Share

Bab 3

"Maafkan Mas, Sinta," ucapku lirih dengan harapan dia mau memaafkan aku. Kini aku yang tidak berani menatap matanya yang sendu.

"Kenapa minta maaf, Mas?" tanyanya dengan suara yang terdengar tegar. Seperti sudah mengikhlaskan semuanya.

"Maaf untuk segalanya," ucapku lagi dengan menaikan kepala, ikut menatap langit yang biru. Tadinya aku berfikir sinar matahari akan mengenai mata jika menatap langit. Ternyata tidak. Ada bayangan pohon yang menutupi sinarnya. Sehingga dari bangku taman ini kita bisa menatap langit yang biru tanpa mata yang terkena sinar matahari.

"Bukankah aku sudah melarang Mas untuk tidak menerima perjodohan itu. Tapi Mas tetap saja melakukannya," ucapnya santai tapi terasa berat. Terdengar ia menghela nafas panjang.

"Mas tidak punya pilihan," jawabku apa adanya.

Karena jujur saja, aku juga menginginkan seorang anak. Setiap pasangan yang menikah pasti mengharapkan keturunan. Begitupun aku dan juga keluargaku.

"Jika aku meminta Mas untuk menceraikan Janah, apa Mas akan menuruti permintaanku?" tanyanya yang sontak membuatku dan Janah membulatkan mata.

"Itu tidak mungkin, Mba. Aku juga istrinya Mas Fahmi. Aku juga punya hak disini Mbak," ucap Janah emosi yang tiba-tiba nimbrung diantara obrolan kami.

Tanpa menjawab Sinta kembali menengadahkan kepalanya keatas dan matanya kembali memperlihatkan tatapan yang kosong.

"Tahan emosimu Janah. Walau bagaimanapun Sinta adalah Kakak madumu," ucapku selembut mungkin agar dia menyakiti perasaannya.

"Tapi Mas, pertanyaan Mba Sinta sudah keterlaluan," protes Janah.

"Cukup. Biarkan aku sendiri disini," desis Sinta yang sepertinya merasa terganggu.

"Mas mohon Janah, tinggalkan kami. Ada yang ingin Mas bicarakan dengan kakak madumu,” pintaku pada Janah.

Mendengar permintaanku, bibir Janah maju tiga senti. Aku juga kaget, karena Janah yang lemah lembut menjadi seperti ini.

Berbeda sekali dengan Sinta. Dia tidak pernah bersikap seperti ini padaku.

Dengan berat hati, Janah berjalan menjauh dari kami.

”Tanyakan apa yang ingin kamu tanyakan, selagi hanya ada kita berdua," ucapku mengawali pembicaraan, memecah kesunyian diantara kita.

"Tidak ada yang ingin aku tanyakan," ucapnya tanpa melihatku lagi.

"Tatap mata Mas, jika kamu memang merasa tidak ada masalah!" perintahku padanya dan membalikan puncaknya agar menghadap ke arahku.

Tubuhnya menghadapku, tetapi matanya tetap menatap kesamping. Seolah tidak ingin menatapku.

”Tolong kamu jangan seperti ini, Sinta. Hormati Mas, suamimu," ucapku sedikit emosi.

Bagaimana tidak, semenjak aku melakukan ijab qobul keduaku, Sinta tidak pernah menatapku. Jika matanya mengarah padaku, tapi tatapannya kosong. Seperti sedang memikirkan hal lain.

”Hormat sama Mas?” tanyanya dengan tatapan kosong seperti biasa.

"Apa aku harus menghormati suami yang tidak bisa menghormati istrinya?" lirihnya pelan, tapi telingaku mendengar dengan sangat jelas.

Ada rasa ngilu dalam hati ketika mendengarnya, tapi apa dayaku. Hatiku menginginkan yang lain.

"Mas mohon, dengarkan Mas. Tatap mata Mas," pintaku lagi dengan memohon, berharap dia mau melakukannya.

"Apa aku harus mendengarkan seorang suami yang tidak mau mendengar perkataan istrinya?" bantahnya lagi sambil menggertakan giginya.

"Mas adalah suami kamu, Sinta. Kepala keluarga yang harus kamu hormati sebagai seorang istri," jawabku jengkel.

”Aku tahu Mas. Justru karena suami adalah imam dan seorang istri adalah makmum, aku hanya mengikuti apa yang suamiku ajarkan dan contohkan padaku," lirihnya lagi. Pelan tapi tegar.

Aku terdiam mendengar perkataannya. Apa maksudnya dia tidak akan patuh karena aku juga tidak mendengarkan penjelasannya ketika akan menikahi Janah?

"Tapi bukankah poligami dalam Islam diperbolehkan?"

"Memang betul. Tapi Mas, ada syarat-syarat tertentu. Pertama mampu berlaku adil, kedua maksimal empat orang, ketiga mampu memberi nafkah lahir dan batin, keempat niatkan semata untuk beribadah kepada Allah, kelima dilarang menikahi dua wanita yang bersaudara, keenam mampu menjaga kehormatan para istri. Sementara Mas belum apa-apa sudah memihak Janah," jelasnya yang sudah mulai tenang.

Memang benar, harusnya seorang lelaki berpoligami dengan perempuan yang Sinta sebutkan.

Astagfirullah, apa yang telah aku lakukan. Tapi Janah juga sudah menjadi istriku. Sepertinya sekarang aku hanya bisa bersikap adil untuk keduanya.

"Maafkan Mas. Sekarang mari ikut Mas keruangan Abah. Kita ikut mengobrol dengan para kerabat," tawarku dan mengulurkan tangan agar aku bisa menggenggam tangannya.

"Baiklah."

Dia setuju dengan tawaranku tapi tidak menerima uluran tanganku. Dia berjalan cepat di depanku, tanpa menghiraukan aku yang berkali-kali memanggilnya. Mungkin para santri yang melihat kami akan menertawakan ku.

***

Sesampainya diruangan Abah, ternyata Sinta sudah dikelilingi oleh keluarga Janah. Terutama uminya, yang sekarang menjadi umi mertuaku, Umi Sofi.

"Umi akui, kamu adalah perempuan yang hebat Sinta," ucap umi Sofi takjub.

"Kalau Sinta hebat, bukankah berhak bersanding dengan perempuan yang hebat juga umi?" tanya Sinta yang kini sudah mulai tersenyum.

"Tentu. Fahmi juga lelaki yang hebat," puji Umi padaku.

"Bagi Sinta, lelaki yang hebat itu bisa menjaga hati dan perasaan istrinya walau bagaimanapun keadaannya," ucap Sinta dengan senyuman yang penuh teka-teki.

Aku termenung mendengar ucapannya. Maksudnya menjaga hari, apakah aku tidak bisa menjaga hati?

Pikiranku mulai menerka-nerka dan berpikir negatif.

"Fahmi itu lebih hebat dari lelaki yang kamu idamkan. Buktinya dia bisa menikah lagi dengan wanita yang cantik dari keluarga yang sama dengan kita," sahut bibi Ratih dengan tatapan sinisnya.

Hatiku membenarkan ucapan bibi Ratih, tapi apa sebenarnya maksud dari perkataan Sinta?

"Lelaki yang menikah lebih dari satu kali bukanlah hebat, tandanya dia tidak bisa mempertahankan rumah tangganya. Kecuali lelaki tersebut menikah lagi atas izin atau restu istri pertamanya dan bersikap adil diantara keduanya. Itu baru lelaki sejati," ucapnya lagi, lalu pergi entah kemana meninggalkan aku lagi.

Ada rasa takut dia akan meninggalkanku, tapi perasaanku yang lain mengatakan dia tidak akan pernah meninggalkanku. Karena, hanya aku yang bisa menerima Sinta apa adanya.

"Silahkan kalian menikmati masa-masa pengantin baru," seru umi dan ustad Hanafi.

Wajah Janah bersemu merah mendengar perkataan kedua orangtuanya itu, tapi tidak denganku. Sepertinya untuk hal ini, aku harus meminta izin kepada Sinta.

"Mas, aku ingin membicarakan sesuatu, mari ikut denganku," ucap Janah.

"Baik."

Ternyata Janah membawaku menuju kamar yang telah disiapkan untuk kami. Tempat tidur yang penuh bunga dan meja yang penuh dengan kado.

"Apa yang ingin kami bicarakan, Mas akan mencari Sinta setelah percakapan kita,”

"Untuk apa Mas mencarinya? Bukankah dia hanya wanita mandul?" ucap Janah dengan sedikit kecewa.

”Jangan berkata seperti itu. Kalian sama-sama istri Mas. Tolong jangan membuat Mas merasa berdosa."

”Menurut Mas, apakah kak Sinta setia?"

"Tentu," jawabku mantap.

"Lihatlah, istri yang menurut Mas setia," ucapnya lagi sambil menunjuk kearah pintu keluar.

Kulihat Sinta mengobrol begitu akrab dengan salah satu ustadz yang mengajar di pondok ini. Tatapan kosong yang dia berikan padaku, tapi tersenyum dengan lelaki lain. Ada amarah yang membuncah ketika melihatnya.

”Apa Mas yakin akan mempertahankan wanita seperti itu?" tanyanya lagi yang membuat pertahananku seketika runtuh.

Apa aku harus menceraikan Sinta?

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Mia Harjoni
agak aneh, di awal bilangnya nikah ama Jannah krn pengen anak, tp di bab kedua cerita bhw Jannah cinta pertamanya, dan nikah ama Shinta krn paksaan. Jadi benernya nikah ama Jannah itu krn cinta yg blm kelar kan. Tp knp di POV Fahmi seolah2 anak yg jd masalah utamanya. Jadi bingung.
goodnovel comment avatar
Hersa Hersa
pelakor tetap akan keliatan sifat aslinya, jahat sirik dan dengki
goodnovel comment avatar
Asa Benita
dih ngelihat istrinya ngobrol sama laki2 lain udah kepikiran buat ceraiin. Lha Sinta apa kabar? Udah dimadu tanpa ijin, udah diduakan, bahkan tdk ada satupun di keluarga yg memikirkan perasaannya. Sehat nih Fahmi?
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status