"Mas, apa kamu yakin akan melanjutkan pernikahan ini?" tanya Sinta dengan tatapan sendu. Aku yakin dia yang paling tersakiti dengan pernikahan keduaku ini. Istri mana yang mau dimadu dan sanggup menyaksikan suaminya ijab qobul bersama wanita lain. Meskipun alasannya jelas, karena dia tidak bisa mempunyai anak. Sebulan lalu dia memegangi surat bahwa dia mandul, tidak bisa mempunyai keturunan. Oleh sebab itu keluarga memaksaku untuk menikah lagi.
"Tentu, dong. Walau bagaimanapun keadaannya, Fahmi tetap harus menikah dengan Janah. Dia gadis yang cantik jelita dan baik hati. Siapa yang tidak ingin menikah dengan Janah, seorang kembang desa dan anak dari Ustad tersohor," sahut Diyah, adik kandungku.”Apalagi yang kamu banggakan sebagai wanita kalau tidak bisa memiliki anak?” desis bibi Ratih, adik dari Abah yang memang sangat membenci Sinta. Semua kebenciannya itu berawal dari Abdillah, putranya yang menggilai Sinta, istriku."Sudahlah, jangan sampai ada pertengkaran," ucapku menengahi mereka."Tapi, Mas ...." ucap Sinta dengan suara yang berat. Kulihat ada buliran bening yang turun dari matanya."Mas janji akan berlaku adil untuk kalian. Mas ingin menuntun kalian untuk bisa menggapai Ridho gusti Allah. Percayalah pada, Mas, kalau Mas insya Allah bisa bersikap adil," ucapku memotong ucapannya, mencoba menenangkan, dan menghapus air matanya.”Kamu 'gak bisa melakukan ini, Mas. Ini salah," desis Sinta tanpa menatapku, tatapannya kosong kedepan.Aku yang mendengarnya mengatakan itu langsung terbawa emosi. Dengan sekuat tenaga aku meredam emosi dan mencoba berbicara pelan."Ini tidak salah. Aku dan keluarga ini mengharapkan penerus. Siapa yang akan mengelola ponpes Abah ini jika aku tidak punya keturunan. Meskipun anak dari Diyah bisa, tapi Abah mengharapkan anak dariku.""Baiklah, Mas. Jika itu keinginanmu," ucap Sinta tersenyum getir yang membuatku semakin merasa bersalah padanya.***Hari ini adalah hari pernikahan kedua untukku. Tepat jam delapan pagi ini, aku akan melakukan ijab qobul bersama Janah. Putri dari Ustadz tersohor. Siapa yang tidak mengenal Janah, putri cantik jelita ustadz Hanafi.Kuakui Janah lebih cantik dari Sinta Rania. Tapi walau bagaimanapun Sinta tetaplah istri pertamaku, wanita yang sudah aku nikahi dua tahun yang lalu.Orangtua yang mendesakku untuk segera mempunyai anak membuat Sinta melakukan tes kesuburan. Setelah seminggu menunggu, akhirnya surat itu keluar dan menyatakan bahwa Sinta mandul.Mulai sejak itu, Sinta sudah tidak disukai oleh keluarga besarku. Semua sikap orang dirumah ini padanya seketika berubah.Sejak itu pula Abah dan umi langsung mendatangiku dan memintaku untuk lebih mengenal putri ustadz Hanafi.Dengan berat hati aku menerimanya. Tapi hatiku sepertinya mulai tertarik dengan Janah. Wanita cantik yang dikagumi banyak lelaki.Aku berjalan kearah ruangan yang akan menjadi saksi bisu pernikahanku. Kutoleh kebelakang, ternyata Sinta mengikutiku dengan mengekor dibelakang.Kuhentikan langkah dan memberhentikan lanhkah Sinta."Kamu yakin akan kuat untuk menghadiri pernikahan keduaku?" tanyaku lirih padanya.Sinta mengangguk cepat"Aku tetap akan melakukan pernikahan ini, meskipun kamu pingsan," ucapku kesal. Jujur saja lebih dari kesal menyeruak dalam diri ketika dia mengangguk cepat saat aku menanyakan dia kuat atau tidaknya untuk menyaksikan pernikahan keduaku.Kupercepat langkah hingga sampai di ruangan itu dan mendapati penghulu, saksi, juga keluarga besarku.”Kamu yang sabar, ya, Sayang. Maaf kami memutuskan ini tanpa mempedulikan perasaanmu," lirih Umi pada wanita yang kini hanya berdiri mematung memandangi aku dan Janah berdampingan di depan penghulu yang membuat hatiku ikut terluka melihatnya."Umi tetap akan menyayangimu, Sinta tetap menantu pertama Umi, ya, Sayang," ucap Umi lagi yang mencoba menghiburnya. Tapi Sinta tidak berbicara sepatah kata pun. Dia memilih duduk di depan tamu undangan dan matanya tetap menatapku kosong.***"Saya nikahkan Fahmi Idris bin Farhan Hamid Idris dengan Nurjanah binti Hanafi dengan mas kawin emas 20 gram dan seperangkat alat sholat dibayar tunai."Meskipun aku akan segera melakukan ijab qobul, tapi mataku tetap memandangnya. Sampai ada cubitan tiga kali dari Umi."Saya terima nikah dan kawinnya Nujanah binti Hanafi dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.""Bagaimana para saksi?""Sah"Semua orang bersorak gembira atas pernikahan ini. Kecuali Sinta, tatapan matanya masih menatapku kosong.Tapi aku menarik hatiku untuk berhenti memikirkannya. Karena kini ada hati lain yang harus kujaga, tidak hanya Sinta, tapi juga Janah.Kukecup keningnya, ada rasa getaran didada. Apa aku jatuh cinta pada pandangan pertama?"Terimakasih, Mas. Terimakasih telah menjadikan aku istri, meskipun menjadi yang kedua, tapi tidak ada masalah untukku," ucap Janah dengan senang. Dia seumuran dengan Sinta, bisa dibilang sudah usia matang untuk menikah. Tapi Janah selalu menolak setiap ada yang melamarnya. Apa dia memang hanya tertarik padaku?'Ah, tolong kamu jangan ge'er Fahmi.' batinku mengingatkan."Aku akan memperlakukan kalian sama, tidak akan ada pembedaan," ucapku pada Janah yang kini matanya lebih berbinar."Aku sangat bersyukur bisa menikah denganmu, Mas," lirihnya lagi."Sudah, sudah. Kerabat sudah menunggu untuk bersalaman dengan pengantin baru," ucap bibi Ratih yang mengingatkanku bahwa setelah akad ada acara bersalaman.Beruntung kami hanya mengundang kerabat, coba kalau orangtua santri juga. Pasti melihatnya saja sudah pusing, saking banyaknya.Sepanjang hari ini aku tersenyum gembira, seolah memang baru merasakan menjadi pengantin baru. Semenjak acara salaman, aku sudah tidak melihat Sinta dengan tatapan kosongnya, entah dia pergi kemana.Tapi ada bagusnya juga. Jadi aku tidak perlu melihatnya dengan tatapan yang mengerikan. Biarkan aku bahagia dengan istri keduaku.Kuharap dengan Sinta menjaga jarak dengan kami membuatku dan Janah menjadi semakin nyaman, tanpa gangguan apapun. Karena sekarang istriku tidak hanya Sinta, tapi juga Janah. Wanita yang harus kujaga dan kusayangi sepenuh hati.Selepas ijab qobul, aku tidak lagi melihat Sinta sampai selesai semua rangkaian acara pernikahan keduaku.”Carilah istri pertamamu, Nak. Walau bagaimanapun dia istrimu. Abah bukan tidak tidak menyukai Sinta, hanya saja Abah belum bisa menerima atas tindakan orangtuanya," ucap Abah yang membuatku merasa bersalah karena tadi berbahagia ketika tidak melihatnya dengan tatapan yang selalu kosong kedepan."Baik, Bah.""Jangan biarkan dia merasa terasing disini. Kasihan. Walau bagaimanapun dia adalah istrimu dan juga sudah seperti anak Abah. Meskipun Abah belum bisa mengajaknya bicara Akrab," lanjutnya lagi dan seringkali terdengar helaan nafas berat dan panjang Abah.Awal pernikahanku dengan Sinta Rania memang bukan keinginan kami. Dalam artian orangtua Sinta yang mengancam keluargaku agar menikahi Sinta.Semua keluargaku bisa berpura-pura baik, tapi tidak dengan Abah. Beliau hanya tersenyum padanya sekilas lalu pergi.Tetapi Abah tetap lebih menyayangi dia daripada yang lain, sama seperti
"Maafkan Mas, Sinta," ucapku lirih dengan harapan dia mau memaafkan aku. Kini aku yang tidak berani menatap matanya yang sendu."Kenapa minta maaf, Mas?" tanyanya dengan suara yang terdengar tegar. Seperti sudah mengikhlaskan semuanya."Maaf untuk segalanya," ucapku lagi dengan menaikan kepala, ikut menatap langit yang biru. Tadinya aku berfikir sinar matahari akan mengenai mata jika menatap langit. Ternyata tidak. Ada bayangan pohon yang menutupi sinarnya. Sehingga dari bangku taman ini kita bisa menatap langit yang biru tanpa mata yang terkena sinar matahari."Bukankah aku sudah melarang Mas untuk tidak menerima perjodohan itu. Tapi Mas tetap saja melakukannya," ucapnya santai tapi terasa berat. Terdengar ia menghela nafas panjang."Mas tidak punya pilihan," jawabku apa adanya.Karena jujur saja, aku juga menginginkan seorang anak. Setiap pasangan yang menikah pasti mengharapkan keturunan. Begitupun aku dan juga keluargaku."Jika aku meminta Mas untuk menceraikan Janah, apa Mas akan
Tidak, aku tidak boleh goyah. Bisa jadi mereka sudah lama berteman.Tapi apakah harus akrab seperti itu? Walau bagaimanapun mereka bukan mahram."Kami sudah memutuskan bahwa kalian harus tidur bersama selama satu Minggu. Kalau tidak, kalian bisa pergi liburan berdua," ucap ustadz Hanafi, abinya Janah yang kini telah menjadi abiku juga sungguh sangat membuatku kaget.Seminggu bersama? Terus Sinta bagaimana?Liburan berdua??Apa aku tidak salah dengar?"Maaf tadz, maksudnya apa, ya?" tanyaku pura-pura tidak tahu. Jujur jika bisa memilih, aku lebih memilih tidak mendengar permintaan konyol."Kami sudah mendiskusikan masalah ini dengan keluarga Abah," lanjutnya lagi yang menambah kekagetan ku.Abah?Bukankah Abah setuju untuk tidak ada perjanjian semacam ini?Bukankah ini akan menyakiti Sinta?Aku menarik nafas panjang dengan memejamkan mata. Berharap semua ini hanya mimpi. Ketika kubuka mata, ternyata semuanya real. Malah ada Abah, Umi, bibi Ratih, bahkan Sinta.Kapan mereka berjalan kea
Sebenarnya apa maksud dari ’melepaskan diri? Apa aku harus mencari ustadz Rahman kembali, tapi untuk apa? Untuk meminta penjelasan atau apa?"Mas, kok malah bengong disini?" tanya Janah yang tiba-tiba sudah berada di depanku, sungguh membuatku kaget.”Ada apa, sih? Bisa ’kan tidak bikin Mas kaget?" tanya sepelan mungkin agar bibirnya tidak maju terus."Habisnya Mas malah berdiri disini. Jelas-jelas banyak kursi. Kenapa tidak duduk aja, sih," ucapnya kesal dan aku membenarkan.Kenapa aku berdiri, ya? Apa karena mengikuti ustadz Rahman? Ya sudahlah. Intinya aku baru sadar sekarang.”Maaf Janah. Tapi ketika masuk tadi, sepertinya Mas tidak melihat kursi yang berjejer ini," jawabku jujur."Ayolah, Mas. Apa yang menjadi beban pikiran Mas, sampe membuat kursi-kursi ini tidak terlihat?” ucapnya lagi dengan nada yang sedikit mengejek.'Deg, apa ini Janah yang dulu kukenal?' batinku bertanya-tanya."Sudahlah. Mas capek, mau istirahat," aku berjalan lebih cepat tanpa mempedulikan Janah. Tapi ak
Kenapa akhir-akhir ini perkataan ustadz Rahman seperti teka-teki bagiku. Sebenarnya apa maksud dari perkataannya?Bukan karena aku tidak faham, aku faham bahkan sangat faham. Tapi maksud sebenarnya dari ucapannya itu apa?Langsung saja aku membereskan kitab dan pergi ke kamar yang telah di persiapkan untuk kami."Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumussalam, Mas," jawab Janah yang datang dari arah berlawanan denganku."Kamu dari kebun pondok?" tanyaku padanya."I-iya, Mas," jawabnya terbata-bata."Kamu kan sedang ditanya Mas, Janah. Bukan lelaki yang bukan mahram. Kenapa harus gugup?" tanyaku kesal.Kenapa sifat kita menikah, sikap Janah sangat berbeda. Bukankah harusnya menjadi lebih baik?Sinta saja sangat baik, kenapa janah berbeda?”Maaf, Mas. Iya tadi aku bersama santriwati dari kebun untuk mengambil sayuran,""Apa yang ada di tanganmu, Janah?""I-ini Mas, dari salah satu santriwati, katanya 'anggap saja sebagai kado pernikahan," jawabnya kikuk."Oh, dari santriwati. Ya udah, 'gak usah
Apakah Janah memang subur, bisa hamil hanya dengan satu kali berhubungan??Aku terdiam beberapa saat, lalu pergi ke kamar mandi samping menyusulnya. "Bagaimana keadaanmu, Janah? Apa sebaiknya kita pulang ke kota?" tanyaku yang khawatir melihatnya tidak berhenti memuntahkan cairan putih.Dia mengeleng cepat, ”Tidak perlu, Mas. Kita bisa pulang lima hari lagi."Tapi kamu butuh istirahat total Janah.""Disini juga bisa, Mas.""Ya, sudah. Nanti setelah keadaanmu lebih baik, kita cek ke dokter," ucapku padanya. Mendengar perkataanku Janah langsung berhenti muntah dan menatapku."Tidak, Mas. Aku tidak mau ke dokter," ucapnya ke keberatan."Keadaanmu parah, Janah. Kita harus memeriksanya. Bisa saja kamu hamil," ucapku dengan menambahkan sedikit senyum dibibir agar dia mau pergi ke dokter.Diluar dugaanku, dia malah bersikap ketakutan. Seolah ada bahaya yang mengancam."Tidak, Mas. Aku mana mungkin hamil.""Kenapa tidak mungkin, kita kan sudah melakukannya. Bisa saja kabar bahagia muncul di
"Kenapa, Mas?” tanya Janah ketika melihat mataku yang mulai memerah dan nafas yang memburu."Tidak ada," jawabku singkat."Jangan bilang karena ucapan bibi Ratih tentang Mbak Sinta?" tanyanya menyelidik.”Sinta juga istri, Mas. Jadi wajar kalau Mas marah mendengar dia jalan dengan lelaki lain," ungkapku.”Jika benar aku hamil, apa Mas akan menceraikan Mbak Sinta?""untuk apa, Mas tidak akan pernah menceraikannya!""Tapi untuk apa Mas mempertahankan Mbak Sinta? Dia itu hanyalah wanita mandul," lirih Janah.Aku membenarkan, tapi tetap saja hatiku memilih tidak menjawab. Ada yang sakit, tapi bukan karena rindu.Hatiku seakan berat mendengar kata cerai. Tapi apakah keadaan akan memaksakan hal itu terjadi padaku?"Inginnya Mas, tidak ada istri yang Mas ceraikan. Pernikahan itu sakral. Apalagi Sinta tidak bisa mengandung, lelaki mana yang akan menikahinya?" lirihku."Ayahnya Mbak Sinta itu sangat kaya raya, Mas. Jika Pak Adam bisa memaksa Mas untuk menikahinya, berarti dia juga bisa memaksa
"Aku jujur, Mas. Semua perkataan bibi Ratih benar."Pengakuan Sinta benar-benar membuatku syok. Bagaimana mungkin istri yang kupikir shaleha berbuat tidak senonoh seperti ini.Kepalaku terasa seperti terhantam batu yang sangat besar. Apa dosaku sehingga harus mengalami ini?"Apa salahku hingga kau tega melakukan ini, Sinta? Apa?" ucapku meraung.Amarahku kian menggebu yang tidak bisa ditahan lagi. Dikala aku merindukannya, mengingat semua kenangan tentangnya, bahkan menyebut namanya ketika bersama Janah malah bergumul dengan lelaki lain.Lelaki yang aku sendiri tidak mengenal siapa dia. Apa pernikahanku akan dihancurkan oleh seorang lelaki yang tidak dikenal? Tapi jika aku mempertahankan pernikahanku dengan Sinta apa semua ini bisa aku lupakan? Tidak mungkin.Aku tidak bisa menerima penghianatan.”Katakan dengan jujur sekali lagi. Apa benar yang dikatakan bibi Ratih?" tanyaku lagi. Tapi kini dengan nada pelan dan tenang. Dengan harapan dia akan mengatakan 'ini tidak benar."Benar, Ma