Dia seorang upik abu yang beruntung menjadi seorang ratu. Seperti ulat menjijikkan yang bermetamorfosis menjadi kupu-kupu cantik. Mereka tidak pernah tahu apa yang telah dikorbankannya hingga sampai di titik itu. Air mata, gelimang luka, bahkan cinta pertamanya. Andai mesin waktu itu ada, pasti dia orang pertama yang rela menukar dengan seluruh harta, bahkan jiwanya.
Hutang budi yang ditanamkan keluarga Hermawan membuatnya tidak sanggup menolak keinginan sang pilar utama untuk dinikahkan dengan putra sulung keluarga tersebut. Lelaki berpostur tegap, berkulit putih, bergaris rahang tegas, dan memiliki sorot sedingin kutub. Zivano Hermawan. Mitha masih ingat malam pertama yang harusnya menjadi momen yang mendebarkan bagi pengantin baru, justru awal dari penderitaannya. Setiap ingatan itu datang selalu saja menorehkan luka semakin dalam.
"Mas, ada wanita di kamar kita, dia bilang Mas yang suruh?"
"Iya, kenapa?!" jawab Vano tanpa melihat padanya
"Tapi ... Mas, inikan mal ...."
Vano tersenyum mengejek. "Malam pertama hanya untuk pasangan yang saling mencintai! Kita bukan pasangan dan yang harus kamu tau ... AKU MEMBENCIMU! Jadi jangan pernah berharap aku akan bersikap manis padamu!" potong lelaki itu kejam.
Mitha tersentak! Ada benda tak berupa dengan cepat melesat menyayat jantungnya. Perih hingga membuat sekujur tubuhnya gemetar. Pandangan wanita itu nanar karena terhalang kabut tipis. Bulir-bulir bening segera menggenang di pelupuk mata.
"Ke-kenapa, Mas ...," erangnya lirih.
Vano mendekat. Danau kelam milik lelaki itu seakan-akan hendak menenggelamkan Mitha di sana "Kau tanya kenapa?! Kau menghancurkan hatiku, karna kau Evelin pergi. Satu-satunya wanita yang kucintai di dunia ini meninggalkanku karna ambisimu menjadi seorang nyonya Hermawan!" raungnya dengan sorot mata nyalang penuh api kebencian.
"Apa? Kau dan Evelin ... maaf, aku tidak tau," lirih Mitha tersendat.
Vano mendengkus. "Munafik! Evelin sahabatmu, tidak mungkin kau tidak tau hubungan kami. Kau tau, tapi menutup mata dan mengkhianati sahabatmu sendiri," cibirnya.
"Demi Tuhan, Mas! Aku tidak tau, Evelin tidak pernah bercerita padaku. Ak ...."
"CUKUP! Hentikan sandiwaramu, jika bukan karna Papa, aku tidak sudi menikah denganmu. Akan tetapi, tenang saja akan kubuat kau merasakan sakit yang kurasakan," ancam Vano, kemudian berderap meninggalkan Mitha.
Akhirnya cairan bening yang menggenang di pelupuk tumpah juga. Debit airnya tak mampu ditahan kelopak mata, lalu luruh membentuk aliran sungai di pipi Mitha. Daya di tubuhnya seolah-olah ditarik dengan paksa keluar sehingga jatuh terduduk ke lantai. Hati si wanita yang semula berbunga, layu bahkan mati sebelum sempat berkembang. Ada yang patah dan berderak menjadi serpihan menusuk dadanya. Asa yang sempat dibangun hancur berkeping-keping seketika. Sepanjang malam dihabiskannya dengan menangis, hingga pagi menjelang masih dengan gaun pengantin melekat di badan.
*
Gelap masih enggan meninggalkan langit. Sang surya juga setia bermalas-malasan di peraduannya, meski ayam jantan telah lantang berkokok sejak tadi. Mitha memandang langit dari balkon kamar. Udara dingin yang terasa menusuk kulit mengembalikan ingatannya kembali setelah berlari sejenak menjemput masa lalu. Dia merapatkan jubah tidur berwarna merah hati, berharap hangat menjalari sekujur tubuh. Aroma citrus perlahan terhidu lembut menggelitik indra penciumannya. Perpaduan mandarin oranye, kayu manis, pala, serta cengkih tercium. Aroma familier yang telah menemaninya selama tiga tahun menikah.
"Ada angin apa kau mengunjungiku sepagi ini, Mas?" tanpa melihat Mitha tahu siapa sosok yang kini mendekatinya
"Kenapa kau melakukan ini padaku?" tanya Vano. Kini dia berdiri di sisi wanita itu. Tangannya bersedekap dengan pandangan lurus ke depan.
Sudut bibir Mitha terangkat. "Apa maksudmu, Mas?"
Vano memutar tubuhnya. Satu tangan terbenam di saku celana sedangkan tangan yang lain mencengkeram pinggiran pagar balkon.
"Apa maksudmu memerintahkan inspeksi ke dalam jajaranku?!" tanyanya sengit.
Mitha terkekeh. Berbalik melangkah masuk ke dalam kamar.
"Itu keputusan Dewan direksi, tidak ada hubungannya denganku."
Vano berderap mendekat. "BOHONG! Aku tau pasti ada campur tanganmu, bukan?" tanyanya dengan raut murka.
Mitha berbalik, menantang netra hitam itu. Matanya menghunjam tepat di manik kelam milik Vano.
"Jika aku membantah, apa kau akan percaya?" balasnya tak kalah sengit.
"Kau memang tidak bisa di percaya," desis Vano.
"Kau memang tidak pernah percaya padaku. Di hatimu secuil pun tak ada rasa untukku. Seberapa besar usahaku meyakinkan tetap tidak bisa menyentuh hatimu," ucap Mitha, suaranya serak menahan pilu.
Vano bergeming. "Aku sudah memperingatkanmu sejak awal, apa sekarang kau menyesal?"
"Menyesal?! Kau sudah terlanjur menyulut api, Mas. Pantang bagiku untuk mundur. Jika, harus terbakar biar kita terbakar bersama menjadi abu!" Mitha mendekati Vano, hingga jarak mereka tinggal sehasta saja, "lupakah bahwa kau ingin membuatku menderita, merasakan sakit hati? Atau sekarang kau sudah lelah, Mas?" Tak sedikit pun mata Mitha berkedip menantang sorot Vano yang memancarkan kebencian.
Vano mengepalkan kedua tangannya, mencoba menekan emosi di dada. "Baiklah jika itu maumu. Kita lihat, siapa yang akan menjadi pemenang, kau atau aku." Sang lelaki berderap meninggalkan Mitha yang masih menatapnya dengan tatapan menajam.
Setelah sosok lelaki itu lenyap, netra bening Mitha pun meredup. Wanita itu sedikit terhuyung mencapai pinggiran ranjang. Tiga tahun selalu berpura-pura kuat, menjadi wanita ambisius yang dingin, dan tidak berperasaan. Namun, jauh di sudut hati ada luka yang bernanah dan terlanjur membusuk. Luka yang ditorehkan Vano sejak malam pertama pernikahan mereka.
Ancaman lelaki itu dan perlakuannya, membuat Mitha memasang tameng sekuat baja untuk melindungi hati serta hidupnya. Jika hidup wanita itu terselamatkan, tidak dengan hatinya. Pengkhianatan yang dilakukan Vano seakan tidak pernah usai. Kadang ada kalanya dia ingin menyerah kalah, tetapi janji pada Presiden Komisaris sekaligus ayah mertua menahan asanya.
Mitha sangat menyayangi panti asuhan tempat dia di besarkan. Jika dia menyerah menghadapi Vano, otomatis semua fasilitasnya akan dicabut. Termasuk meratakan panti asuhan tempat dia dibesarkan. Dia masih sangat waras untuk tidak membiarkan anak-anak di panti terusir dari rumah mereka. Jika pengorbanannya bisa membuat anak-anak itu tersenyum, maka dia rela menceburkan diri dalam derita tak berkesudahan.
"Princess, I am sorry. Aku ...""Don't ..." Mitha menepis tangan Max yang mencoba meraih lengannya. Dia surut ke belakang, menghadap ke jendela apartemen yang mengarah langsung ke pantai. Dia memeluk tubuhnya sendiri, seolah melindungi dirinya dari sesuatu yang hendak membuatnya terluka. Tapi dia tidak tahu siapa dan kenapa."Kapan dia bangun?" tanya Mitha setelah cukup lama mereka diam."Lima hari yang lalu," jawab Max. Dia ikut berdiri di samping Mitha, menatap ke luar jendela."Haris menceritakan semuanya. Aku tidak mungkin meninggalkanmu di rumah sakit setelah mobilku tanpa sengaja menabrakmu. Jadi aku mengutus orang-orangku untuk menjaga Vano dan Bima."Mitha menoleh, menatap Max lekat."Kenapa Vano bisa kabur dari rumah sakit. Logikanya, untuk seorang yang baru bangun dari koma tidak mungkin dia bisa pergi begitu saja tanpa ada yang membantu,"Max menunduk, melipat bibirnya ke dalam, kedua tangannya terkepal kuat di dalam saku celana. Hal itu tak luput dari pengamatan Mitha, ins
Mitha membuka mata dan mendapati kelam membungkus dirinya. Perlahan bangkit mencoba meraba dalam gelap. Tertatih langkahnya menapaki lantai yang terasa dingin. Dia tak tahu arah, kakinya tak memiliki tujuan.Dia terjatuh, tak lama tersenyum ketika melihat titik terang di ujung lorong. Dia bangkit, terus berlari meski tak tahu lari dari apa. Dia hanya takut pada gelap yang terus mendekatinya dari belakang.Mitha terengah, napasnya memburu karna pasokan oksigen yang semakin menipis. Namun, rasa takut membuat kaki bergerak lebih cepat. Dia berhasil menggapai gagang pintu. Mendorong papan kayu itu perlahan. Air matanya menetes begitu saja. Di balik pintu dia melihat dua orang tercintanya berdiri bergandengan tangan. Vano dan Bima, mereka tersenyum, wajah kedua begitu cerah. Tak pernah dia merasa selega itu, mengayunkan kaki hendak mendekati keduanya. Tapi, sepasang tangan besar menahannya. Dia menoleh dan mendapati sosok yang menghilang delapan tahun kini memdekapnya"Jangan pergi. Stay w
Mendung menggayuti langit Ibukota, meski matahari begitu pongah memancarkan sinarnya, tak mampu menembus mega-mega kelabu yang menaungi areal pemakaman keluarga Hermawan yang berada di tanah pribadi. Isak tangis terdengar ketika jenazah diturunkan ke liang lahat. Jeritan Evelin terasa menusuk perih gendang telinga dan memilukan hati yang mendengar. Beberapa orang terlihat sigap menahan tubuh janda dari Hermawan itu. Terus meronta dan menangis membuat tubuhnya perlahan melemah, lalu terduduk tak berdaya.Mitha mematung melihat adegan itu dari balik kacamata hitamnya. Kemarin malam, setelah mendapat kabar jika laki-laki pilar utama klan Hermawan itu meninggal karna kecelakan, dia segera memacu mobilnya menuju rumah sakit yang tidak terlalu jauh dari tempat Vano dirawat. Malam itu juga jenazah almarhum langsung dibawa ke Jakarta. Mitha tak mengerti mengapa masalah datang beruntun setelah kecelakaan yang menimpa Vano. Apalagi siangnya beliau masih terlihat bugar dan cerah. Tapi, siapa ya
Mesin EKG seperti musik pengantar tidur untuk sosok yang kini terbaring beku di atas brankar rumah sakit. Berbagai alat medis terpasang di tubuhnya, wajahnya pun ditutupi masker untuk menyalurkan oksigen ke dalam paru-parunya. Mobil yang dikemudikan Vano menabrak pembatas jalan tol, berguling beberapa kali hingga tercebur ke dalam sungai yang arusnya sangat deras. Dia dinyatakan koma karena luka parah di kepala.Kenyataan itu membuat Mitha didera rasa bersalah. Andai malam itu dia mendengarkan penjelasan Vano dan tidak larut dalam kemarahannya, tentu semua baik-baik saja. Andai dia lebih sabar dan percaya pada hati kecilnya, tentu saat ini suaminya itu masih sehat dan bugar.Dua minggu yang lalu setelah dia meninggalkan laki-laki itu dengan amarah yang masih menguasai dada, Mitha mendengar ponsel Vano berdering, entah dengan siapa laki-laki itu bicara, dia tak peduli dan tak ingin tahu. Tidak lama terdengar suara mobilnya menjauh. Sesal segera mendekap tubuhnya, sebesar apa pun kemara
Julian terkejut melihat Hans sudah berdiri di depan pintu apartemen pagi-pagi sekali. Pemuda itu terlihat memakai long coat berwarna merah hati. "Wow! Kau on time sekali!" serunya, menggeser tubuhnya memberi akses untuk Hans masuk. Pemuda itu tersenyum. "Saya sangat bersemangat," ujarnya, "lagipula Tuan Max terlihat pemarah. Saya tidak ingin mengecewakan pelanggan," tambahnya. Julian tertawa mendengar penilaian pemuda itu tentang Max. Dia mengenal laki-laki itu--Julian menjadi orang kepercayaannya selama sepuluh tahun--seperti dia mengenal dirinya sendiri. Mereka melebihi saudara, bahkan dia saksi kehancuran Max ketika wanita yang dicintainya dikatakan memiliki hubungan darah dengannya. Sebuah fakta yang belakangan diketahui adalah sebuah kebohongan keji yang disengaja dibuat seseorang. Sebenarnya Max bukan laki-laki pemarah dan dingin. Dia sangat baik dan mudah sekali tersenyum. Hatinya sangat lembut dan mudah tersentuh. Tapi, kebohongan keji itu telah merubahnya menjadi laki-laki
Dua tahun kemudian .... USA, New York Max merapatkan mantelnya. Menyeberangi 7th Avenue yang padat. Selama dua tahun tinggal di New York, ini pertama kalinya dia ke bagian lain Manhattan. Hidupnya hanya seputar bekerja dan apartemen. Sebagai kota Metropolitan, New York memiliki kepadatan yang luar biasa. Selain menjadi pusat fashion, kota ini juga merupakan pusat perdagangan, keuangan, seni, dan budaya. Penduduknya pun beragam dan datang dari berbagai bangsa dunia. Jika di Indonesia, New York tak ubahnya Jakarta. Hanya saja tak ada istana negara di kota ini karena pusat pemerintahan ada di Washington D.C. Kaki Max membawanya ke arah Bryant Park. Area terbuka publik yang berada di antara 5th dan 6th Avenue. Max disambut oleh air mancur yang meliuk indah. Di tengah-tengah gedung-gedung pencakar langit, area terbuka itu terlihat sangat menyejukkan. Tidak heran banyak orang menghabiskan waktu di sana, meski hanya untuk sekadar mengobrol atau membaca buku. Max mengedarkan pandangan ke