Share

Bab 4

Tidak, aku tidak boleh goyah. Bisa jadi mereka sudah lama berteman.

Tapi apakah harus akrab seperti itu? Walau bagaimanapun mereka bukan mahram.

"Kami sudah memutuskan bahwa kalian harus tidur bersama selama satu Minggu. Kalau tidak, kalian bisa pergi liburan berdua," ucap ustadz Hanafi, abinya Janah yang kini telah menjadi abiku juga sungguh sangat membuatku kaget.

Seminggu bersama? Terus Sinta bagaimana?

Liburan berdua??

Apa aku tidak salah dengar?

"Maaf tadz, maksudnya apa, ya?" tanyaku pura-pura tidak tahu. Jujur jika bisa memilih, aku lebih memilih tidak mendengar permintaan konyol.

"Kami sudah mendiskusikan masalah ini dengan keluarga Abah," lanjutnya lagi yang menambah kekagetan ku.

Abah?

Bukankah Abah setuju untuk tidak ada perjanjian semacam ini?

Bukankah ini akan menyakiti Sinta?

Aku menarik nafas panjang dengan memejamkan mata. Berharap semua ini hanya mimpi. Ketika kubuka mata, ternyata semuanya real. Malah ada Abah, Umi, bibi Ratih, bahkan Sinta.

Kapan mereka berjalan kearah kamar ini? Kenapa aku tidak mendengar suara langkahnya?

"Apa semua orang mendiskusikan ini tanpa kehadiranku?" tanyaku dengan mencoba menahan emosiku.

"Ini sudah kami sepakati. Sinta saja sudah setuju," ucap Abah yang membuatku tersentak dan tersenyum getir.

"Apa benar kamu sudah menyetujui ini?" tanyaku pada Sinta dengan nafas yang memburu.

"Apa aku punya alasan untuk tidak menyetujuinya?" jawabnya yang lagi-lagi tanpa melihatku.

"Abah, Fahmi mohon berikan Fahmi waktu. Fahmi ingin membicarakan ini dulu dengan Sinta, hanya berdua," pintaku dengan pelan tapi penuh penekanan. Agar semua orang ikut keluar dari kamar ini. Meskipun ini kamar yang secara khusus disiapkan untuk malamku dan Janah.

Aku butuh waktu untuk mendiskusikan masalah ini dengan Sinta. Dia yang sudah setia menemaniku selama ini. Meskipun diri ini tak ingin. Tapi disisi lain aku juga tidak ingin berdosa dengan menyakitinya.

”Baiklah. Semuanya tolong keluar. Kita harus memberikan waktu untuk Fahmi dan Sinta bicara!" pinta Abah kepada semua orang.

Satu persatu dari kami keluar, tapi ada tatapan tidak suka dari ustadz Hanafi. Apa aku salah lihat, ya? Karena selama ini ustadz Hanafi dikenal sebagai orang yang sangat baik dan santun.

"Janah aku mohon, tinggalkan kami," pintaku pada Janah yang malah memilih duduk di ranjang.

"Ini kamar kita, Mas. Harusnya aku yang berada disini," ucapnya yang lagi-lagi memajukan bibirnya.

"Mas tahu. Tapi Mas ingin ngobrol disini dengan Sinta,"

”Aku tidak mau keluar," kekeh Janah.

"Ya, sudah. Biar Mas dan Sinta yang mencari tempat lain,” ucapku yang capek berdebat dan memilih untuk mengalah. Kuraih tangan Sinta untuk digenggam, tapi dia lebih dulu menghindar.

"Maaf Mas. Tidak ada yang ingin aku bicarakan denganmu, nikmatilah waktumu," ucapnya dan mencoba mengambil langkah besar. Tapi aku lebih dulu mencekal lengannya.

”Jangan seperti ini Sinta. Walau bagaimanapun, kamu juga istriku,"

"Jika Mas anggap aku istri, harusnya Mas mendengarkan ku ketika aku mencegah Mas untuk menikah lagi," ucapnya yang lagi-lagi mengungkit hal ini. Sungguh membuat emosiku naik dan nafas yang langsung memburu.

"Jangan ungkit masalah itu. Ini semua sudah terjadi dan kalian sekarang adalah tanggung jawab Mas,"

"Tapi apa salahku?" tanyanya dengan menatap mataku. Baru kali ini dia kembali menatap mataku. Semenjak tadi pagi, dia hanya melemparkan tatapan kosong atau kesamping.

"AKU BUTUH KETURUNAN."

"Tapi Mas, anak bukanlah masalah. Kita bisa mengadopsinya. Bukankah banyak dari anak pondok kita pun yang tidak mempunyai orang tua? Kita bisa menjadi orangtua asuhnya sampai Allah menunjukkan kekuasaannya," jelasnya panjang kali lebar yang membuatku risi.

Ada rasa sesal aku mengajaknya bicara jika dia hanya bisa mengungkit masalah ini.

Kenapa dia tidak faham kalau aku butuh keturunan yang bisa meneruskan pondok ini. Jika dia bisa mengandung dan melahirkan layaknya seorang ibu, mungkin aku juga tidak akan mengalami yang namanya memiliki dua istri.

Mungkin ini sebabnya Pak Adam, ayahnya Sinta memaksa aku untuk menikahi putrinya. Karena putrinya tidak bisa menjadi seorang ibu, hanya bisa menjadi seorang istri.

"Aku butuh keturunan kandung. Bukan keturunan orang lain," ucapku tegas dan penuh penekanan.

"Aku wanita subur, Mbak. Aku bisa memberikan keturunan. Melahirkan anak-anak yang sehat untuk menjadi penerus ponpes Abah," ucap Janah menimpali dengan penuh percaya diri.

"Baiklah jika itu mau kalian. Pergilah berbulan madu dan selamat bersenang-senang," ucap Sinta dengan nada yang tetap tenang dan berlalu dari hadapan kami. Entah darimana ketenangannya itu. Bukankah berita sering mengabarkan kalau istri yang dimadu akan mengamuk dan memarahi istri muda? Tapi Sinta berbeda. Apakah kini dia mulai menerima kenyataan ini?

***

Esoknya kami langsung berlibur ke pondok yang dipelosok. Sekitar dua tahun lalu aku kesini.Tidak ada yang berubah dari pondok ini sejak dua tahun lalu. Hanya saja dulu aku bersama Sinta, kini dengan Janah.

Meskipun aku dan Sinta awalnya tidak ada rasa sama sekali, tapi dia mampu mengurusku dengan sangat baik. Bahkan dia cepat berbaur dengan para santri.

"Tolong bantu saya bawa koper yang satunya lagi," pintaku pada santri yang menjemput kami.

"Muhun, tadz."

Para santri menatapku dengan tatapan heran.

Emang salah aku berkunjung kesini?

"Assalamu'alaikum," sapa ustadz Rahman sahabatku, sekaligus pengurus ponpes ini.

"Wa'alaikumussalam warahmatullah, sehat tadz?"

"Alhamdulillah. Ini siapa tadz? Saudara atau...."

"Istriku," jawabku singkat dan memotong pembicaraan ustadz Rahman. Aku takut beliau akan menebak yang tidak-tidak.

"Umi tolong ajak dulu istrinya ustadz Fahmi. Abi mau bicara sama ustadz," pinta ustadz Rahman kepada istrinya.

"Muhun, Bi. Mari teh."

Janah pun ikut ajakan istrinya ustadz Rahman. Kini tinggallah kami berdua di aula ini.

”Kapan antum menikah, tadz?" tanyanya mengawali pembicaraan.

"Kemarin," jawabku singkat.

Sejujurnya aku malas untuk menerima permintaan ustadz Rahman untuk bicara denganku. Takutnya akan mempermasalahkan pernikahanku dengan Janah. Tapi tidak ada pilihan untuk menolak.

”Apa teh Sinta setuju?" tanyanya lagi yang mulai mengintrogasi.

"Iya, dia setuju,"

"Astagfirullah, tadz. Ada apa dengan antum ini? Teh Sinta adalah istri yang shalihah,"

'Tuh, kan. Lagi-lagi masalah ini. Astagfirullah, aku harus bagaimana menjawabnya.'

Aku mengusap wajah kasar, bingung harus menjawab apa.

”Saya membutuhkan keturunan, tadz,"

"Emang kenapa dengan teh Sinta?"

"Dia tidak akan pernah bisa memberikan keturunan," jawabku lesu. Akhirnya kata-katanya ini lolos dari bibirku.

"Masya Allah. Ingat tadz, yang memberikan keturunan itu Allah subhanahu wata'ala. Kita hanya bisa merencanakan segalanya, bukan memaksakannya," jawabnya dan beberapa kali menghela nafas berat.

"Memang, tadz. Tapi kalau syariatnya saja tidak bisa, apakah itu mungkin?"

"Bagi kita memang tidak bisa. Tapi bagi Allah bisa. Banyak cara untuk mendapatkan keturunan. Tidak harus menyakiti perasaan seorang istri, tadz."

"Saya yakin antum lebih faham. Silahkan pikirkan kata-kata saya barusan. Semoga teh Sinta tidak akan melepaskan diri," lanjutnya dan kemudian pergi begitu saja meninggalkan aku dengan penuh pertanyaan.

Apa maksud dari melepaskan diri?

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Tri Wahyuni
kmu akan menyesal mendua Sinta klo k.u tau janah itu jahat .kmu nanti akan d hasut tuk menceraikan Sinta dn blum tentu juga jannah bisa hamil karena kmu dn jannah selalu menghina Sinta mandul .Alloh maha adil .
goodnovel comment avatar
Darlasmi
cerita nya sangat menarik dan bermanfaat
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status