas tetap saja melakukannya," ucapnya santai tapi terasa berat. Terdengar ia menghela nafas panjang."Mas tidak punya pilihan," jawabku apa adanya.Karena jujur saja, aku juga menginginkan seorang anak. Setiap pasangan yang menikah pasti mengharapkan keturunan. Begitupun aku dan juga keluargaku."Jika aku meminta Mas untuk menceraikan Janah, apa Mas akan
Tidak, aku tidak boleh goyah. Bisa jadi mereka sudah lama berteman.Tapi apakah harus akrab seperti itu? Walau bagaimanapun mereka bukan mahram."Kami sudah memutuskan bahwa kalian harus tidur bersama selama satu Minggu. Kalau tidak, kalian bisa pergi liburan berdua," ucap ustadz Hanafi, abinya Janah yang kini telah menjadi abiku juga sungguh sangat membuatku kaget.Seminggu bersama? Terus Sinta bagaimana?Liburan berdua??Apa aku tidak salah dengar?"Maaf tadz, maksudnya apa, ya?" tanyaku pura-pura tidak tahu. Jujur jika bisa memilih, aku lebih memilih tidak mendengar permintaan konyol."Kami sudah mendiskusikan masalah ini dengan keluarga Abah," lanjutnya lagi yang menambah kekagetan ku.Abah?Bukankah Abah setuju untuk tidak ada perjanjian semacam ini?Bukankah ini akan menyakiti Sinta?Aku menarik nafas panjang dengan memejamkan mata. Berharap semua ini hanya mimpi. Ketika kubuka mata, ternyata semuanya real. Malah ada Abah, Umi, bibi Ratih, bahkan Sinta.Kapan mereka berjalan kea
Sebenarnya apa maksud dari ’melepaskan diri? Apa aku harus mencari ustadz Rahman kembali, tapi untuk apa? Untuk meminta penjelasan atau apa?"Mas, kok malah bengong disini?" tanya Janah yang tiba-tiba sudah berada di depanku, sungguh membuatku kaget.”Ada apa, sih? Bisa ’kan tidak bikin Mas kaget?" tanya sepelan mungkin agar bibirnya tidak maju terus."Habisnya Mas malah berdiri disini. Jelas-jelas banyak kursi. Kenapa tidak duduk aja, sih," ucapnya kesal dan aku membenarkan.Kenapa aku berdiri, ya? Apa karena mengikuti ustadz Rahman? Ya sudahlah. Intinya aku baru sadar sekarang.”Maaf Janah. Tapi ketika masuk tadi, sepertinya Mas tidak melihat kursi yang berjejer ini," jawabku jujur."Ayolah, Mas. Apa yang menjadi beban pikiran Mas, sampe membuat kursi-kursi ini tidak terlihat?” ucapnya lagi dengan nada yang sedikit mengejek.'Deg, apa ini Janah yang dulu kukenal?' batinku bertanya-tanya."Sudahlah. Mas capek, mau istirahat," aku berjalan lebih cepat tanpa mempedulikan Janah. Tapi ak
Kenapa akhir-akhir ini perkataan ustadz Rahman seperti teka-teki bagiku. Sebenarnya apa maksud dari perkataannya?Bukan karena aku tidak faham, aku faham bahkan sangat faham. Tapi maksud sebenarnya dari ucapannya itu apa?Langsung saja aku membereskan kitab dan pergi ke kamar yang telah di persiapkan untuk kami."Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumussalam, Mas," jawab Janah yang datang dari arah berlawanan denganku."Kamu dari kebun pondok?" tanyaku padanya."I-iya, Mas," jawabnya terbata-bata."Kamu kan sedang ditanya Mas, Janah. Bukan lelaki yang bukan mahram. Kenapa harus gugup?" tanyaku kesal.Kenapa sifat kita menikah, sikap Janah sangat berbeda. Bukankah harusnya menjadi lebih baik?Sinta saja sangat baik, kenapa janah berbeda?”Maaf, Mas. Iya tadi aku bersama santriwati dari kebun untuk mengambil sayuran,""Apa yang ada di tanganmu, Janah?""I-ini Mas, dari salah satu santriwati, katanya 'anggap saja sebagai kado pernikahan," jawabnya kikuk."Oh, dari santriwati. Ya udah, 'gak usah
Apakah Janah memang subur, bisa hamil hanya dengan satu kali berhubungan??Aku terdiam beberapa saat, lalu pergi ke kamar mandi samping menyusulnya. "Bagaimana keadaanmu, Janah? Apa sebaiknya kita pulang ke kota?" tanyaku yang khawatir melihatnya tidak berhenti memuntahkan cairan putih.Dia mengeleng cepat, ”Tidak perlu, Mas. Kita bisa pulang lima hari lagi."Tapi kamu butuh istirahat total Janah.""Disini juga bisa, Mas.""Ya, sudah. Nanti setelah keadaanmu lebih baik, kita cek ke dokter," ucapku padanya. Mendengar perkataanku Janah langsung berhenti muntah dan menatapku."Tidak, Mas. Aku tidak mau ke dokter," ucapnya ke keberatan."Keadaanmu parah, Janah. Kita harus memeriksanya. Bisa saja kamu hamil," ucapku dengan menambahkan sedikit senyum dibibir agar dia mau pergi ke dokter.Diluar dugaanku, dia malah bersikap ketakutan. Seolah ada bahaya yang mengancam."Tidak, Mas. Aku mana mungkin hamil.""Kenapa tidak mungkin, kita kan sudah melakukannya. Bisa saja kabar bahagia muncul di
"Kenapa, Mas?” tanya Janah ketika melihat mataku yang mulai memerah dan nafas yang memburu."Tidak ada," jawabku singkat."Jangan bilang karena ucapan bibi Ratih tentang Mbak Sinta?" tanyanya menyelidik.”Sinta juga istri, Mas. Jadi wajar kalau Mas marah mendengar dia jalan dengan lelaki lain," ungkapku.”Jika benar aku hamil, apa Mas akan menceraikan Mbak Sinta?""untuk apa, Mas tidak akan pernah menceraikannya!""Tapi untuk apa Mas mempertahankan Mbak Sinta? Dia itu hanyalah wanita mandul," lirih Janah.Aku membenarkan, tapi tetap saja hatiku memilih tidak menjawab. Ada yang sakit, tapi bukan karena rindu.Hatiku seakan berat mendengar kata cerai. Tapi apakah keadaan akan memaksakan hal itu terjadi padaku?"Inginnya Mas, tidak ada istri yang Mas ceraikan. Pernikahan itu sakral. Apalagi Sinta tidak bisa mengandung, lelaki mana yang akan menikahinya?" lirihku."Ayahnya Mbak Sinta itu sangat kaya raya, Mas. Jika Pak Adam bisa memaksa Mas untuk menikahinya, berarti dia juga bisa memaksa
"Aku jujur, Mas. Semua perkataan bibi Ratih benar."Pengakuan Sinta benar-benar membuatku syok. Bagaimana mungkin istri yang kupikir shaleha berbuat tidak senonoh seperti ini.Kepalaku terasa seperti terhantam batu yang sangat besar. Apa dosaku sehingga harus mengalami ini?"Apa salahku hingga kau tega melakukan ini, Sinta? Apa?" ucapku meraung.Amarahku kian menggebu yang tidak bisa ditahan lagi. Dikala aku merindukannya, mengingat semua kenangan tentangnya, bahkan menyebut namanya ketika bersama Janah malah bergumul dengan lelaki lain.Lelaki yang aku sendiri tidak mengenal siapa dia. Apa pernikahanku akan dihancurkan oleh seorang lelaki yang tidak dikenal? Tapi jika aku mempertahankan pernikahanku dengan Sinta apa semua ini bisa aku lupakan? Tidak mungkin.Aku tidak bisa menerima penghianatan.”Katakan dengan jujur sekali lagi. Apa benar yang dikatakan bibi Ratih?" tanyaku lagi. Tapi kini dengan nada pelan dan tenang. Dengan harapan dia akan mengatakan 'ini tidak benar."Benar, Ma
Para pelayan menyambut kedatangan kami, terutama sama Abah, Umi, dan Aku. Mungkin mereka menyangka kita datang ke sini untuk bersilaturahmi.Kami semua turun dari mobil dengan emosi. Tapi berbeda dengan Sinta dan lelaki itu. Sinta turun dengan elegan dan lelaki itu penuh dengan kebingungan.Sinta turun dengan koper besarnya yang dilangsung diambil oleh pengawalnya."Taruh ini di atas," ucap Sinta tegas kepada salah satu pelayannya.Pelayan ini menatap Sinta bingung. "Apa Nona dan Pak Fahmi akan menginap di sini?""Tidak. Tidak akan ada yang menginap selain saya," jawab Sinta dengan sangat tegas.Pelayan itu semakin menatap Sinta dengan penuh kebingungan."Lakukan sesuai perintahku!" titah Sinta yang membuat pelayan dan pengawalnya langsung pergi untuk menyimpan kopernya.Bunda Soraya menyambut kami dengan disusul Pak Adam. Dia memeluk putrinya dengan sangat erat, "Bunda sangat merindukanmu.""Sinta, juga Bunda. Sangat rindu," ucap Sinta membalas pelukan bundanya erat."Ayo, Bah dan se