Apakah Janah memang subur, bisa hamil hanya dengan satu kali berhubungan??Aku terdiam beberapa saat, lalu pergi ke kamar mandi samping menyusulnya. "Bagaimana keadaanmu, Janah? Apa sebaiknya kita pulang ke kota?" tanyaku yang khawatir melihatnya tidak berhenti memuntahkan cairan putih.Dia mengeleng cepat, ”Tidak perlu, Mas. Kita bisa pulang lima hari lagi."Tapi kamu butuh istirahat total Janah.""Disini juga bisa, Mas.""Ya, sudah. Nanti setelah keadaanmu lebih baik, kita cek ke dokter," ucapku padanya. Mendengar perkataanku Janah langsung berhenti muntah dan menatapku."Tidak, Mas. Aku tidak mau ke dokter," ucapnya ke keberatan."Keadaanmu parah, Janah. Kita harus memeriksanya. Bisa saja kamu hamil," ucapku dengan menambahkan sedikit senyum dibibir agar dia mau pergi ke dokter.Diluar dugaanku, dia malah bersikap ketakutan. Seolah ada bahaya yang mengancam."Tidak, Mas. Aku mana mungkin hamil.""Kenapa tidak mungkin, kita kan sudah melakukannya. Bisa saja kabar bahagia muncul di
"Kenapa, Mas?” tanya Janah ketika melihat mataku yang mulai memerah dan nafas yang memburu."Tidak ada," jawabku singkat."Jangan bilang karena ucapan bibi Ratih tentang Mbak Sinta?" tanyanya menyelidik.”Sinta juga istri, Mas. Jadi wajar kalau Mas marah mendengar dia jalan dengan lelaki lain," ungkapku.”Jika benar aku hamil, apa Mas akan menceraikan Mbak Sinta?""untuk apa, Mas tidak akan pernah menceraikannya!""Tapi untuk apa Mas mempertahankan Mbak Sinta? Dia itu hanyalah wanita mandul," lirih Janah.Aku membenarkan, tapi tetap saja hatiku memilih tidak menjawab. Ada yang sakit, tapi bukan karena rindu.Hatiku seakan berat mendengar kata cerai. Tapi apakah keadaan akan memaksakan hal itu terjadi padaku?"Inginnya Mas, tidak ada istri yang Mas ceraikan. Pernikahan itu sakral. Apalagi Sinta tidak bisa mengandung, lelaki mana yang akan menikahinya?" lirihku."Ayahnya Mbak Sinta itu sangat kaya raya, Mas. Jika Pak Adam bisa memaksa Mas untuk menikahinya, berarti dia juga bisa memaksa
"Aku jujur, Mas. Semua perkataan bibi Ratih benar."Pengakuan Sinta benar-benar membuatku syok. Bagaimana mungkin istri yang kupikir shaleha berbuat tidak senonoh seperti ini.Kepalaku terasa seperti terhantam batu yang sangat besar. Apa dosaku sehingga harus mengalami ini?"Apa salahku hingga kau tega melakukan ini, Sinta? Apa?" ucapku meraung.Amarahku kian menggebu yang tidak bisa ditahan lagi. Dikala aku merindukannya, mengingat semua kenangan tentangnya, bahkan menyebut namanya ketika bersama Janah malah bergumul dengan lelaki lain.Lelaki yang aku sendiri tidak mengenal siapa dia. Apa pernikahanku akan dihancurkan oleh seorang lelaki yang tidak dikenal? Tapi jika aku mempertahankan pernikahanku dengan Sinta apa semua ini bisa aku lupakan? Tidak mungkin.Aku tidak bisa menerima penghianatan.”Katakan dengan jujur sekali lagi. Apa benar yang dikatakan bibi Ratih?" tanyaku lagi. Tapi kini dengan nada pelan dan tenang. Dengan harapan dia akan mengatakan 'ini tidak benar."Benar, Ma
Para pelayan menyambut kedatangan kami, terutama sama Abah, Umi, dan Aku. Mungkin mereka menyangka kita datang ke sini untuk bersilaturahmi.Kami semua turun dari mobil dengan emosi. Tapi berbeda dengan Sinta dan lelaki itu. Sinta turun dengan elegan dan lelaki itu penuh dengan kebingungan.Sinta turun dengan koper besarnya yang dilangsung diambil oleh pengawalnya."Taruh ini di atas," ucap Sinta tegas kepada salah satu pelayannya.Pelayan ini menatap Sinta bingung. "Apa Nona dan Pak Fahmi akan menginap di sini?""Tidak. Tidak akan ada yang menginap selain saya," jawab Sinta dengan sangat tegas.Pelayan itu semakin menatap Sinta dengan penuh kebingungan."Lakukan sesuai perintahku!" titah Sinta yang membuat pelayan dan pengawalnya langsung pergi untuk menyimpan kopernya.Bunda Soraya menyambut kami dengan disusul Pak Adam. Dia memeluk putrinya dengan sangat erat, "Bunda sangat merindukanmu.""Sinta, juga Bunda. Sangat rindu," ucap Sinta membalas pelukan bundanya erat."Ayo, Bah dan se
"Hari ini dihadapan orangtuamu dan orangtuaku aku menalakmu, aku menalakmu, aku menalakmu," ucapku tegas.Akhirnya aku bisa mengatakannya yang membuatku bernafas lega. Tapi ada rasa penyesalan yang menyeruak diri ini.Sinta yang dari tadi terlihat tegar, kini tubuhnya mulai gemetar dan matanya berembun."Sayang, kamu tidak boleh menangis. Lelaki ini tidak berhak atas kesempurnaan yang ada pada dirimu," ucap Bunda Soraya kepada Sinta.Apa yang menjadi kesempurnaan Sinta hingga aku tidak layak?Tenyata keputusanku untuk menceraikan Sinta adalah benar, sangat benar."Tapi, Bun. Ini rasanya menyakitkan," ucap Sinta yang air matanya tiba-tiba mengalir. Membuat orangtuanya menatap nanar putrinya itu."Kamu wanita yang kuat, Sayang. Bunda yakin kami bisa menghadapi semua ini,""Bunda lihat aku, apa wanita mandul itu salah?" tanya Sinta"Tidak. Sebenarnya tidak ada wanita mandul," jawab Bunda."Semuanya sudah mendengar, kan? Tidak ada wanita yang mandul," teriak Sinta sambil berurai air mata.
"Katakan yang sejujurnya, Janah?" tanyaku emosi."Tahan emosimu. Jangan buang-buang tenaga. Sebaiknya kita segera menuju tujuan kita," ucap ustadz Rahman mengingatkan aku."Tunggu aku dikamar. Nanti aku menyusul," pintaku pada Janah."Baik, Mas."Janah sepertinya enggan untuk meninggalkan kamar ini. Padahal sudah mengatakan baik, tapi matanya masih memperhatikan kami yang membuka lemari.Aku menghembuskan nafas kasar."Janah, tolong jangan bikin Mas marah. Masuklah ke dalam kamarmu, nanti Mas menyusul," ucapku lagi.Kini dia tidak menjawab, tapi langsung berjalan cepat meninggalkan kami. Sebenarnya apa yang menyebabkan Janah bertingkah seperti itu? Membuatku tambah pusing saja.Ternyata kunci yang aku masukan salah. Ustadz Rahman menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkahku."Kunci ini sudah tidak bisa dipakai. Sepertinya dia telah mengganti kuncinya," ucapku yang membuat ustadz Rahman mengangguk cepat.Kami memperhatikan seluruh sudut ruangan kamar ini, berharap ada petunjuk. Jan
"Saya sangat menyayangkan, kenapa tadi Antum menalak Sinta langsung talak tiga," lirih ustadz Rahman dan terdengar menghela nafas berat."Padahal Antum belum tahu siapa yang salah dan kebenarannya seperti apa," lirihnya lagi.”Perkataan mereka telah memenuhi pikiran Saya, Tadz," ucapku menyesal.”Apa Antum percaya tentang Sinta dengan pemuda itu telah melakukan hal yang dituduhkan?” tanyanya.”Awalnya Saya tidak percaya. Tapi Sinta sendiri yang mengaku telah melakukannya.""Antum percaya begitu saja?" tanyanya menyelidik.”Saya sudah bertanya beberapa kali, tapi dia tetap mengaku telah melakukannya.””Iya, tahu. Tapi kenapa Antum percaya begitu saja?" tanya ustadz Rahman kecewa.Aku tidak mampu untuk menjawab. Air mata kembali ingin turun, tapi segera aku lap dengan memakai lengan baju.Aku kecewa pada diriku sendiri. Kenapa dengan bodohnya aku percaya begitu saja apa yang orang-orang tuduhkan tentang Sinta. Padahal aku sama sekali tidak melihat kejadiannya."Karena Saya terlalu bodo
Janah masih terlihat mengobrak-abrik isi kamar. Kini dia mulai menarik paksa hendel pintu lemari Sinta hingga lemarinya bergoyang.Aku dan ustadz Rahman sejauh ini hanya memperhatikan gerak-geriknya.Ternyata waktu bergulir begitu cepat.Dulu aku mengenal Janah gadis yang cantik dan sangat berakhlak baik. Tapi aku harus menikah dengan Sinta, seorang anak mafia.Ternyata sekarang baru terbukti. Meskipun Pak Adam seorang mafia, bisa membimbing anaknya untuk menjadi yang lebih baik sehingga mengalahkan janah dan aku yang notabenenya anak pemilik pondok pesantren.Betapa malunya aku kepada keluarganya Sinta yang menalaknya dengan menyebutkan segala kekurangan yang kusangka ada padanya, ternyata semua kekurangan itu ada pada diriku.’Sungguh kamu lelaki yang tidak berguna, Fahmi.' rutukku.”Akhh.. sebenarnya apa yang di tinggalkan wanita mandul itu? Apa?" teriak Janah.Apa dia tidak takut akan ada santri yang mendengarnya atau dia mengira tidak akan ada orang yang berani lewat kamar Sinta.