Share

Bab 6

Kenapa akhir-akhir ini perkataan ustadz Rahman seperti teka-teki bagiku. Sebenarnya apa maksud dari perkataannya?

Bukan karena aku tidak faham, aku faham bahkan sangat faham. Tapi maksud sebenarnya dari ucapannya itu apa?

Langsung saja aku membereskan kitab dan pergi ke kamar yang telah di persiapkan untuk kami.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam, Mas," jawab Janah yang datang dari arah berlawanan denganku.

"Kamu dari kebun pondok?" tanyaku padanya.

"I-iya, Mas," jawabnya terbata-bata.

"Kamu kan sedang ditanya Mas, Janah. Bukan lelaki yang bukan mahram. Kenapa harus gugup?" tanyaku kesal.

Kenapa sifat kita menikah, sikap Janah sangat berbeda. Bukankah harusnya menjadi lebih baik?

Sinta saja sangat baik, kenapa janah berbeda?

”Maaf, Mas. Iya tadi aku bersama santriwati dari kebun untuk mengambil sayuran,"

"Apa yang ada di tanganmu, Janah?"

"I-ini Mas, dari salah satu santriwati, katanya 'anggap saja sebagai kado pernikahan," jawabnya kikuk.

"Oh, dari santriwati. Ya udah, 'gak usah gugup begitu juga. Yuk masuk.

Dia pun mengekor di belakangku.

”Janah, Mas lapar,"

"Ya sudah, nanti aku minta santriwati, ya, Mas,"

"Mas mau Janah yang masak. Dari semenjak kita datang kesini kan, makan masakan santri," pintaku yang membuatnya langsung terdiam.

Lama kumenunggu jawabannya, sampai akhirnya dia bicara.

"Ba-baiklah mas, aku masakkan. Sebentar," dia langsung menaruh baju yang sedari tadi di pegangnya kedalam lemari dan menguncinya.

Kini aku yang di buatnya terdiam. Kenapa sampai harus langsung dikunci kalau tidak ada yang disembunyikan? Bukankah awalnya juga memang tidak dikunci, karena ada beberapa kitabku juga yang simpan di lemarinya.

"Mau makan apa, Mas?" tanyanya membuyarkan lamunanku.

"Terserah di dapurnya ada apa, masaklah itu selagi menyehatkan."

Tanpa menunggu aku bicara lagi, Janah berjalan keluar kamar dan berbelok ke arah dapur.

Kuhembuskan nafas panjang dan pikiranku menerka jauh.

Apakah aku telah su'udzon? Astagfirullah.

Tapi aku suaminya. Aku berhak tahu seperti apa pasangan hidupku.

Kudekati dan kutatap lama lemarinya itu.

'Baju apa yang tadi kamu sembunyikan dari Mas, Janah? Sebenarnya hal apa yang mencoba kamu tutupi agar Mas tidak mengetahuinya?' batinku bertanya-tanya.

Bismillah, kuputar kunci yang masih Janah gantungkan dalam tempatnya. Lemari pun terbuka dan memperlihatkan sebuah plastik bening dengan isi yang terlihat berwarna merah muda.

’Ambillah Fahmi, tenanglah. Janah istrimu. Tidak ada yang pantas seorang istri sembunyikan dari suaminya termasuk hal ini,' batinku meyakinkan.

Kucoba meraih bungkusan transparan itu, membukanya pelan.

Benar, memang sebuah baju.

Kembali aku membuka bungkusan kedua dan mengangkat kedua kerah baju tersebut keatas.

'Baju yang sangat cantik.'

Entah kenapa baju ini sama persis dengan model kesukaan Janah. Sebuah kaus tebal berwarna merah muda, berpita atas bawah dan lengan, juga ada tiba buah kancing. Tidak lupa juga dengan jahitan bunganya.

Aku ingat betul, bahwa Janah memang menyukai baju yang seperti ini. Tapi bagaimana mungkin para santriwati mengetahui baju kesukaan Janah? Bahkan ini yang pertama kalinya aku membawa dia kesini.

Ku lafadzkan istighfar dan dzikir, agar terhindar dari pemikiran yang negatif.

Ada rasa emosi yang hampir menguasai diriku. Pikiranku menerka jauh. Kulipat baju itu kembali dan memasukannya ke kantong itu lagi dan menyimpannya kembali kedalam lemari, tempat yang semula ketika aku mengambilnya.

Ketika aku mencoba merapikan baju Janah yang didalam lemari, ’tak sengaja aku menemukan sebuah kotak.

'Apa isi didalamnya?'

Dengan penuh rasa penasaran, aku mengambilnya.

'Maafkan hamba Ya, Allah.' batinku memohon ampun karena sudah ikut campur.

Tapi Janah adalah istriku, aku berhak untuk mengetahui semua tentangnya.

***

Darahku seketika mendidih melihat isi yang ada dalam kotak tersebut. Sebuah kemeja flanel berwarna abu-abu.

Dengan penuh emosi, kubanting baju tersebut.

"Kenapa, Mas?" tanya Janah dengan suara bergetar. Ternyata dia melihat apa yang aku lakukan.

'Apa yang kau sembunyikan dariku Janah?'

"Kenapa bertanya padaku, harusnya aku yang bertanya begitu. Apa maksud semua ini Janah?" tanyaku dengan nafas memburu.

"Apa yang membuatmu marah, Mas. Apa yang Mas maksud?" tanyanya yang seolah-olah tidak merasa bersalah.

"Jangan pura-pura tidak tahu. Apa maksud dari baju itu," tanyaku sambil menarik nafas dalam-dalam agar amarahku redup.

"Ini baju yang sudah aku siapkan untukmu, Mas," jawabnya sambil meraih kemeja yang aku lemparkan tadi.

"Kau tahu aku bukan seorang pejabat?"

"Tentu, Mas. Mas adalah seorang ustadz," jawab Janah polos. Tapi justru aku malah bertambah curiga.

"Kamu tahu Mas adalah seorang ustadz, tapi malah membelikan Mas sebuah kemeja?" tanyaku yang mengintrogasi.

"Anu-anu, Mas. Aku ingin melihat Mas menggunakan kemeja ini," ucapnya dengan meneteskan air mata. Tapi sayangnya aku tidak akan luluh semudah itu.

"Menggunakan kemeja ini? Apa kamu yakin Janah?" tanyaku dengan tatapan menyelidik.

Dia hanya mengangguk.

"Coba buka matamu lebar-lebar Janah, kemeja ini lebih kebesaran untuk Mas. Lihatlah. Meskipun panjang bajunya pas sama baju Mas, tapi tetap kebesaran. Badan Mas kecil, sementara baju ini dibuat untuk yang berbadan kekar. Jelas-jelas ini bukan ukuran Mas," jelasku pelan agar tidak sampai terdengar keluar.

"Apa? Mas mencurigaiku berselingkuh? Kenapa Mas? Apa selama ini aku tidak baik di mata Mas?" jawabnya dengan berurai air mata dan sedikit berteriak.

Jujur melihatnya seperti ini membuatku terluka.

”Bukan begitu Janah, Mas hanya ingin tahu yang sebenarnya."

”Jadi maksud, Mas aku berbohong? Begitu. Bukankah Mas yang selalu berbohong padaku. Dua tahun lalu Mas bilang ingin melamarku, tapi nyatanya malah menjadi hari pernikahan Mas dengan Mbak Sinta. Bahkan Diyah sampai tertembak kala itu dan kalian malah sengaja menyembunyikan masalah ini dari Mbak Sinta. Apa yang telah Mbak Sinta kobarkan untuk keluarga, Mas? Tidak ada."

Aku termenung mendengar makian Janah. Iya, kami semua sengaja tidak memberitahukan Sinta bahwa Diyah ditembak oleh Pak Adam, ayahnya. Dengan alasan takut dia tidak akan berbakti kepada sang Ayah dan malah akan membencinya.

Tapi kami juga tidak tahu alasan dibalik Pak Adam menembak Diyah. Karena perjanjian waktu itu Pak Adam akan membebaskan kami semua jika aku menyetujui untuk menikahi Sinta.

"Apa yang Mas harapkan dari Mbak Sinta? Apa? Bahkan memberikan keturunan saja tidak mampu." Lanjutnya.

Mendengar perkataan Janah langsung membuatku mengangkat kedua tangan dan mendarat sempurna di pipi mulus Janah.

"Jaga ucapanmu, Janah. Walau bagaimanapun Sinta adalah kakak madumu."

"Bahkan Mas tega menamparku? Demi siapa? Mbak Sinta lagi kan?" cecarnya padaku dan badannya terhuyung. Aku mencoba untuk membantunya, tapi dengan cepat dia menepis tanganku.

"Jangan sentuh aku, Mas!" Titahnya dan tidak lama mulutnya memuntahkan cairan putih beberapa kali dan pergi ke kamar mandi yang disamping.

'Ada apa dengan Janah? Apakah dia hamil?' batinku bertanya-tanya.

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Tri Wahyuni
janah itu nakal dn janah dh g parawan.klo kmu ingin tau jangan kmu sentuh dulu sampe bbrp minggu ada perubahan apa dgn diri nya jannah .
goodnovel comment avatar
carsun18106
baru melakukan semalam mah ngga mungkin langsung jadi lah
goodnovel comment avatar
carsun18106
mungkin janah mau tukeran kado
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status