Share

Bab 5

Sebenarnya apa maksud dari ’melepaskan diri? Apa aku harus mencari ustadz Rahman kembali, tapi untuk apa? Untuk meminta penjelasan atau apa?

"Mas, kok malah bengong disini?" tanya Janah yang tiba-tiba sudah berada di depanku, sungguh membuatku kaget.

”Ada apa, sih? Bisa ’kan tidak bikin Mas kaget?" tanya sepelan mungkin agar bibirnya tidak maju terus.

"Habisnya Mas malah berdiri disini. Jelas-jelas banyak kursi. Kenapa tidak duduk aja, sih," ucapnya kesal dan aku membenarkan.

Kenapa aku berdiri, ya? Apa karena mengikuti ustadz Rahman? Ya sudahlah. Intinya aku baru sadar sekarang.

”Maaf Janah. Tapi ketika masuk tadi, sepertinya Mas tidak melihat kursi yang berjejer ini," jawabku jujur.

"Ayolah, Mas. Apa yang menjadi beban pikiran Mas, sampe membuat kursi-kursi ini tidak terlihat?” ucapnya lagi dengan nada yang sedikit mengejek.

'Deg, apa ini Janah yang dulu kukenal?' batinku bertanya-tanya.

"Sudahlah. Mas capek, mau istirahat," aku berjalan lebih cepat tanpa mempedulikan Janah. Tapi aku tahu dia akan mengekor dibelakang.

Pada saat-saat seperti ini mengingatkanku tentang Sinta. Ketika dia berbicara, tidak ada sedikitpun nada mengejek yang keluar dari bibirnya, atau pun sorotan mata tidak suka.

Dia selalu mendukung apapun yang aku lakukan. Jika salah, dia akan tersenyum dan mengatakan 'sabar Mas, mungkin sekarang bukan waktu yang tepat untuk Mas melakukan sesuatu yang benar itu. Tidak ada manusia yang selalu melakukan hal dengan benar dan tidak pernah salah’.

Jika yang aku lakukan benar, maka dia juga akan tersenyum dan mengatakan 'Alhamdulillah, jangan lupa bersyukur ya, Mas’. Bahkan aku sendiri tidak dapat membedakan dia sedang bahagia atau bersedih. Karena bibirnya selalu dihiasi dengan senyuman.

"Mas, kenapa senyum-senyum sendiri?" tanya Janah yang membuyarkan lamunanku.

"Tidak ada apa-apa," jawabku singkat.

"Apa Mas tahu, kalau kita bahkan belum bersentuhan?" tanya Janah dengan sikap yang biasa saja. Padahal wajahku langsung memerah mendengar dia bertanya seperti itu.

"Tidak perlu diucapkan, karena kita adalah pasangan suami istri. Ada hak dan kewajiban yang mengikat kita."

"Oh iya, Mas. Ada satu kado yang belum kubuka kemarin. Ini satu kotak kado ini," ucapnya sambil menunjukan kotak berwarna merah yang berada di pangkuannya.

"Buka saja."

Kulirik dia mulai membuka kotak itu. Sepertinya aku lebih terkejut dengan isinya dibanding Janah.

Baju hitam yang sangat pendek dan menerawang. Mungkin hanya muat untuk anak kecil. Tapi kenapa dikasih ke Janah?

Kupijat pelipis yang tiba-tiba terasa pusing.

Siapa yang memberikan kado ini?

"Mas lihat, ada sebuah catatan disini. Aku bacakan, ya," tanyanya antusias. Tapi dia langsung membacakan itu tanpa mendengar jawabanku.

'Buatlah dedek bayi lucu yang Sholeh, dan Sholehah. Abah, Umi, dan Abi Uminya Janah juga menantikan ini.' begitulah isi catatan tersebut.

Seketika wajahku semakin memerah. Meskipun aku mencintai Janah, tapi tetap saja masih malu jika sedang bersamanya ada kata-kata seperti ini. Kecuali jika bersama Sinta, wajahnya akan lebih merah dari wajahku sekarang ini.

"Jauhi baju itu dariku, mari kita tidur."

"Tapi Mas, masa tidak ada yang akan kita lakukan."

"Memang apa?" tanyaku pura-pura polos dan langsung saja menunaikan kewajiban.

***

Pagi ini aku ada acara tausiahnya, tepat dengan moderator ustadz Rahman. Sepertinya aku harus menanyakan arti dari ’melarikan diri' itu. Agar kata-kata itu tidak selalu menghantuiku.

Sedangkan Janah, kulihat dia sedang mengobrol akrab dengan para santri. Tapi tatapan para Santri itu seperti memandang Janah dengan tatapan tidak suka. Beda dengan tatapan mereka kepada Sinta.

Ah, mungkin saja karena para santri disini belum terbiasa dengan Janah. Karena selama ini aku hanya membawa Sinta.

"Bisa dimulai tausiahnya, Ustadz," ujar ustadz Rahman dengan tiba-tiba dan membuat lamunanku seketika buyar.

”Baik. Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarokatuh," sapaku pada mereka dan memulai tausiyah selama enam puluh menit.

Setelah sesekali, langkahku dan ustadz Rahman diberhentikan oleh seorang santri.

"Afwan ustadz, boleh Saya bertanya disini? Soalnya Saya merasa tidak enak jika bertanya dihadapan banyak orang," tanyanya dengan wajah menunduk dan suara yang bergetar.

”Tentu. Silahkan ikut kami," jawabku tersenyum agar bisa mengurangi rasa gugupnya.

Santri itu mengekor dibelakang kami sampai ke ruanganku.

"Duduklah!" dia hanya menurut.

"Apa yang ingin antum tanyakan, kang Aji?"

Dia terlonjak kaget mendengan aku menyebut namanya.

"Saya tahu nama antum dari daftar santri,” lanjutku lagi.

Kini ketegangannya mulai berkurang.

"Maaf sebelumnya Ustadz. Saya ingin berbagi bertanya. Apa hukumnya ketika seorang istri berbohong kepada suami demi kebaikan suaminya? Bahkan suaminya itu mengira kebohongan itu adalah kebenaran dan bahkan menduakan sang istri tersebut dengan alasan yang menjadi kebohongan istri yang disangka adalah benar adanya oleh seorang suami?"

Pertanyaan santri ini membuatku terkejut, tapi tidak dengan ustadz Rahman, bibirnya membentuk senyuman.

”Lebih baik tidak ada kebohongan yang akan menimbulkan kesalahpahaman. Sebaiknya ceritakan apa yang sebenarnya sepahit apapun itu. Untuk sang suami sendiri, sepertinya dia kurang faham terhadap sifat istrinya. Maka sebaiknya sebelum menikah diharuskan mengenali sikap masing-masing terlebih dahulu."

"Baik. Tapi kalau kesalahan fahaman itu sudah kadung terjadi, apa sang istri boleh meninggalkan suami yang telah menduakannya itu?" tanyanya lagi yang seketika saja mengingatkanku tentang Sinta. Apa Sinta juga akan meninggalkanku?

Jawaban apa yang seharusnya aku berikan untuk santri ini?

Hening menyelimuti ruangan ini. Aku menarik nafas dalam beberapa kali. Aku diam bukan tidak punya jawaban. Hanya saja, takut tidak sesuai dengan jawaban yang dihadapan kang Aji.

"Tergantung sang Istri tersebut. Jika dia memilih pergi, biarkan saja. Mungkin itu jalan terbaik untuk semuanya," jawabku yang awalnya ragu, tapi segera kutepis. Sehingga aku bisa bersikap biasa ketika menyampaikannya.

"Baik, terimakasih Tadz. Saya izin undur diri," pamitnya padaku dan ustadz Rahman, kami hanya mengangguk.

”Jika itu yang Sinta lakukan, apa antum juga akan membiarkan dia pergi dari kehidupan antum?" tanyanya santai sambil menyeruput kopi hitamnya.

"Apa maksud antum, Tadz? Aku tidak akan pernah menceraikan Sinta," jawabku emosi.

"Bukankah antum sendiri yang mengatakan pada kang Aji barusan?"

"Tapi itu beda."

"Apanya yang beda?"

"Sang istri yang dia tanyakan tidak sepenuhnya salah. Sinta memang tidak salah. Tapi keadaan yang memaksaku," ucapku mengembuskan nafas kasar.

Sejujurnya aku juga tidak ingin kejadian ini terjadi dalam hidupku.

"Sinta memang tidak salah. Bagiku hanya satu, yaitu menjadi istrimu, tadz."

Ucapan ustadz Rahman lagi-lagi membuatku bungkam.

Dia menarik nafas panjang, "Sesuatu yang antum lihat dan dengar bukan berarti semuanya adalah kebenaran. Bukankah antum mengaji, Tadz? Sepertinya antum harus lebih memperdalam segalanya lagi. Baik tentang isi hati wanita, maupun tentang kehidupan ini."

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Sepertinya sinta tau sifat aslinya janah dan keluarganya buktinya banyak yg ndak sk sama janah
goodnovel comment avatar
carsun18106
banyak rahasia ni...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status