Share

Masa Lalu

Author: Maheera
last update Last Updated: 2022-12-14 08:17:09

Vano duduk sambil mengetuk-ngetukan jari ke meja kerja yang terbuat dari kayu jati. Sebelah tangannya berada di lengan kursi menopang dagu. Wajahnya terlihat gusar. Hatinya gundah mengingat yang dia lihat tadi siang di kantor Mitha. Setelah wanita itu membongkar kecurangan Surya Group, Vano menyusulnya ke kantor.

Lelaki itu ingin memperbaiki hubungannya dengan sang istri. Mungkin sudah saatnya membuka hati dan melupakan masa lalu. Vano juga tidak ingin tersiksa dengan perasaannya. Dia ingin lebih jujur dan memberi ruang untuk rasa yang mulai tumbuh. Namun, baru saja sampai di pintu ruang kerja Mitha, Vano melihat Max sedang memeluk wanitanya.

Amarah dan cemburu membaur jadi satu di dada Vano. Saudara tirinya itu benar-benar keras kepala. Ingin rasanya mematahkan tangan yang telah lancang memeluk Mitha, tetapi ditahannya rasa itu. Leaki itu tak ingin terlihat konyol di mata Mitha. Apa yang akan di pikirkan oleh wanita itu jika tiba-tiba saja dia memukul Max tanpa alasan? Tidak mungkin mengatakan bahwa dia cemburu.

Vano meraup wajahnya kasar, bangkit dari kursi berjalan menuju jendela yang ada di samping meja kerjanya. Lelaki tersebut memasukan kedua tangan ke dalam saku celananya. Netranya memandang jauh ke depan, sementara ingatan Vano mundur jauh kebelakang.

Saat dia mengenal Evelin, sekitar empat tahun yang lalu. Vano bertemu dengan wanita itu ketika keluarga Hermawan melakukan kunjungan rutin ke panti asuhan di mana papanya menjadi donatur. Lelaki itu menemukan sebuah buku saku berwarna merah seukuran dua telapak tangan orang dewasa. Dia penasaran dengan isinya, kemudian membaca goresan di buku tersebut.

Vano tertarik melihat tulisan tangan yang sangat rapi. Kekagumannya semakin membuncah saat membaca lembar demi lembar tulisan di buku itu. Kata-kata begitu sederhana. Namun, mengandung ribuan makna. Tentang perjuangan, filosofi hidup, impian, dan cita-cita. Mungkin terdengar gila. Vano jatuh cinta pada pemilik buku tersebut bahkan sebelum dia melihatnya. Dari semua goresan penanya, dia yakin pemiliknya seorang yang cantik, sederhana dan baik. Benaknya kembali memaksa mengingat memori yang telah usang.

"Maaf, apa Anda tersesat?" tanya seorang gadis mengejutkan vano.

Lelaki itu menoleh. "Ah, tidak kebetulan aku sedang berkeliling."

Gadis itu terdiam. Dia menatap buku di tangan Vano dengan dahi berkerut. Dia kenal siapa pemilik buku tersebut. "Itu ...." tanyanya ragu sambil menunjuk ke arah tangan Vano.

Menyadari tatapan gadis tersebut Vano bertanya. "Apa kau mengenal pemilik buku ini?" Dia mengacungkan buku di tangannya ke hadapan si gadis.

"Memangnya kenapa?" gadis itu balik bertanya.

"Tidak, hanya aku ingin bertemu pemiliknya."

"Lantas, setelah bertemu apa yang ingin Anda lakukan?" desak gadis itu, lagi.

Vano tersenyum begitu menawan, membuat wanita rela mendatanginya walau dengan merangkak. "Entah, tapi Aku rasa dia cantik," tebaknya.

Gadis itu mengulas senyum tipis. Saat itulah kisahnya, Mitha, dan Evelin dimulai. "Aku pemilik buku itu. Namaku Evelin!"

Sejak saat itu, Vano dan Evelin tidak terpisahkan atau lebih tepatnya gadis tersebut tidak mau terpisah dari lelaki itu walau sebentar. Gadis yang posesif dan dominan selalu ingin mengatur hidup sang lelaki. Meski keberatan dengan sikap Evelin, Vano mencoba memaklumi. Gadis itu akan sangat murka jika Vano datang ke panti tanpa memberitahu terlebih dahulu, apalagi jika lelaki itu bertemu dengan Mitha.

Gadis yang dengan menatapnya saja mampu membuat hati Vano berdesir. Dialah alasan lelaki itu sering berkunjung ke panti. Hal yang tidak pernah dilakukannya dulu, kecuali saat melakukan kunjungan rutin. Namun, Vano sadar dia sudah memiliki Evelin yang sangat dikaguminya. Hingga dia mau tidak mau harus membunuh bibit rasa yang tumbuh tanpa dia sadari, entah sejak kapan.

Suara sekretaris Vano melalui interkom membuyarkan lamunannya.

"Pak, Pak Max ingin bertemu dengan Anda?"

Dahi Vano berkerut, 'mau apa dia' geramnya.

Lelaki itu meraih interkom. "Suruh dia masuk!" titahnya.

Tak lama, pintu besar berwarna coklat terbuka. Terlihat sosok tegap melangkah masuk. Mengenakan kemeja berwarna biru laut dengan bagian lengan digulung hingga ke siku. Vano mendengkus, 'lagaknya seperti orang paling keren saja' cibirnya.

"Apa kabar, Kak!" tanya Max duduk begitu saja di sofa yang ada di ruang kerja Vano.

Pria itu mengedarkan pandangan ke setiap sudut ruangan. Terdapat lemari yang menempel di dinding, beberapa buku dari berbagai judul tersusun rapi. Di sebelah lemari itu terdapat meja dan kursi besar yang terbuat dari kayu jati berwarna coklat tua. Di atas meja terlihat banyak kertas berserakan.

Max menggelengkan kepala. Memandang Vano dengan tatapan meremehkan."Pantas! Papa memberi posisi komisaris utama kepada Mitha, kalau tidak, aku jamin dalam tempo satu bulan perusahaan ini akan bangkrut," sindirnya

Wajah Vano memerah. Tangan yang berada di saku celana dia kepal erat-erat, mencoba meredam emosi di dada. "Apa maksudmu!?" desisnya pelan.

Max tertawa sinis. Menyandarkan punggungnya ke sofa, sementara kaki kanannya di tupangkan di atas kaki kiri. Tangannya ditautkan di atas lutut. "Maksudku kau tidak becus, Kak!" ujar Max dengan pandangan melecehkan.

Wajah Vano mengeras. Dengan sekali sentak dia merenggut kerah kemeja Max, hingga lelaki itu berdiri.

"Lancang! Kalau saja kau bukan adikku, sudah kuhajar mulut busukmu itu! Vano memaki dengan sorot menajam.

Max terkekeh, dia melepaskan paksa cengkeraman tangan Vano di bajunya. "Nyatanya aku memang bukan adikmu! Kita hanya dua orang yang beruntung karna diangkat anak oleh Papa," terang Max dengan nada sinis. Pria bermanik hitam itu kembali duduk. Netranya seolah ingin menguliti Vano. "Papa lebih menyayangimu ketimbang aku setiap saat harus mengalah demi kepentinganmu. Bahkan saat Papa meminta sumber napasku, aku pun memberikan tanpa bertanya."

"Apa maksudmu!?" tanya Vano tak mengerti.

Max memalingkan wajahnya. Seketika mulutnya bungkam. Sorot mata pria itu berubah sendu, sedetik kemudian kembali menatap Vano, "Suatu saat kau akan tau!" Dia menjawab ketus. Max bangkit mendekati Vano. "Dan kali ini aku tak akan mengalah padamu!" ancamnya, kemudian berjalan meninggalkan Vano yang masih bergeming.

"Apa ini tentang, Mitha?!" tanya Vano menginterupsi langkah Max.

Pria itu terpaku. Hening ... Max menganjur napas pelan sekadar menenangkan hatinya, kemudian kembali melangkah meninggalkan Vano.

'Ya, pasti Mitha' gumam Vano. Entah mengapa ada rasa nyeri di sudut hati . Tanpa sadar lelakiku itu meraba dadanya yang berdetak kencang setiap mengingat Mitha.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menyingkirkan Pelakor Tak Tahu Diri   Tentang Rasa

    "Princess, I am sorry. Aku ...""Don't ..." Mitha menepis tangan Max yang mencoba meraih lengannya. Dia surut ke belakang, menghadap ke jendela apartemen yang mengarah langsung ke pantai. Dia memeluk tubuhnya sendiri, seolah melindungi dirinya dari sesuatu yang hendak membuatnya terluka. Tapi dia tidak tahu siapa dan kenapa."Kapan dia bangun?" tanya Mitha setelah cukup lama mereka diam."Lima hari yang lalu," jawab Max. Dia ikut berdiri di samping Mitha, menatap ke luar jendela."Haris menceritakan semuanya. Aku tidak mungkin meninggalkanmu di rumah sakit setelah mobilku tanpa sengaja menabrakmu. Jadi aku mengutus orang-orangku untuk menjaga Vano dan Bima."Mitha menoleh, menatap Max lekat."Kenapa Vano bisa kabur dari rumah sakit. Logikanya, untuk seorang yang baru bangun dari koma tidak mungkin dia bisa pergi begitu saja tanpa ada yang membantu,"Max menunduk, melipat bibirnya ke dalam, kedua tangannya terkepal kuat di dalam saku celana. Hal itu tak luput dari pengamatan Mitha, ins

  • Menyingkirkan Pelakor Tak Tahu Diri   Dia Kembali

    Mitha membuka mata dan mendapati kelam membungkus dirinya. Perlahan bangkit mencoba meraba dalam gelap. Tertatih langkahnya menapaki lantai yang terasa dingin. Dia tak tahu arah, kakinya tak memiliki tujuan.Dia terjatuh, tak lama tersenyum ketika melihat titik terang di ujung lorong. Dia bangkit, terus berlari meski tak tahu lari dari apa. Dia hanya takut pada gelap yang terus mendekatinya dari belakang.Mitha terengah, napasnya memburu karna pasokan oksigen yang semakin menipis. Namun, rasa takut membuat kaki bergerak lebih cepat. Dia berhasil menggapai gagang pintu. Mendorong papan kayu itu perlahan. Air matanya menetes begitu saja. Di balik pintu dia melihat dua orang tercintanya berdiri bergandengan tangan. Vano dan Bima, mereka tersenyum, wajah kedua begitu cerah. Tak pernah dia merasa selega itu, mengayunkan kaki hendak mendekati keduanya. Tapi, sepasang tangan besar menahannya. Dia menoleh dan mendapati sosok yang menghilang delapan tahun kini memdekapnya"Jangan pergi. Stay w

  • Menyingkirkan Pelakor Tak Tahu Diri   Berduka

    Mendung menggayuti langit Ibukota, meski matahari begitu pongah memancarkan sinarnya, tak mampu menembus mega-mega kelabu yang menaungi areal pemakaman keluarga Hermawan yang berada di tanah pribadi. Isak tangis terdengar ketika jenazah diturunkan ke liang lahat. Jeritan Evelin terasa menusuk perih gendang telinga dan memilukan hati yang mendengar. Beberapa orang terlihat sigap menahan tubuh janda dari Hermawan itu. Terus meronta dan menangis membuat tubuhnya perlahan melemah, lalu terduduk tak berdaya.Mitha mematung melihat adegan itu dari balik kacamata hitamnya. Kemarin malam, setelah mendapat kabar jika laki-laki pilar utama klan Hermawan itu meninggal karna kecelakan, dia segera memacu mobilnya menuju rumah sakit yang tidak terlalu jauh dari tempat Vano dirawat. Malam itu juga jenazah almarhum langsung dibawa ke Jakarta. Mitha tak mengerti mengapa masalah datang beruntun setelah kecelakaan yang menimpa Vano. Apalagi siangnya beliau masih terlihat bugar dan cerah. Tapi, siapa ya

  • Menyingkirkan Pelakor Tak Tahu Diri   Beku

    Mesin EKG seperti musik pengantar tidur untuk sosok yang kini terbaring beku di atas brankar rumah sakit. Berbagai alat medis terpasang di tubuhnya, wajahnya pun ditutupi masker untuk menyalurkan oksigen ke dalam paru-parunya. Mobil yang dikemudikan Vano menabrak pembatas jalan tol, berguling beberapa kali hingga tercebur ke dalam sungai yang arusnya sangat deras. Dia dinyatakan koma karena luka parah di kepala.Kenyataan itu membuat Mitha didera rasa bersalah. Andai malam itu dia mendengarkan penjelasan Vano dan tidak larut dalam kemarahannya, tentu semua baik-baik saja. Andai dia lebih sabar dan percaya pada hati kecilnya, tentu saat ini suaminya itu masih sehat dan bugar.Dua minggu yang lalu setelah dia meninggalkan laki-laki itu dengan amarah yang masih menguasai dada, Mitha mendengar ponsel Vano berdering, entah dengan siapa laki-laki itu bicara, dia tak peduli dan tak ingin tahu. Tidak lama terdengar suara mobilnya menjauh. Sesal segera mendekap tubuhnya, sebesar apa pun kemara

  • Menyingkirkan Pelakor Tak Tahu Diri   Nyaris

    Julian terkejut melihat Hans sudah berdiri di depan pintu apartemen pagi-pagi sekali. Pemuda itu terlihat memakai long coat berwarna merah hati. "Wow! Kau on time sekali!" serunya, menggeser tubuhnya memberi akses untuk Hans masuk. Pemuda itu tersenyum. "Saya sangat bersemangat," ujarnya, "lagipula Tuan Max terlihat pemarah. Saya tidak ingin mengecewakan pelanggan," tambahnya. Julian tertawa mendengar penilaian pemuda itu tentang Max. Dia mengenal laki-laki itu--Julian menjadi orang kepercayaannya selama sepuluh tahun--seperti dia mengenal dirinya sendiri. Mereka melebihi saudara, bahkan dia saksi kehancuran Max ketika wanita yang dicintainya dikatakan memiliki hubungan darah dengannya. Sebuah fakta yang belakangan diketahui adalah sebuah kebohongan keji yang disengaja dibuat seseorang. Sebenarnya Max bukan laki-laki pemarah dan dingin. Dia sangat baik dan mudah sekali tersenyum. Hatinya sangat lembut dan mudah tersentuh. Tapi, kebohongan keji itu telah merubahnya menjadi laki-laki

  • Menyingkirkan Pelakor Tak Tahu Diri   Mencari Jejak ( Season 2)

    Dua tahun kemudian .... USA, New York Max merapatkan mantelnya. Menyeberangi 7th Avenue yang padat. Selama dua tahun tinggal di New York, ini pertama kalinya dia ke bagian lain Manhattan. Hidupnya hanya seputar bekerja dan apartemen. Sebagai kota Metropolitan, New York memiliki kepadatan yang luar biasa. Selain menjadi pusat fashion, kota ini juga merupakan pusat perdagangan, keuangan, seni, dan budaya. Penduduknya pun beragam dan datang dari berbagai bangsa dunia. Jika di Indonesia, New York tak ubahnya Jakarta. Hanya saja tak ada istana negara di kota ini karena pusat pemerintahan ada di Washington D.C. Kaki Max membawanya ke arah Bryant Park. Area terbuka publik yang berada di antara 5th dan 6th Avenue. Max disambut oleh air mancur yang meliuk indah. Di tengah-tengah gedung-gedung pencakar langit, area terbuka itu terlihat sangat menyejukkan. Tidak heran banyak orang menghabiskan waktu di sana, meski hanya untuk sekadar mengobrol atau membaca buku. Max mengedarkan pandangan ke

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status