Sebenarnya apa maksud dari ’melepaskan diri? Apa aku harus mencari ustadz Rahman kembali, tapi untuk apa? Untuk meminta penjelasan atau apa?
"Mas, kok malah bengong disini?" tanya Janah yang tiba-tiba sudah berada di depanku, sungguh membuatku kaget.”Ada apa, sih? Bisa ’kan tidak bikin Mas kaget?" tanya sepelan mungkin agar bibirnya tidak maju terus."Habisnya Mas malah berdiri disini. Jelas-jelas banyak kursi. Kenapa tidak duduk aja, sih," ucapnya kesal dan aku membenarkan.Kenapa aku berdiri, ya? Apa karena mengikuti ustadz Rahman? Ya sudahlah. Intinya aku baru sadar sekarang.”Maaf Janah. Tapi ketika masuk tadi, sepertinya Mas tidak melihat kursi yang berjejer ini," jawabku jujur."Ayolah, Mas. Apa yang menjadi beban pikiran Mas, sampe membuat kursi-kursi ini tidak terlihat?” ucapnya lagi dengan nada yang sedikit mengejek.'Deg, apa ini Janah yang dulu kukenal?' batinku bertanya-tanya."Sudahlah. Mas capek, mau istirahat," aku berjalan lebih cepat tanpa mempedulikan Janah. Tapi aku tahu dia akan mengekor dibelakang.Pada saat-saat seperti ini mengingatkanku tentang Sinta. Ketika dia berbicara, tidak ada sedikitpun nada mengejek yang keluar dari bibirnya, atau pun sorotan mata tidak suka.Dia selalu mendukung apapun yang aku lakukan. Jika salah, dia akan tersenyum dan mengatakan 'sabar Mas, mungkin sekarang bukan waktu yang tepat untuk Mas melakukan sesuatu yang benar itu. Tidak ada manusia yang selalu melakukan hal dengan benar dan tidak pernah salah’.Jika yang aku lakukan benar, maka dia juga akan tersenyum dan mengatakan 'Alhamdulillah, jangan lupa bersyukur ya, Mas’. Bahkan aku sendiri tidak dapat membedakan dia sedang bahagia atau bersedih. Karena bibirnya selalu dihiasi dengan senyuman."Mas, kenapa senyum-senyum sendiri?" tanya Janah yang membuyarkan lamunanku."Tidak ada apa-apa," jawabku singkat."Apa Mas tahu, kalau kita bahkan belum bersentuhan?" tanya Janah dengan sikap yang biasa saja. Padahal wajahku langsung memerah mendengar dia bertanya seperti itu."Tidak perlu diucapkan, karena kita adalah pasangan suami istri. Ada hak dan kewajiban yang mengikat kita.""Oh iya, Mas. Ada satu kado yang belum kubuka kemarin. Ini satu kotak kado ini," ucapnya sambil menunjukan kotak berwarna merah yang berada di pangkuannya."Buka saja."Kulirik dia mulai membuka kotak itu. Sepertinya aku lebih terkejut dengan isinya dibanding Janah.Baju hitam yang sangat pendek dan menerawang. Mungkin hanya muat untuk anak kecil. Tapi kenapa dikasih ke Janah?Kupijat pelipis yang tiba-tiba terasa pusing.Siapa yang memberikan kado ini?"Mas lihat, ada sebuah catatan disini. Aku bacakan, ya," tanyanya antusias. Tapi dia langsung membacakan itu tanpa mendengar jawabanku.'Buatlah dedek bayi lucu yang Sholeh, dan Sholehah. Abah, Umi, dan Abi Uminya Janah juga menantikan ini.' begitulah isi catatan tersebut.Seketika wajahku semakin memerah. Meskipun aku mencintai Janah, tapi tetap saja masih malu jika sedang bersamanya ada kata-kata seperti ini. Kecuali jika bersama Sinta, wajahnya akan lebih merah dari wajahku sekarang ini."Jauhi baju itu dariku, mari kita tidur.""Tapi Mas, masa tidak ada yang akan kita lakukan.""Memang apa?" tanyaku pura-pura polos dan langsung saja menunaikan kewajiban.***Pagi ini aku ada acara tausiahnya, tepat dengan moderator ustadz Rahman. Sepertinya aku harus menanyakan arti dari ’melarikan diri' itu. Agar kata-kata itu tidak selalu menghantuiku.Sedangkan Janah, kulihat dia sedang mengobrol akrab dengan para santri. Tapi tatapan para Santri itu seperti memandang Janah dengan tatapan tidak suka. Beda dengan tatapan mereka kepada Sinta.Ah, mungkin saja karena para santri disini belum terbiasa dengan Janah. Karena selama ini aku hanya membawa Sinta."Bisa dimulai tausiahnya, Ustadz," ujar ustadz Rahman dengan tiba-tiba dan membuat lamunanku seketika buyar.”Baik. Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarokatuh," sapaku pada mereka dan memulai tausiyah selama enam puluh menit.Setelah sesekali, langkahku dan ustadz Rahman diberhentikan oleh seorang santri."Afwan ustadz, boleh Saya bertanya disini? Soalnya Saya merasa tidak enak jika bertanya dihadapan banyak orang," tanyanya dengan wajah menunduk dan suara yang bergetar.”Tentu. Silahkan ikut kami," jawabku tersenyum agar bisa mengurangi rasa gugupnya.Santri itu mengekor dibelakang kami sampai ke ruanganku."Duduklah!" dia hanya menurut."Apa yang ingin antum tanyakan, kang Aji?"Dia terlonjak kaget mendengan aku menyebut namanya."Saya tahu nama antum dari daftar santri,” lanjutku lagi.Kini ketegangannya mulai berkurang."Maaf sebelumnya Ustadz. Saya ingin berbagi bertanya. Apa hukumnya ketika seorang istri berbohong kepada suami demi kebaikan suaminya? Bahkan suaminya itu mengira kebohongan itu adalah kebenaran dan bahkan menduakan sang istri tersebut dengan alasan yang menjadi kebohongan istri yang disangka adalah benar adanya oleh seorang suami?"Pertanyaan santri ini membuatku terkejut, tapi tidak dengan ustadz Rahman, bibirnya membentuk senyuman.”Lebih baik tidak ada kebohongan yang akan menimbulkan kesalahpahaman. Sebaiknya ceritakan apa yang sebenarnya sepahit apapun itu. Untuk sang suami sendiri, sepertinya dia kurang faham terhadap sifat istrinya. Maka sebaiknya sebelum menikah diharuskan mengenali sikap masing-masing terlebih dahulu.""Baik. Tapi kalau kesalahan fahaman itu sudah kadung terjadi, apa sang istri boleh meninggalkan suami yang telah menduakannya itu?" tanyanya lagi yang seketika saja mengingatkanku tentang Sinta. Apa Sinta juga akan meninggalkanku?Jawaban apa yang seharusnya aku berikan untuk santri ini?Hening menyelimuti ruangan ini. Aku menarik nafas dalam beberapa kali. Aku diam bukan tidak punya jawaban. Hanya saja, takut tidak sesuai dengan jawaban yang dihadapan kang Aji."Tergantung sang Istri tersebut. Jika dia memilih pergi, biarkan saja. Mungkin itu jalan terbaik untuk semuanya," jawabku yang awalnya ragu, tapi segera kutepis. Sehingga aku bisa bersikap biasa ketika menyampaikannya."Baik, terimakasih Tadz. Saya izin undur diri," pamitnya padaku dan ustadz Rahman, kami hanya mengangguk.”Jika itu yang Sinta lakukan, apa antum juga akan membiarkan dia pergi dari kehidupan antum?" tanyanya santai sambil menyeruput kopi hitamnya."Apa maksud antum, Tadz? Aku tidak akan pernah menceraikan Sinta," jawabku emosi."Bukankah antum sendiri yang mengatakan pada kang Aji barusan?""Tapi itu beda.""Apanya yang beda?""Sang istri yang dia tanyakan tidak sepenuhnya salah. Sinta memang tidak salah. Tapi keadaan yang memaksaku," ucapku mengembuskan nafas kasar.Sejujurnya aku juga tidak ingin kejadian ini terjadi dalam hidupku."Sinta memang tidak salah. Bagiku hanya satu, yaitu menjadi istrimu, tadz."Ucapan ustadz Rahman lagi-lagi membuatku bungkam.Dia menarik nafas panjang, "Sesuatu yang antum lihat dan dengar bukan berarti semuanya adalah kebenaran. Bukankah antum mengaji, Tadz? Sepertinya antum harus lebih memperdalam segalanya lagi. Baik tentang isi hati wanita, maupun tentang kehidupan ini."Kenapa akhir-akhir ini perkataan ustadz Rahman seperti teka-teki bagiku. Sebenarnya apa maksud dari perkataannya?Bukan karena aku tidak faham, aku faham bahkan sangat faham. Tapi maksud sebenarnya dari ucapannya itu apa?Langsung saja aku membereskan kitab dan pergi ke kamar yang telah di persiapkan untuk kami."Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumussalam, Mas," jawab Janah yang datang dari arah berlawanan denganku."Kamu dari kebun pondok?" tanyaku padanya."I-iya, Mas," jawabnya terbata-bata."Kamu kan sedang ditanya Mas, Janah. Bukan lelaki yang bukan mahram. Kenapa harus gugup?" tanyaku kesal.Kenapa sifat kita menikah, sikap Janah sangat berbeda. Bukankah harusnya menjadi lebih baik?Sinta saja sangat baik, kenapa janah berbeda?”Maaf, Mas. Iya tadi aku bersama santriwati dari kebun untuk mengambil sayuran,""Apa yang ada di tanganmu, Janah?""I-ini Mas, dari salah satu santriwati, katanya 'anggap saja sebagai kado pernikahan," jawabnya kikuk."Oh, dari santriwati. Ya udah, 'gak usah
Apakah Janah memang subur, bisa hamil hanya dengan satu kali berhubungan??Aku terdiam beberapa saat, lalu pergi ke kamar mandi samping menyusulnya. "Bagaimana keadaanmu, Janah? Apa sebaiknya kita pulang ke kota?" tanyaku yang khawatir melihatnya tidak berhenti memuntahkan cairan putih.Dia mengeleng cepat, ”Tidak perlu, Mas. Kita bisa pulang lima hari lagi."Tapi kamu butuh istirahat total Janah.""Disini juga bisa, Mas.""Ya, sudah. Nanti setelah keadaanmu lebih baik, kita cek ke dokter," ucapku padanya. Mendengar perkataanku Janah langsung berhenti muntah dan menatapku."Tidak, Mas. Aku tidak mau ke dokter," ucapnya ke keberatan."Keadaanmu parah, Janah. Kita harus memeriksanya. Bisa saja kamu hamil," ucapku dengan menambahkan sedikit senyum dibibir agar dia mau pergi ke dokter.Diluar dugaanku, dia malah bersikap ketakutan. Seolah ada bahaya yang mengancam."Tidak, Mas. Aku mana mungkin hamil.""Kenapa tidak mungkin, kita kan sudah melakukannya. Bisa saja kabar bahagia muncul di
"Kenapa, Mas?” tanya Janah ketika melihat mataku yang mulai memerah dan nafas yang memburu."Tidak ada," jawabku singkat."Jangan bilang karena ucapan bibi Ratih tentang Mbak Sinta?" tanyanya menyelidik.”Sinta juga istri, Mas. Jadi wajar kalau Mas marah mendengar dia jalan dengan lelaki lain," ungkapku.”Jika benar aku hamil, apa Mas akan menceraikan Mbak Sinta?""untuk apa, Mas tidak akan pernah menceraikannya!""Tapi untuk apa Mas mempertahankan Mbak Sinta? Dia itu hanyalah wanita mandul," lirih Janah.Aku membenarkan, tapi tetap saja hatiku memilih tidak menjawab. Ada yang sakit, tapi bukan karena rindu.Hatiku seakan berat mendengar kata cerai. Tapi apakah keadaan akan memaksakan hal itu terjadi padaku?"Inginnya Mas, tidak ada istri yang Mas ceraikan. Pernikahan itu sakral. Apalagi Sinta tidak bisa mengandung, lelaki mana yang akan menikahinya?" lirihku."Ayahnya Mbak Sinta itu sangat kaya raya, Mas. Jika Pak Adam bisa memaksa Mas untuk menikahinya, berarti dia juga bisa memaksa
"Aku jujur, Mas. Semua perkataan bibi Ratih benar."Pengakuan Sinta benar-benar membuatku syok. Bagaimana mungkin istri yang kupikir shaleha berbuat tidak senonoh seperti ini.Kepalaku terasa seperti terhantam batu yang sangat besar. Apa dosaku sehingga harus mengalami ini?"Apa salahku hingga kau tega melakukan ini, Sinta? Apa?" ucapku meraung.Amarahku kian menggebu yang tidak bisa ditahan lagi. Dikala aku merindukannya, mengingat semua kenangan tentangnya, bahkan menyebut namanya ketika bersama Janah malah bergumul dengan lelaki lain.Lelaki yang aku sendiri tidak mengenal siapa dia. Apa pernikahanku akan dihancurkan oleh seorang lelaki yang tidak dikenal? Tapi jika aku mempertahankan pernikahanku dengan Sinta apa semua ini bisa aku lupakan? Tidak mungkin.Aku tidak bisa menerima penghianatan.”Katakan dengan jujur sekali lagi. Apa benar yang dikatakan bibi Ratih?" tanyaku lagi. Tapi kini dengan nada pelan dan tenang. Dengan harapan dia akan mengatakan 'ini tidak benar."Benar, Ma
Para pelayan menyambut kedatangan kami, terutama sama Abah, Umi, dan Aku. Mungkin mereka menyangka kita datang ke sini untuk bersilaturahmi.Kami semua turun dari mobil dengan emosi. Tapi berbeda dengan Sinta dan lelaki itu. Sinta turun dengan elegan dan lelaki itu penuh dengan kebingungan.Sinta turun dengan koper besarnya yang dilangsung diambil oleh pengawalnya."Taruh ini di atas," ucap Sinta tegas kepada salah satu pelayannya.Pelayan ini menatap Sinta bingung. "Apa Nona dan Pak Fahmi akan menginap di sini?""Tidak. Tidak akan ada yang menginap selain saya," jawab Sinta dengan sangat tegas.Pelayan itu semakin menatap Sinta dengan penuh kebingungan."Lakukan sesuai perintahku!" titah Sinta yang membuat pelayan dan pengawalnya langsung pergi untuk menyimpan kopernya.Bunda Soraya menyambut kami dengan disusul Pak Adam. Dia memeluk putrinya dengan sangat erat, "Bunda sangat merindukanmu.""Sinta, juga Bunda. Sangat rindu," ucap Sinta membalas pelukan bundanya erat."Ayo, Bah dan se
"Hari ini dihadapan orangtuamu dan orangtuaku aku menalakmu, aku menalakmu, aku menalakmu," ucapku tegas.Akhirnya aku bisa mengatakannya yang membuatku bernafas lega. Tapi ada rasa penyesalan yang menyeruak diri ini.Sinta yang dari tadi terlihat tegar, kini tubuhnya mulai gemetar dan matanya berembun."Sayang, kamu tidak boleh menangis. Lelaki ini tidak berhak atas kesempurnaan yang ada pada dirimu," ucap Bunda Soraya kepada Sinta.Apa yang menjadi kesempurnaan Sinta hingga aku tidak layak?Tenyata keputusanku untuk menceraikan Sinta adalah benar, sangat benar."Tapi, Bun. Ini rasanya menyakitkan," ucap Sinta yang air matanya tiba-tiba mengalir. Membuat orangtuanya menatap nanar putrinya itu."Kamu wanita yang kuat, Sayang. Bunda yakin kami bisa menghadapi semua ini,""Bunda lihat aku, apa wanita mandul itu salah?" tanya Sinta"Tidak. Sebenarnya tidak ada wanita mandul," jawab Bunda."Semuanya sudah mendengar, kan? Tidak ada wanita yang mandul," teriak Sinta sambil berurai air mata.
"Katakan yang sejujurnya, Janah?" tanyaku emosi."Tahan emosimu. Jangan buang-buang tenaga. Sebaiknya kita segera menuju tujuan kita," ucap ustadz Rahman mengingatkan aku."Tunggu aku dikamar. Nanti aku menyusul," pintaku pada Janah."Baik, Mas."Janah sepertinya enggan untuk meninggalkan kamar ini. Padahal sudah mengatakan baik, tapi matanya masih memperhatikan kami yang membuka lemari.Aku menghembuskan nafas kasar."Janah, tolong jangan bikin Mas marah. Masuklah ke dalam kamarmu, nanti Mas menyusul," ucapku lagi.Kini dia tidak menjawab, tapi langsung berjalan cepat meninggalkan kami. Sebenarnya apa yang menyebabkan Janah bertingkah seperti itu? Membuatku tambah pusing saja.Ternyata kunci yang aku masukan salah. Ustadz Rahman menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkahku."Kunci ini sudah tidak bisa dipakai. Sepertinya dia telah mengganti kuncinya," ucapku yang membuat ustadz Rahman mengangguk cepat.Kami memperhatikan seluruh sudut ruangan kamar ini, berharap ada petunjuk. Jan
"Saya sangat menyayangkan, kenapa tadi Antum menalak Sinta langsung talak tiga," lirih ustadz Rahman dan terdengar menghela nafas berat."Padahal Antum belum tahu siapa yang salah dan kebenarannya seperti apa," lirihnya lagi.”Perkataan mereka telah memenuhi pikiran Saya, Tadz," ucapku menyesal.”Apa Antum percaya tentang Sinta dengan pemuda itu telah melakukan hal yang dituduhkan?” tanyanya.”Awalnya Saya tidak percaya. Tapi Sinta sendiri yang mengaku telah melakukannya.""Antum percaya begitu saja?" tanyanya menyelidik.”Saya sudah bertanya beberapa kali, tapi dia tetap mengaku telah melakukannya.””Iya, tahu. Tapi kenapa Antum percaya begitu saja?" tanya ustadz Rahman kecewa.Aku tidak mampu untuk menjawab. Air mata kembali ingin turun, tapi segera aku lap dengan memakai lengan baju.Aku kecewa pada diriku sendiri. Kenapa dengan bodohnya aku percaya begitu saja apa yang orang-orang tuduhkan tentang Sinta. Padahal aku sama sekali tidak melihat kejadiannya."Karena Saya terlalu bodo