Malam itu, rumah yang dulu terasa hangat dan penuh tawa, kini terasa begitu sepi dan dingin. Seperti angin yang berhembus pelan lewat celah jendela, kesunyian di rumah Indy menyelimuti setiap sudut ruangan. Meski rumah besar itu tetap terlihat rapi dan dipenuhi oleh perabotan-perabotan mahal, ada perasaan yang tak bisa dipungkiri; sebuah kekosongan yang menyergap setiap kali Indy melangkah masuk ke dalam rumahnya. Walaupun secara teknis Indy tidak benar-benar sendiri, selain Anggara dan Agni, ada dua orang asisten rumah tangga, dan suster yang mengasuh Agni, tapi tetap saja rumah itu terlampau sunyi bagi Indy.
Indy menatap ruang makan dengan hati yang penuh kekhawatiran. Meja makan yang besar itu terlihat kosong, hanya ada makanan yang disiapkan untuk makan malam bersama, namun tak ada tanda-tanda suaminya akan pulang dalam waktu dekat. Mungkin saja, ia sibuk di kantor, atau mungkin sedang berhadapan dengan kasus penting, atau mungkin sedang bertemu dengan koleganya, pikir Indy. Tapi, entah mengapa, semakin hari, dirinya semakin sulit untuk bertemu dengan Anggara.
Beberapa menit kemudian, suara pintu depan terbuka. Langkah kaki yang berat terdengar dari kejauhan, dan tak lama kemudian, Anggara muncul di ruang tamu. Wajahnya tampak lelah dan lesu, namun ada sesuatu yang berbeda dalam tatapannya. Ia tidak lagi menyapa Indy seperti dulu. Hanya sebuah senyum tipis singkat yang diberikan, sebelum ia melangkah ke ruang kerja pribadinya, tempat ia biasa menyelesaikan pekerjaan penting atau melepas penatnya.
Indy merasa seolah ada tembok tak terlihat antara mereka. Seperti dua orang yang dulu saling berhubungan, namun kini tak lagi bisa menemukan jalannya untuk berkomunikasi. Tentu saja, Indy tahu bahwa perubahan besar dalam hidup Anggara, terutama setelah ia ditunjuk menjadi Jaksa Senior Penugasan Khusus yang mengharuskan dirinya untuk lebih banyak berkomitmen dengan pekerjaan. Ketegangan itu mulai terasa setiap kali mereka berada dalam satu ruangan yang sama.
Setelah beberapa saat, Anggara keluar dari ruang kerjanya, tampak lebih tegang dari sebelumnya. Mungkin karena beban pekerjaan yang ia tanggung atau karena sudah terlalu lelah, namun yang jelas, sikapnya mulai berubah.
“Indy!” Anggara memanggil Indy. Suaranya agak keras, membuat Indy tersentak.
“Agni sudah makan, belum? Ini ada health report bulanannya Agni di ruang kerja aku. Kenapa hasilnya jelek? Kamu harusnya lebih perhatian, dong, dengan anak kita!”
Indy merasa darahnya naik ke wajah. Tidak hanya kata-kata Anggara yang terasa tajam, tetapi cara suaminya berbicara, yang biasanya lembut, kini terdengar begitu dingin dan kasar. Ia menahan diri, berusaha untuk tetap tenang.
“Mas, aku sudah menyiapkan makan malam, Agni tadi sudah makan, tinggal kamu aja yang belum,” jawab Indy pelan, mencoba meredam ketegangan.
Namun sepertinya Anggara sedang dinaungi rasa kesal.
“Kamu memang punya penghasilan sendiri. Kamu juga punya posisi yang bagus di perusahaan keluarga kamu itu, tapi jangan lupakan tugas dan tanggung jawab kamu sebagai ibunya Agni, dong! Masa berat badannya stuck segini-gini aja di usianya yang hampir tujuh tahun? Jangan-jangan dia jarang makan, tapi kamu nggak tahu!” Suara Anggara semakin meninggi, dan tubuhnya tampak gemetar, mungkin karena faktor stres atau kelelahan. Ia melemparkan buku health report yang bertuliskan “Agni Larasati Aditya” itu ke wajah Indy.
Indy merasa perasaannya hancur seketika. Tidak pernah ia tidak mendengar kata-kata seperti itu. Perasaan frustrasi yang sudah ia coba sembunyikan selama ini kini meledak begitu saja. Ia berusaha mengendalikan diri, namun air matanya mulai mengalir di pipinya.
“Mas, apa kamu sadar dengan apa yang barusan kamu katakan dan lakukan?” tanya Indy dengan suara bergetar.
Anggara hanya diam, seolah tidak mendengar. Dia hanya berdiri di sana, menatap Indy dengan wajah kosong. Tidak ada penyesalan atau empati di matanya, yang ada hanya kelelahan yang mendalam. Kemudian ia berbalik dan pergi menuju kamar tidur mereka.
Indy terdiam, kemudian beranjak ke ruang makan. Ia duduk di kursi makan sambil menatap beberapa porsi lauk pauk yang beberapa terlihat masih utuh. Ia merasakan hatinya terhimpit oleh kesepian dan rasa sakit yang tak terungkapkan. Tidak ada lagi perhatian, tidak ada lagi sentuhan lembut yang dulu ia rasakan. Semua yang ia dapatkan kini adalah amarah dan kekosongan.
Setelah beberapa lama, Agni keluar dari kamarnya dengan wajah bingung.
“Ibu, kenapa Ayah marah-marah?” tanyanya, suara kecilnya menggema di ruangan yang sunyi.
Indy menatap putrinya, mencoba untuk tetap tegar.
“Tidak apa-apa, sayang. Ayah hanya capek,” jawabnya, meskipun hatinya sendiri sudah penuh dengan pertanyaan. Apa yang terjadi dengan suaminya? Mengapa semuanya berubah begitu cepat?
Indy kembali ke kamar tidur mereka yang terasa asing. Anggara sudah tidur lebih dulu, dengan tubuhnya yang terkulai di tempat tidur, seolah tak peduli dengan apa yang terjadi di sekitarnya. Indy merasakan kesendirian yang semakin mendalam. Ada perasaan terabaikan yang terus menggerogoti hatinya. Ia merindukan perhatian yang dulu ia dapatkan dari Anggara, namun sepertinya itu sudah tidak bisa diharapkan lagi.
Indy menatap ponselnya sejenak, membuka aplikasi w******p dan membuka pesan dari Arjuna. Pesan singkat dari Arjuna yang menjadi bagian hidupnya, kini terasa seperti satu-satunya tempat untuk mencurahkan perasaan yang tidak bisa ia ungkapkan pada Anggara.
Ia meletakkan ponselnya di samping bantal, menarik selimut ke tubuhnya, mencoba untuk tidur meskipun pikiran dan perasaannya begitu kacau. Seperti dua dunia yang saling berseberangan, rumah ini tak lagi terasa nyaman bagi Indy. Ia merindukan kebahagiaan yang dulu ia miliki, namun sepertinya semakin jauh untuk digapai.
Dan di balik kegelapan malam itu, suara hati Indy mulai bergumam, bertanya-tanya apa yang akan terjadi dengan hidupnya, dengan keluarga kecil yang dahulu penuh kasih ini?
Indy menatap punggung Anggara yang kini tertidur dengan posisi membelakanginya. Suara detak jam dinding yang monoton terasa mengiringi kegelisahan yang merayapi pikirannya.
Dengan perlahan, ia mendekatkan dirinya ke samping Anggara, mencoba untuk tidak membangunkannya, namun hatinya terasa begitu berat. Ia merasa putus asa, tapi mungkin saja masih ada harapan, yang membuatnya ingin mencoba lagi. Ia pernah merasakan kasih sayang walaupun telah lama hilang. Berharap sekejap saja bisa merasakan kedekatan itu kembali.
“Mas... Aku merindukanmu.” bisik Indy perlahan, mencoba meraih pundak Anggara dengan tangannya.
Namun, saat jarak mereka semakin dekat dan tangannya hendak merengkuh tubuh Anggara, sesuatu yang tak terduga terjadi.
Seolah mendengar bisikan Indy, Anggara terbangun. Dengan gerakan yang cepat dan tanpa peringatan, ia menepis tangan Indy menjauh darinya. Indy terperanjat, tidak menyangka respon suaminya akan sekasar itu. Anggara bangkit dengan wajah yang tampak lebih marah dan kecewa, napasnya terengah-engah.
“Jangan sentuh aku!” teriak Anggara, suaranya serak penuh amarah.
“Kamu selalu begini! Mengapa kamu selalu mengganggu aku dengan hal-hal bodoh seperti ini? Aku capek, Indy! Aku butuh istirahat! Kamu paham tidak?”
Indy terdiam, terperangah. Rasanya seperti dunia runtuh di hadapannya. Ia tidak pernah membayangkan bahwa hanya untuk memeluk suaminya saja, ia akan mendapat perlakuan seperti ini. Wajah Anggara tampak dipenuhi kemarahan yang seolah tidak bisa ia tahan lagi. Ketegangan dan kelelahan yang sudah lama terkumpul sepertinya pecah begitu saja.
Indy menatap suaminya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Namun ia menahan air matanya. Semua yang ia rasakan sekarang hanya rasa sakit dan kekosongan. Apa yang terjadi dengan Anggara?
“Mas, kenapa? Apa yang sebenarnya terjadi?” suara Indy bergetar, mencoba mencari jawaban di balik sikap suaminya yang begitu keras, ketus, dingin, dan mulai kasar.
“Aku hanya ingin kita kembali seperti dulu… seperti saat awal kita menikah.”
Anggara menatapnya dengan tatapan kosong, hanya ada tatapan dingin dan tidak peduli di sana. Ia menghela napas panjang, seolah lelah berbicara.
“Kamu tidak mengerti, Indy. Kamu tidak mengerti betapa berat semuanya. Semua yang aku lakukan ini untuk kita. Tapi, kamu hanya menginginkan perhatianku, seolah semua ini hanya tentang kamu. Semua orang butuh perhatian, bukan cuma kamu!”
Indy merasa dadanya sesak. Kata-kata Anggara itu menghujam dadanya dengan begitu tajam. Setiap kata terasa seperti sebuah penghinaan, membuatnya merasa tak dihargai. Ia hanya bisa menatap suaminya dengan perasaan bingung dan terluka. Sungguh, ia tidak mengerti lagi siapa suaminya yang sekarang.
“Mas, aku hanya ingin kita baik-baik saja, aku ingin kita bahagia lagi. Apakah itu tidak layak untuk diminta?” Indy berusaha berbicara dengan lembut, namun suaranya yang gemetar mencerminkan betapa rapuhnya hatinya saat ini.
Anggara hanya terdiam, tampak menunduk, namun wajahnya kembali terbingkai kelelahan.
“Aku capek, Indy,” jawabnya pelan, tapi dingin.
“Aku capek harus selalu berusaha. Berusaha menjadi suami dan ayah yang sempurna, yang memenuhi harapanmu, harapan Agni, harapan keluargaku, harapan keluargamu. Aku lelah menjadi apa yang kalian semua inginkan. Aku sudah memenuhi semua persyaratan dari Ayah kamu. Sekarang kamu mau menuntut apa lagi?”
Indy tidak bisa menahan diri lagi. Ia merasa hatinya hancur, seakan tidak ada jalan keluar dari situasi ini. Suaminya bukan lagi pria yang dulu ia kenal. Keinginan untuk memperbaiki hubungan itu seolah hanyalah impian kosong. Ia merasakan betapa besar jurang di antara mereka, sebuah jurang yang semakin lebar setiap harinya.
“Mas, aku harus gimana?” tanya Indy sambil terisak.
“Aku merasa kita semakin jauh, semakin asing. Kamu sudah bukan seperti Mas Anggara Aditya yang aku kenal.”
Anggara menghela napas panjang dan mengalihkan pandangannya dari dari tatapan Indy. “Aku juga nggak tahu, Indy, mungkin hanya waktu yang bisa menjawab. Sekarang biarkan aku beristirahat!”
Indy hanya bisa diam mematung, merasakan dingin yang mencekam menyelimuti hatinya. Ia ingin memeluk Anggara, namun di balik jarak yang semakin jauh, ia merasa tak mampu lagi menjangkaunya.
Seketika, kesunyian melanda ruangan itu. Keinginan Indy untuk memperbaiki semuanya bertemu dengan kenyataan pahit bahwa situasi ini lebih rumit dari yang ia bayangkan.
Akhirnya, Anggara berbalik dan kembali tidur membelakangi Indy. Ia menarik selimut, menutupi tubuhnya. Tanpa ada kata-kata lagi. Tanpa ada penjelasan. Ia menutup mata, seolah ingin melupakan apa yang baru saja terjadi. Indy hanya bisa duduk di samping Anggara, menatapnya dengan hati yang remuk redam.
Air mata yang sempat ditahan akhirnya jatuh, perlahan. Ia tahu, semuanya sudah berbeda. Nyaris tak ada lagi ruang untuk mereka kembali seperti dulu.
Surabaya, masih Juni 2019Indy memandangi tiga koper besar yang sejak dua hari lalu masih tergeletak dengan terbuka di pojok kamar. Belum ada satu pun pakaiannya yang benar-benar masuk ke dalam. Rencana kembali ke Jakarta yang sejak awal bulan sudah disusun, tiba-tiba membuatnya meragu. Bukan karena ia berubah pikiran. Rasanya seperti ada sesuatu yang menahannya, tapi tidak tahu itu apa. Perasaannya mendadak tidak enak.Sebenarnya, Pak Irawan sudah menghubungi sejak seminggu lalu, meminta Indy kembali ke Jakarta untuk membantu menyusun ulang desain proposal arsitektur proyek baru yang cukup prestisius karena akan menjadi proyek besar skala nasional. Itu akan jadi kolaborasi lintas divisi yang menarik, terutama bagi Indy yang memiliki latar pendidikan Manajemen. Tapi entah kenapa, Indy merasa belum waktunya ia pulang.“Lu beneran nggak apa-apa, Van?” tanya Indy untuk kesekian kali pagi itu. Ia berdiri di ambang pintu dapur, memperhatikan adiknya yang sedang menyeduh teh celup dengan wa
Jakarta, Juni 2019Tahun ini adalah masa-masa yang cukup berat bagi Arjuna. Setelah beberapa tahun berjuang menyelesaikan pendidikannya di bidang teknik sipil dan mengumpulkan pengalaman kerja di proyek-proyek di daerah Yogyakarta, serta tuntutan dari keluarga Nisrina, ia merasa siap melangkah lebih jauh. PT. Adidaya Wiguna, perusahaan konstruksi ternama di Indonesia, mengumumkan pembukaan lowongan untuk posisi staf teknik. Bagi Arjuna, kesempatan ini ibarat tangga menuju cita-citanya serta sebagai pembuktian akan keseriusannya melangkah bersama Nisrina.Hari itu, ia melangkah masuk ke ruang wawancara dengan rasa percaya diri yang berusaha ia tunjukkan. Berseragam rapi dengan kemeja putih dan celana bahan hitam, ia membawa map berisi CV, sertifikat, dan portofolionya. Ini adalah tahap akhir dari proses rekrutmen yang sudah ia jalani beberapa waktu yang lalu untuk menentukan, apakah ia diterima atau tidak di raksasa konstruksi ini. Di dalam ruangan, seorang pria paruh baya duduk dengan
Enam bulan telah berlalu sejak Indy dan Anggara memutuskan untuk pisah rumah. Namun, kehidupan Indy tidak menjadi lebih baik. Setiap hari adalah perjuangan untuk menjaga kewarasan, terutama ketika harus menghadapi kenyataan bahwa ia kini hidup sendiri bersama Agni. Ivan yang biasa menemaninya juga sudah kembali ke Kutai Barat untuk persiapan mengajar tahun ajaran baru.Agni, putri semata wayangnya yang berusia tujuh tahun, sudah mulai menunjukkan kemajuan setelah berbulan-bulan terapi psikologi. Senyum kecil mulai kembali menghiasi wajah bocah itu, dan ia sudah lebih bersemangat untuk bermain. Indy merasa sedikit lega melihat perubahan pada anaknya. Bahkan, ia sudah mulai mengurus pendaftaran sekolah dasar untuk Agni di salah satu sekolah dasar internasional terbaik di Jakarta.“Bu, aku mau sekolah di tempat yang banyak temannya dan aku mau ikut ekskul karate,” ujar Agni dengan polos suatu pagi.Indy tersenyum kecil sambil mengelus rambut anaknya. “Iya, Sayang. Ibu akan carikan sekola
Enam bulan telah berlalu sejak Nisrina memutuskan untuk meninggalkan rumah yang ia tinggali bersama Arjuna. Waktu seakan berlalu lambat, diisi dengan berbagai perasaan yang berkecamuk di hati mereka berdua. Proses perceraian yang telah dimulai, perlahan-lahan berubah menjadi medan perang yang melelahkan. Baik Arjuna maupun Nisrina tidak pernah membayangkan bahwa pernikahan yang dulu dimulai dengan cinta yang tulus, kini harus berakhir di ruang sidang.Di sebuah ruangan sederhana di Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Nisrina dan Arjuna duduk berseberangan. Keduanya mengenakan pakaian rapi, tetapi ekspresi di wajah mereka menyiratkan rasa lelah yang teramat sangat. Nisrina mengenakan blus putih dengan kerudung abu-abu, sementara Arjuna terlihat formal dengan kemeja biru tua. Di sebelah mereka, kuasa hukum masing-masing mempersiapkan dokumen yang diperlukan.Sidang hari itu adalah puncak dari semua proses yang telah mereka lalui selama enam bulan terakhir. Mediasi, negosiasi hak asuh anak
Hari itu langit Jakarta tampak cerah, seolah semesta memberikan restu untuk acara besar yang telah dinanti-nanti oleh seluruh punggawa PT. Adidaya Wiguna. Sebuah kantor cabang baru berdiri megah di pinggiran kota, siap menjadi simbol baru kesuksesan perusahaan konstruksi yang telah berdiri selama puluhan tahun itu. Para undangan, mulai dari mitra bisnis, kontraktor, hingga pejabat daerah, hingga petinggi negara berdatangan dengan pakaian rapi dan senyum penuh harapan. Acara peresmian berlangsung di aula besar gedung tersebut, dihias dengan dominasi warna kebesaran perusahaan, yaitu biru, putih, dan emas.Indy duduk di barisan depan bersama keluarganya, mengenakan kebaya kutubaru modern berwarna biru safir yang memancarkan kesan cantik dan elegan. Senyumnya tenang, tetapi hatinya tak bisa sepenuhnya damai. Hari ini bukan hanya tentang peresmian kantor cabang baru, tetapi juga tentang pengumuman besar yang telah disiapkan oleh ayahnya, Pak Irawan. Indy tahu apa yang akan dikatakan, dan
Langit Jakarta sore itu terlihat mendung temaram, seakan mencerminkan suasana di rumah Arjuna dan Nisrina. Kejadian tragis yang menimpa Nisrina dua minggu lalu telah meninggalkan luka mendalam yang tak mudah sembuh. Rumah yang biasanya hangat kini terasa sunyi dan sesak.Kedatangan kedua orang tua Nisrina dari Solo menambah guncangan emosional yang sulit dijelaskan. Mereka datang dengan agenda yang jelas: menuntut penjelasan dan menyelamatkan Nisrina dari penderitaan lebih lanjut.Ketika mobil Mercedes hitam berhenti di depan rumah mereka, Arjuna menyambut dengan campuran rasa bersalah dan kesiapan untuk menerima kemarahan mereka. Dari mobil, papi Nisrina turun dengan langkah cepat, wajahnya tegang, sementara mami Nisrina terlihat lebih tenang, meskipun matanya menyiratkan kesedihan mendalam.Tanpa basa-basi, papi Nisrina langsung melangkah ke arah Arjuna dan menghajarnya dengan tinju keras di pipi. “INI HASILNYA KAMU MENIKAHI ANAKKU?! INI YANG KATANYA KAMU MAU MEMBAHAGIAKAN DIA?!” be