Pagi itu, Arjuna dan Indy sama-sama tiba di lokasi proyek lebih awal dari biasanya. Proyek pembangunan kantor cabang baru ini mulai menunjukkan progres yang cukup signifikan, dan pagi itu mereka harus mengawasi pemasangan struktur besi di beberapa titik. Namun, baik Arjuna maupun Indy, keduanya datang dengan pikiran yang sama-sama kusut dari rumah.
Arjuna berdiri sambil mengamati pekerja yang sibuk menata besi-besi panjang dengan tatapan yang kosong. Sepanjang perjalanan menuju proyek tadi, pikirannya masih dibayangi oleh kata-kata Nisrina semalam. Ucapan yang sangat kasar dan menyakitkan tentang gajinya, tentang bagaimana ia dianggap tidak mampu memenuhi kebutuhan keluarga, seolah-olah perjuangannya selama ini tak ada artinya. Semenjak hamil anak kedua mereka, Nisrina semakin sering mengeluh, merendahkan, dan membuatnya merasa tak berharga. Tadinya ia berpikir bahwa ini hanyalah pengaruh hormon kehamilan, namun ternyata perilaku Nisrina semakin menjadi-jadi dari hari ke hari.
“Pak Arjuna, semua sudah siap di bagian gedung A. Silakan di cek kembali, Pak.” Seorang pekerja konstruksi melaporkan.
Arjuna tersentak dan mengangguk pelan. Ia mencoba tersenyum, tetapi kelelahan tampak jelas di wajahnya. Tatapannya kembali kosong saat pekerja itu pergi, seolah pikirannya masih terperangkap dalam cengkeraman masalah rumah tangga yang semakin berat.
Di sisi lain lapangan proyek, Indy berdiri sambil mengamati area lain. Namun, pandangannya sering kali jatuh pada layar ponselnya, berharap ada pesan atau telepon dari Anggara, suaminya. Semenjak suaminya itu diangkat menjadi Jaksa Senior Penugasan Khusus, ia tak pernah lagi mengabari atau sekedar mengirimi pesan yang manis untuk Indy. Indy merasa terabaikan, seolah-olah tak dianggap penting di mata suaminya sendiri.
Ia tahu pekerjaan Anggara memang sangat padat sehingga membuatnya sibuk, tapi rasanya sakit ketika menyadari bahwa tak pernah ada ruang bagi dirinya dalam rutinitas suaminya. Semua percakapan di antara mereka pun sudah seperti basa-basi belaka. Indy menatap ponselnya sekali lagi, lalu menghela napas panjang sebelum memasukkannya ke dalam tas.
Melihat Arjuna berdiri di kejauhan, Indy merasa ada yang aneh. Arjuna yang biasanya sigap dan tegas terlihat kehilangan semangat. Tampak lelah dan lesu.
Indy mendekat dan memanggilnya. “Pak Arjuna, apa kabar? Anda kelihatan lelah. Sedang sakit, kah?” tanyanya lembut, menahan rasa khawatir yang mulai menyergapnya.
Arjuna tersentak, menoleh dan berusaha tersenyum.
“Ah, Bu Indy. Maaf, mungkin saya kurang tidur saja,” jawabnya mencoba mengalihkan.
Indy mengamati Arjuna lebih dekat, merasakan ada yang tidak beres.
“Apa ada yang bisa saya bantu, Pak? Kalau ada masalah di lapangan, jangan sungkan beri tahu saya,” tuturnya lembut.
Arjuna tersenyum kecil.
“Tidak, Bu Indy. Semuanya baik-baik saja. Hanya saja... terkadang hidup tidak selalu berjalan sesuai rencana,ya, Bu,” katanya dengan nada samar, namun dalam tatapan mata Arjuna yang letih, Indy bisa merasakan kepedihan yang tersirat di sana.
Perasaan empati muncul di hati Indy. Ia merasa bahwa ada sedikit kemiripan dalam situasi mereka. Ia sendiri menyimpan luka yang tak pernah ia ungkapkan kepada siapa pun. Merasa terabaikan, kecewa, dan kesepian dalam pernikahannya. Seolah hidup hanya untuk memenuhi ekspektasi orang lain, apalagi sebagai calon pewaris perusahaan, ia dituntut harus selalu sempurna.
Di sela-sela keheningan mereka, pandangan mereka bertemu. Tanpa ada kata-kata, masing-masing menyadari adanya resonansi yang kuat. Sebuah pengertian dalam diam, yang menyiratkan bahwa mereka berdua sama-sama menyimpan kesedihan yang tak sepenuhnya dipahami oleh orang lain. Mereka tersenyum kecil, namun senyum itu penuh dengan rasa yang tidak perlu dijelaskan lebih lanjut.
“Bu Indy,” Arjuna berkata, suaranya sedikit lirih.
“Saya tahu mungkin sikap ini tidak profesional, tapi… terima kasih sudah bertanya.”
Indy mengangguk, merasa tersentuh.
“Sama-sama, Pak. Terkadang, kita hanya butuh seseorang untuk mendengarkan. Jadi jika ada yang ingin dibicarakan, saya selalu siap mendengarkan.”
Keduanya berdiri di sana, di tengah hiruk-pikuk suara proyek yang menggema. Dalam kebersamaan singkat itu, mereka merasakan ketenangan yang langka, seolah menemukan pelipur hati masing-masing di tengah hari yang panjang.
Pekerjaan di lokasi proyek terus berjalan, namun suasana hati Arjuna dan Indy tetap terbalut kegelisahan yang samar. Mereka kembali terpisah, sibuk dengan tugas masing-masing, namun sesekali pandangan mereka saling bertemu, berbicara dalam diam. Keduanya merasa ada kenyamanan yang tak bisa mereka ungkapkan dengan kata-kata. Masing-masing membawa beban emosional yang sulit untuk diceritakan, tapi keduanya tahu, meski sekadar dalam diam, mereka saling memahami lewat bahasa yang hanya mereka berdua yang mengerti.
Saat waktu makan siang tiba, Arjuna merasa kakinya terasa sangat berat. Ia memutuskan untuk pergi ke warung kecil yang ada di luar proyek untuk membeli kopi dan gorengan, berharap bisa sedikit menjernihkan pikirannya. Namun, ketika ia melihat Indy sedang duduk sendiri di meja pojok dengan sepotong roti dan Ice Americano kesukaannya, keinginan untuk berbicara dengan Indy muncul kembali.
Indy menatap ponselnya tanpa rasa, dan tidak memedulikan lingkungan sekitar. Ia mencoba menghubungi Anggara sekali lagi, berharap kali ini ada tanggapan. Namun hanya pesan singkat yang datang, mengatakan bahwa Anggara sedang sibuk dan akan mengusahakan pulang malam nanti. Pesan yang sama berulang kali ia terima, dan semakin lama, semakin membuat hatinya terasa hampa. Ada perasaan sepi yang mulai menggerogoti dirinya; perasaan yang selalu ia coba tepis dengan aktivitas harian, namun tetap saja datang dengan cara yang tak terduga.
Arjuna berjalan mendekat, duduk di hadapan Indy tanpa berkata apa-apa untuk beberapa detik. Indy menatapnya, lalu tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan kekosongan yang ada di dalam dirinya.
“Lagi sibuk?” tanya Arjuna akhirnya. Suara lembutnya memecah keheningan.
Indy mengangguk pelan.
“Tidak juga, sih. Sudah lumayan selo.” Ia menarik napas dalam-dalam, menahan rasa kecewa yang bergolak di hatinya.
“Aku merasa terabaikan belakangan ini. Anggara semakin sibuk dengan pekerjaannya. Aku sudah mencoba membuka komunikasi, tapi sepertinya aku hanyalah bentuk fana di matanya.”
Arjuna menatap Indy dengan penuh kasih. Rasa simpati muncul dari sorot matanya.
“Aku paham, Indy. Terkadang kita memang merasa kesepian meski berada di dekat orang yang kita cintai. Pekerjaan, tuntutan hidup, bisa membuat kita merasa terisolasi.”
Indy menatapnya, merasa ada kebermaknaan dari setiap kata yang keluar dari mulut Arjuna. Ia jarang mendapatkan perhatian yang seperti itu, bahkan dari suaminya sendiri.
“Bagaimana dengan kamu, Arjuna? Apa yang mengganggu pikiranmu?” tanya Indy, mencoba menggali lebih dalam.
Arjuna terdiam sejenak. Ia meremas tangannya, merasa ada kekosongan yang sulit dijelaskan.
“Ini soal Nisrina… Aku semakin sulit memahaminya. Dia selalu merasa kurang, selalu menginginkan lebih, dan merasa seakan-akan aku tidak bisa memenuhi ekspektasinya. Aku merasa seperti tidak pernah cukup baginya.”
Indy mendengarkan dengan penuh perhatian, merasa bahwa ada kesamaan dalam perasaan mereka. Meski dalam situasi yang berbeda, keduanya sama-sama merasa tidak dihargai oleh pasangan masing-masing.
“Aku rasa kita sama, Arjuna,” kata Indy, suaranya hampir tak terdengar.
“Aku merasa begitu diabaikan, dihargai hanya ketika aku berhasil memenuhi harapan orang lain. Tidak ada ruang untuk menjadi diri sendiri.”
Arjuna menatapnya dengan tatapan teduh dan penuh kasih. Mungkin jika saat ini mereka sedang tidak di lokasi kerja dan dalam posisi hanya berdua saja, ia akan langsung memeluk wanita kesayangannya itu, memberinya dukungan moral dan emosional dengan sentuhan. Saling menguatkan.
“Kita sering kali kehilangan diri kita sendiri dalam upaya memenuhi harapan orang lain, Indy. Terkadang kita lupa bahwa kita juga butuh perhatian, cinta, dan dimengerti, dipahami.”
Indy menunduk, mencoba menahan air mata yang tiba-tiba bergolak di pelupuk matanya. Ada rasa haru yang menggelitik hatinya.
“Aku hanya ingin merasa dihargai, Juna. Aku ingin ada yang peduli padaku.”
Arjuna meraih tangan Indy dan menggenggamnya dengan lembut.
“Jangan lupakan aku. Aku peduli, Indy. Aku selalu peduli dengan kamu.”
Kata-kata itu membuat jantung Indy berdebar lebih cepat. Tangan Arjuna yang menggenggam tangannya, membuat dirinya merasa hangat. Perasaan yang belum ia dapatkan lagi dari Anggara dalam waktu yang lama. Meski tahu bahwa perasaan ini salah, dan keduanya terperangkap dalam hubungan yang penuh dosa, Indy tak bisa mengingkari kenyataan bahwa perasaan yang ia rasakan saat ini begitu nyata.
Mereka berdua saling memandang, dalam diam yang penuh arti. Meskipun tahu bahwa mereka harus melanjutkan hidup masing-masing, mereka juga menyadari bahwa kehadiran satu sama lain memberi sedikit kelegaan dari segala tekanan yang selama ini mereka rasakan.
“Terima kasih, Juna,” kata Indy dengan suara lembut sambil melepaskan genggaman tangan Arjuna karena ia melihat ada beberapa pekerja yang akan lewat di dekat mereka.
Arjuna tersenyum, meski ada beban di hatinya.
“Sama-sama, Indy. Kita semua butuh dihargai. Jangan pernah lupa bahwa kamu berharga, setidaknya bagiku.”
Keduanya duduk diam, menikmati keheningan yang penuh makna. Masing-masing tahu bahwa jalan mereka berdua tidak mudah, namun saat itu, mereka menemukan kenyamanan dalam pertemuan yang tak direncanakan. Sebuah kenyamanan yang meskipun singkat, mungkin bisa memberi mereka kekuatan untuk bertahan menghadapi hari-hari yang akan datang.
Surabaya, masih Juni 2019Indy memandangi tiga koper besar yang sejak dua hari lalu masih tergeletak dengan terbuka di pojok kamar. Belum ada satu pun pakaiannya yang benar-benar masuk ke dalam. Rencana kembali ke Jakarta yang sejak awal bulan sudah disusun, tiba-tiba membuatnya meragu. Bukan karena ia berubah pikiran. Rasanya seperti ada sesuatu yang menahannya, tapi tidak tahu itu apa. Perasaannya mendadak tidak enak.Sebenarnya, Pak Irawan sudah menghubungi sejak seminggu lalu, meminta Indy kembali ke Jakarta untuk membantu menyusun ulang desain proposal arsitektur proyek baru yang cukup prestisius karena akan menjadi proyek besar skala nasional. Itu akan jadi kolaborasi lintas divisi yang menarik, terutama bagi Indy yang memiliki latar pendidikan Manajemen. Tapi entah kenapa, Indy merasa belum waktunya ia pulang.“Lu beneran nggak apa-apa, Van?” tanya Indy untuk kesekian kali pagi itu. Ia berdiri di ambang pintu dapur, memperhatikan adiknya yang sedang menyeduh teh celup dengan wa
Jakarta, Juni 2019Tahun ini adalah masa-masa yang cukup berat bagi Arjuna. Setelah beberapa tahun berjuang menyelesaikan pendidikannya di bidang teknik sipil dan mengumpulkan pengalaman kerja di proyek-proyek di daerah Yogyakarta, serta tuntutan dari keluarga Nisrina, ia merasa siap melangkah lebih jauh. PT. Adidaya Wiguna, perusahaan konstruksi ternama di Indonesia, mengumumkan pembukaan lowongan untuk posisi staf teknik. Bagi Arjuna, kesempatan ini ibarat tangga menuju cita-citanya serta sebagai pembuktian akan keseriusannya melangkah bersama Nisrina.Hari itu, ia melangkah masuk ke ruang wawancara dengan rasa percaya diri yang berusaha ia tunjukkan. Berseragam rapi dengan kemeja putih dan celana bahan hitam, ia membawa map berisi CV, sertifikat, dan portofolionya. Ini adalah tahap akhir dari proses rekrutmen yang sudah ia jalani beberapa waktu yang lalu untuk menentukan, apakah ia diterima atau tidak di raksasa konstruksi ini. Di dalam ruangan, seorang pria paruh baya duduk dengan
Enam bulan telah berlalu sejak Indy dan Anggara memutuskan untuk pisah rumah. Namun, kehidupan Indy tidak menjadi lebih baik. Setiap hari adalah perjuangan untuk menjaga kewarasan, terutama ketika harus menghadapi kenyataan bahwa ia kini hidup sendiri bersama Agni. Ivan yang biasa menemaninya juga sudah kembali ke Kutai Barat untuk persiapan mengajar tahun ajaran baru.Agni, putri semata wayangnya yang berusia tujuh tahun, sudah mulai menunjukkan kemajuan setelah berbulan-bulan terapi psikologi. Senyum kecil mulai kembali menghiasi wajah bocah itu, dan ia sudah lebih bersemangat untuk bermain. Indy merasa sedikit lega melihat perubahan pada anaknya. Bahkan, ia sudah mulai mengurus pendaftaran sekolah dasar untuk Agni di salah satu sekolah dasar internasional terbaik di Jakarta.“Bu, aku mau sekolah di tempat yang banyak temannya dan aku mau ikut ekskul karate,” ujar Agni dengan polos suatu pagi.Indy tersenyum kecil sambil mengelus rambut anaknya. “Iya, Sayang. Ibu akan carikan sekola
Enam bulan telah berlalu sejak Nisrina memutuskan untuk meninggalkan rumah yang ia tinggali bersama Arjuna. Waktu seakan berlalu lambat, diisi dengan berbagai perasaan yang berkecamuk di hati mereka berdua. Proses perceraian yang telah dimulai, perlahan-lahan berubah menjadi medan perang yang melelahkan. Baik Arjuna maupun Nisrina tidak pernah membayangkan bahwa pernikahan yang dulu dimulai dengan cinta yang tulus, kini harus berakhir di ruang sidang.Di sebuah ruangan sederhana di Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Nisrina dan Arjuna duduk berseberangan. Keduanya mengenakan pakaian rapi, tetapi ekspresi di wajah mereka menyiratkan rasa lelah yang teramat sangat. Nisrina mengenakan blus putih dengan kerudung abu-abu, sementara Arjuna terlihat formal dengan kemeja biru tua. Di sebelah mereka, kuasa hukum masing-masing mempersiapkan dokumen yang diperlukan.Sidang hari itu adalah puncak dari semua proses yang telah mereka lalui selama enam bulan terakhir. Mediasi, negosiasi hak asuh anak
Hari itu langit Jakarta tampak cerah, seolah semesta memberikan restu untuk acara besar yang telah dinanti-nanti oleh seluruh punggawa PT. Adidaya Wiguna. Sebuah kantor cabang baru berdiri megah di pinggiran kota, siap menjadi simbol baru kesuksesan perusahaan konstruksi yang telah berdiri selama puluhan tahun itu. Para undangan, mulai dari mitra bisnis, kontraktor, hingga pejabat daerah, hingga petinggi negara berdatangan dengan pakaian rapi dan senyum penuh harapan. Acara peresmian berlangsung di aula besar gedung tersebut, dihias dengan dominasi warna kebesaran perusahaan, yaitu biru, putih, dan emas.Indy duduk di barisan depan bersama keluarganya, mengenakan kebaya kutubaru modern berwarna biru safir yang memancarkan kesan cantik dan elegan. Senyumnya tenang, tetapi hatinya tak bisa sepenuhnya damai. Hari ini bukan hanya tentang peresmian kantor cabang baru, tetapi juga tentang pengumuman besar yang telah disiapkan oleh ayahnya, Pak Irawan. Indy tahu apa yang akan dikatakan, dan
Langit Jakarta sore itu terlihat mendung temaram, seakan mencerminkan suasana di rumah Arjuna dan Nisrina. Kejadian tragis yang menimpa Nisrina dua minggu lalu telah meninggalkan luka mendalam yang tak mudah sembuh. Rumah yang biasanya hangat kini terasa sunyi dan sesak.Kedatangan kedua orang tua Nisrina dari Solo menambah guncangan emosional yang sulit dijelaskan. Mereka datang dengan agenda yang jelas: menuntut penjelasan dan menyelamatkan Nisrina dari penderitaan lebih lanjut.Ketika mobil Mercedes hitam berhenti di depan rumah mereka, Arjuna menyambut dengan campuran rasa bersalah dan kesiapan untuk menerima kemarahan mereka. Dari mobil, papi Nisrina turun dengan langkah cepat, wajahnya tegang, sementara mami Nisrina terlihat lebih tenang, meskipun matanya menyiratkan kesedihan mendalam.Tanpa basa-basi, papi Nisrina langsung melangkah ke arah Arjuna dan menghajarnya dengan tinju keras di pipi. “INI HASILNYA KAMU MENIKAHI ANAKKU?! INI YANG KATANYA KAMU MAU MEMBAHAGIAKAN DIA?!” be