Share

Bab 4

last update Last Updated: 2022-12-16 11:59:14

Tidak, aku tidak boleh goyah. Bisa jadi mereka sudah lama berteman.

Tapi apakah harus akrab seperti itu? Walau bagaimanapun mereka bukan mahram.

"Kami sudah memutuskan bahwa kalian harus tidur bersama selama satu Minggu. Kalau tidak, kalian bisa pergi liburan berdua," ucap ustadz Hanafi, abinya Janah yang kini telah menjadi abiku juga sungguh sangat membuatku kaget.

Seminggu bersama? Terus Sinta bagaimana?

Liburan berdua??

Apa aku tidak salah dengar?

"Maaf tadz, maksudnya apa, ya?" tanyaku pura-pura tidak tahu. Jujur jika bisa memilih, aku lebih memilih tidak mendengar permintaan konyol.

"Kami sudah mendiskusikan masalah ini dengan keluarga Abah," lanjutnya lagi yang menambah kekagetan ku.

Abah?

Bukankah Abah setuju untuk tidak ada perjanjian semacam ini?

Bukankah ini akan menyakiti Sinta?

Aku menarik nafas panjang dengan memejamkan mata. Berharap semua ini hanya mimpi. Ketika kubuka mata, ternyata semuanya real. Malah ada Abah, Umi, bibi Ratih, bahkan Sinta.

Kapan mereka berjalan kearah kamar ini? Kenapa aku tidak mendengar suara langkahnya?

"Apa semua orang mendiskusikan ini tanpa kehadiranku?" tanyaku dengan mencoba menahan emosiku.

"Ini sudah kami sepakati. Sinta saja sudah setuju," ucap Abah yang membuatku tersentak dan tersenyum getir.

"Apa benar kamu sudah menyetujui ini?" tanyaku pada Sinta dengan nafas yang memburu.

"Apa aku punya alasan untuk tidak menyetujuinya?" jawabnya yang lagi-lagi tanpa melihatku.

"Abah, Fahmi mohon berikan Fahmi waktu. Fahmi ingin membicarakan ini dulu dengan Sinta, hanya berdua," pintaku dengan pelan tapi penuh penekanan. Agar semua orang ikut keluar dari kamar ini. Meskipun ini kamar yang secara khusus disiapkan untuk malamku dan Janah.

Aku butuh waktu untuk mendiskusikan masalah ini dengan Sinta. Dia yang sudah setia menemaniku selama ini. Meskipun diri ini tak ingin. Tapi disisi lain aku juga tidak ingin berdosa dengan menyakitinya.

”Baiklah. Semuanya tolong keluar. Kita harus memberikan waktu untuk Fahmi dan Sinta bicara!" pinta Abah kepada semua orang.

Satu persatu dari kami keluar, tapi ada tatapan tidak suka dari ustadz Hanafi. Apa aku salah lihat, ya? Karena selama ini ustadz Hanafi dikenal sebagai orang yang sangat baik dan santun.

"Janah aku mohon, tinggalkan kami," pintaku pada Janah yang malah memilih duduk di ranjang.

"Ini kamar kita, Mas. Harusnya aku yang berada disini," ucapnya yang lagi-lagi memajukan bibirnya.

"Mas tahu. Tapi Mas ingin ngobrol disini dengan Sinta,"

”Aku tidak mau keluar," kekeh Janah.

"Ya, sudah. Biar Mas dan Sinta yang mencari tempat lain,” ucapku yang capek berdebat dan memilih untuk mengalah. Kuraih tangan Sinta untuk digenggam, tapi dia lebih dulu menghindar.

"Maaf Mas. Tidak ada yang ingin aku bicarakan denganmu, nikmatilah waktumu," ucapnya dan mencoba mengambil langkah besar. Tapi aku lebih dulu mencekal lengannya.

”Jangan seperti ini Sinta. Walau bagaimanapun, kamu juga istriku,"

"Jika Mas anggap aku istri, harusnya Mas mendengarkan ku ketika aku mencegah Mas untuk menikah lagi," ucapnya yang lagi-lagi mengungkit hal ini. Sungguh membuat emosiku naik dan nafas yang langsung memburu.

"Jangan ungkit masalah itu. Ini semua sudah terjadi dan kalian sekarang adalah tanggung jawab Mas,"

"Tapi apa salahku?" tanyanya dengan menatap mataku. Baru kali ini dia kembali menatap mataku. Semenjak tadi pagi, dia hanya melemparkan tatapan kosong atau kesamping.

"AKU BUTUH KETURUNAN."

"Tapi Mas, anak bukanlah masalah. Kita bisa mengadopsinya. Bukankah banyak dari anak pondok kita pun yang tidak mempunyai orang tua? Kita bisa menjadi orangtua asuhnya sampai Allah menunjukkan kekuasaannya," jelasnya panjang kali lebar yang membuatku risi.

Ada rasa sesal aku mengajaknya bicara jika dia hanya bisa mengungkit masalah ini.

Kenapa dia tidak faham kalau aku butuh keturunan yang bisa meneruskan pondok ini. Jika dia bisa mengandung dan melahirkan layaknya seorang ibu, mungkin aku juga tidak akan mengalami yang namanya memiliki dua istri.

Mungkin ini sebabnya Pak Adam, ayahnya Sinta memaksa aku untuk menikahi putrinya. Karena putrinya tidak bisa menjadi seorang ibu, hanya bisa menjadi seorang istri.

"Aku butuh keturunan kandung. Bukan keturunan orang lain," ucapku tegas dan penuh penekanan.

"Aku wanita subur, Mbak. Aku bisa memberikan keturunan. Melahirkan anak-anak yang sehat untuk menjadi penerus ponpes Abah," ucap Janah menimpali dengan penuh percaya diri.

"Baiklah jika itu mau kalian. Pergilah berbulan madu dan selamat bersenang-senang," ucap Sinta dengan nada yang tetap tenang dan berlalu dari hadapan kami. Entah darimana ketenangannya itu. Bukankah berita sering mengabarkan kalau istri yang dimadu akan mengamuk dan memarahi istri muda? Tapi Sinta berbeda. Apakah kini dia mulai menerima kenyataan ini?

***

Esoknya kami langsung berlibur ke pondok yang dipelosok. Sekitar dua tahun lalu aku kesini.Tidak ada yang berubah dari pondok ini sejak dua tahun lalu. Hanya saja dulu aku bersama Sinta, kini dengan Janah.

Meskipun aku dan Sinta awalnya tidak ada rasa sama sekali, tapi dia mampu mengurusku dengan sangat baik. Bahkan dia cepat berbaur dengan para santri.

"Tolong bantu saya bawa koper yang satunya lagi," pintaku pada santri yang menjemput kami.

"Muhun, tadz."

Para santri menatapku dengan tatapan heran.

Emang salah aku berkunjung kesini?

"Assalamu'alaikum," sapa ustadz Rahman sahabatku, sekaligus pengurus ponpes ini.

"Wa'alaikumussalam warahmatullah, sehat tadz?"

"Alhamdulillah. Ini siapa tadz? Saudara atau...."

"Istriku," jawabku singkat dan memotong pembicaraan ustadz Rahman. Aku takut beliau akan menebak yang tidak-tidak.

"Umi tolong ajak dulu istrinya ustadz Fahmi. Abi mau bicara sama ustadz," pinta ustadz Rahman kepada istrinya.

"Muhun, Bi. Mari teh."

Janah pun ikut ajakan istrinya ustadz Rahman. Kini tinggallah kami berdua di aula ini.

”Kapan antum menikah, tadz?" tanyanya mengawali pembicaraan.

"Kemarin," jawabku singkat.

Sejujurnya aku malas untuk menerima permintaan ustadz Rahman untuk bicara denganku. Takutnya akan mempermasalahkan pernikahanku dengan Janah. Tapi tidak ada pilihan untuk menolak.

”Apa teh Sinta setuju?" tanyanya lagi yang mulai mengintrogasi.

"Iya, dia setuju,"

"Astagfirullah, tadz. Ada apa dengan antum ini? Teh Sinta adalah istri yang shalihah,"

'Tuh, kan. Lagi-lagi masalah ini. Astagfirullah, aku harus bagaimana menjawabnya.'

Aku mengusap wajah kasar, bingung harus menjawab apa.

”Saya membutuhkan keturunan, tadz,"

"Emang kenapa dengan teh Sinta?"

"Dia tidak akan pernah bisa memberikan keturunan," jawabku lesu. Akhirnya kata-katanya ini lolos dari bibirku.

"Masya Allah. Ingat tadz, yang memberikan keturunan itu Allah subhanahu wata'ala. Kita hanya bisa merencanakan segalanya, bukan memaksakannya," jawabnya dan beberapa kali menghela nafas berat.

"Memang, tadz. Tapi kalau syariatnya saja tidak bisa, apakah itu mungkin?"

"Bagi kita memang tidak bisa. Tapi bagi Allah bisa. Banyak cara untuk mendapatkan keturunan. Tidak harus menyakiti perasaan seorang istri, tadz."

"Saya yakin antum lebih faham. Silahkan pikirkan kata-kata saya barusan. Semoga teh Sinta tidak akan melepaskan diri," lanjutnya dan kemudian pergi begitu saja meninggalkan aku dengan penuh pertanyaan.

Apa maksud dari melepaskan diri?

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Tri Wahyuni
kmu akan menyesal mendua Sinta klo k.u tau janah itu jahat .kmu nanti akan d hasut tuk menceraikan Sinta dn blum tentu juga jannah bisa hamil karena kmu dn jannah selalu menghina Sinta mandul .Alloh maha adil .
goodnovel comment avatar
Darlasmi
cerita nya sangat menarik dan bermanfaat
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Menyesal Usai Talak   Bab 74 Ending

    "Siapa orang jahat yang punya kemungkinan untuk melakukan rencananya?" Pak Adam tiba-tiba mendekat ke arah sang menantu yang serang stress karena menunggu proses istrinya yang tengah melahirkan."Loh, katanya Papa gak bisa dateng?" Sultan malah balik bertanya."Tidak mungkin Papa tak datang di saat Papa tahu kamu akan sibuk ke siapa setelah anakmu lagi." Pak Adam berdecak kesal."Tentu saja aku akan sibuk mengurus Sinta. Perihal anak, bisa punya lagi nanti. Kalau istri, tidak akan ada," jawabnya asal tetapi hal itu memang sudah diperkirakan oleh Pak Adam dan istrinya."Baiklah, sekarang jawab pertanyaanku yang tadi. Siapa orang yang punya kesempatan untuk melancarkan aksinya.""Renata," jawab Sultan cepat. "Aku mendapatkan laporan bahwa dia bertukar peran dengan kembaran yang sudah lama tidak diketahui identitasnya. Akan tetapi, orang itu bersedia untuk bekerja sama denganku. Jadi Papa tidak perlu khawatir.""Tetap saja kita harus waspada, karena boleh jadi dokter yang ada di dalam j

  • Menyesal Usai Talak   Bab 74

    "Benarkah hari ini dia melahirkan?" Renata yang sudah terlepas dari orang-orang yang mengurungnya di sebuah rumah tua mulai siap dengan rencana-rencana jahatnya.Bahkan, dia sudah mengganti dirinya dengan saudara kembar yang bahkan tidak tahu apa pun. Saudara yang menyayanginya dengan tulus, dia manfaatkan begitu saja.Setelah mendengar kenyataan bahwa ternyata dirinya bukan berasal dari keluarga kaya yang terhormat, dia langsung kecewa dan marah besar. Rupanya dia hanya anak angkat keluarga konglomerat, itu pun secara tak sengaja.Hal itu membuat dendam Renata semakin menjadi, tidak hanya kepada Sinta, namun juga Sultan. Kali ini dia berniat untuk membuat semua orang yang sudah membuatnya kecewa untuk membayar perbuatannya."Wah, betapa bahagianya aku karena pasangan yang aku anggap musuh akan segera mendapatkan rezeki nomplok. Enaknya aku melakukan apa, ya? Setidaknya sampai kedua orang itu tahu bahwa aku masih hidup," ucapnya girang.Saat ini, dia tengah berbicara di telepon denga

  • Menyesal Usai Talak   Bab 73

    Setelah beberapa hari dari pernikahan pasangan ’double S', hati Fahmi merasa tidak tenang. Dia merasa tidak enak kepada Habibah, adiknya ustadz Rahman sekaligus teman bermainnya sejak kecil.Tapi secara tiba-tiba, ustadz Rahman mengabarkan kalau Habibah sudah meninggal. Mereka semua terdiam dalam jangka waktu yang lama. Antara percaya dan tidak percaya.Alasan dibalik orangtunya dulu menjodohkan dengan Janah, tapi malah menikahkan Fahmi dengan Sinta karena Fahmi masih belum bisa mengambil keputusan.”Jadi bagaimana?" tanya Abah pada Fahmi yang masih saja diam menunduk. Semua keluarganya masih tidak ada yang berani bicara, sebelum Fahmi mengambil keputusan."Apa aku pantas?" Akhirnya dia bicara."Tentu saja. Jodoh adalah cerminan diri. Kau sudah berubah, berarti kau pantas bersanding dengan adikku,” jelas ustadz Rahman."Dulu, kau pernah bekerja sama dengan Renata, tapi sekarang dia dan keluarganya sudah pergi menjauh dari kehidupan kita. Bahkan keluarga Janah sudah mendekam di penjara

  • Menyesal Usai Talak   Bab 72

    Setelah membuat rusuh diwaktu lamaran mantan istriku, Sinta dan Sultan. Aku dibawa secara paksa menuju pondok khusus atas perintah Sultan. Siapa yang tidak tahu pondok khusus ini, aku pun sudah lama tahu.Bahkan selama ini aku selalu mencari-cari orang yang telah mendirikannya dan mengembangkan selama ini.Tapi hal yang membuatku sangat terkejut adalah orang yang kucari selama ini berada dekat denganku. Sungguh malu campur sesal kalau beberapa waktu ini aku sering bertengkar dengannya.Dan sangat membencinya.Tapi aku juga tidak bisa melepaskan rasa tidak sukaku meskipun dia adalah orang yang kucari. Di satu sisi aku bahagia dan bangga, tapi di sisi lain aku kecewa kalau ternyata dialah yang mengambil wanita yang yang dia sendiri tahu jelas kalau aku sangat mencintainya."Apa yang akan terjadi jima rasa bahagia dan kecewa muncul bersamaan?" tanya seorang laki-laki dari arah belakang.Aku sudah tahu siapa orang tersebut meskipun hanya mendengar suaranya."Rasa kecewaku lebih kuat darip

  • Menyesal Usai Talak   Bab 71

    Setelah melangsungkan acara pernikahan, kehidupan Sultan dan Sinta berubah dengan drastis. Awalnya Sinta mengira kalau suaminya itu mungkin mempunyai sifat dingin seperti kulkas bernyawa. Ternyata tidak.Semuanya berada diluar pemikiran Sinta. Ternyata lelaki yang dinikahinya hanya akan dingin pada wanita lain. Jika dihadapkan dengannya, dia akan langsung bersikap seperti anak kecil."Aku tidak menyangka, dua minggu telah kita lewati sebagai pasangan halal," ucap Sultan sambil menatap lekat istrinya. Sementara yang ditatap hanya tersenyum malu.Entah mengapa, wajah Sinta selalu merah jika mendapati Sultan tengah menatapnya. Apalagi posisi kali ini saling berhadap-hadapan. Sangat membuatnya malu dan selalu ingin menghilang saat itu juga.”Kok kamu diam saja?" Sultan merasa heran. Tangan kirinya dia jadikan bantal untuk Sinta dan yang kanan menggenggam kedua tangannya."Aku tidak tahu harus bicara apa," lirih Sinta. Wajahnya terlihat semakin merah."Apa kamu kepanasan? Bukankah AC-nya d

  • Menyesal Usai Talak   Bab 70

    Pak Adam merasa gerah dengan sikap Sultan. Untungnya ia beserta istrinya lekas pulang dan meminta para maid dan bodyguardnya untuk menjelaskan keadaan yang sebenarnya."Siapa namanya?" tanya Bunda Soraya sambil terus menggenggam tangan suaminya, agar bersikap lebih tenang."Sania, Bunda." jawab maid Sandra."Sania?" gumam Pak Adam mengerutkan keningnya. Seperti yang sudah tahu siapa Sania."Ayah tahu?" tanya Bunda Soraya."Sepertinya dia adalah Sania putri Sanjaya yang dia tahun lalu melakukan transaksi dengan keluarga Azki, tapi kedua pihak malah mengalami kegagalan," ucap Pak Adam usai mengingat kejadian dua tahun lalu.Sultan yang sedari tadi sudah berdiri dibelakang sofa tempat duduk kedua calon mertuanya itu akhirnya mengerti alasan Azki berada di rumah ini dan beberapa kali mengelus dadanya."Untung saja," gumamnya lega.Pak ada yang mendengar suara seseorang, langsung menoleh ke arahnya. Matanya menatap tajam Sultan. Sementara orang yang ditatapnya sudah faham maksud dari tatapa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status